Menjawab 30 Pertanyaan tentang Film (Bagian Satu)

Di Twitter, saya memperhatikan Agia, Firman, dan Justin yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang film. Saya sering melihat beberapa orang memainkan kuis semacam itu untuk mengisi waktu dan mungkin telah menjadi ajang tahunan dengan berbagai macam tema; dari mulai film, buku, musik, anime—bahkan yang lebih spesifik seperti One Piece. Kalau saya perhatikan lebih mendalam, pertanyaan-pertanyaan itu juga tidak banyak berubah setiap tahunnya. Hanya pengulangan-pengulangan dari pertanyaan yang sudah ada. Entah itu ada sedikit dimodifikasi, atau malah cuma diubah urutan pertanyaannya.

Meskipun demikian, saya pernah ikutan sekali pada dua tahun silam dengan tema buku. Sayangnya, pada kemudian hari perlu saya hapus karena malu dengan jawaban-jawaban yang tampak miskin referensi. Setahun yang lalu saya juga sempat ingin mengikuti kuis tentang film, tapi masih sangat minder sebab belum banyak menonton film dan takut merasa payah dalam menjawabnya. Saya berpikir, nanti sajalah kalau rujukannya sudah mendingan.

Tahun ini saya mulai mencoba lebih banyak menonton film. Referensi saya kayaknya tidak terlalu culun lagi. Saya pun jadi pengin ikutan seperti kawan-kawan di Twitter. Tapi, saya rada malas jika jawaban tersebut harus dibatasi dengan jumlah karakter. Saya mau menjawab sesukanya. Tak ingin singkat-singkat. Maka, tercetuslah ide untuk menjawabnya di media yang lebih asyik. Lumayan juga buat menambah jumlah tulisan di blog.




Baiklah, sudah cukup basa-basinya. Lebih baik saya langsung menjawab 30 pertanyaan tentang film berikut ini:




1. Film favorit 

Inception (2010). Film yang bercerita soal menanamkan gagasan di kepala orang lain lewat mimpi bertingkat itu cukup melekat di benak saya. Bagi seorang penulis, hal itu sama seperti menyisipkan ide kepada pembaca. Saya jadi berpikir lebih jauh tentang gagasan. Bagaimana cara menawarkan hasil pemikiran saya ini kepada orang lain tanpa mereka sadari? Lebih-lebih tanpa harus menggurui maupun berkhotbah. Orang-orang jelas tidak suka diberikan nasihat, apalagi diceramahi. Jadi, saya perlu mencari cara yang dapat menghibur ataupun menggembirakan mereka. Sebagaimana jalan cerita filmnya yang merancang sebuah kisah di dalam mimpi, berarti jawabannya bisa dilakukan dengan mendongeng. Akhir film yang menggantung itu pun membuat saya menebak-nebak, apakah dia sudah benar-benar kembali ke realitas, bukan lagi bermimpi? Saya jadi berpikir: sepertinya asyik juga bikin penonton atau pembaca bingung dengan kisah yang kita suguhkan, apakah itu nyata atau fiksi.


2. Film yang terakhir ditonton 

Di bioskop: Avengers: Endgame (2019). Film penutup seri Marvel Cinematic Universe yang memukau, bahkan ciamiknya melebihi harapan saya. 

Di situs ilegal: The Graduate (1967). Film yang membuat Tom Hansen kecil (tokoh di film 500 Days of Summer) salah menafsirkan penutup ceritanya itu, entah kenapa bikin saya penasaran. Apalagi kemarinan saat 10 tahunan film itu, ada banyak komentar yang mengacu ke film The Graduate. Saya pernah membaca sedikit tentang novel The Graduate karya Charles Webb dari buku kiat menulis A. S. Laksana, Creative Writing. Pak Sulak menjelaskan bagaimana bikin dialog yang bagus dengan mencontoh suatu adegan di novel itu. 

Berhubung saya belum memiliki novelnya dan tidak tahu versi terjemahannya sudah tersedia atau belum, lantas terbitlah keinginan saya untuk belajar dari filmnya saja. Saya juga sekalian ingin mencoba menikmati film-film lawas. 

Kisah dibuka dengan adegan protagonis merasa tidak nyaman ketika harus bertemu dengan banyak orang di acara perayaan kelulusan yang digelar oleh orang tuanya, lalu diberondong dengan peluru-peluru pertanyaan mematikan. Orang yang baru lulus biasanya akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari keluarga, para kerabat, teman, dan tetangga: “IPK-nya berapa?”, “Habis lulus mau lanjut ke mana?”, “Mau kuliah lagi, kerja, atau menikah?”, “Eh iya, pasanganmu mana? Kok enggak datang di acara perayaan ini?”, dst., dsb. 

Cerita tentang kebingungan orang yang berada di fase baru lulus ini rupanya bergerak ke arah yang tak terduga. Protagonis bukannya merencanakan maupun mempersiapkan sesuatu untuk masa depannya, tapi justru mengisi kekosongannya dengan tindakan-tindakan tolol. Kisah cinta di film ini terasa goblok banget buat saya. Namun, bukankah dalam persoalan cinta kita memang sulit untuk mengendalikan logika? Pokoknya, film romansa komedi ini cukup menghibur. 


3. Film aksi favorit 

Kill Bill 1 dan 2 (2003 dan 2004). Film ini jelas kudu ditonton sepaket. Cerita balas dendam yang dikisahkan secara aduhai. Alur kisahnya pun bagi saya begitu asyik untuk belajar menyusun cerita. Ditambah lagi ada kejutan di akhir film yang terasa bajingan betul.


4. Film horor favorit 

Lagi-lagi harus sepaket. Insidious 1 dan 2 (2010 dan 2013). Saya jadi ingin bercerita sekaligus melantur, kenapa memfavoritkan film ini. Semua bermula ketika saya sedang main ke indekos Agus—salah satu teman kantor. Selain saya, tentu ada kawan lain yang datang, Indra dan Fahmi. Kami berempat pun bermain PES dari habis Magrib sampai pukul sembilan. Setelah bosan dengan permainan bola itu, Agus mengusulkan menonton film yang ada di laptop saya. Pilihan di laptop saya amatlah sedikit. Lalu, pilihannya jatuh ke film Insidious. Saya waktu itu dikasih fail filmnya oleh Indra. Saya belum sempat menontonnya. Berhubung tak suka film horor, Fahmi kemudian memilih pulang. Lagi pula besok juga harus bekerja. Dia sulit bangun pagi.

Sebetulnya, horor juga bukanlah genre yang saya minati. Saya terkadang juga membencinya, sebab kerap terbawa hingga ke alam mimpi. Film horor pasti bikin tidur saya kurang nyenyak atau sedikit-sedikit terbangun lantaran mimpi buruk sialan. Tapi, mau tak mau saya harus menontonnya karena itu laptop milik saya. 

Pada pertengahan film, saya ketakutan bukan main, bahkan mendadak tidak berani pulang ke rumah nantinya. Seusai menonton, rupanya saya betulan takut balik ke rumah. Saya berpikir untuk menginap saja. Apalagi saat menjelang tengah malam, saya tiba-tiba kebelet pipis dan sampai minta ditemani salah satu dari mereka untuk menunggu di depan toilet. Bangsat, rasanya saya pengecut betul mengingat kejadian itu. Saya pun berpikir bahwa film itu benar-benar seram dan berhasil bikin saya takluk.


“Yang, nonton Insidious 2, yuk!” ujar si pacar sewaktu saya sedang mengapelinya. 

Tak ingin terlihat lemah dan memberikan alasan-alasan yang kayaknya bakalan ditertawakan, saya lalu refleks menyetujuinya. Ketika saya mulai sadar akan menghadapi hal jahanam, saya pun menyugesti diri supaya berani menonton filmnya. Jangan sampai terlihat ketakutan di depan pacar. Saya harus bisa melindunginya. Menunjukkan sikap berwibawa. 

Ternyata, saya bisa menonton filmnya tanpa sekali pun menutup mata. Sesungguhnya ada adegan-adegan yang terasa bikin jantung copot, tapi saya bisa mengatasinya. Bukannya takut saat menonton film itu, saya malah merasa senang karena beberapa kali dipeluk sama pacar. Ia membenamkan wajahnya di badan saya. Saya tak menyangka bisa meredakan ketakutannya dengan mengusap-usap rambutnya seraya berkata, “Udah enggak ada setannya kok, Yang. Ayo lihat layar lagi.” Hari itu saya pasti telah menjadi sosok yang keren di matanya. 


5. Film drama favorit 

The Shawshank Redemption (1994). Karya tulis Stephen King yang diadaptasi ke film ini mengajarkan saya tentang harapan yang mesti tetap menyala dalam segala kondisi. Kisah pertemanan antara Andy Dufresne (Tim Robbins) dan Ellis Redding alias Red (Morgan Freeman) juga bikin hati saya hangat.


6. Film komedi favorit 

Man On the Moon (1999). Jika kamu bertanya apakah film ini lucu banget dan bikin rahang pegal karena keseringan tertawa, tentu saja tidak. Film ini justru lebih banyak membuat saya berpikir dan merenung tentang komedi itu sendiri. Andy Kaufman (Jim Carrey) selalu berusaha keluar dari pakem dan mendobrak pasar. Misalnya, membacakan novel The Great Gatsby dari awal sampai tamat. Penonton pun kesal dan marah, melemparinya dengan benda-benda, tapi ia tetap tak peduli. Mungkin kita mulanya akan berpikir, apaan dah ini orang enggak jelas. Namun setelah mencoba mengerti, pasti timbul pertanyaan semacam ini: Bukankah Andy berhasil mengerjai penonton atas tindakannya tersebut? Itu jelas lucu sekali. 

Andy selalu punya cara untuk menghibur penontonnya dengan ide-ide gilanya. Selain dengan membacakan novel sampai penontonnya jengkel, ia juga melakukan impersonasi pada beberapa tokoh, lalu rela patah tulang melawan pegulat profesional, serta bikin saluran TV pada program komedi situasi menjadi eror, hingga penonton berpikir TV mereka rusak. 

Pada suatu momen, ternyata Andy terkena kanker paru-paru. Ia berobat ke mana-mana, bahkan ke pengobatan tradisional di suatu negara terpencil yang konon ampuh mengobati segala macam penyakit. Ketika diperiksa dan ditangani oleh tabibnya, Andy mendadak tertawa. Saya awalnya bingung, loh, si Andy kenapa? Apanya yang lucu? Apakah udah berobat ke situ enggak bisa sembuh juga? Lantas saya paham bahwa kematian menjadi komedi tersendiri bagi Andy. Kelar menonton film ini, saya jadi teringat kutipan Charlie Chaplin, “What a sad business, is being funny.” 


7. Film yang bikin bahagia 

God of Gambler 2 (1990). Setiap kali menonton ulang film sekuel Dewa Judi yang menggabungkan aktor Hongkong ternama, Stephen Chow dan Andy Lau, pasti selalu membuat saya bahagia. Belum pernah sekali pun saya merasa jenuh akan tingkah konyol mereka. Dalam beberapa menit sekali, saya sering tertawa lepas. Beban hidup, kesepian, dan kesedihan yang sempat mengganggu keseharian saya, seakan-akan lenyap dalam sekejap saat saya terlarut ke dalam film ini.


8. Film yang bikin sedih 

The Green Mile (1999). Saya sempat menuliskan sedikit tentang film itu di Tontonan Ciamik Sebelum Tahun 2000


9. Film yang jalan ceritanya menempel atau hafal di luar kepala 

Final Destination 3 (2006). Dari kelima filmnya, saya paling menyukai yang ketiga. Hal-hal mengerikan, bagi saya, mudah sekali buat diingat dan bahkan kerap terbawa hingga mimpi. Memori tentang siapa saja yang mati, bagaimana cara tewasnya, beserta urutannya pun sungguh menempel di otak saya. Lalu, mungkin juga karena saya termasuk sering menonton ulang film ini demi bisa melihat Mary Elizabeth Winstead, aktris kesayangan saya—yang akan terjawab dengan lebih rinci di pertanyaan nomor 17, tulisan bagian kedua.


10. Sutradara favorit 

Siapa lagi kalau bukan Christopher Nolan? Jawaban ini cukup klise, memang. Tapi mau bagaimana lagi? Saya bingung kalau harus menyebut nama lain. Saya sempat kepikiran nama Quentin Tarantino sebab baru-baru ini mengaguminya dan banyak belajar dari plot filmnya yang nonlinear. Namun menurut saya, itu belum cukup memuaskan karena beberapa pertimbangan. Mungkin saya juga suka sama Gaspar Noe dengan teknik psikedeliknya yang gila itu. Sayangnya, film dia yang saya tonton baru tiga, lalu yang saya betul-betul suka justru cuma satu. Mau menjawab Wong Kar Wai, entah kenapa saya cuma terpikat sama visualnya, pengambilan gambarnya, dan simbol-simbol di dalam film itu. Bagi saya, alur cerita dan tokoh-tokoh di filmnya masih terasa kurang. Kalau David Fincher, oke sih, tapi entah kenapa semuanya bakal kembali ke Nolan karena cuma film garapan dia yang paling banyak saya tonton (dan rela menonton ulang) ketimbang yang lain.

--

Berhubung saya takut tulisan ini bakal kepanjangan, maka pertanyaan selanjutnya akan dijawab di tulisan lain. Biar bacanya lebih enak, nanti saya jadikan tiga bagian. Toh, saya memang perlu menerapkan perkataan filsuf asal Bengkalis, “Butuh tiga part untuk menjelaskan itu semua.” Ini benar-benar ide cemerlang untuk menambah jumlah tulisan di blog.

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/question-mark-question-symbol-463497/

11 Comments

  1. Nice info. Bisa ditambahkan stuntman film terbaik, karena selama ini risikonya besar tapi jarang terekspose seperti stuntman film hobbs and Shaw sampai ada yang mengalami kecelakaan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masalahnya, saya enggak kenal nama para stuntman, Mas. Saya juga agak malas mencari tahu lebih jauh tentang mereka. Maaf banget.

      Delete
  2. Anying ngakak baca nomor 4 hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seorang Yoga bisa berubah dari sosok pengecut menjadi pemberani. Wahaha.

      Delete
  3. hahahaa gue bayangin lu ngomong, '' udah nggak ada setannya kok yang '' padahal sendirinya takut nonton film horror

    Taiiii emang butuh 3 part ya wkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya hasrat ingin melindungi pacar bikin gue jadi orang yang berani, Lan. Jadi pengin cari pacar kalau begitu mah.

      Iya, biar kelihatan rajin nulis, padahal mah~

      Delete
  4. Dan referensi filmku kayaknya lebih cupu ini. Pas baca part 1 dan part 2 ; lah, aku nggak tau film-film yang ditulis si Yoga, masak? *Ya ada sih, tapi cuma beberapa--dan itupun sebener e juga baru tak tonton setelah baca referensi dari blogpostmu Yog -->The Green Mile & Man on the Moon contohnya.

    Beberapa hari lalu barusan download Shawsank Redemption, karena tiap liat thread di Twitter tentang film-film favorit, film ini sering masuk list. Penasaran, sebagus apa. Hehe


    Mbak Anne "Cat Woman" idolaque...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Melihat jawaban orang lain yang mainan kuis ini saya pasti juga akan berpikir seperti itu, Wis. Rasanya banyak banget film yang belum ditonton. XD

      Saya jamin kamu tidak akan menyesal~

      Wqwqwq. Sulit menolak pesona Mbak Anne. :3

      Delete
  5. Eh, yog.. aku punya pengalaman masa kecil nih seputar "horor" tapi bukan tentang film horor. Sampai sekarang, aku tidur selalu pasang TV. Dulu, waktu masih kecil, saat pertama kali mama-papa ajak aku ke luar kota, ke Surabaya, kami menginap di hotel tua. Karena tiba di Surabaya udah terlalu malam, gak mungkin kalo gedor-gedor rumah eyang. Jadi papa putuskan untuk nginep di hotel aja semalam.

    Aku masih kecil banget. Dan aku tuh tukang tidur. Jadi di kereta, aku banyak tidur. Begitu sampai di Surabaya, mataku melek lebar dong sementara orang tuaku nggak perlu waktu lama langsung terlelap.

    JENG JENG!!!

    Kamar kami ada lampunya, tentu saja tapi nggak begitu terang dan itu hotel tua. Kata papa, dulu waktu masih jaman penjajahan, hotel itu pernah dijadikan kantor / markas marinir. Tepatnya apa aku lupa, nanti coba aku tanya lagi deh. Hotelnya itu di pinggir jalan. Ya mungkin kalo ada orang Surabaya ya pasti tau apa nama hotelnya.

    Anyway, tempat tidur itu bentuknya kan persegi panjang. Ada lebar, ada panjang. Monmaap aku kurang bisa jelasin, lebih enak cerita langsung tatap muka sih, supaya gampang, haha. Bagian kepala membelakangi kamar mandi. Tapi karena kami berempat, ada 1 sepupuku yg ikut, so kami tidur berjejer memanjang.

    Dari tempat tidur, aku bisa melihat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Saat itu ya karena aku belum ngantuk, aku main2 sendiri di tempat tidur. Tiba-tiba, bunyi... "Kreeek.." Begitu aku nengok, pintu kamar mandi yg tadinya hanya terbuka sedikit, jadi terbuka semakin lebar. Lah??? O_O

    Angin? Gak mungkin. Itu kamar ber-AC. Semua jendela tertutup. Ya kalo dibuka nggak dingin dong ruangannya. Aku masih cuek. Lanjut main. Bunyi lagi dong.. "Kreeek" Suaranya cukup keras, tapi nggak ada yg terbangun karena mungkin mereka terlalu lelah.

    Perasaanku mulai gak enak. So aku rebah dan tarik selimut kesayanganku. Namanya selimut anak2 ya kecil... Aku tarik selimutku, gak cukup untuk menutupi sampai ke kakiku. Tapi aku belum sadar kalo selimutnya cuma sampai di bawah lututku aja. Yang aku rasakan adalah, ada yg "bergesek" di kulit kaki kananku..seperti untaian rambut yang meraba kulit.. yo monggo dibayangkan dan coba pinjem rambut panjang ibumu atau kakakmu atau siapamu diraba ke kulit rasane piye.

    Aku ngintip dong.. yang aku liat perempuan dengan rambut hitam acak2an panjang mengenai kakiku. Haiaaaaa... aku kaget, takut, mau nangis tapi gak bisa teriak. Sampai akhirnya aku gak inget apa2 lagi yang setelah beberapa tahun aku mengartikan aku pingsan karena ketakutan.

    Besok paginya aku bangun ya bangun biasa aja, gak inget semalem kenapa. Begitu di rumah eyang, mau tidur, baru keinget. Sejak itu, aku tidur harus selalu ada sura tv.

    Bagaimana dengan radio?
    Pernah coba di rumah lama jakarta tidur dengan suara radio. Papa tiap tengah malam selalu cek aku udah tidur atau belum. Kalo aku udah tidur, radionya dimatiin. Masalahnya, setelah papa kembali ke kamarnya, gak lama radionya nyala lagi dengan volume maksimal. Aku yang ada di kamar kaget, dan papa mama juga kaget. Yang disalahkan? Aku. Dan itu terjadi beberapa kali. sampai akhirnya aku minta radio di kamarku dikeluarkan. Dan hanya ada tV aja.

    You know, orang dewasa berpikir terlalu logis dan menganggap anak2 suka berimajinasi so apapun yg aku coba bilang, mereka akan anggap aku sedang berimajinasi.

    Ya nggak paham juga kenapa TV gak "bertingkah" aneh begitu.

    Banyak sih cerita2 lain. kalo cerita semuanya, sampe lebaran taun depan belum tentu selesai.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya anak kecil rata-rata begitu, Ran. Di perjalanan tidur mulu, begitu sampai tempatnya dan waktunya tidur justru melek sendirian.

      Hmm, masalah soal lebar dan panjang ini gimana? Haha. Kayaknya saya ngerti, Ran. Tapi kalau mau cerita langsung tatap muka boleh juga. Biar lebih jelas.

      Kok serem amat ya itu radio bisa nyala sendiri. Saya pernah ngalaminnya palingan lampu. Itu juga akhirnya saya matiin lagi. Udah biasa tidur gelap-gelapan.

      Mungkin setannya jadul, Ran. Zaman dulu baru ada radio, belum ada TV. Dia rada gaptek gitu. Apalagi kalau TV-mu udah LED. Wahaha.

      Enggak apa, cerita aja. Saya siap meminjamkan telinganya. Pada masanya, saya termasuk orang yang gemar dengan tema horor lewat lisan dan tulisan. Kalau film rada payah. Hehe.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.