Standar Ganda

Kawan saya, Hawadis, memilih rehat membuka Twitter karena muak dengan keributannya dan baru saja membuat tulisan tentang hal itu. Sebagai pengguna aplikasi berlogo burung biru yang termasuk aktif, saya pun cukup sering berada di posisinya. Saya juga sempat menuliskan keluhan-keluhan hingga menjadi utas—yang tiba-tiba saya batalkan dan lebih baik memendamnya di catatan, sebab berpikir kalau ujaran saya tak penting buat dibaca oleh khalayak. Saat mengingat blog ini belum ada tulisan baru lagi, saya kira tak ada salahnya buat membongkar catatan itu, kemudian mengeditnya demi menyesuaikan pembahasan kali ini. Jadi, inilah hasil penyuntingan dari twit-twit tak penting saya.



Setiap kali menemukan orang ribut-ribut di Twitter, di dalam benak saya tak jarang muncul pertanyaan begini: kenapa sih hal yang diributkan kok itu-itu melulu? Tiga hal yang kerap saya temukan dalam perdebatan: 1) cara makan bubur diaduk dan tidak diaduk; 2) boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal bagi orang Islam; 3) tetek bengek pernikahan. 

Untuk yang pertama, mungkin itu lucu-lucuan semata, sedangkan yang kedua kembali ke pilihan tiap individu, dan pada bagian yang terakhir inilah Haw mempermasalahkan mengapa hal pribadi semacam itu diperdebatkan secara umum di Twitter, padahal kan prinsip atau pilihan mereka itu juga enggak akan berdampak sama orang banyak (sebenarnya ini mirip seperti nomor dua). Sewaktu membaca bagian itu, saya jadi sadar bahwa perdebatan mengenai pernikahan ini memang selalu diulang-ulang setiap tahunnya. Sejak 2016 hingga saat ini, dalam setiap tahunnya entah mengapa saya pasti menemukan perdebatan tersebut. 

Yang pertama kali muncul kala saya menggali ingatan di kepala ialah tentang menikah dengan anggaran kecil. Mulanya, ada salah seorang perempuan yang terpicu oleh biaya pernikahan murah di bawah dua juta ala orang-orang penyuka taaruf. Dia yang mungkin termasuk golongan kelas menengah ke atas langsung tak sudi kalau diajak menikah hanya dengan modal segitu. Dia berujar bahwa orang tuanya telah membiayai hidup dan pendidikannya sampai sarjana, masa iya nanti resepsi pernikahannya kayak acara selamatan atau tahlilan? Intinya, enggak level dong, ah. 

Dia lantas mentertawakan, mengutuk, serta memberi kuliah singkat jika mau menikah tuh harus mapan terlebih dahulu. Seperti sudah punya rumah sendiri, gaji minimal sekian, memiliki perencanaan keuangan buat masa depan, dst. Mayoritas pengikutnya tentu sepakat dan ikut-ikutan mengejek pilihan orang yang menikah dengan biaya ala kadarnya itu. 

Pertanyaan saya: setelah itu apa? Apakah setiap orang harus mengikuti standarnya? Berhenti membuat rencana pernikahan dengan biaya seminimal mungkin? Bukankah pada akhirnya akan tetap ada pasangan-pasangan yang menikah berdasarkan prinsipnya masing-masing? Masih tetap ada yang nekat menikah walaupun sadar kondisinya kere tapi sudah telanjur cinta? Terlepas dari mereka nantinya bercerai atau bagaimana, ya itu persoalan lain, kan? 

Lagi pula, setahu saya sih orang-orang yang mereka cerca pilihan menikahnya itu punya target tersendiri. Yang mereka sasar jelas bukan mbak-mbak kelas menengah ataupun perempuan lain yang tak sependapat dengan golongannya. Anehnya, mengapa hal semacam ini bisa terulang lagi dan lagi sebagaimana proses deja vu? Dugaan saya: barangkali karena ada beberapa orang yang ingin pernyataannya mendapatkan validasi dari netizen di Twitter. Mendapatkan banyak retwit mungkin menjadi suatu kenikmatan tersendiri.

Pertanyaan saya selanjutnya: mengapa orang-orang tersebut justru memuja-muja pilihan Suhay Salim yang menikah tanpa menggelar resepsi? Apakah karena Suhay seorang pesohor yang ujaran maupun tindakannya sudah pasti benar dan pantas dicontoh? Bukankah itu jadinya standar ganda? Jika memang tujuan Suhay adalah mengalihkan anggaran resepsi yang besar itu dipakai untuk berbulan madu ataupun biaya kehidupan pada hari esok, lalu netizen bisa sepakat; tapi kenapa kalau mas-mas berjenggot penyuka taaruf yang mengeluarkan opini itu pandangan mereka jadi berbeda, bahkan mencaci maki? 

Mungkin kabar-kabar yang pernah beredar dan masuk ke telinga kita tentang mereka itu buruk, sebab di antara mereka ada yang punya kegemaran mengoleksi istri sampai empat alias berpoligami, sehingga memunculkan asumsi kalau anggaran pernikahan minim dari mereka itu tentu saja suatu bukti bahwa mereka miskin. Tapi, apakah mereka sudah melihat keadaan pria-pria itu secara langsung? Toh, siapa yang tahu isi hati setiap manusia? Bisa jadi memang ada yang niatnya adalah ibadah, lalu memegang teguh prinsip “apa yang berlebihan itu tidak baik”, jadi tak perlu memboroskan biaya resepsi. Uangnya juga mereka tabung buat biaya-biaya tak terduga pada masa mendatang? Walaupun kelas sosial mereka berbeda, tapi bukankah tujuannya itu tak jauh berbeda seperti pendapat si Suhay? 

Jika memang masalah utamanya adalah stigma buruk tentang poligami, bisa juga kan si penganut prinsip “apa yang berlebihan itu tidak baik” sama berlakunya dalam dia mencari pasangan? Satu istri sudah cukup, banyak-banyak malah nanti tak bisa bersikap adil dan bikin repot. Berhubung saya benci banget dengan sikap menggeneralisasi, saya jelas tak mau ikutan menyamaratakan mereka. Memang, saya akui ada orang-orang bobrok semacam itu—yang punya istri lebih dari satu dan tujuannya jelas mengacu pada hawa nafsu—di sekitaran saya. Namun, salah satu abangnya teman saya yang sudah mapan dan berusia 40-an (konon usia ini masa puber kedua dan lagi genit-genitnya sama daun muda) masih tetap beristri satu. Bagi saya, itu sudah cukup membuktikan bahwa masih ada kok beberapa orang yang menerapkan taaruf dan ke depannya tidak neko-neko. 

Sayangnya, kita terlalu cepat dan mudah menilai. Memandang buruk manusia yang gagasannya berseberangan tanpa mau melihat sudut pandang lain. Sekalipun itu jatuhnya urusan pribadi dan hak mereka, pokoknya mah hantam terus karena yang benar cuma golongan kami. Konyolnya, apa yang barusan saya tulis ini menunjukkan bahwa saya juga tergolong manusia berstandar ganda.

Seingat saya, saya waktu itu sempat meledek kaum “Indonesia Tanpa Pacaran”. Saya yang membenci keributan, ternyata pernah menjadi seseorang yang bikin kegaduhan pula di Twitter. Saya pun tak akan pernah lupa dengan kicauan-kicauan saya yang mengejek para bloger penggemar arisan blog (saling gantian berkunjung dan berkomentar basa-basi) yang penuh kepalsuan itu, yang mencari pengikut bukan buat berteman melainkan menggenapkan syarat menjadi buzzer—minimalnya memiliki 1.000 pengikut. Ini masih terekam jelas jejak digitalnya di tulisan: Burung Berkicau

Meskipun begitu, saya kini bisa lebih mengontrol diri sejak tulisan itu diterbitkan. Hawa kebencian dan sifat sinis di dalam diri saya perlahan-lahan berkurang. Saya rupanya jadi lebih kalem sewaktu melihat twit yang opininya kelewat tolol. Saya enggak gampang terpicu lagi seperti sebelumnya. Selama mereka enggak merugikan orang lain, ya udahlah, buat apa ikutan ribut? Apa untungnya buat saya? Seandainya saya sudah bersikap masa bodoh, tapi twit-twit yang enggak saya sukai itu masih tetap nongol di lini masa, saya juga tinggal pilih bisukan atau blokir. Selesai, kan? Enggak usah buang-buang energi terlalu banyak di platform itu. Seumpama saya benar-benar kepengin meracau, ya mendingan diolah jadi tulisan blog yang lebih rapi dan tampak elegan.

Demi mengingatkan diri sendiri pada kemudian hari untuk bersikap lebih santai ketika menemukan pertikaian, saya akan menjadikan lirik lagu Digimon versi bahasa Indonesia sebagai mantra pengingat: “Hal yang bukan urusanmu, lebih baik lupakan saja. Tidak ada waktu untuk bermain-main.”

--

Gambar saya ambil dari jualo.com

29 Comments

  1. memang lebih gampang sesekali tutup mata dan telinga. lagian memang kita selalu hidup dalam ketidaksepakatan dengan orang lain. saya golongan makan bubur diaduk (tapi jangan kerupuknya), sama golongan yang buburnya tidak diaduk tidak mengurangi rasa bubur yang saya makan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak sepakat bukan berarti harus bertikai, kan? Ini ribut-ributnya sudah dalam tahap mengganggu soalnya, Mas. Jika di dalam suatu forum, biasanya akan cari jalan tengah sampai jadi mufakat.

      Delete
  2. Jadi inget, ada video Suhay Salim yang menjelaskan bahwa dia hmm marah atau sedih gitu aku lupa, karena jadi banyak yang ngehubungin dia soal pernikahan di KUA nya. Banyak yang mau wawancara dari berbagai macam media. Padahal dia cuma share satu foto aja di instagram, tapi ributnya se-indonesia. Suhay bilang, aku cuma mau hidup tenang dan mau berbagi informasi kalau aku sudah menikah. Kenapa jadi banyak yang mau tahu urusan personal dia. Beres nonton video itu aku pikir iya juga, Suhay Salim cuma share 1 foto doang, tapi keributan di medsos sampe berhari-hari. Bahkan mungkin sampe hari ini, entahlah.

    Tapi akun-akun yang pernah berkomentar standar ganda itu, bisa jadi cuma sekadar ngetweet ikut-ikutan aja. Mereka setuju menikah saat mapan, mereka juga setuju kalau nikah sederhana. Tapi bukan berarti di kehidupan nyata dia akan melakukannya kan? Bisa jadi akhirnya memilih salah satu atau akhirnya punya cara lain. Jadi kaya cuma berpendapat aja gitu. Menyetujui hal-hal yang dia baca dan yakini aja. Tapi abis itu, udah deh~

    Ini aku ngetik apasih, dah ah laper mau makan aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang punya pendapat sebetulnya cuma mau berbagi, tapi sebagian media dan netizennya merespons sangat berlebihan.

      Saya juga bingung, kenapa ributnya-ributnya enggak berkesudahan. Sampai draf twit saya 1-2 tahun lalu itu sewaktu dibaca ulang ternyata masih bisa diedit jadi tulisan pada hari ini dan pembahasannya pun sama percis.

      Iya, itu ada di pertanyaan awal saya kan, Sya. Setelahnya jelas pada punya prinsip masing-masing dalam menikah. Tapi ikut-ikutan heboh dan bikin kisruhnya ini apakah perlu banget, ya?

      Cuma balik lagi sih, itu hak mereka dan kalau saya enggak suka, ya udahlah. Skip. Saya coba terapkan kalimat penutup tulisan ini.

      Delete
  3. Manusia itu kompleks ya. Kadang pertanyaan-pertanyaan yang tampak sepele ini bisa memberi jawaban besar dan perjalanan yang juga besar.

    Dan saking kompleksnya manusia, kadang-kadang saya sampai pusing dan memilih mengamati yang lain aja. Belakangan lagi maraton nontonin jurnalrisa, sejauh ini jin dan hantu mulai menarik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memahami diri sendiri aja kadang-kadang sulit. Kenapa tiba-tiba bisa merasa sedih tanpa alasan yang jelas, padahal tadinya normal-normal aja. Enggak terpicu apa pun. Rumit sekali, memanglah.

      Gue udah enggak tertarik hal begituan lagi, sih. Bahkan jadi enggak suka horor. Dulu mah doyan melahap meme twit.

      Akhir-akhir ini cuma memperhatikan video-video musik setiap buka Youtube, dan kekaguman akan efek magis sebuah lagu masih ampuh menghibur diri.

      Delete
  4. ALih-alih ikutan ribut, kadang saya juga cuma milih buat nonton dan ngetawain. Kadang mikirnya terlalu jauh, takut nanti ketulah atau setelah ngetwit A eh besokannya malah ngetwit B alias tidak konsisten. Makanya sekarang males banyak ngetwit kalau ada ribut-ribut. Biar saja, itu jadi urusan orang yang suka mengurusi urusan orang lain. Saya kalem aja sama hidup sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya enggak apa juga pemikirannya bergeser. Manusia biasanya kan berkembang pola pikirnya. Cuma kalau dari apa yang gue tulis, itu standar gandanya kenapa berulang-ulang? Haha.

      Selain ngetwit yang urusan pribadi, palingan menyuarakan sesuatu yang penting-penting aja. Kalau yang ribut dan debat tak berujung, buang-buang waktu. Kayak cuma melampiaskan ego sesaat.

      Delete
  5. Itulah mengapa seiring dengan semakin tua usia gw, gw lebih menghayati arti penting pengamalan pasal 28 uud 45 yog, tentang “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
    Jadi ya ga heran tiap kepala bakal beda-beda pendapatnya

    Ya gw cukup menghargai aja lah

    Terus manakala ada suatu issue yang berpotensi menimbulkan beberapa kubu, gw kadang pengennya pilih ga mau tau loh issue apa sih sebenernya (seringnya), tapi kalaupun terpaksanya akhirnya tau ya gw cuma ber-ooo aja ya kan #lah yanglek dung hahaa

    Intinya sih sama ama lu yog, makin ke sini makin ga meledak-ledak lagi kayak jaman abg dulu yang kepengaruh hormonal...apa yang diyakini orang lain sebagai prinsipnya ya monggo kerso...andai ama gw berbeda, ya ga pa pa kok, gw ga mau ngenyek, tetep berteman atau minimal ga saling menyakiti satu sama lain itu akan lebih indah adanya, hehehe

    Dah ah, gw mau kabur dulu hahhahahhaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mulai menghargai pendapat orang lain. Selama itu enggak merugikan banyak manusia, yo sekarepe waelah.

      Karena kadang enggak penting juga kubu-kubuannya ini, Mbak. Contohnya, urusan bikin bekal buat suami aja kemarinan heboh jadi dua kubu. Ada yang mendukung, ada yang mencerca. Jelas-jelas itu urusan rumah tangga orang, dan istrinya bahagia aja bikin masakan buat suaminya, kok malah dibilang perempuan itu budak. Lain cerita kalau ada pemaksaan dan sejenisnya, barulah netizen mesti menyuarakan penindasan tersebut.

      Capek asli membuka Twitter belakangan ini. Kalau mau diskusi mending bareng kawan dekat aja. Beropini di Twitter hanya memancing keributan. Sudah betul pokoknya pilihan Haw buat rehat.

      Delete
  6. Sebelum menikah dengan biaya 'segitu', tentu calon pengantin dan keluarganya juga udah diskusi dulu kan. Seenggaknya kedua belah pihak (terutama pihak perempuan) udah sama-sama mau menerima dan sepakat, misal dengan biaya 'segitu' mereka oke-oke aja. Siapa tahu, memang mereka nggak mau bermewah-mewah, ATAU, memang kemampuannya saat itu baru 'segitu'. Dan bener sih Yog, standar orang kan beda-beda, makanya misal semua orang harus sakleg sama standar dari orang, ya... itu susah terjadi banget.

    Makanya sekarang kalau buka sosmed, terutama Twitter, misal ada keributan apa rame-rame gitu, paling ya sekedar tak baca aja. Nggak sampai ikut-ikutan ribut harus ngetwit dsb. *anaknya memang nggak suka keributan juga sih. hahaha*

    ReplyDelete
    Replies
    1. *sakleg sama standar dari satu orang...

      Delete
    2. Setahu saya mah begitu, Wis. Mungkin dia yang menikah dengan biaya murah juga awalnya mau berbagi anggaran minimnya. Jika niatnya ibadah gitu, nikah enggak repot loh. Seumpama gagasannya begitu. Sayangnya nih, pasti ada pihak-pihak tertentu yang menyalahgunakan. Makanya jadi buruk deh di mata sebagian netizen dan mereka saling mengeluarkan standar masing-masing.

      Delete
  7. Kalo Hawadis memilih rehat dari twitter, gue sebulan ini memilih rehat dari instagram pribadi yang jumlah followersnya paling banyak dari akun gue yang lain. Masih main instagram di akun kecil sekedar buat liat-liaf foto fotografer favorit. Alasannya sama: berisik.

    Iya, twitter kenapa ya akhir-akhir ini ribut banget? Apa enggak bisa mereka memendam pendapat mereka yang sekiranya bakal jadi perdebatan? Gak munafik, pasti satu dua dari 10 ribu tweet gue juga ada yang ngajak ribut orang. Cuma akhir-akhir ini udah gue kurangin. Ada sesuatu yang ganjel, gue alihkan ke chat sahabat terdekat aja. Numpahin isi hati ke mereka. Gue lebih takut ke rekam jejak sih, asli, kalo nulis macem-macem di twitter.

    Makin dewasa, kayaknya emang kita harus makin kontrol diri gak si Yog? Makin banyak kita berpendapat, tanpa sepengetahuan kita itu berseberangan sama temen sendiri, malah gak enak.

    "Oh, ternyata Farih anti sama kaum jenggotan." terus diajuhin. Misalnya.

    Sering-sering aja tumpahin ke blog, biar jadi bahan. Lebih leluasa juga penjelasannya.

    (komen apa si gue)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, Instagram bisa berisik juga sama topik tertentu, kah? Kurang paham gue. Atau malas lihat joget-jogetan gitu di tab explore?

      Gue belum tahu sih daftar pengikut ataupun yang lu ikuti ini seberapa banyak. Soalnya sejauh ini gue memang jarang buka. Pengin buka buat cuci mata aja kayak yang lu pengin lihat fotografer favorit. Gue juga buat menikmati foto pemandangan, makanan, mainan, dan desain. Enggak tahu di mana negatifnya selain semakin banyak konten joget (ini karena gue enggak tertarik aja, sih). Oh iya, gue juga nyaris enggak pernah nonton Story orang lain. Makanya belum menemukan masalah di sana. Haha.

      Iya, kudu banget mengontrol diri. Banyak bacot bikin blunder. Takut enggak sengaja nyakitin teman juga kayak perkataan lu.

      Yoi, semoga sih ke depannya bisa tetap menahan diri buat berkicau, dan langsung menulis di blog aja biar lebih asyik.

      Delete
  8. Semakin kesini kayaknya postingannya tentang keresahan pribadi ya. Saya nggak main Twitter juga nggak aktif di Instagram, jadi saya nggak terlalu update informasi, belakangan karena banyaknya informasi saya sempat stress, demi kesehatan mental saya hapus semua akun sosmed kecuali chrome sama youtube. Kadang saya memilih untuk tidak banyak tahu kalau ttg isu2 yg tidak terlalu penting.

    Zaman sekarang kayaknya kebebasan dalam berbicara sudah disalah artikan, bebas sampai kebabablasan, mereka lupa etika dalam bersosmed. Masyarakat kita kayaknya sudah salah fokus, bener yang dibilang postingan sebelah (howhaw.com) bahwa masalah pribadi dibahas secara umum, masalah yg bersifat umum malah dikembalikan pada pribadi masing-masing.

    Bagi saya yang paling enak sekarang itu ya cuman nontonin desta Vincent di Tonightshow sama stand up, udah.

    Kita juga nggak bisa mengontrol seseorang mau posting apa di akun mereka, ya sekarang terserah kita aja yang memutuskan apa yang berhak kita lihat dan pikirkan dan apa yang nggak boleh masuk ke pikiran kita, we decided. Kalau emang ganggu banget, tinggal di block kayak yang kamu bilang di atas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sejak awal dibuat, tulisan di blog ini memang mayoritas isinya keresahan pribadi, kok.

      Hmm, selain pada kebablasan, lama-lama tong kosong nyaring bunyinya juga karena ujarannya tampak bego banget. Hahaha. Heran aja sih, itu betulan bodoh atau pura-pura? Tapi, apakah memang banyak yang berharap viral dengan kedunguannya? Saya sih sudah malas kalau dikenal karena hal-hal negatifnya. Enggak ada hasrat buat terkenal juga.

      Apa pun tontonanmu itu, yang penting bisa menyenangkan diri. Karena saya bukan penikmat acara itu, saya pun menghabiskan waktu luang dengan manga maupun anime.

      Saya sejujurnya bukan tipe orang yang gemar memblokir hanya perkara enggak suka. Masalahnya, ini udah pilih buat mengikuti akun-akun yang memang disukai, cuma entah kenapa bisa muncul juga akun yang mengganggu itu. Terus-terusan pula. Ya, terpaksa jadinya harus bisukan atau blokir.

      Delete
  9. aku juga sefrekuensi dengan dirimu mas soal hawa sinis mulai berkurang kalau liat twit aneh dan semacamnya
    ya wis biarin
    udah capek aja klo diterusin enggak ada ujung pangkalnya
    lama-lama jadi penyakit eman eman

    tiap orang beda kepala beda pula melihat sisi
    yang paling males emang liat yang terlalu pro atau kontra seakan timnya maha benar
    tapi bagaimanapun di twitter apa apa diributin sih
    masalah bekal makanan kemarin yang sepele gitu aja ribut banget
    subhanallah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Penyakit dari hati yang penuh kebencian katanya bahaya ya, Mas?

      Buka Twitter jadi sering mengucap astagfirullah.

      Delete
  10. tipe istri idamanmu seperti apa, Yog?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kampret ada pertanyaan ini hahaha. Harusnya cewek sih yang nanya siapa tau berakhir ke pelaminan kayak artis yang itu. Wkwk

      Delete
    2. Haw: kalau lagi kencan suka pakai kemeja kuning lemon, parasnya manis, senyumnya aduhai, tidak suka berkhianat, dan tentunya mau sama saya. Oke, asal banget jawabnya. Haha.

      Tiwi: gue enggak pengin berakhir seperti artis yang itu. Toh, belum ada perempuan yang berminat menanyakan hal itu juga. Siapalah aing~

      Delete
  11. Hahaha emang sih pembahasan twitter tuh kok ya jadi kelewatan gitu. Hal-hal yang seharusnya pribadi malah jadi dibahas rame-ramean sekomplek warga twitter, terus bikin 1 kesimpulan sendiri dan saling setuju. Menganggap yang lainnya enggak pas, enggak bagus, kurang baik, dll. Sebenarnya warga twitter sendiri juga saling enggak tahu mana yang bener dan mana yang salah, mana yang realfact dan mana yang asli fake hahaha. Kita hanya sekedar tahu dari tulisan yang di tweet dan sumber bukti foto yang disebar. Selebihnya hanya mengadi-ngadi :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kudu bijak bersosial media, Na. Jangan berlebihan juga merespons suatu keributan. Takutnya kayak kasus Audrey yang banyak ketipu itu, kan. Sudah jelas banyak yang melebih-lebihkan cerita di Twitter kok anehnya juga banyak yang percaya. Haha.

      Delete
  12. Sejauh ini kalau ada konten yang enggak gue suka di Twitter atau Instagram, langsung gue unfollow atau mute. Cukup efektif bikin gue enggak ikut-ikutan apa-apa yang sedang viral hanya biar enggak dibilang kudet. Cukup berhasil sih.

    Btw, 1-2 tahun lalu atau 2-3 tahun lalu gue juga sempat merasa kayaknya seru banget kalau twit gue viral. Kayaknya bakal membanggakan. Terus kesampaian. Beberapa twit pernah dapat retweet ratusan, bahkan pernah ada yang nyampe seribu likes. Dan ternyata gue tidak merasakan sesuatu yang wah. Rasanya biasa aja. Tidak ada rasa bangga, tidak ada rasa senang. Semuanya datar. Setidaknya gue sudah merasakannya dan jadi tau harus ngapain di media sosial. Ini gue ngomong apa sih. Udah ah gue mau sikat gigi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Orang yang viral dan diributin itu juga enggak gue kenal. Jadi mending sekalian kudetlah. Haha.

      Gue belum pernah viral di medsos, sih. Cuma sempat di-notice Koh Alex persoalan menulis buku dan penerbit. Itu pun mulanya enggak ada niat viral. Cuma lagi benci aja dengan sistem penerbitan. Lagian, itu gue masih bau kencur banget. Sok tahu juga ngetwitnya karena berdasarkan kisah orang lain, bukan pengalaman sendiri.

      Gue cuma paham betapa enggak enaknya menjadi sorotan orang banyak. Apakah diri gue aja yang merasa kurang atau belum cocok? Pokoknya sih saat ini gue mendingan jadi orang biasa-biasa aja. Efek dari page one dan foto gue dipakai orang lain aja itu udah bikin jengkel. Terkenal banyak enggak enaknya.

      Makanya sekarang enggak perlu sering-sering menunjukkan sosok diri. Mending orang lain melihat diri gue dari pemikiran atau tulisannya aja.

      Aduh, ini gue balas komentar banyak ngawurnya. Udah ah, mau tidur lagi.

      Delete
  13. Udh terlalu lama aku vakum dari twitter :D. Ntah kenapa udh ga tertarik. Dulu sempet pake Uber Twitter, LBH enak tampilannya, Krn kalo sdg off, trus msk lagi, tweet2 baru mulai dari bawah, jd bacanya LBH enak, dari bawah ke atas.

    Pake yg Twitter bener, tweet2 yg baru msk dimulai dari atas ke bawah, dan itu bikin aku bingung hahahaha. Ato skr udh ga gitu?

    Msh banyak yg ribut2 berarti di sana :D. Aku tipe yg malas ikutan kalo ada yg ribut. Baca2 doang tp abis itu juga bosen. Makanya kdg aku suka ketinggalan kereta kalo sdg ada yg trending :p.

    Duuuh kalo bicara standar ganda, kayaknya itu EMG udh sifat manusia kali yaaa. Namanya aja kita punya rasa benci dan cinta :p. Kalo yg ngomong tokoh fav, udh pasti kita dukung. Coba kalo yg ngomong bukan tokoh kesayangan. Mau sebagus apapun idenya, ttp aja jelek di mata kita hihihi... Aku juga gitu kok kadang :D. Yg penting ga ikutan panas dengan ngeluarin statemnt yg LBH memancing :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang ada pengaturannya. Bisa dari twit yang lagi ngetop alias viral, bisa sesuai urutan waktu--tapi kayaknya ini yang dimaksud Mbak Fanny otomatis refresh jadi baca yang terbaru. Dulu UberSocial juga saya sempat pakai tuh. Jadi, kita masih bisa mengikuti yang kelewat dari twit orang yang kita follow kan selama enggak klik 'home' dua kali. Sekarang mah algoritmanya aneh. Saya enggak ngikutin orang aja twitnya masih suka muncul. Karena pencet 'likes' bakal muncul di beranda. Makanya suka enggak sengaja baca yang keributan.

      Urusan standar ganda ini memang cukup sering terjadi berarti ya. Tinggal bisa dimaklumi atau enggak. Soalnya aneh aja gitu ada yang sampai mengecam seseorang, sementara di sisi lainnya dia juga membenarkan idola sekalipun berbuat salah.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.