Kawan saya, Hawadis, memilih rehat membuka Twitter karena muak dengan keributannya dan baru saja membuat tulisan tentang hal itu. Sebagai pengguna aplikasi berlogo burung biru yang termasuk aktif, saya pun cukup sering berada di posisinya. Saya juga sempat menuliskan keluhan-keluhan hingga menjadi utas—yang tiba-tiba saya batalkan dan lebih baik memendamnya di catatan, sebab berpikir kalau ujaran saya tak penting buat dibaca oleh khalayak. Saat mengingat blog ini belum ada tulisan baru lagi, saya kira tak ada salahnya buat membongkar catatan itu, kemudian mengeditnya demi menyesuaikan pembahasan kali ini. Jadi, inilah hasil penyuntingan dari twit-twit tak penting saya.



Setiap kali menemukan orang ribut-ribut di Twitter, di dalam benak saya tak jarang muncul pertanyaan begini: kenapa sih hal yang diributkan kok itu-itu melulu? Tiga hal yang kerap saya temukan dalam perdebatan: 1) cara makan bubur diaduk dan tidak diaduk; 2) boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal bagi orang Islam; 3) tetek bengek pernikahan. 

Untuk yang pertama, mungkin itu lucu-lucuan semata, sedangkan yang kedua kembali ke pilihan tiap individu, dan pada bagian yang terakhir inilah Haw mempermasalahkan mengapa hal pribadi semacam itu diperdebatkan secara umum di Twitter, padahal kan prinsip atau pilihan mereka itu juga enggak akan berdampak sama orang banyak (sebenarnya ini mirip seperti nomor dua). Sewaktu membaca bagian itu, saya jadi sadar bahwa perdebatan mengenai pernikahan ini memang selalu diulang-ulang setiap tahunnya. Sejak 2016 hingga saat ini, dalam setiap tahunnya entah mengapa saya pasti menemukan perdebatan tersebut. 

Yang pertama kali muncul kala saya menggali ingatan di kepala ialah tentang menikah dengan anggaran kecil. Mulanya, ada salah seorang perempuan yang terpicu oleh biaya pernikahan murah di bawah dua juta ala orang-orang penyuka taaruf. Dia yang mungkin termasuk golongan kelas menengah ke atas langsung tak sudi kalau diajak menikah hanya dengan modal segitu. Dia berujar bahwa orang tuanya telah membiayai hidup dan pendidikannya sampai sarjana, masa iya nanti resepsi pernikahannya kayak acara selamatan atau tahlilan? Intinya, enggak level dong, ah. 

Dia lantas mentertawakan, mengutuk, serta memberi kuliah singkat jika mau menikah tuh harus mapan terlebih dahulu. Seperti sudah punya rumah sendiri, gaji minimal sekian, memiliki perencanaan keuangan buat masa depan, dst. Mayoritas pengikutnya tentu sepakat dan ikut-ikutan mengejek pilihan orang yang menikah dengan biaya ala kadarnya itu. 

Pertanyaan saya: setelah itu apa? Apakah setiap orang harus mengikuti standarnya? Berhenti membuat rencana pernikahan dengan biaya seminimal mungkin? Bukankah pada akhirnya akan tetap ada pasangan-pasangan yang menikah berdasarkan prinsipnya masing-masing? Masih tetap ada yang nekat menikah walaupun sadar kondisinya kere tapi sudah telanjur cinta? Terlepas dari mereka nantinya bercerai atau bagaimana, ya itu persoalan lain, kan? 

Lagi pula, setahu saya sih orang-orang yang mereka cerca pilihan menikahnya itu punya target tersendiri. Yang mereka sasar jelas bukan mbak-mbak kelas menengah ataupun perempuan lain yang tak sependapat dengan golongannya. Anehnya, mengapa hal semacam ini bisa terulang lagi dan lagi sebagaimana proses deja vu? Dugaan saya: barangkali karena ada beberapa orang yang ingin pernyataannya mendapatkan validasi dari netizen di Twitter. Mendapatkan banyak retwit mungkin menjadi suatu kenikmatan tersendiri.

Pertanyaan saya selanjutnya: mengapa orang-orang tersebut justru memuja-muja pilihan Suhay Salim yang menikah tanpa menggelar resepsi? Apakah karena Suhay seorang pesohor yang ujaran maupun tindakannya sudah pasti benar dan pantas dicontoh? Bukankah itu jadinya standar ganda? Jika memang tujuan Suhay adalah mengalihkan anggaran resepsi yang besar itu dipakai untuk berbulan madu ataupun biaya kehidupan pada hari esok, lalu netizen bisa sepakat; tapi kenapa kalau mas-mas berjenggot penyuka taaruf yang mengeluarkan opini itu pandangan mereka jadi berbeda, bahkan mencaci maki? 

Mungkin kabar-kabar yang pernah beredar dan masuk ke telinga kita tentang mereka itu buruk, sebab di antara mereka ada yang punya kegemaran mengoleksi istri sampai empat alias berpoligami, sehingga memunculkan asumsi kalau anggaran pernikahan minim dari mereka itu tentu saja suatu bukti bahwa mereka miskin. Tapi, apakah mereka sudah melihat keadaan pria-pria itu secara langsung? Toh, siapa yang tahu isi hati setiap manusia? Bisa jadi memang ada yang niatnya adalah ibadah, lalu memegang teguh prinsip “apa yang berlebihan itu tidak baik”, jadi tak perlu memboroskan biaya resepsi. Uangnya juga mereka tabung buat biaya-biaya tak terduga pada masa mendatang? Walaupun kelas sosial mereka berbeda, tapi bukankah tujuannya itu tak jauh berbeda seperti pendapat si Suhay? 

Jika memang masalah utamanya adalah stigma buruk tentang poligami, bisa juga kan si penganut prinsip “apa yang berlebihan itu tidak baik” sama berlakunya dalam dia mencari pasangan? Satu istri sudah cukup, banyak-banyak malah nanti tak bisa bersikap adil dan bikin repot. Berhubung saya benci banget dengan sikap menggeneralisasi, saya jelas tak mau ikutan menyamaratakan mereka. Memang, saya akui ada orang-orang bobrok semacam itu—yang punya istri lebih dari satu dan tujuannya jelas mengacu pada hawa nafsu—di sekitaran saya. Namun, salah satu abangnya teman saya yang sudah mapan dan berusia 40-an (konon usia ini masa puber kedua dan lagi genit-genitnya sama daun muda) masih tetap beristri satu. Bagi saya, itu sudah cukup membuktikan bahwa masih ada kok beberapa orang yang menerapkan taaruf dan ke depannya tidak neko-neko. 

Sayangnya, kita terlalu cepat dan mudah menilai. Memandang buruk manusia yang gagasannya berseberangan tanpa mau melihat sudut pandang lain. Sekalipun itu jatuhnya urusan pribadi dan hak mereka, pokoknya mah hantam terus karena yang benar cuma golongan kami. Konyolnya, apa yang barusan saya tulis ini menunjukkan bahwa saya juga tergolong manusia berstandar ganda.

Seingat saya, saya waktu itu sempat meledek kaum “Indonesia Tanpa Pacaran”. Saya yang membenci keributan, ternyata pernah menjadi seseorang yang bikin kegaduhan pula di Twitter. Saya pun tak akan pernah lupa dengan kicauan-kicauan saya yang mengejek para bloger penggemar arisan blog (saling gantian berkunjung dan berkomentar basa-basi) yang penuh kepalsuan itu, yang mencari pengikut bukan buat berteman melainkan menggenapkan syarat menjadi buzzer—minimalnya memiliki 1.000 pengikut. Ini masih terekam jelas jejak digitalnya di tulisan: Burung Berkicau

Meskipun begitu, saya kini bisa lebih mengontrol diri sejak tulisan itu diterbitkan. Hawa kebencian dan sifat sinis di dalam diri saya perlahan-lahan berkurang. Saya rupanya jadi lebih kalem sewaktu melihat twit yang opininya kelewat tolol. Saya enggak gampang terpicu lagi seperti sebelumnya. Selama mereka enggak merugikan orang lain, ya udahlah, buat apa ikutan ribut? Apa untungnya buat saya? Seandainya saya sudah bersikap masa bodoh, tapi twit-twit yang enggak saya sukai itu masih tetap nongol di lini masa, saya juga tinggal pilih bisukan atau blokir. Selesai, kan? Enggak usah buang-buang energi terlalu banyak di platform itu. Seumpama saya benar-benar kepengin meracau, ya mendingan diolah jadi tulisan blog yang lebih rapi dan tampak elegan.

Demi mengingatkan diri sendiri pada kemudian hari untuk bersikap lebih santai ketika menemukan pertikaian, saya akan menjadikan lirik lagu Digimon versi bahasa Indonesia sebagai mantra pengingat: “Hal yang bukan urusanmu, lebih baik lupakan saja. Tidak ada waktu untuk bermain-main.”

--

Gambar saya ambil dari jualo.com