Membasuh Trauma dengan Prosa Hujan

Tadinya ingin kuberikan judul “Kisah Lain dari Patah Hati yang Sempat Tak Selesai dan Bagaimana Aku Disembuhkan oleh Gadis Manis” tapi terlalu panjang dan terlihat norak.

*



—Untuk salah satu mantan kekasihku,

Kaubilang, aku tak tahu caranya berterima kasih. Mungkin kau benar. Atau mungkin aku terlalu sibuk mencoba mengingat bagaimana rasanya menjadi utuh, setelah kau membuatku merasa seperti remah-remah pinggiran roti tawar yang ditinggalkan di meja. Seharusnya aku sadar sejak awal, bahwa setiap kali kau berkata “kita”, kau sebenarnya sedang mengeja “taik”.

Kau datang dan pergi sesukamu, seperti hujan yang tak pernah meminta izin untuk membasahi tanah, kau adalah hujan yang tak lagi mengenal musim. Setelah itu, kau justru berpura-pura menjadi yang paling kedinginan, yang paling basah, yang paling sakit. Aku kira matamu (atau kacamatamu?) itu buram, sebab pandanganmu selalu payah dalam mengenali kenyataan. Atau kebenaran. Atau yang mana sajalah.


Kala itu, pada malam-malam selepas kau pergi, pikiranku adalah kuburan. Di sana, arwah-arwah kebohonganmu menari tanpa musik. Aku sering terbangun dengan keringat dingin dan bertanya-tanya, apakah ini termasuk bagian dari cita-cita seorang penulis fiksi? Apakah ini memang cara kerjanya, menukar imajinasi dengan mimpi-mimpi buruk?

Tolong ajari aku, wahai mantan kekasih. Ajari aku cara merangkai kebohongan menjadi puisi yang indah, seindah caramu mengukir luka di dadaku tanpa setitik pun darah.

Kau barangkali tak pernah tahu, bagaimana duka dan luka itu memasang tenda darurat di hatiku, membangun kota-kota kecil yang runtuh setiap pagi. Duka dan luka itu, dulu menjelma sepotong es krim yang meleleh di aspal, ditinggalkan seorang bocah yang menangis tanpa suara. Atau seperti jas hujan yang terburu-buru dipakai kala petir mengamuk, hanya untuk menemukan langit yang tiba-tiba membuang air matanya ke arah lain.



Parfum yang kaupakai pada malam terakhir kita berjumpa, seakan-akan baunya masih menempel di jaketku. Aroma patah hati, mungkin itulah nama wanginya. Setiap kali tercium, aku kembali ke titik nol, di mana semua percakapan kita terasa seperti dialog dari naskah sinetron yang paling buruk.

Aku benci ketika terlihat nelangsa atau gila hanya karena kepergianmu itu. Jika kau bertanya kenapa aku pernah membencimu, inilah alasannya:

— Aku benci caramu tersenyum seolah kaulah satu-satunya penjual kebahagiaan.

— Aku benci caramu mengatakan “maaf” tanpa sedikit pun penyesalan.

— Aku benci caramu menghilang dan muncul kembali seolah tak pernah ada peristiwa apa-apa.

Dan sekarang, prosa ini adalah semacam surat. Bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Ini adalah pengakuan bahwa aku pernah berterima kasih. Untuk semua kehancuran, untuk semua masa-masa yang penuh rapuh dan ripuh.

Terima kasih, karena kini aku bisa benar-benar pergi dari trauma masa lalu. Aku pergi dengan hati yang tak hanya sembuh, tapi juga mulai tumbuh. Aku tumbuh bersama gadis manis yang tahu caranya berterima kasih.

Buku baru telah kubuka dengan lembaran kosong yang menanti. Bukan kau lagi yang akan menentukan alur ceritanya, tetapi kami, dan kisah kami yang akan tertulis di setiap barisnya. Aku dan dia adalah babak baru, tanpa bayang-bayang kelam. Cinta kami bahkan menjadi sebuah pohon yang akarnya menembus langit, menjemput matahari yang tak pernah kaulihat.

1 Comments

  1. Gadis Payung Ungu13 June 2025 at 00:31

    Terima kasih, Kekasihku. Mari kita membuka lembaran baru, meninggalkan segala trauma dan luka di masa lalu. 💕

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.