Tidak Takut Neraka

Aku, Beni, Coki, Dodo, dan Erwin sedang bermain monopoli di rumah Dodo. Kami semua adalah teman sekelas di kelas 3 SDN Kemanggisan 01 Jakarta yang kebetulan rumahnya berdekatan. Kami memang cukup sering memainkan permainan monopoli pada hari libur. Pada hari Sabtu yang cerah ini, yang kedapatan tugas menjaga bank ialah aku, lalu sisanya menjadi pemain biasa. 



Setelah permainan berjalan satu jam, Dodo ialah pemain yang paling menguasai permainan. Ia memiliki dua blok dengan harga termahal. Terusnya, perusahaan air dan listrik pun jadi kepunyaannya. Sedangkan Beni mengalami nasib sebaliknya, ia menjadi pemain yang paling miskin. Kalau si Coki dan Erwin keadaannya biasa-biasa aja.

Kemudian, saat Beni mengambil kartu dana umum, ia malah mendapatkan kartu yang isinya harus membayar pajak kepada bank. Aku pun menerima uang dengan tawa yang meledek kesialan Beni. Ketika itu, aku melihat wajah Beni berubah kesal. Sepertinya ia iri denganku yang cuma bertugas menjaga bank dan nggak perlu jatuh miskin. Padahal, kan, sebetulnya kayak gini bosan juga. Bagusnya Beni nggak menjitak kepalaku seperti yang biasa ia lakukan pas lagi kesal. Mungkin Beni lebih sebal sama Dodo.

Sejak tadi, Beni sering banget mampir ke tanah milik Dodo. Ya, kayak begitulah Dodo bisa menjadi yang paling cepat kaya. Mungkin hari ini Beni lagi sial. Atau kebetulan Dodo yang beruntung karena main di rumahnya.

Aku terus menunduk ketika melihat Beni memelototiku. Ia memang nggak ngapa-ngapain aku sesudahnya. Tapi aku pikir Beni sudah mengataiku macam-macam di dalam hatinya. Dari mulai kurus, ceking, bogel, cacingan, dan anak tolol—kepanjangan yang ia buat sesukanya dari namaku: Anto. Entah mengapa aku langsung keringet dingin setiap kali ingat dikatain dan dikasarin sama Beni. Mentang-mentang badannya gede, bisa seenaknya sama aku yang badannya kecil begini. Syukur deh ketakutanku akan dijitak nggak terjadi. Permainan pun terus berlanjut.

Beberapa menit setelah itu, ketika giliran Dodo yang melempar dadu, tiba-tiba Beni ngomong, “Dih, bau kentut dah. Lu kentut ya, Do?” 

“Eh, botak! Kau jangan asal menuduh orang, ya!” ucap Dodo kepada Beni. 

Kuping aku langsung pengang karena Dodo ngomongnya setengah teriak. Aku jadi ngerasa apes duduk di sebelahnya gini.

“Berani sumpah, nggak?” Beni bertanya lagi. 

“Maksud kau apa, hah? Segala sumpah-sumpah?” 

“Ya, habisan baunya gue cium dari lu. Coba sumpah kalau emang lu nggak kentut!” 

“SUMPAH, DEMI ALLAH!” 

“Biasa aja dong ngomongnya, nggak usah teriak-teriak gitu!” 

“KAU YANG NYOLOT! NGAJAK KELAHI KAU, YA?” 

Aku paling males kalau keadaan udah kayak gini. Beni sama Dodo emang sering bertengkar. Mereka seperti itu mungkin untuk mencari tahu siapa yang lebih jagoan. Bagus orang tuanya Dodo lagi nggak ada di rumah. Apalagi ibunya yang galak itu, aku paling merinding denger omelannya. Habis itu, Coki dan Erwin langsung memisahkan mereka—Beni dan Dodo. Aku, sih, milih diam aja.

Karena diam aja, tau-tau malah gantian aku yang dituduh sama Beni. Akhirnya aku cuma bisa bilang, “Kok aku?”

Coki, Dodo, dan Erwin pun jadi ikut-ikutan menuduhku karena kata mereka baunya berasal dariku. 

“Jadi, beneran kamu yang kentut, To?” tanya Erwin. 

Aku menjawab bukan karena aku betulan nggak kentut. Terus Beni lagi-lagi jadi kompor dan terus menunjukku. Anak yang lain semakin menatapku curiga. Lalu Beni menyuruhku bersumpah kalau aku beneran nggak kentut. 

“Iya, sumpah demi Allah,” kataku. 

“Ya udah, ayo lanjut main lagi dong temen-temen. Anto udah sumpah tuh. Sekarang udah nggak bau, kan?” kata Coki bermaksud menenangkan suasana.

Baru saja anak-anak kembali tenang dan kembali ingin bermain, tiba-tiba Dodo ngomong ke Beni, “Tunggu dulu. Sekarang gantian kau, Ben, yang sumpah. Dari tadi kau asal menuduh orang. Jangan-jangan kau sendiri yang kentut, ya?!” 

Aduh, mulai lagi.

Beni dengan tegasnya langsung bersumpah dan membuat yakin kami kalau dirinya nggak kentut. Setelah itu, Coki dan Erwin pun ikutan bilang “Demi Allah”. Kami semua akhirnya bersumpah satu per satu kalau nggak kentut. Terus, siapa dong yang kentut? Bagusnya, Coki kembali membuat keadaan jadi lebih adem.

Baru berjalan lima menit, permainan rasanya sudah nggak asyik lagi. Apalagi bau busuk kembali datang. Kami pun saling pandang satu sama lain. 

“Udahlah, cepatan ngaku siapa yang kentut nih. Gue tau ini pasti orang yang sama,” kata Beni. 

Kami semua terdiam. Tapi lagi-lagi Beni menuduhku, “Lu kan, To? Baunya dari lu nih. Ngaku aja dah lu, ceking!” 

“Beneran, aku nggak kentut.”

“Kalau bohong kau masuk neraka, ya?” kata Dodo. 

“Iya, aku masuk neraka kalau kentut. Sumpah demi Allah.” 

Setelah bersumpah seperti itu, mereka masih juga nggak percaya sama aku. 

“Coba kau keluar dari rumahku deh,” ucap Dodo. “Kalau baunya hilang, berarti benar kau yang kentut.”

Aku pun langsung menangis diperlakukan kayak gitu. Dodo sama aja mengusirku. Aku terus bilang ke mereka, “Kalian jahat!” 

Saat berlari keluar dari rumah Dodo untuk pulang, aku sempat mendengar Beni bilang, “Mampus-mampus dah lu masuk neraka! Dasar anak tolol!” 

Aku sedih sekali dikatain seperti itu terus. Apa coba salahku? Sejujurnya, aku menangis bukan karena takut masuk neraka. Aku juga tidak takut neraka karena selalu ngomong jujur. Lagi pula aku memang nggak kentut, kok. Kenapa harus takut? Ibuku pernah bilang, jangan takut kalau nggak salah. Dan beranilah karena benar. Emang, sih, aku cuma cepirit sedikit di celana dan mungkin baunya mirip kentut. Tapi kenapa mereka menuduhku kentut? Kalau mereka menanyaiku soal cepirit, pasti aku jujur.

--

Draf awal ditulis pada 10 April 2018 dan disunting ulang hari ini. Gambar saya ambil dari Pixabay.

25 Comments

  1. Hehehe ini mah lebih parat malah cepirit gitu. Duh gusti

    ReplyDelete
  2. pesan : jangan kentut sembarangan..
    kalopun terpaksa : lempar kentut sembunyi tangan...

    selamat berpuasa
    blogwalking dulu sambil ngabuburit :))

    ReplyDelete
  3. Duh itu berantemnya hampir aja seru. Ajak kelahi aja Kau!!

    ReplyDelete
  4. Anto ini bagusnya dipancung aja. Bukannya cebok malah tinggal main.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Namanya juga masih anak-anak, Kak. Anak tolol pula, kata Beni.

      Delete
  5. Pertanyaannya adalah : "Kenapa si Anto tetep PW-PW aja buat duduk dan meneruskan permainan, padahal kan *mengeluarkan sisa-sisa metabolisme* diantara celana itu, nggak enak sama sekali" ---->Nah, ini mesti pengalaman pribadi si Wisnu XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin tanggung, Wis. Permainan monopolinya belum kelar. Haha.

      Delete
  6. Cerita ini mencerminkan netizen di media sosial. Nggak tau kenapa gue ketawa aja ngebayangin papan monopoli ini kayak medsos. :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, bebas aja. Asal nggak membayangkan yang aneh-aneh pas puasa, Gip. Takutnya batal.

      Delete
  7. kalau saya pribadi juga sangat senang main Monopoli ketika masih SMP dulu...wah mungkin keasyikan main Monopolinya jadi cepiritnya dianggap angin lalu saja...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo SMP saya udah kenal PS dan warnet, Bang. Kayaknya nggak main monopoli lagi. Hehe. Iya, bagi Anto main monopoli > cepirit. Wqwq.

      Delete
  8. Ini si anto masa kecilnya anak kota kayaknya. Karena kalo anak kampung seperti di kampung saya atau di komplek nfirmantap, itu cepiritnya ketahuan karena pasti tembus ke lantai. nak-anaknya belom ada yg pake celana dalam yg melapisi soalnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anto anak Jakarta, Haw. Tertulis di paragraf pertama. :) Eh, seriusan di kampung itu SD belum pakai celana dalam? Saya dari kelas 1 SD udah pake, sih. Kalo nggak make malah aneh, kecuali pas mau tidur.

      Delete
  9. Tidak kentut tapi cuma cepirit, lah sama aja, anto oh anto.

    Besoknya sianto pasti nih dapat julukan dari temannya yg main monopoli tadi, dengan julukan sikentut. Haha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagi Mas Septian mungkin sama. Tapi bagi Anto?

      Julukan versi panjangnya: "Anak-tolol-yang-nggak-mau-ngaku-pas-kentut-dan-berani-bersumpah-masuk-neraka" :(

      Delete
  10. Berarti si Anto cepiritnya gak bening, kalo bening gak bakal sebau itu. Duh, bukannya cepirit itu karena perasaan ingin kentut tapi realita berkata lain? Wkwkwk.

    Hayoloh, nto, udah disumpah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin menurut Anto itu berbeda. Kentut itu hanya angin. Cepirit ada tahinya.

      Delete
  11. Yahhhh si kampret malah cepirit. Tapi bener juga sih itu bukan kentut. Yaelahhh! HAHAHAHA. Kesel gue jadinya udah mikir ada setan dan lain-lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terkadang judul memang dibuat untuk menipu, Rih. :)

      Delete
  12. Nah gitu dong yog, eksperimen aneka cerpennya dari segmen umur apapun, artinya lu berkembang dan kali ini lu nyobain pake bahasa anak sd di fiksi lu kali ini

    Anjirrr tp gw pas memperhatikan kalimat kalimat awal ngerasa ini kayak lagi ngerjain soal logika matematika tes penerimaan kerja gitu bahasa nya hahahahha
    Tapi kesiannmasa dikatainnya anak tolol sih, perasaan di tempat gw anto ga sering diplesetin ke situ wakakkka
    Settingannya tetep ya, daerah kemanggisan
    Jangan jangan anto ini cerminan lu waktu sd ya ahhahhahh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setelah dicoba, bikin cerita anak ternyata susah juga. Terutama gaya naratornya ketika menggunakan sudut pandang orang pertama. Harus membuang jauh-jauh kemampuan berbahasa yang saya punya. Lalu pakai bahasa yang lebih sederhana. Entah itu masih sedikit kebawa gaya saya atau nggak.

      Saya nggak kepikiran sampai situ. Tapi kalau dibaca ulang, iya juga kayak soal logika Matematika. XD

      Kalau di daerah saya, nama Anto pas kecil emang sering diledek begitu, Mbak. Ya, terserah pembaca mau menyimpulkan gimana. Tapi saya nggak suka cepirit, kok. :p Palingan mirip dari fisiknya yang kecil. Terus, kebetulan juga Anto itu nama salah satu temen SD saya, sih. Tadinya mau pake Agus. Cuma bingung cari kepanjangan namanya untuk diledek. Agus bakal jadi anak apa? Ehe.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.