Menggali Kemesuman yang Terkubur

Tulisan berikut ini pertama kali tayang di blog Wawan Kusmondar (salah seorang bloger yang cuma terkenal di kalangannya sendiri), lalu  empat hari silam blognya tahu-tahu dihapus entah karena alasan apa. Saya kemudian meminta izin kepadanya buat menerbitkan ulang di sini. Dia ternyata tidak keberatan, selama saya enggak menyebut akun media sosialnya. Mungkin dengan membaca cerita berikut, kamu bakal sedikit mengerti apa alasan dia menghapus blognya.

--

Bagaimana cara melepaskan citra buruk yang pernah melekat pada dirimu? Pertanyaan itu hinggap di kepalaku ketika aku baru saja menerima surel dari seorang pembaca. Dia bilang, tulisanku masih saja tidak berubah. Selalu ada mesumnya. Dia bahkan sampai berkata: isi kepalaku harus segera dibersihkan pakai penyedot debu saking kotornya. Omong-omong, pengirimnya perempuan berjilbab. Barangkali di matanya itu aku juga merupakan manusia yang penuh dosa sebab gemar bermaksiat lewat tulisan. 

Aku tahan mendapat hinaan bangsat, bajingan, berengsek, biadab, dst., dsb. oleh kawan-kawan yang sudah mengenalku, khususnya yang laki-laki. Saling meledek begitu memang sudah lazim terjadi di antara kaum kami. Namun, jika dinilai buruk oleh perempuan, lebih-lebih dia orang asing, entah mengapa menjadi masalah tersendiri buatku. Sampai-sampai aku jadi kepikiran terus. 



Apakah karena tulisan-tulisanku yang terkesan jahat dan mesum itu membuat para perempuan jadi takut dan jijik mengenalku? Pantas saja dalam setahun terakhir ini tak ada satu pun perempuan yang terlihat ingin mendekatiku. Mungkin merancang citra semacam itu sudah tak cocok lagi di era yang penuh kepalsuan ini. 

Empat tahun silam, aku sungguh ceroboh menciptakan citra diri mesum. Aku tak tahu kenapa dulu berbuat seperti itu. Mungkin di kepalaku saat itu bisa dinilai nakal sangatlah keren. Berdasarkan artikel-artikel yang pernah kubaca, mayoritas cewek konon lebih menyukai cowok bajingan ketimbang yang baik-baik dan culun. 

Dengan merancang sosok bajingan, ditambah lagi aku berzodiak Gemini—yang kerap mendapatkan cap bangsat karena hobi merayu lawan jenis, pada hari-hari itu memang terbukti membuat diriku lebih luwes mendekati beberapa perempuan. Aku tak terlalu peduli dengan penilaian siapa pun yang mencemooh, terutama laki-laki yang tampak iri.

Ketika cewek-cewek itu dengan sendirinya tersadar bahwa aku tak seburuk yang mereka pikirkan sebelumnya, kepercayaan diriku tiba-tiba meningkat drastis. Aku sangat menikmati hal itu. Tuduhan-tuduhan sialan yang tidak sesuai dengan diriku seolah-olah menjadi sebuah kemenangan. Aku pun kian ketagihan menyelipkan lelucon-lelucon mesum di tulisanku. Aku lantas tumbuh menjadi mahasiswa yang terkenal dengan kemesumannya di area kampus, khususnya jurusanku Sastra Indonesia. Yang tidak kusangka, aku sampai mendapat julukan: Wawan Omes—singkatan otak mesum. 

Jika ada seseorang di kampus yang bingung mendeskripsikan aku orangnya seperti apa, alih-alih menggambarkanku bertubuh kurus, rambut ikal gondrong, pakai kacamata, sering mengenakan kemeja flanel, dan ciri lainnya yang melibatkan penampilan, mereka cukup menyebut “Wawan Omes” atau “pokoknya Wawan yang tulisan di blognya mesum”, dan mereka bakalan langsung paham bahwa akulah yang sedang dimaksud. Luar biasa. Ternyata julukan itu bikin aku jadi lebih mudah dikenal orang-orang.

Sayangnya, kebanggaanku terhadap citra mesum itu tak bisa lagi kunikmati dalam dua tahun terakhir. Pada suatu pertengahan 2016, aku mulai tersadar kalau mesum yang cuma citra itu tidak melulu bekerja pada setiap orang. Semua bermula ketika aku dan beberapa bloger Jakarta sedang main ke Bandung, lalu janjian bertemu di Bukit Moko bersama beberapa bloger setempat. Selain bloger, aku juga sempat mengajak Rani, seorang perempuan manis yang kukenal lewat Twitter.

Rani bertanya kepadaku siapa saja yang ikut. Walaupun aku tidak yakin dia bakal mengenal teman-temanku, aku pun menyebutkannya: Agus, Asep, Fasya, Fendi, Ihsan, Ujang, dan diriku sendiri. 

“Ceweknya cuma satu yang ikut?” tanyanya. 

“Iya, sama kamu nanti jadi dua. Kamu boleh ajak teman kamu juga kok, Ran.” 

Pesan itu tidak ada balasan lagi hingga hari keberangkatan. Barulah ketika aku pulang dari sana, dia membalas, “Sori deh, aku enggak jadi ikut. Aku takut kalau cuma satu ceweknya.” 

Aku tak paham dengan jalan pikirannya. Apa yang dia takutkan? Apakah karena ceweknya lebih sedikit daripada cowoknya, terus kami bakal berbuat semena-mena kepada mereka? Lalu kami merasa lebih hebat dari perempuan? Pikiranku tak sekolot itu. Aku lantas menceritakan hal ini kepada Fendi—teman bloger yang paling akrab denganku—saat kami berada di kereta dalam perjalanan pulang ke Jakarta. 

“Kau lagian di blog dan Twitter terlalu sering bikin lelucon mesum sih, Wan,” ujar Fendi. “Cewek diajak ketemu sama orang sepertimu, apalagi di pertemuan itu banyak cowoknya, pasti ada rasa takutlah.” 

“Takut kenapa, sih? Aku enggak terlalu paham.” 

“Takut di-gangbang, misalnya.” 

“Anjing! Ngewe satu lawan satu aja belum pernah.”

Tawa Fendi meletus beberapa saat. “Ingat, kita ini lagi di tempat umum. Jaga bicaramu, Wan,” katanya sembari menepuk bahuku. Aku membalas bahwa dialah yang mesti menjaga suara ketawanya. Tawa rombeng itu amat menyakitkan telinga—bagi siapa pun yang mendengarnya. Fendi tak menghiraukan ejekanku dan justru menimpaliku agar diriku tidak terlalu jujur jadi orang. Dia lalu menutup kalimatnya dengan hinaan secara berbisik-bisik: “Jangan-jangan kau juga belum pernah berciuman ya, Wan?”

Tai, dia tampak bahagia sekali menghinaku seperti itu. Mentang-mentang dia tahu tentang diriku yang cuma berani mesum di tulisan, tapi tidak pada kenyataannya ini, sungguhlah menjadi gangguan buatku.

Apa kau tidak percaya kalau mesumku itu cuma citra yang dibuat-buat? Baiklah, akan kuberi tahu rahasia ini. Semua cerita-cerita di blogku yang mengandung unsur mesum itu memang bukan dari pengalamanku sendiri. Aku hanya mempelajarinya lewat buku-buku Duo Murakami (Haruki dan Ryu), Eka Kurniawan, dan Enny Arrow. Aku juga sempat terinspirasi oleh lagu-lagu Kungpow Chicken yang liriknya liar dan vulgar. Sesekali aku pun mencoba membuat deskripsi cerita lewat video bokep Jepang yang pernah kutonton. 

Lalu untuk merespons pernyataan Fendi itu, dalam empat tahun terakhir ini aku mau tak mau mesti mengakui kalau belum pernah lagi melakukannya. Sialan, aku sampai sudah lupa seperti apa rasanya berciuman. Tapi bukan berarti aku tak punya pengalaman soal itu. Bisa dibilang pengalamanku hanyalah sedikit. Setidaknya, saat SMA aku pernah melakukannya dengan pacarku. Alasan kenapa aku belum melakukannya lagi, tentu saja bukan karena tak punya kekasih semenjak lulus SMA. Saat ini aku memang tak punya pacar, tapi satu tahun silam aku masih memilikinya, kok. Dia meninggalkanku dan lebih memilih teman kantornya sebab aku tak kunjung lulus, padahal sudah kuliah 10 semester—dua bulan lagi malah 11.

Penyebab kenapa aku belum lulus: tugas akhirku menganalisis sebuah novel tidak rampung-rampung juga lantaran kerap revisi. Dosen pembimbingku memarahiku habis-habisan karena karya tulis yang kubahas justru terfokus pada adegan panas di novel tersebut. Beliau bilang,  tak usah repot-repot mencari makna di balik bagian itu, padahal kan niatku cuma bertanya, kenapa perempuan sering menjadi objek dalam sebuah cerita? Seakan-akan mereka itu lemah dan tak punya keahlian hebat selain memuaskan lelaki di ranjang. Beliau kembali mengatakan, seharusnya aku memperhatikan latar waktu pada kisah itu. Bahwa zaman dulu memang masih kolot. Urusan perempuan tak lebih dari dapur dan kasur. Dia bahkan menyuruhku untuk ganti novel saja daripada tak ada kemajuan.

Entah sudah berapa banyak aku menghabiskan duit orang tuaku demi tugas akhir biadab itu. Jika semester depan aku tidak lulus juga, mungkin mereka enggan membiayai kuliahku lagi. Gawat.

Bicara soal menghabiskan uang banyak, aku baru sadar diriku juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk meracau tak jelas begini, apalagi membuka banyak rahasiaku kepadamu. Ah, masa bodohlah. Sudah telanjur. Kau boleh mentertawakanku mengenai hal itu, khususnya akan fakta berikut: aku bersikap demikian (tak mau lagi berciuman) karena berusaha menerapkan cinta platonik kepada pacar-pacarku sejak memasuki bangku kuliah. Aku ingin menegaskan kepada diriku sendiri, bahwa tanpa adanya hubungan fisik (selain berpelukan) rasa cintaku terhadap pasangan bisa tetap kuat. Bahkan tidak akan layu sedikit pun jika komunikasi kami berjalan lancar. Makanya aku heran dengan gagasan-gagasan tolol yang bilang supaya pacarnya setia dan tidak pindah ke lain hati, mereka harus melakukan hubungan seks. Jelas-jelas seks itu bagian dari hawa nafsu, sedangkan cinta itu murni dari hati. Masa begitu saja mereka tidak mengerti? 


“Kau lagi melamun jorok ya, Wan?” ujar Fendi mengusik perenunganku. 

“Kau jangan asal bacot, Fen. Aku lagi berpikir, tahu.” 

Mikirin Rani yang enggak mau diajak ketemu?” 

“Bukan. Tapi kalau soal Rani itu, menurutku sih enggak adil kalau diriku ini langsung dinilai buruk cuma karena tulisan. Aku jadi heran dengan perempuan sepertinya.”

“Heran kenapa?” 

“Ya, kenapa dia enggak mau ketemu sama aku karena takut banyak cowoknya? Itu si Fasya buktinya biasa aja sama kita, kan? Toh, kita aslinya juga anak baik-baik. Orang kita niatnya piknik, kok dianggap yang aneh-aneh.”

“Fasya mah beda, Wan. Dia udah biasa berteman sama cowok-cowok. Kalau menurutku malah yang normal tuh memang perlu waspada kayak gebetanmu itu. Kau mungkin memang anaknya enggak aneh-aneh, makanya bisa bilang begitu dengan entengnya. Tapi pada kenyataannya, enggak semua orang yang kita kenal dari dunia maya juga bisa dipercaya.” 

Aku mencoba mencerna kalimat Fendi yang tiba-tiba mencerocos begitu. Belum sempat aku merespons, dia sudah berbicara lagi. 

“Apa kau juga lupa dengan kasus penculikan dan pemerkosaan yang awalnya kenal dari Facebook? Itu akibat dari terlalu percaya sama orang di dunia maya loh, Wan.”

Sial, aku lupa melihat dari sudut pandang lain. Perkataan Fendi ada benarnya juga. Setiap hal tentu ada kemungkinan buruknya.

Tak lama dari kejadian batal berjumpa itu, Rani lalu menghapusku dari daftar mengikuti. Aku mengetahuinya ketika sedang mengecek akunnya, dan tulisan “Mengikuti Anda” telah hilang dari profilnya. Aku pun ikutan menghapus dirinya dalam hidupku.

Aku tak menyangka, ternyata datang juga hari di mana ada seorang perempuan yang dapat mematahkan pemahamanku tentang citra mesum. Sampai-sampai membuatku ingin introspeksi diri.

Jika dipikir-pikir lagi, sebelum bisa bertatap muka dan mengenal baik seseorang, sebagian orang tentu cuma bisa menilai diri orang lain dari apa yang mereka lihat di media sosial dan blognya. Oleh sebab itu, kini aku tak bisa melarang siapa pun untuk menilai atau menghakimi tentang gambaran diriku yang mesum. Itu murni salahku sendiri yang menampilkan citra buruk kepada khalayak.

Maka sejak hari itu, apalagi setelah lelah berkutat dengan revisi dosen pembimbingku, aku tak mau lagi menyulitkan diriku dalam persoalan menulis mesum. Aku perlu mengontrol diriku sewaktu menulis. Bagian mesum cuma boleh dimasukkan buat kebutuhan cerita, bukan lagi untuk gaya-gayaan, terlebih lagi untuk membangun citra. 

--

Gambar diambil dari: https://pixabay.com/photos/tombstone-old-grave-stones-cemetery-2254373/

14 Comments

  1. Duh, saya juga kena efek sama, dikenal oleh hal mesum, dan serasa jadi suhu. Nikah aja belum tapi sering jadi sasaran pertanyaan soal mesum di sisi cowok.

    Salah saya juga karena sering menceritakan ulang hal mesum (baik video, tulisan, atau joke) ketika sedang kumpul-kumpul. Maksud hati menciptakan suasana yang cair, malah jadi citra diri yang kayaknya melekat banget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ((suhu))

      Celcius atau Reamur? Basi banget asli ini lelucon. Maaf.

      Apakah harus punya bakat alami buat mencairkan suasana tanpa perlu mengandalkan hal mesum?

      Delete
  2. Entah gue telat kenal elu apa gimana, tapi kayaknya pas kita kenal gue gak pernah baca tulisan lu yang ada unsur mesum-mesumnya ya. Wkwk.

    Tapi emang sih. Kalo jadi Rani yang baru kenal sebatas dari Twitter, terus tau tulisan lu banyak mesumnya, gue juga akan menghindar karena pikiran negatif "takut diapa-apain". Hahahaha. Kayak gue kenal orang, terus dia tiba-tiba ngajak ketemuan di Puncak Bogor aja gue langsung ogah. Padahal gak ada indikasi gue tau dia mesum apa enggak.

    Jadi, menurut gue sih wajar-wajar aja kalo penilaian kayak gitu mampir di setiap orang. Karena kita nggak betul2 kenal sama seseorang cuma dari tampilan di dunia maya doang. Yang udah kenal bertahun-tahun aja bisa jadi juga belom kenal banget. Wkwk. Mon maap ini gue ngomong apa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini kan yang resah sama mesum si Wawan, bukan gue. Tapi ya, anggap saja gue juga demikian. Gue pikir tulisan gue tuh masih kadar normal ya. Enggak semesum apa yang dinilai. Bodohnya, gue dulu mengiyakan dan malah girang berhasil membuat citra itu.

      Soal ketemu berduaan sama orang baru di tempat dingin semacam Puncak, jelas menimbulkan curiga. Niatnya aja udah buruk. Kalau di dalam kisah ini kan cuma mau ketemu dan mungkin Wawan penasaran, apakah Rani semanis di fotonya--karena baru kenal di Twitter.

      Yah, perihal ini membingungkan, sih. Kenal bertahun-tahun bisa kayak orang asing, sedangkan yang baru bertemu 1-2 kali bisa seperti sudah akrab bertahun-tahun.

      Delete
  3. Karena saya gemini jg, saya fokus pada kalimat suka merayu wanita. Sepertinya itu benar. #eh

    Saya jg pny bbrp teman yang suka dijuluki omes. Pada satu sisi mereka jujur. Dibanding kita yang terlihat suci tapi ngopi film dewasa ke mereka. #eh lagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya enggak pernah kopi film begituan lagi sejak kuliah. Udah bisa streaming sendiri. Loh?

      Delete
  4. that "rasanya berat juga ya dibayang-bayangi keburukan masa lalu", there you got me.

    ReplyDelete
  5. Ini murni gaya tulis wawan ya yog, yg artinya menuliskan asli dari awal hingga akhir, jujur gw suka sih gaya penceritaannya enak pke kata sapa aku

    Hmmm abis baca ini mendadak yg ada dlm kepala gw
    *buru2 kepoin tulisan fasya, adakah yg ngulas jln2 bareng ke bukit moko dan di situ ada si empunya cerita ini
    *kepo ams lirik lagu kungpao chicken
    *dia jurusan bahasa kah kok dosennya mnilai banyakan tulisannya ada ngarah ke cabul

    Tp memang sih, kdg serba bingung mau mencitrakan diri gemana, maksud gw klo di lingkungan yang uda saling kenal rasanya nggak masalah karena sama sama tau itu cuma ledek ledekan sesama cowo, biasanya mang wajar sih bahas yang kayak gitu

    Nah lain perkara kalau ketemu dg orang asing, orang asing ini ga kenal sepenuhnya watak kita, cuma tau dari tulisan tapi langsung ngecap kitanya gimana gitu, otomatis emang bikin dilema sih, susah mengatakannya...tapi gw dapet pointnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih buat pujiannya, Mbak. Nanti saya sampaikan ke Wawan.

      Soal Fasya, itu bisa jadi hanya nama yang kebetulan sama. Untuk lagunya, semoga tidak kaget. Terus tentang kuliahnya, memang disebutkan dia Jurusan Sastra Indonesia.

      Makanya ada pepatah yang mengatakan: anjing tidak akan menggonggong kepada orang yang dikenalnya.

      Delete
  6. Si Wawan overthinking juga ya rupanya. Untung dia ketemu Yoga Akbar Solihin. Coba ingetnya nama Ichsan Ramadhan. Makin rusak udah itu. :))

    ReplyDelete
  7. Itu udah jadi branding di sosial media gak sih? Dan ya, memang susah gantinya.

    Di luar Rani yang berpikir seperti itu, gue malah percaya kalo mereka yang menunjukan X di luar, malah enggak X. Ngerti gak? Wkwk. Kayak misalnya tulisan lo mesum, atau di blog Icha, dia mesum. Orang-orang kayak kalian malah aslinya gak semesum itu. Seringnya malah yang terlihat 'bersih' yang mesum. Gitu sih.

    Eh gimana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa jadi, Rih. Tapi terserah orang lagi mau menilai gue semesum apa. Setelah kemarinan protes di Twitter dan rasanya enggak penting juga, sekarang gue udah mulai berdamai.

      Yang menunjukkan dirinya taat beribadah, gemar ceramah di medsos, ternyata bokepnya segudang. Misalnya begini, kah?

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.