Burung Berkicau, Kafilah Berlalu

“Selama masih ada manusia, benci juga akan tetap ada.” –Uzumaki Nagato 

--

Saya berniat menahan diri untuk tidak sering-sering membuka Twitter dan berkicau mulai 1 September 2019. Daripada banyak bacot, saya pikir lebih asyik memperbanyak baca buku. Sayangnya, novel yang sedang saya baca—Seribu Burung Bangau, karangan Yasunari Kawabata—itu kisahnya justru mengharukan. Saya perlu mengalihkan kesedihan dengan mencari hiburan di Twitter. Biasanya di sana terdapat video-video lucu. Belum ada satu menit menyimak lini masa, bukannya terhibur saya malah jengkel bukan main. Saya terpicu oleh sebuah utas yang pernyataan-pernyataannya tampak tolol, sehingga saya menyempatkan diri untuk membalas opininya. Sikap bergeming saya yang sudah berjalan lima hari itu pun akhirnya gagal pada hari keenam. 



Kesimpulan dari utas itu begini: 

1. Ada seorang bloger bernama Sobat Gurun bertanya, apakah bisa sesama bloger saling mendukung dengan cara saling mengikuti media sosial meskipun tidak saling mengenal, juga belum pernah bertemu? 

2. Tapi pada kalimat berikutnya, dia sendiri justru meragukannya. Lalu, dia dengan cerobohnya juga menilai para bloger ternama enggak akan mau mengikuti balik bloger pemula karena mereka sudah punya banyak pengikut, sudah memiliki banyak tulisan di blognya, dan namanya terkenal di lingkungan bloger. 

3. Sobat Gurun bahkan juga berasumsi bahwa para bloger senior—khususnya yang telah memiliki banyak prestasi—alergi sama bloger yang baru mengenal dunia blog.

4. Ketika Sobat Gurun mendapatkan jawaban dari beberapa bloger tentang saling mengikuti medsos yang tergantung dari konten dan minat masing-masing, dia tampak begitu kecewa sebab tadinya mengira anak bloger tuh asyik semua.

5. Dia tidak setuju dengan pertemanan yang pilih-pilih. 

Kelima poin itu pun bisa dibuat lebih simpel lagi: Sobat Gurun ingin punya banyak teman bloger (dalam konteks pertemanan yang saling mengikuti media sosial), apalagi kalau bisa akrab sama bloger senior yang sudah terkenal.

Lantaran hal itu, saya langsung berspekulasi bahwa ia sebenarnya kepengin mencari pengikut sebanyak-banyaknya dengan tujuan menjadi buzzer atau bloger yang mendapatkan bayaran dari mengiklan di blog maupun medsos. Biasanya kan untuk menjadi buzzer membutuhkan syarat minimal pengikut—harus menyentuh angka 1.000, misalnya. Jadilah saya menjawab pernyataan dia tersebut: 

Bisalah, Sob. Beberapa teman bloger saya hari ini, pas zaman 2014-2016 rata-rata belum pernah ketemu langsung. Sebelum follow di medsos, kami saling mendukung dengan meramaikan kolom komentar. Kami gantian blogwalking (dengan tulus, bukan cari trafik). Jadi, enggak ada masalah soal pemula.

Sekarang pertanyaannya, kau cari followers buat apa? Menggenapkan syarat minimal menjadi buzzer? Live twit? Mengiklankan produk? Kalau itu tujuannya, biasanya saya malas banget buat mengikuti balik akunnya.

Beberapa kawan saya kini ada yang memilih jalan itu. Saya tidak keberatan. Karena sebelumnya sudah bertemu dan kenal. Saya mencoba menghargai pilihannya. Lalu, jika itu orang asing dan yang saya dapatkan di medsosnya hanya iklan, iklan, dan iklan. Interaksi juga tidak ada. Terus buat apa? 

Hitungan hari telah berganti menjadi minggu sejak saya melempar kalimat itu, tapi Sobat Gurun belum juga merespons pertanyaan saya. Mungkin tuduhan saya itu ada benarnya. 

Saya sih masih tak habis pikir dengan Sobat Gurun yang bisa-bisanya berpendapat bahwa anak bloger itu asyik semua. Dia sepertinya belum tahu kalau beberapa bloger pada tukang gibah. Namanya hidup kan punya dua sisi. Ada yang baik, ada yang kayak tai. Nah, saya termasuk bagian buruknya. Setidaknya, saya masih berusaha jadi tai yang nantinya bisa diolah jadi pupuk kompos. Entah kapan bermanfaatnya, yang penting saya masih mau berproses menjadi lebih baik.

Saya juga tak tahu apakah Sobat Gurun itu termasuk anak baru yang bermain Twitter atau baru hijrah dari Facebook (saya tak ingin repot-repot menyelidikinya), sebab kebanyakan orang sudah tahu bahwa Twitter itu fungsinya buat mengikuti akun-akun yang menarik minat kita. Bukan mengikuti akun teman sebagaimana Facebook yang membutuhkan persetujuan dan akhirnya menjadi mutual. Jadi, jika ada seorang teman yang mengikuti akun saya, lalu saya tidak tertarik dengan isi medsosnya, kemungkinan besar tidak akan saya ikuti balik. Seandainya ada rasa tidak enakan, palingan saya tekan “follow”, terus langsung pilih “mute”. Bagi saya, hal itu sah-sah saja. Lagian, kita memang punya hak buat memilih teman, bukan?


Poin kelima dari pernyataan Sobat Gurun ini masih lucu sekali. Setiap manusia berhak mau memilih makan pakai lauk apa, membaca buku jenis apa, menonton film genre apa, kuliah di mana, kerja di mana, pacaran sama siapa, menikah sama siapa, dan sebagainya. Begitu juga dengan memilih teman, Sob. Kalaupun dikasih uang satu juta, saya tetap enggak akan pernah mau berteman sama Sobat Gurun. Kalau seratus miliar mungkin saya baru mau, tapi itu jelas pengandaian yang tidak mungkin. Intinya, saya tetap tidak sudi berkawan dengannya.

Dari kalimatnya yang terlihat sangat ingin adanya saling mengikuti akun sesama bloger, saya pikir dia sungguh-sungguh berusaha memaksakan standarnya itu kepada semua bloger. 

Saya jadi ingin bercerita sedikit kepadanya. Saya sudah ngeblog dari 2012 (pertama kali bikin), terus mulai aktif 2015, tapi sampai hari ini pengikut saya di medsos masih segitu-segitu aja. Tidak ada yang mencapai seribu. Mungkin karena saya tidak mengikuti balik mereka, terus sebagian dari mereka akhirnya menekan kembali tombol unfollow. Mungkin juga karena saya akhir-akhir ini sungguh sinis dan menyebalkan. Toh, saya memang tak berharap punya banyak teman ketika bermain medsos. 

Sobat Gurun kemudian memberikan alasan bahwa mengikuti akun medsos sesama bloger itu merupakan bentuk dukungan. Oh, ayolah, kau tak usah mengucapkan kalimat munafik kayak begitu. Kau membutuhkan banyak pengikut buat syarat menjadi buzzer, kan? Kau kan tahu zaman sekarang sudah banyak penjual followers, keluarkan modal sedikit apa susahnya, sih? Atau kau tidak suka dengan kepalsuan semacam itu? Lantas, teman-teman yang hanya sekadar angka tanpa interaksi itu bukankah juga bentuk kepalsuan? 

Namun, jika niatmu itu benar-benar ingin saling mendukung sesama bloger, saya pikir kau ialah manusia yang begitu mulia sekaligus goblok. Saya dan beberapa kawan sepertinya tak butuh dukunganmu. Meskipun tidak mendapatkan dukungan atau saling support—kata Sobat Gurun itu, alhamdulillah saya sejauh ini bisa tetap mendukung diri sendiri. Apalah artinya didukung orang lain, Sob, kalau dirimu sendiri itu pada dasarnya makhluk pemalas? Tapi tenang saja, saya juga termasuk pemalas, kok. Makanya hobinya cuma leyeh-leyeh membaca buku sembari sesekali menulis di blog buat menghibur diri sendiri.

Mulanya saya berpikir masalah tentang Sobat Gurun itu sudah kelar sehabis banyak bloger yang tidak sependapat dengannya. Nyatanya, dia justru mempertegas gagasan bodohnya tersebut lewat tulisan blog bertajuk “Bloger: Fenomena Berteman Sebatas Konten.” Lalu, Teh Fasya, teman bloger yang tidak setuju dengan opini Sobat Gurun, membuat antitesisnya: Berteman (Tidak) Sebatas Konten. Sepertinya apa yang Fasya sampaikan sudah cukup mewakilkan saya. Saya tak perlu membahasnya lebih jauh. Saya palingan hanya menambahkan sedikit. 

Wahai Sobat Gurun, sebelum kau menerbitkan tulisan di blog, tolong jangan malas menyunting. Cek kembali susunan kalimatnya. Baru baca paragraf pertamanya saja saya sudah mual bukan main lantaran kebanyakan tertawa. Dia menyuguhkan kalimat supaya pembacanya lapangan dada dan berpikiran terbuka. Lapangan dada itu apa? Saya tahunya lapangan sepak bola, lapangan basket, atau lapangan pekerjaan. Oh, apa maksudmu itu berlapang dada? Tapi, boleh jadi diksi lapangan dada itu memang ada. Kemampuan kosakata saya mungkin yang keterlaluan payah. 

Saya lantas kembali mengakak membaca kalimat berikut ini: “Yang membuat aku bingung, sejak kapan anak bloger membuat dan menyebarkan konten negatif, porno dan ujar kebencian? (saya langsung salin tempel dari blognya tanpa memperbaiki kalimatnya). 

Sepertinya Sobat Gurun memang belum menjelajahi dunia blog terlalu jauh. Dia pasti tak tahu, pada masanya—sekitar 2015-2016—saya pernah mengisi blog ini dengan kejahatan yang dia sebutkan (pembaca lama blog saya pasti tahu saya lumayan sering menghadirkan cerita mesum). Syukurlah saya sekarang sudah berhijrah. Toh, selain hal mesum, gesekan-gesekan di dunia blog juga lumayan banyak. Masa sih dia belum pernah menemukan tulisan bloger yang lagi menyindir bloger lain—bahkan komunitas lain? Seandainya belum, tulisan Fasya tadi bisa menjadi contoh. Teks-teks yang saya susun dengan penuh kebencian ini juga bisa menjadi bukti. 

Yang paling menggelikan dari kalimat Sobat Gurun sepertinya yang ini: 



Kenapa sih kau terlalu memaksa bloger buat saling meretwit, Sob? Sepenting itukah sebuah engagement? Sejauh yang saya tahu tentang tetek bengek ngeblog itu begini: Jika tulisanmu bagus, orang-orang bakal mencarinya. Menunggu-nunggu kapan terbit tulisan baru. Mereka pun rela berkunjung balik lagi dan lagi. Kalau memaksa dan mengemis retwit mah kayak orang yang enggak memiliki integritas.

Sebetulnya saya sudah tidak tega menjotos sobat gurun dengan kalimat-kalimat sinis semacam ini. Apalagi hantaman bloger lain di media sosial sudah cukup bikin dirinya bonyok. Tapi untuk terakhir kalinya, saya sangat ingin berkata kepadanya—meminjam jurus maut yang saya pelajari dari seseorang di bagian penerbitan: “Tulisanmu masuk kategori jelek aja belum.” Dengan kata lain, masih di bawahnya jelek. Sori ralat, di bawahnya-bawahnya-bawahnya jelek. 


Saya mencoba melupakan persoalan Sobat Gurun dengan mengejek diri sendiri lewat gambar ini. 


Caption: Baru sadar kalau foto profil saya tuh illuminati. Bisa pas gitu kaosnya terlipat menjadi mata satu. Hmm. 

Agia tiba-tiba mengingatkan saya untuk berhati-hati karena foto itu rentan menjadi bahan meme. Saya pun meresponsnya tidak apa-apa, asalkan tidak semenyedihkan meme Dian Hendrianto.



Rupanya, sikap tidak keberatan saya tersebut langsung menjadi bahan iseng Agia seperti berikut. 



Saya otomatis terbahak-bahak. Baru sadar bahwa posisi foto saya dan Sobat Gurun itu sama-sama menengok ke samping dan bisa dibikin saling bertatapan. Mungkin Agia—yang seolah-olah menjadi wasit di antara saya dan Sobat Gurun—tampak bosan dan gemas melihat Sobat Gurun cuma terdiam menerima pukulan-pukulan saya tanpa adanya serangan balasan. 

Saya tidak akan ambil pusing dengan diamnya itu. Saya justru dapat belajar sesuatu hal dari bergemingnya Sobat Gurun—yang entah tak mampu memukul balik atau memang tidak suka memperkeruh suasana: Adakalanya kita lebih baik diam daripada memperdebatkan gagasan yang jelas-jelas berseberangan.

Hingga nanti hari kiamat datang, mungkin Sobat Gurun akan terus berpikir bahwa setiap bloger bisa saling mendukung satu sama lain, sedangkan saya juga berpegang teguh dengan keyakinan Pain alias Uzumaki Nagato, “Selama masih ada manusia, benci juga akan tetap ada.” Dan saya benci orang yang gagasannya setolol itu.


Mumpung jiwa iseng dan hasrat bacot saya lagi menggebu-gebu, saya akhirnya gantian bikin meme buat Agia yang foto aibnya pernah tersebar. Inspirasi meme ini saya ambil dari situs rujukan: Agia, asisten dosen termuda di UIN Bandung




Ini sebuah kehormatan bagi saya bisa membalas meme Agia—si tukang mengejek paling asyik. Meski begitu, saya cuma berharap bercandaan-bercandaan itu tidak pernah melukai hati kawan-kawan saya. Sebagaimana saya tertawa ketika diledek, walaupun saya tahu sensitivitas setiap manusia itu berbeda-beda, saya hanya ingin mereka juga bersikap demikian. 

Sebab terakhir kali saya berkata sesuatu hal seenak jidat kepada penulis koplak-koplak itu, dirinya sempat marah terhadap saya. Entah kemarahannya itu masih berlanjut atau enggak, saya tak peduli. Saya sih berprinsip, ketika kau berani memarodikan dan meledek seseorang atau sesuatu hal, kau juga harus siap dibalas. Perang meme itu buat saya bagaikan saling mengejek antarteman di tongkrongan suatu warkop. Tapi ketika ada yang tampak sakit hati, ya udah. Biasanya beberapa teman akan mencoba mengerti, terus dia enggak akan disenggol-senggol lagi. 


Berbicara soal mengejek, sewaktu menjelang tengah malam—masih pada hari yang sama ketika lini masa saya dan beberapa kawan dipenuhi topik Sobat Gurun, ternyata ada seseorang yang diam-diam membicarakan kesinisan antarbloger tersebut. 





Saya tahu tentang hal itu agak terlambat. Jika seorang kawan tidak mengirimkan screenshot dengan pertanyaan, “Twit dia tuh buat kita, ya?”, mungkin saya juga tidak akan pernah mengetahuinya. 

Saya tadinya tidak ingin kepedean. Tapi ketika coba menganalisis twitnya yang hanya berbeda empat menit, lalu gaya ngetwitnya yang dibumbui “wkwkwkwk” (biar terkesan lucu, padahal tidak sama sekali) juga serupa, bisa disimpulkan itu tertuju buat saya dan beberapa kawan. Apakah ada bloger lain yang sinis? Setahu saya, cuma kami yang sinisnya kelewatan terhadap Sobat Gurun. 

Saya mulanya juga sempat merasa malu jika keributan itu menjadi bahan tertawaan orang di sekitar. Namun, karena saya anaknya kurang peduli dengan komentar orang lain, saya cuek saja setiap kali mengetwit—baik itu buat mengeluh, bercerita tentang kesibukan dalam sehari, ataupun membahas persoalan cinta; saya akhirnya merenung dan menyimpulkan: bukankah itu asyik buat kalian, khususnya Iqbal (orang yang bikin twit itu), bisa mendapatkan hiburan secara gratis? Karena ada orang-orang yang perlu membayar ratusan ribu terlebih dahulu buat menonton Stand Up Comedy demi mencari suatu hiburan.

Lagi pula, kenapa dia seakan-akan kaget dan baru tahu hal semacam itu, ya? Sejak dulu masalah di dunia bloger yang sejenis kan sepertinya sudah cukup banyak. Jika ada silang pendapat, terus berdebat, dan bahkan musuhan, itu lazim terjadi. Sama kayak di dunia tulis-menulis, saling kritik, saling ejek. Idrus pun pernah mengomentari Pramoedya Ananta Toer: “Pram, kamu itu tidak menulis. Kamu berak!” 

Kalau dia memang merasa lucu ketika melihat bloger sinis dengan bloger lainnya, lantas kenapa dia ujung-ujungnya ikutan sinis? Mana di kalimatnya itu dia menggeneralisasi satu lingkaran pula. Saya sih cuma membayangkan kalau dia betulan enggak suka sama pertemanan kami (atau lingkaran siapalah yang dimaksud), lalu menyenggol begitu, nanti bakalan ada yang gantian membalas, “Kau pikir dirimu asyik, hah? Becerminlah. Apakah ngatain ‘SJW tai’ itu enggak sok rebel?” 

Seandainya hal ini termasuk salah paham, saya tetap akan memegang prinsip yang sempat saya katakan di atas, “Ketika kau berani meledek seseorang atau sesuatu hal, kau juga harus siap dibalas—entah oleh siapa pun itu.”

Saya pun menganalogikan kejadian tersebut begini: 

Saya dan beberapa kawan lagi asyik membaca buku di sebuah taman. Lalu saya mendengar ada seseorang berteriak di dekat situ. Berhubung saya memakai earphone, saya tidak mendengar dengan jelas kalimatnya ataupun siapa yang mengeluarkan suara. Agus, kawan yang duduk di sebelah saya, pun memberi tahu saya sembari menunjuk orangnya, “Dia tadi teriak, ‘Lucu melihat orang-orang baca buku di taman’, terus dia juga mengejek kita sok kutu buku, Yog.” 

“Dia emang bermaksud mengejek kita atau orang lain, Gus?” tanya saya. 

“Mungkin emang buat kita. Ini perlu kita balas atau didiamkan aja?” 

Saya malas berkeliling taman untuk memastikan siapa orang yang dia ledek itu. Saya tadinya juga sudah ingin menahan diri, tapi entah mengapa mendadak terkenang ucapan Gaspar di akhir bab satu novel 24 Jam Bersama Gaspar—versi modifikasi, “Kalau kau menjadi temanku, aku siap untuk mengejek semua musuhmu. Kau cuma perlu menaati satu peraturan: jangan pernah menusukku dari belakang alias berkhianat.” Dan begitulah kisah bergulir hingga saya gantian mengejeknya. 

Jika ada seseorang yang melihat perseteruan kami kemudian berkomentar, “Sesama cowok kok bisanya adu bacot. Langsung ketemuan dan baku hantam dong.” Saya akan menjawab, maaf ya, cara kekerasan seperti itu buat saya sudah kuno. Apakah itu jawaban dari seorang manusia yang bisanya cuma cari-cari alasan? Baiklah, saya akan mengaku bahwa diri ini payah dalam bertarung. Fisik saya tidak mumpuni buat berkelahi. Saya bahkan sudah lupa rasanya memukul orang—terakhir kali bertengkar fisik sudah 8-9 tahun silam saat SMK. Saya memang tak suka perkelahian semacam itu. Sebagai seorang bloger, senjata saya adalah tulisan. Jadi, saya pikir sebuah tulisan mestinya juga dibalas dengan tulisan. Gagasan dibalas dengan gagasan. Esai dibalas dengan esai. Kritik dibalas dengan kritik. Ejekan dibalas dengan ejekan. Maka, sesudah ini siapa pun boleh menyerang saya dengan kalimat-kalimat keji seandainya ada yang tidak terima atau keberatan dengan tulisan ini.

Namun, sekalipun saya bebas mengutarakan apa saja di dalam tulisan, sebisa mungkin saya berusaha agar tidak menghina fisik seseorang. Saya memilih menyerang pemikirannya yang sok tahu itu dengan argumen saya yang tak kalah sotoy

Saya sampai hari ini masih heran dengan kalimat-kalimat yang gemar menyerang lingkaran orang lain semacam itu. Selama situasinya berada di tempat umum (dalam artian platform di dunia maya), kau kan bisa pindah ke tempat lain jika tidak menyukainya. Kau pun bisa berhenti melihat atau mendengarnya. Dia yang risih, kok jadi kami yang repot dan disuruh diam. Maka, buat Iqbal atau siapa pun yang tidak suka dengan lingkaran orang lain, bahkan bisa juga untuk mengingatkan diri sendiri, saya rasanya ingin meminjam kalimat dari Yasu di film animasi Nana, “Jika kau punya banyak waktu luang buat merusak kebun orang lain, cobalah tanam bunga di kebun milikmu sendiri.”


Waktu itu saya pernah berharap agar dunia blog dapat ramai lagi. Tapi yang jelas bukan dengan drama tai kuda semacam ini. Saya tak tahu kenapa belakangan ini begitu berisik di dunia maya. Mungkin jiwa sinis saya sedang meluap-luapnya. Kalau kau tidak menyukai setiap twit dan caption saya, berhentilah mengikuti akun media sosial saya. Jika tidak suka juga dengan tulisan-tulisan saya, kau juga tidak perlu membaca blog ini. Seandainya sikap songong yang seperti ini membuat saya tidak memiliki teman lagi, saya akan berusaha menerimanya. Lirik Aku Adalah Aku dari ThirteenJkt berikut ini sepertinya mewakilkan diri saya: “Maafkan aku bila terkesan sombong, tapi aku bahagia hidup tanpa pembohong. Maafkan aku bila merendahkan mereka.” 

Saya palingan setelah ini akan kembali berkawan dengan buku-buku saja sebab, mengutip novel Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya garapan Sabda Armandio, buku enggak akan menyakiti pembaca seperti manusia menyakiti manusia lain.

--

PS: Kalimat asli Gaspar di dalam novelnya, “Kalau kau menjadi temanku, aku tak segan-segan menghancurkan hidup musuh-musuhmu. Kau cuma perlu menaati satu peraturan: jangan pernah menyentuhku dari belakang.

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/animal-forest-wood-bird-wild-birds-4365856/

25 Comments

  1. Kusuka gaya kau, Sob! Hahaha tailah. Gue jadi pengen nulis juga, tapi kayaknya bakal nyerang sisi teknisnya Sobat Gurun yang sungguh berantakan itu. Dan kemungkinan besar dia enggak bakal paham, jadi gak usalah. Hahahaha.

    Btw semenjak ketemu lo pertama, jiwa sinis dan pengen ngatain orang yang udah lama gue pendam tiba-tiba bergejolak lagi. Influence lu sungguh luar biasa, Yog. Hahaha. Oh iya satu lagi. Fisik gue sama kayak elo, gak mungkin menang dalam pertarungan fisik. Cuma kalau ada yang nantangin, gue akan terima. Fisik atau otak, ayo gue berani. HAHAHAHAHAHA. Semoga sObAt GuRuN baca deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo mau adi fisik, minta bantuan Maha Santri aja.

      Delete
    2. Aku dukung Firman nulis. Dia gak paham gapapa, diawal tulisan kamu mulai aja dengan kalimat : teman-teman, silahkan baca dengan berlapang dada dan pikiran terbuka.

      Delete
    3. Saya lebih suka kalo Sobat Gurun Anda ajak untuk podcast minggu depan dengan tema Komunitas Blogger Yang Seru - Diabaikan sampai sok asyik

      Delete
    4. Firman: apakah virus kebencian memang sekuat itu? Band Dewa pasti sedih mengetahui hal ini, sebab mereka kan laskar cinta yang suka menyebarkan benih-benih cinta dan memusnahkan virus-virus benci. Hahaha. Sobat Gurun mau mengajak berkelahi juga mikir-mikir, Man. Dari Palembang ke Makassar kan jauh. Lu coba main ke tempat Rido dulu. Siapa tau nanti ketemu dia. XD

      Dian: Ide bagus, Yan. Seru juga kayaknya nonton mereka gulat kayak Smack Down, ya? Undertaker vs Khali.

      Fasya: Muahaha. Kalimat pembuka kayak begitu akan lucu sampai kapan, ya?

      Haw: Boleh juga nih jadi bintang tamu di Podcast Blogger.

      Delete
    5. Hahahaha. Next time kalian akan jadi tamu di Podcast Blogger satu per satu. Harus mau!

      Eh kalau gue nyamperin Sobat Gurun ke Palembang, kira-kira dia bakal mau gak ya? Jadi pengen main ke sana hahahaha

      Delete
  2. Dari Twitter, terus (setahu saya) udah ada dua bloger yang menuliskannya di blog, apakah bakal berlanjut menjadi sebuah buku layaknya thread KKN di desa sebelah? *jadi rame hehehe

    Saya juga termasuk orang yang pilih-pilih masalah follow-perfollowan di media sosial sih. Ya, prinsipnya kurang lebih sama kayak kamu, Yog. Konten menarik, baru saya follow.

    Kalau masalah pergibahan sesama bloger, jujur, kayaknya saya baru nemu (dan ngikutin) yang ini. Maklum, memang belum lama aktif ngeblog lagi. Tapi kalau masalah tulisan-tulisan mesum, saya menemukan banyak--malah itu jadi salah satu alasan kenapa saya jadi seneng buka & baca blog XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi kumpulan artikel bisa sih, Wis. Tinggal cari sepuluh bloger lagi buat menulis tentang kebencian bloger satu sama lain. Wqwq.

      Gibahnya pada offline biasanya. Kayak sepulang dari meliput acara, pasti ada aja satu lingkaran membicarakan lingkaran lain. Dari mana saya tahu? Saya tidak sengaja menguping dan seorang penyimak yang baik. Ehehe.

      Iya, banyak kok sebetulnya yang pakai bumbu mesum di tulisan. Kata atau kalimat yang mengandung unsur pornografi pada masanya ampuh buat SEO sekaligus menjebak orang-orang yang betulan mesum nyasar ke artikel para bloger.

      Delete
  3. Ku ingin nraktir Yoga makan karena sudah menulis semantap ini. Hayu makan-makan!

    ReplyDelete
  4. fak. sobat gurun banget namanya anjir 😂😂😂

    kalau baca tulisan dia sih, memang banyak pernyataan yang arahnya kurang jelas dan kesimpulan-kesimpulan yang keliru.

    dan setuju banget sama tulisan fasya, terutama soal konten dan bikin jaringan pertemanan.

    omong-omong, sobat gurun ini emang buzzer lho. beliau nyantumin itu di profil blognya. yha 😂😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya makanya dia ngebet dapat banyak followers biar job mengalir terus wkwkwk

      Delete
    2. apakah beliau tidak tahu bahwa rezeki bukan diukur dari seberapa banyak followers, melainkan seberapa rajin ibadah? astagfirullah...

      Delete
    3. masyaallah, akhi. gua gampar lu ya

      Delete
    4. Mungkin dia berasal dari Desa Sunagakure (film animasi Naruto). Ternyata dugaan gue memang benar bahwa dia buzzer. Tanpa harus cari tahu lebih lanjut, itu sudah kentara dari niatnya berteman dengan banyak bloger. Hahaha.

      Delete
  5. Setuju banget ama pemikiran kamu mas.
    Ya kalo tulisannya bagus, pasti bakal ada yang share kok, kalo nggak bagus, ya berusaha jadi lebih bagus dong.
    Jangan memaksakan prinsip ama orang lain.

    Masalah follow memfollow pun, saya sih milih-milih, kalo menarik ya saya follow aja.
    Memang akibatnya follower saya nggak nambah-nambah, tapi peduli amat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebagian orang sibuk mencari dukungan orang lain tanpa mau mendukung dirinya sendiri. Daripada repot-repot menanamkan gagasan supaya bloger saling bantu retwit, kayaknya lebih asyik memperbaiki cara berpikir dan menggarap tulisan.

      Betul. Apalah arti angka-angka sialan itu buat orang yang tidak berniat menjadi pengiklan atau selebritas?

      Delete
  6. Kerika melihat foto "kaos iluminati" lalu beralih ke "about me", sungguh beda. Wkwk..

    Salam blogger "pemula" mas, hiks..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perbedaan antara rambut gondrong dan klimis itu memang bisa mengubah penampilan saya secara signifikan. Apalagi ditambah kacamata.

      Delete
  7. begitulah seharusnya bijak menggunakan media

    ReplyDelete
  8. Apalah artinya didukung orang lain, Sob, kalau dirimu sendiri itu pada dasarnya makhluk pemalas?
    Yak jlep. Wkwkwkwkw. Aku dong gitu.

    Kalau soal dukung-dukungan, boleh lah aku bilang.
    "SESAMA BLOGGER KALAU MAIN KEBLOGKU, KLIK IKLAN ADSENSENYA DONG BIAR DAPAT CUAN."
    Gitu bole kali ya kalo mau to the point ? daripada berbelit belit terus malah jadi ambigu, wkwkkwwk.

    Btw btw. Aku ga mihak siapapun, tapi jujur aku jg tersentil sama statement masnya perihal blogger lama dan blogger baru. Ga tau maksudnya apa. Hweehehe.

    Sama perihal ini nih, Follow-Follow an, ritwit2 an. Gemes deh.

    Dulu sempet tuh instagram error, gatau kenapa aku jadi unfollow banyak orang. Terus ada lho yg sampe DM aku, kenapa aku unfolow dia ?
    Untungnya dia temen udah kenal, jadi ya aku follow back wkwk sambil minta maaf kayanya instagram lagi error.

    Tapi kalau orang ga kenal. siapa dia? tiba tiba minta follow back. Laaaaah itu yg nyebelin. Padahal follow back yang ikhlas itu yang nantinya akan berlanjut ngobrol dan nyambung. Hahahahaha.

    Bukan maksud sombong, tapi seiring bertambah usia, milih siapa yang mau difollowback itu emang hak kita, terlepas bagus apa nggak kontennya. Yang penting kita butuh apa nggak, suka apa nggak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ida jangan malas-malas makanya. :p

      Kalau ketahuan Google soal menyuruh kayak begitu di tulisan, adsense kamu bisa diblokir loh, Da. Wahaha.

      Sekalipun kamu teman saya, kamu enggak perlu memihak juga. Itu pendapat-pendapat saya juga ada kemungkinan salah di mata orang lain.

      Yoi, enggak perlu memaksa. Sesuka hati saja mau berteman dan mengikuti siapa pun di media sosial.

      Delete
    2. Iyaa makanya. Nyuruh nyuruh itu kan ilegal ya.

      Macem nyuruh orang klik iklan adsense. Sama hal nya kayak nyuruh komen, nyuruh followback, nyuruh retweet. Ilegal, dan bisa diblokir dari pandangan mata blogger lainnya *halah apa sih wkwk

      Delete
    3. Begitulah. Orang yang mengemis minta like, retwit, dan klik tulisan itu ganggu banget.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.