Mendengarkan Project Pop, Mengisahkan Flop

Bermula dari seseorang di Twitter yang bikin utas tentang mengeset ulang budaya Indonesia dengan menampilkan berbagai video lawas—di antaranya terdapat iklan Tory Cheese Cracker dan permen Milkita, video hoaks manusia yang dikutuk jadi ikan pari, video lip sync Sinta dan Jojo, serta Briptu Norman, dan acara MTV musik; saya pun terpicu untuk menonton salah satu klip video yang dia bagikan, yakni Project Pop – Bukan Superstar.

Berhubung durasi maksimal video di Twitter hanya 2 menit 20 detik, saya tentu harus melihat keseluruhan klip video tersebut di Youtube. Selama menontonnya, saya baru sadar sudah lama sekali tidak mendengarkan musik Project Pop. Mungkin banyaknya referensi musik dari luar negeri telah membuat saya lupa dengan lagu-lagu di negara sendiri. Sekalinya mendengarkan, paling-paling tak jauh dari Efek Rumah Kaca, The Trees and The Wild, Jirapah, Melancholic Bitch, dan My Violaine Morning. 

Jadilah saat itu juga saya spontan mendengarkan seluruh lagu Project Pop yang terdapat di Youtube. Dari daftar lagu yang saya nikmati itu, ternyata ada beberapa lagu yang sewaktu didengarkan malah memunculkan kisah-kisah masa lalu. Meskipun saya sadar banyak cerita tak penting karena sebagian besarnya adalah memori tolol dari masa SMP, saya tetap ingin menuliskannya satu per satu.





Bukan Superstar 



Yang pertama kali muncul di kepala adalah serial komedi Abdel dan Temon Bukan Superstar. Jika tak salah ingat, acara ini tayang pada saat saya kelas dua SMP (2008). Tokoh Temon yang sering sekali menjadi bahan tertawaan dan bernasib apes seakan-akan tak jauh berbeda dengan kondisi saya kala itu. Kalau Temon kerap diledek karena giginya yang tonggos dan kurang ganteng, sementara saya lantaran bertubuh paling pendek dan kurus di kelas. Beberapa teman sekelas gemar berkata kepada saya: ada anak SD nyasar dan belum pantas masuk SMP. Lalu, setiap kali upacara pastilah saya yang berdiri paling depan. Belum lagi kadang-kadang teman yang di belakang suka menjaili saya dengan menyentil kuping atau menarik (semacam menjambak dengan agak pelan) beberapa helai rambut yang tidak tertutup topi. 

Setiap kali saya ingin membalas perlakuan mereka, ada rasa takut yang selalu menghalanginya. Ini semua karena saya tak pernah bisa lupa dengan kejadian jahanam saat kelas satu. Jadi, suatu kali saya pernah muak banget ditindas (biasanya ditoyor kepala) dan berusaha melawan salah seorang teman sekelas yang hobi mengusik. Dia terkejut mendapati saya yang gantian memukul kepalanya, kemudian tiba-tiba mengancam saya, “Awas lu nanti sepulang sekolah!” 

Saya tak ambil pusing ancaman tersebut dan berniat pulang sekolah seperti biasanya tanpa harus kabur. Lagi pula hari itu jadwal saya piket. Tak mungkin dia rela menunggu saya cuma buat membalas hal remeh, yang memang sepantasnya dibalas karena dia jahil duluan. Singkat cerita, sekelarnya piket dan saya ingin menuruni tangga (kelas saya berada di lantai 3), tiba-tiba ada seseorang dari belakang yang menjinjing kerah seragam saya hingga kaki saya tidak menapak tanah. Saya juga tak bisa melihat sosoknya. Dia segera membawa saya ke depan toilet cowok. Di sana, ada teman sekelas yang tadi mengancam saya. Saya pun langsung mengerti apa yang bakal terjadi. 

Saya sudah tak begitu ingat apa saja yang terjadi hari itu selain kepala saya ditempeleng terus-menerus sampai rasanya pengin nangis (saya menahan air mata sebisa mungkin karena tak ingin dipecundangi lebih dari ini). Orang yang menjinjing saya adalah kakak kelas yang tubuhnya tinggi dan besar. Saya tak akan bisa menang melawannya. Saya cuma bisa pasrah. Hari itu, saya akhirnya belajar satu hal, bahwa dengan sejumlah uang siswa tajir bisa membayar kakak kelasnya untuk merundung seseorang yang kere dan lemah seperti saya.

Selain perisakan, saya memang tak akan pernah bisa membuang rasa minder ketika berada di antara mereka—kalangan elite. Ada beberapa pertemanan di sana yang termasuk pilih-pilih berdasarkan kasta. Dari uang saku sekolah saja kami berbeda jauh. Saya dapat jatah dari orang tua sehari 7.000, sedangkan beberapa dari mereka tujuh kali lipatnya alias 50 ribu. Dengan kondisi itu, saya terpaksa menutup diri. Mungkin karena itulah teman akrab saya hanya segelintir.

Lirik “tapi kenyataan aku bukan siapa-siapa” amatlah mewakilkan perasaan saya selama bersekolah di sana. Meski begitu, lirik lanjutannya “kuingin engkau mencintaiku apa adanya” secara tak langsung menjadi harapan saya yang terkabul pada kelas tiga. Setelah kenaikan kelas, saya merasa kondisinya mulai berubah perlahan-lahan. Perundungan terhadap saya menurun drastis. Mental saya juga sudah ditempa jadi lebih kuat untuk selalu melawan para penindas itu. Sebagian teman yang awalnya meremehkan (mereka tak pernah melakukan kekerasan fisik, tapi tatapan dan ucapannya tampak selalu mengejek) pun mulai menghargai saya yang ternyata bisa berprestasi—sewaktu Try Out persiapan UN saya masuk ke kelas favorit tiga kali berturut-turut. Mungkin nilai-nilai saya akhirnya mampu membungkam mereka. Mungkin mereka juga mulai bisa mencintai keadaan saya dan mau berteman tanpa memandang kelas sosial.

Ku bukan superstar, kaya dan terkenal. Ku bukan saudagar yang punya banyak kapal. Ku bukan bangsawan, ku bukan priayi. Aku hanyalah orang yang ingin dicintai. 


Pacarku Superstar 



Barangkali ini kisah lanjutan dari lagu Bukan Superstar. Bedanya, ini tentang menaksir perempuan, tepatnya seorang kakak kelas. Berhubung keadaan saya ketika SMP sudah tergambar jelas dari kisah sebelumnya, maka lirik “hanya tak mudah bagi diriku untuk ikuti gaya hidupnya. Semua orang suka padanya, berat rasanya” benar-benar cocok buat saya yang bisa-bisanya menaksir cewek manis, pintar, dan kaya—yang jelas-jelas jadi primadona sekolah. 

Walaupun saat itu saya belum memiliki Facebook untuk bisa memperhatikan kehidupannya dari jauh (biasanya para penggemar mencari tahu kabar idolanya lewat internet), tapi cukup dengan tak sengaja melihat dia sepulang sekolah dijemput menggunakan mobil sedan sudah bisa menjelaskan segalanya. Saya tak punya pilihan lain selain sadar diri.

Mengenang terlalu banyak momen nelangsa zaman SMP rasanya kurang patut bagi diri saya sekarang. Seakan-akan saya ini seorang retrofili. Jadi, alangkah baiknya saya mengingat hal-hal yang belum lama terjadi saja tentang menggemari sesosok idola. Tapi, idola yang saya maksud bukan seperti Tsubasa Honda, Lalisa Manoban, Charita Utami, Mary Elizabeth Winstead, dan sebagainya. Dia ini termasuk orang biasa yang sesungguhnya masih bisa saya raih. 

Dia berada jauh di sana, dan aku di rumah... memandang kagum pada dirinya dalam InstaStory

Sekitar sembilan bulan silam saya pernah rutin menonton InstaStory seorang gadis aduhai. Tak perlu munafik kalau saya mengaguminya berdasarkan parasnya yang jelita. Namun, saya terpesona karena dia juga berprestasi di bidang kesukaan saya. Siapa sangka kekaguman itu semakin bertumbuh sejak dia mengucapkan terima kasih atas kalimat dukungan saya pada hari dia terpilih sebagai None Jakarta. Lebih-lebih kami kebetulan juga pernah berjumpa dua kali di suatu kafe.

Persoalannya, saya sering merasa kurang percaya diri sewaktu mendekati gadis yang kelas sosialnya berbeda. Biarpun keadaan saya sudah lebih baik dari zaman SMP, tapi tetap saja tampak jelas perbedaan di antara kami. Anggaplah dia ketika memesan menu di kafe tidak perlu berpikir lama dan fokus saja dengan makanan ataupun minuman yang ingin disantap; sedangkan saya mesti menyesuaikan isi dompet, belum lagi nanti ada momen di mana saya perlu menghitung PPN, membandingkan dengan makanan pinggiran jalan, dan seterusnya.

Selain itu, saya menduga usia kami terpaut agak jauh. Dia kira-kira seumuran dengan adik saya—beda lima tahun. Hingga akhirnya asumsi itu bertambah jelas sewaktu salah seorang kawan memberi tahu saya kayaknya dia baru lulus SMA. Saya kala itu, sih, sempat merasa cuek sama umurnya, bahkan pernah nekat mengucapkan selamat ulang tahun via pesan salah satu media sosial.

Jika hari itu dia membalas pesan saya, diam-diam saya berjanji kepada diri sendiri supaya tidak minder-minder lagi ke depannya. Peduli setan dengan rentang usia yang beda jauh, Farsya manisnya memukau dan saya suka. Yang terpenting dia juga sudah 17 tahun ke atas. Ini hal yang normal, kan?

Sialnya, dia tidak membalas ucapan saya. Mungkin balasan “terima kasih” pada hari kemenangannya itu cuma basa-basi. Kalau direnungkan, ternyata kejadian ini terasa lebih bangsat ketimbang kisah saya ketika SMP yang langsung mundur seribu langkah sebelum berjuang. Saya harusnya mafhum, memang enggak mungkin seorang biasa bisa mendekati seorang superstar. Baguslah saya telah berhenti mengaguminya sejak 2020. Terus, mengapa saya menuliskan cerita ini? Oh, tentu hanya untuk mengenang kegagalan diri sendiri yang menakjubkan. 


Dangdut is the Music of My Country 



Siapa tidak mengakui perbedaan, tidak pernah diajari di sekolahan. Semua orang macam-macam diciptakan, cakep atau jelek semua punya perasaan

Kalau ngaku ngerti tentang persatuan, mengapa adu domba mudah dilakukan? Kenapa semua mudah hilang kesabaran? Kenapa semua mudah diprovokasikan? 

Lirik barusan terasa cocok bagi para pengguna Twitter yang doyan ribut-ribut. Apalagi ingatan saya menolak lupa mengenai mbak-mbak yang merasa cakep dan seenak jidat mengejek lawan debatnya, “Mending lu diem, jelek.” Apakah dia kehabisan cara buat memenangkan perdebatan, sampai-sampai harus menghina fisik lawannya? Memiliki paras cantik dan punya pengikut banyak (khususnya para cowok yang selalu membelanya) seolah-olah membuatnya berkuasa di dunia maya. 

Tapi, masa bodohlah soal itu, saya mending lebih fokus dengan lirik yang ini: Apakah yang dapat menyatukan kita? Salah satunya dengan musik. Dangdut is the music of my country

Saat lirik itu dinyanyikan, saya lantas terkenang masa SMP lainnya, tepatnya ketika saya dan beberapa teman di rumah bisa menonton konser Project Pop secara langsung dan gratis untuk pertama kalinya di Lapangan Pasir, Senayan.

Berawal dari ketidaksengajaan kami sehabis joging pagi di Gelora Bung Karno, Bayu—salah satu kawan saya—mengajak kami ke Lapangan Pasir untuk melihat orang-orang yang lagi main sepak bola. Sebelum direnovasi seperti sekarang, dulu di area Senayan terdapat empat lapangan (dua untuk voli, dua untuk sepak bola) yang beralaskan pasir, sehingga kami dan mungkin beberapa masyarakat menyebutnya Lapangan Pasir.

Di tengah perjalanan, saya seperti mendengar salah satu lagu Project Pop dan bertanya kepada kawan yang lain apakah mereka juga mendengarnya. Alih-alih menjawab, salah satu teman saya malah berteriak, “Eh, ada panggung noh di Lapangan Pasir!” seraya berlari menuju ke sana. Sadar bahwa ada konser yang tengah berlangsung, kami semua pun bergegas menghampiri area panggung, lalu setibanya di sana segera ikutan bernyanyi dan joget bersama. 

Berbeda dengan kawan di sekolah, teman-teman di rumah yang merangkap tetangga bisa dibilang sangat mengasyikkan. Ini bukan berarti tak ada kata-kataan di antara kami, melainkan saling mencela merupakan hal yang wajar bagi kami. Karena kami melakukannya sebagai tanda keakraban. Bukan ada perasaan ingin berkuasa sebagaimana yang terjadi di SMP saya. Sekalipun ada tetangga yang tergolong tajir, rasanya pun tak ada sekat yang memisahkan pertemanan kami. Susah maupun senang tetap kami lewati bersama. Misalnya, saat kami habis main bola di Senayan dan terlalu letih untuk berjalan kaki, mestinya kan kami naik angkot di Palmerah, terus turun di dekat rumah. Tapi yang akhirnya terjadi: kami mencegat mobil pikap dan memilih mengompreng. Sebab kami sadar kalau ada beberapa kawan yang uangnya tak cukup buat membayar ongkosnya maupun yang benar-benar kehabisan uang. 

Lantas, bagaimana dengan teman yang punya duit lebih? Kenapa dia tidak mengongkosi teman yang lain? Saya tak tahu apakah kami dulu setolol itu, lebih senang mengompreng karena gratis dan terasa menantang, atau alasan entah apa. Namun, seingat saya si orang tajir itulah yang kelak menggunakan uangnya buat mentraktir kami es teh dan Chuba balado. Itulah masa-masa menyenangkan yang tak akan pernah bisa luput dari ingatan. Masa di mana hari ini kami bertengkar, lalu besok tiba-tiba sudah baikan lagi.

-- 

Gambar saya comot dari Pixabay.

28 Comments

  1. Emang engga enak sih dibully. Apalagi aku tipikal yg mudah merasa terintimidasi, rasa kesalnya aku pendam. Mau sekali kali melawan, tapi emang payah sih. Cuma bisa berani kesal di balik pintu kamar sambil lempar bantal. Aku pernah nangis di toilet mall karena seorang pengunjung lain insult aku hahaha.... cupu lah aku ini. Digituin aja nangis.

    Project pop itu lagu-lagunya ngena banget tapi gak banyak mengingatkan aku tentang apapun. Paling kalo dengar lagu project pop, ingatnya cuma jalan-jalan di Bandung dengan bentuk-bentuk rumah jaman Belanda dulu, asik sih sebenarnya tinggal di sana, tapi nggak kuat dengan angkot-angkotnya. Enggak tau kenapa kalo dengar lagu Project Pop, pikiranku ke Bandung aja gitu. Itu kelompok musik Bandung banget kayaknya'😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mana enggak bisa hilang pula kenangan buruk perundungan itu dari ingatan. Hmm, tergantung tingkat sensitifnya sih, Ran. Mungkin aja kan kamu ada trauma atau gimana, jadi sekalipun cuma tampak 'gitu doang', di diri kamunya berdampak besar. Beberapa orang juga bisa menangis tanpa sebab, kok. Bukan berarti cengeng.

      Project Pop setahu saya memang asal Bandung. Haha.

      Delete
  2. Pernah liat gak di Twitter ada video yang durasinya lebih dari dua menit dua puluh detik? Misalnya sembilan menit. Caranya gini: 1) bikin iklan berbentuk video di Twitter. Kalau ngiklan, lu bisa upload video dengan durasi maksimal sembilan menit sekian detik. 2) Uploadnya lewat Twitter Media Studio. Yang kedua ini harus request karena penggunanya dibatasi. Akun personal gak diizinkan, tapi bisa diakali dengan dijadikan admin oleh akun brand/bisnis yang udah dapat approval dari Twitter Media Studio. Namun untuk bisa upload video durasi panjang di Twitter Media Studio, tetap harus udah pernah ngiklan sebelumnya. Ngiklannya sekali aja, akses untuk upload video panjangnya bisa seterusnya.

    Eh, dulu waktu SMP uang jajan gue cuma dua ribu. Terus pas masuk SMA cuma dikasih lima ribu. Bahkan pas kuliah aja cuma dapat lima belas ribu. Bahkan jajan temen SMP lu masih jauh lebih banyak. Gini amat ya ternyata kalau miskin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf kalau kata-katanya belibet ya, emang gitu orangnya Firmansyah mah.

      Delete
    2. pernah bang. vidio bokep biasanya lama. sampe 9 menit.

      Delete
    3. Firman: iya, pernah lihat iklan yang sekitar 5 menit. Makasih lho sudah mau menjelaskan caranya. Hahaha.

      Ini lu angkatan berapa sih, Man? Jadi curiga lu udah usia 30. Rendah amat segitu mah. Atau ya standar rendah uang saku di Jakarta dan Makassar berbeda cukup jauh.

      Haw: eh, ada ya di Twitter yang selama itu? Saya kan jadi penasaran! XD

      Delete
    4. Kenapa si Haw kepikirannya bokep sih, dasar mesum. Eh tapi gue juga suka sih kalau bokep di Twitter durasinya sembilan menitan, jadi gak usah repot-repot buka Pornhub.

      Bukan standar uang saku yang beda, Yog. Emang gue miskin aja makanya cuma dikasih segitu. Hahaha.

      Delete
    5. Bukan kepikiran, tapi emang nemu di timeline beberapa kali. Vidio selain itu belom pernah, link yutup doang adanya.

      Gegara uang jajan yg terbatas, saya dibilang somobong. Gamau makan di kantin. Padahal kan emamg gabisa buat ngebayar aja.

      Delete
    6. Bukan gue yang ngelike videonya kan?

      Gue juga jarang makan di kantin karena uang yang terbatas itu. Terjadi pas kuliah. Kalau makan di kantin, itu udah pasti karena dibayarin.

      Delete
    7. Tapi yang paling enggak adil dari kantin sekolah adalah mereka menyesuaikan standarnya ke mayoritas siswa di sana. Bukan lihat dari yang termiskin. Saya jajan 7.000 tuh pas-pasan buat makan (3.000-5000) dan minum (1.000). Naik angkot aja harganya udah 1.500 zaman itu. Syukurnya kadang ayah saya rela jemput jika beliau lagi masuk siang. Kalau duit lagi habis dan enggak dijemput, ya saya mesti jalan kaki sekitar 2 km.

      Delete
  3. Pas SMP-SMA saya pun termasuk golongan culun, sering dibully dan dipalak, apalagi dulu pas zaman-zamannya geng motor. Tapi untungnya itu cuma di awal-awal, soalnya saya kemudian sering dapet temen baik yg notabene "jago-jago" sekolah, jadi pada ga berani ngerisak lagi.

    Punya kenangan sama lagu "Bukan Superstar". Dulu pas SMA ada pelajaran Seni yg tugasnya bikin modern dance tapi gerakannya ngambil dari tari tradisi, nah kelompok saya latarnya pake lagu ini. Temponya rada slow dan ngepas sama gerakan2 yg udah dibikin. Mungkin karena latihan terus-terusan lagunya sampe nempel, dan meski sekarang udah lupa aja gerakannya gmn, tapi serasa pengen joget lagi.

    Tentu saja, belum lengkap karaoke kalau belum muter lagu Project Pop.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seumur-umur sekolah, pernah punya teman jagoan cuma pas SD. Makanya banyak dibelain dan enggak dirisak saat itu. Selebihnya mengalami penindasan.

      Eh, kayaknya zaman saya sekolah juga ada tuh suruhan dari guru Seni. Lucunya, batal karena apa gitu dan cukup disuruh nyanyiin satu lagu bebas dan main keyboard dengan lagu yang ditentukan gurunya.

      Asli, baru sadar juga udah lama banget enggak karaokean. Pantes betulan lupa sama Project Pop. Dulu biasanya juga selalu nyanyiin lagu mereka.

      Delete
  4. duluan pacarku superstar, Yog. baru yang bukan superstar. saya cukup ingat urutan keluarnya, sebab saya termasuk yang mengikuti lagu mereka sejak pendahulunya Padhyangan 6 yang memparodikan lagu Tenda Biru. kenal p-project akrena abang saya muter lagu bakpia lumpia melulu dulu di rumah. terus Lagu Bola yang parodi lagu piala dunia ricky martin.

    sampai sekarang saya masih menyimpan list lagu mereka dan disempetin diputar, bergantian dengan lagu avrill lavigne, MCR, dan lagu lawas lain seperti yg saya aplot di twitter.

    perihal perundungan, saya selalu ngalami, sih. sejak SD dan madrasah. sampai2 saya berhenti sekolah madrasah (dulu paginya SD, siangnya lanjut madrasah, malem dan subuhnya ngaji). ngaji juga hampir berhenti, tapi dialem-alemii.

    gimana nggak, yang merundung itu dipimpin oleh guru sekolah dan ustas ngajinya langsung. bagi dia mungkin bercanda, tapi bagaimana efek panjangnya? melihat ustaz merundung, anak lainnya ikutan ngatain di waktu lainnya.

    udah gitu, kata2 kejam perundungan dan kejadiannya itu disebarluaskan di satu sekolah, diceritain di rumahnya. satu kampung tahu cara ngatain yang "sah" menurut ustaz. saya nggak mau nyebut ucapan perundungannya, jauh lebih kejam dari hinaan "dasar anjing".

    jadinya, waktu saya kelas 4 SD, yang ngatain saya itu anak kelas 1 SD (ngajinya di tempat yg sama). tentu ngatainnya rame2 mereka dari berbagai kelas sampai kelas 6. ibu2 kampung juga beberapa kai ngatain, mereka nggak bakal peduli atau takut mengatai. karena bisa dibilang, keluarga saya paling miskin di kampung. nggak bakal bisa ngelawan mereka.

    di SD, saya hanya punya beberapa teman akrab. 2 orang beneran akrab (tapi orang tua mereka ngelarang temenan), 1 orang karena senasib kena rundungan, dan 1 orang lagi yang gatau kenapa kayak menghormati karena dia pernah kalah ranking. *skip*


    kayaknya di zaman itu, semua anak pada suka mengompreng yak. saya juga beberapa kali begitu. SD belum tentu saya punya uang jajan. jadi selalu jalan kaki, sampai akhirnya punya sepeda. saat mengompreng, kan biasanya mereka memuat barang. keseringan yang saya temui yang mengarah ke kampung saya itu mobilnya bawa buah2an.

    saat mengompreng dengan teman, muncullah keisengan untuk mencuri. nggak banyak, dua buah mangga doang. kami ikut mobilnya lebih jauh meski rumah sudah terlewati. tujuannya, biar di titik tertentu, kami bisa melempar buah itu. lalu turun ala-ala film fast furious yg turun saat mobil masih melaju kencang. daripada ketahuan yang bawa. lalu kami kembali ke titik tempat melempar buah tadi, dan membawanya pulang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya saya salah dalam cara penyampaiannya nih, Haw. Maksud saya, cerita lanjutannya dari curhatan sebelumnya di lagu Bukan Superstar. Kayak otomatis nyambung gitu kenangan saya zaman SMP sehabis dengerin itu lagu. Perbedaan kisahnya, ya terkait urusan cewek. Meski intinya sama: saya bukan siapa-siapa. Kalau soal tahun rilisnya, saya juga ingat Pacarku Superstar duluan. Hahaha. Sori jadinya salah paham.

      Langsung sedih baca curhatanmu euy. Bisa-bisanya perundungan ini dilakukan oleh ustaz. Yang konyol tuh mereka pada ikutan karena enggak paham atau lantaran yang memberi contoh tokoh terpandang, makanya sah-sah aja. Bahaya banget yang begitu. Semacam doktrin buat mengolok-olok siapa pun yang derajatnya terasa lebih rendah. Benci banget asli yang begini sejak dulu. Dari diri sendiri udah minder, ditambah perlakuan sejenis itu, bisa kuat menjalani masa sekolah/ngaji tanpa pindah aja hebat banget. Makasih sudah membagikan ceritanya, Haw.

      Saya jadi teringat juga sama salah satu kelakuan guru Agama di SD. Kalau enggak salah kejadiannya saat saya kelas 3 SD. Ada salah satu murid yang berbuat kesalahan sepele gitu (kelakuan anak SD masih bisa dimaklumi kan), lantas dia dihukum berdiri depan kelas sambil jewer kuping sendiri. Setelahnya entah kenapa diinterogasi gitu. Salah satunya dia ditanya apa kerjaan bapaknya.

      Saya ingat betul dia jawab bapaknya jadi tukang ojek. Si guru Agama pun merendahkan profesi orang tua si murid nakal ini. Murid-murid yang lain pada ketawa puas dan ikutan mengejek. Saya mungkin salah satu dari sedikit siswa yang memilih diam. Sedih banget sumpah. Sosok yang mestinya mengayomi murid justru memulai perundungan.

      Syukurlah guru itu akhirnya dipindah.

      Iya, di era itu ngompreng banyak dilakukan teman-teman sebaya. Menjadi keseruan sendiri meskipun bahaya. Tapi buahnya selalu ada pas balik lagi? Enggak pernah dipungut orang lain?

      Saya belum pernah naik pikap yang ada isinya makanan begitu. Paling-paling mah lemari atau perabotan lain. Tapi turun ketika mobil melaju kencang dan abangnya enggak mau menepi cukup sering sih. Mana saya pernah jatuh beberapa kali juga. Haha.

      Delete
    2. Hooo begitu maksudnya... ahahaha... kirain urutan lagunya.


      Bagi orang2, punya target yang bisa dikatain, dibully, dihina, atau apa gitu mengasyikkan mungkin. gegara dibully satu sekolah itu, saya sampe nggak masuk sekolah ampe sebulan lebih. seminggu masuk 2 atau 3 kali, sehari masuk sehari enggak. kadang 3 hari berturut-turut. untungnya selama semester satu ulangan saya selalu tinggi, efek nyuri buku dulu yg kuceritain di GA robby, jadi kayak dimaafin kalo bolos.

      karena yang ngemulakan membully itu wali kelas (eh, waktu SD gurunya gak ganti2 sih), saat ada program akselerasi, saya ikutan. sebab di kelas 5 (waktu itu kelas 4), nggak ada teman saya di sana, maksudnya, ngggak ada yg satu tempat ngaji di kelas itu. lolos.

      sebelum ulangan semester akhir, saya sudah dipindah ke kelas 5, meski hasil ulangan umumnya gak bagus2 amat karena banyak ketinggalan. saya merasa lebih senang. gak ketemu guru itu lagi di kelas, yang mana di tahun berikutnya ternyata dia jadi wali kelas 5. untung ikut akselerasi dan udah kelas 6 yang walinya galak dan adil dan teman-temannya juga nggak ada yg berasal dari tempat ngaji yang sama.

      Tergantung musim ngomprengnya kayaknya kalo di kampungku, Yog. bulan2 akhir tahun gitu banyak yang bawa buah, awal pertengahan tahun bawa perabotan, kasur, lemari. di sepanjang jalan itu kan ada tanah kosong yang dipagari, nah kami melempar buahnya ke dalam pagar tanah kosong itu. jadi kalo mau ngambil, kudu manjat pagar lagi sih. makanya saya sebut titik tertentu karena di situ aman. malah pernah saya lempar ke halaman rumah saya kalo kebetulan emang lewat depan rumah mobilnya.

      Delete
    3. Saya juga sempat ngira urutan rilis lagunya. Malah sempat kepikiran untuk searching dulu

      Delete
  5. Haduuh, kok nyesek banget ya rasanya baca beginian. Jujur, saya pribadi belum pernah dibully, aduh nggak tahu deh mau bilangnya gimana. Namun, diantara sd, smp, sma yang paling saya benci adalah masa sekolah dasar, karena selalu diperlakukan tidak adil sebab bukan berasal dari keluarga berada. Jadi, sewaktu sd itu ada semacam kasta-kasta gitu, perlakuan guru berubah drastis berdasarkan berapa penghasilan orang tua kita. Saya masih ingat ada teman sekelas yang sampai kelas enam pun dia masih nggak bisa baca, tapi dia selalu naik kelas aja tuh. Lucunya pas UN kami malah disuruh bantuin dia, ngasih bocoran jawaban, yang tentu saja saya tidak mau ikutan, sampai akhirnya disinisin sama teman-teman lain yang satu geng sama dia.

    Tamat sd saya lanjutnya ke pesantren jauuuuh banget dari rumah, dan saya bersyukur nggak jumpa mereka lagi. Alhamdulillah nggak ada perundungan, mungkin karena semuanya perantau.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah kalau kamu enggak ada pengalaman dirisak.

      Kok bisa-bisanya belum lancar membaca sampai kelas enam? Di SD saya mah naik ke kelas dua aja mustahil itu. Kalau bagian bantu teman kasih kunci jawaban ini saya juga pernah disuruh. Niatnya biar pada lulus semua gitu, kan? Hahaha.

      Delete
  6. Wadau jadi ente tuh pernah jadi korban bully toh. Semoga aja ingatan itu udah jadi ingatan saja, nggak bikin trauma.

    Lagu project Pop yang masih suka saya setel cuma satu: I Will Not Survive. Lagu gubahan dari lagu barat, I Will Survive. Nadanya enak banget dan bikin semangat, buat saya. Hehe.

    Udah dengerin belum, Yog?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak trauma alhamdulillah, sih. Cuma sedih aja kalau teringat dengan masa-masa itu. Masa SMP tuh kayaknya yang paling campur aduk selama sekolah. Syukurlah selepas SMK saya enggak pernah lagi memukul orang buat membalas perisakan. Mungkin lebih kalem lingkungannya, atau sadar udah pada gede.

      Pernah denger, tapi kurang suka. Haha.

      Delete
  7. Saya jarang dengerin Project Pop, tau lagunya cuma 2 (kayaknya): Bukan Superstar dan Dangdut Is the Music of My Country. Sekalipun dengar, itupun dari serial Abdel dan Temon. Kalo bang Yoga merasa ada kemiripan dengan Temon, saya malah sebaliknya, Abdel. Saya jarang mengalami perundungan separah itu. Ngeri juga kalo sampai bisa bayar senior untuk beresin masalah. Untungnya, waktu itu saya cukup beruntung punya teman dan lingkungan yang baik. Meski ada perundungan, itu hanya dari orientasi sekolah. Setelah itu tidak ada lagi. Paling cuma ingat harus menyapa senior yang lewat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemiripannya ya sebatas nasib apes dan jadi korban ledekan. Karena saya enggak pernah ngibulin Muklis dan pinjam duit kayak dia, kok. Haha.

      Harus banget sehormat itu, ya? Biasanya mah lewat-lewat aja, atau justru yang lewat bilang permisi. Hmm.

      Delete
  8. Ya ampuuun Yog, jelas banget beda umur kita yaaa :p. Aku suka lagu2nya project' pop, pas nama mereka masih Padhiyangan project' :p. Lagunya yg aku sukaaa banget: antrilah di loket :D.

    Sbnrnya liriknya sih biasa, tapi mungkin Krn ini parodi dari lagu I can Love you like that, jd ingetin bangetttt Ama zaman2 SMP hahahahhaa..

    Padhiyangan project' Ama project pop sih sebnrnya sama, msh 1 bendera. Cuma yg 1 generasi pertama, yg kedua juniornya :D.

    Issh jd pgn cari lagu2nya di Spotify. Udh lama ga dengerin lagu2 mereka.

    Btw, itu temenmu yg suka nindas, bikin emosi yaaa. Aku kdg heran, perasaan yaaa zaman aku SMP SMU, g ada yg namanya bully sampe kelewatan gitu. Kalo cm sekedar ejek nama ortu , itu biasa. Tp ga sampe main pengecut yg nyewa Kaka kelas, trus dipukulin .. ini yg kdg bikin aku takut kalo anak2ku bakal ngalamin Bullyan yg parah begini :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih termasuk muda berarti saya, ya? Hahaha.

      Saya kurang tahu album yang itu, sepertinya rilis pas saya masih balita. Belum pernah dengar sama sekali jadinya. Sebatas tahu aja mereka bikin parodi dari lagu luar.

      Saya juga kaget. Zaman SD kan memang sebatas kata-kataan biasa aja. Konteksnya juga keakraban sebagaimana kisah di lagu nomor tiga, dari sudut pandang saya. Cuma yang di sekolahan ini betulan perisakan, sih. Jatuhin mental. Ada kekerasan fisik. Seingat saya aja yang ceweknya ada momen-momen melabrak begitu. Keras juga ternyata.

      Semoga sih enggak akan mengalami ya, Mbak. Jangan sampai deh.

      Delete
  9. I'm so sorry for your first story.
    Aku ikut sedih dan marah karena seketika flashback. Waktu aku SD kelas 3 SD, aku pernah dicambuk pake ranting tanaman bunga sepatu sama guru olahraga, didepan teman-teman sekelas, aku juga pernah ditempeleng karena nggak bisa nangkap bola. Aku cuman bisa diem dan nahan air mata biar emosi gurunya nggak makin menjadi-jadi karena bisa jadi aku makin dihajar.

    Jaman kuliah juga mengalami hal yang sama kayak kamu, minder sama temen yang berasal dari keluarga berada. Jatah bulananku hanya 500rb, dan mereka bisa lebih dari itu.

    Eh sorry jadi malah beleber ceritanya, aku berasa senasib dari lagu Bukan Superstar..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gurunya perempuan atau laki-laki, Pit? Kok tega amat kayaknya SD udah dicambuk-cambuk segala.
      Dipermalukan depan teman-temannya ini yang bikin tambah malu. Serasa jadi objek olok-olokan.

      Kalau kuliah saya udah sembari kerja waktu itu, sih. Jadi alhamdulillah enggak pernah merasa minder lagi.

      Enggak apa-apa. Makasih ya udah mau cerita. Ternyata lumayan banyak yang punya kisah sedih tentang perundungan pada masa sekolah.

      Delete
  10. 2008 aku udah mau kuliah ya allah sudah tua ternyata aku wkwk

    duh cerita buki membuli aku juga sering banget tapi pas SD
    tapi ga sampe ditempeleng gitu sih cuma verbal
    tapi tetep sakit hati

    kalau masalah membayar yg tubuhnya gede emang sering tau sih
    aku pun juga tapi bayarnya pakai jawaban LKS
    jadi mereka kuminta jadi bekingan kalau gak gitu pas SMP aku juga bakal dibuli
    alhasil selama smp engga dibuli gak kayak pas SD ya karena rajin kerjain LKS terus kasihin jawabannya ke "preman-preman" itu buat jadi bodyguard aku
    eh tapi jadinya malah ikutan nakal bully adek kelas

    tapi emang bullyian itu, terutama fisik dan masalah culun emang bikin nyesek

    kalau lagu project pop paling suka yang ingatlah hari ini
    dulu pernah negdance di pensi dan masih teringat mpe sekarang

    kalau minder pernah si apalagi sma ku tergolong elit cuma ya lama lama mas bodoh soalnya meskipun mereka kaya kaya karena lagi-lagi aku kasih jawaban LKS jadi ya mau aja temenan
    entah deh tapi kalau aku enggak kasih jawaban LKS bisa aja juga terkucilkan huhu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rentang usia kita berarti sekitar beda 5 tahun, kah?

      Hmm, saya juga pernah tuh kasih jawaban ke beberapa teman yang jagoan, tapi enggak terlepas begitu aja dari perisakan. Enggak dikasih bisa semakin jahat perlakuannya.

      Ingatlah Hari Ini rasanya sedih buat saya, tapi kok bisa buat dance saat pensi, ya? Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.