César Aira duduk dengan satu kaki disilangkan tinggi di atas kaki lainnya. Ia membaca sambil menunggu, mengenakan sweter abu-abu berkerah syal dan celana jin biru, perut buncitnya menyembul dari sofa berlengan gulung seperti relief. Malam ini, penulis Amerika Latin paling produktif dalam dua puluh tahun terakhir—dia tercatat telah menulis setidaknya delapan puluh novel pendek—akan dinobatkan sebagai salah satu dari sepuluh finalis Man Booker International Prize 2015 (yang kelak akan dimenangkan oleh László Krasznahorkai). Namun, hingga saat ini, kami berdua belum mengetahui hasil yang akan datang itu. Aira, dengan sepatu Derby kulit hitamnya yang teracung ke udara, berusia hampir enam puluh tujuh tahun tetapi bertingkah seperti remaja, bahunya yang acuh tak acuh terkulai berat di balik lehernya yang kurus dan pucat.
Kami pernah bertemu sebelumnya, tetapi ia tidak melakukan kontak mata. Ia terkenal waspada terhadap jurnalis, dan jarang membuka diri untuk diwawancarai. Dua hari sebelumnya, di Toko Buku Greenlight di Fort Greene, Brooklyn, Aira mengabaikan saya untuk pertama kalinya. Ia diundang ke sana untuk membacakan kutipan dari The Musical Brain (diterbitkan oleh New Directions, diterjemahkan oleh Chris Andrews). Ia memilih sebuah cerita pendek dari koleksi tersebut, berdasarkan Cecil Taylor, sang pendiri jazz atonal*. Saya bertemu langsung dengan Aira pada malam sebelumnya, di sebuah apartemen di Upper West Side. Kami berbagi sofa.
Pada halaman-halaman awal cerita “Cecil Taylor”, Aira membayangkan awal mula sang musisi: hari-hari yang menentukan sebelum kejayaan, di New York yang hina, bermain piano-piano kusam dan sumbang—ditolak, dibenci, tertindas. Novelis ikonik asal Chili, Roberto Bolaño, mengatakan bahwa “Cecil Taylor” adalah “salah satu dari lima cerita terbaik yang (bisa) diingatnya.”
Bersembunyi di antara penonton Brooklyn yang didominasi kaum muda—sekitar seratus orang, bahkan mungkin lebih—duduk di barisan kursi paling belakang, terselimut sweter Missoni, ada Cecil Taylor sendiri. Meskipun rambutnya sudah beruban dan tulang punggungnya bungkuk, pria itu tetap tampak berseri-seri bagai pemuda. Setelah pembacaan, Aira menemui sang musisi dan berjabat tangan, mereka berjalan keluar menembus malam. Di Fulton Street, mereka tiba di sebuah pub Jerman tempat mereka duduk berdampingan untuk mengobrol, terutama tentang ibu Taylor. Saya memperhatikan mereka dari jauh, tetapi Aira menceritakan percakapan itu kepada saya keesokan harinya.
Saya dulu tinggal di lingkungan Aira, Flores, di Buenos Aires. Saya dulu makan di Pumper Nic, restoran burger waralaba tempat ia menulis La prueba**. “Saya selalu menulis di kafe,” ujar Aira kepada saya dalam surel lanjutan beberapa hari setelah wawancara kami. “Saya yakin, dari semua buku saya, saya tak pernah menulis satu baris pun di rumah. Ketika Pumper Nic masih ada, saya sering ke sana. Saya menulis novel pendek di sana. Ketika film (berdasarkan buku itu) dibuat, Pumper Nic sudah tidak ada lagi (di Buenos Aires), tetapi sutradara menemukan satu yang masih buka di suatu tempat di luar kota dan menggunakannya sebagai lokasi.” Logo Pumper Nic berupa kuda nil hijau terpampang di tong sampahnya yang besar. Hewan itu dilukis di sana seolah-olah hendak melahap sisa-sisa makanan. Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bahwa saya selalu mengaitkan Aira dengan kuda nil itu, dan dengan gagasan memanfaatkan kembali sisa-sisa kehidupan, mengolahnya menjadi karya fiksi yang elegan: potongan-potongan persepsi menjadi nutrisi yang kuat bagi pikiran, sampah menjadi seni. Keindahan, telah terbukti, selalu terletak di mata yang melihatnya.
Suatu pagi pada musim semi yang dingin di Manhattan, dan kayu bakar menyala di perapian di Gramercy Park Hotel. Agar saya diperhatikan, saya kini mendekat ke sofa, melangkah di bawah lampu gantung yang berkilauan. Dia pasti melihat saya berdiri di sini. Saya hanya beberapa langkah dari tas kerjanya, bersandar di sampingnya di lantai. Meskipun, setelah saya pikir-pikir lagi, Aira yang saya kenal tak pernah membawa apa pun selain buku catatan dan novel. Pria ini, saya sadari, tidak sedang menghindari saya. Dia jelas bukan Aira.
Balik ke meja resepsionis, seorang petugas menelepon kamarnya. Tak seorang pun mengangkat telepon, jadi saya berjalan kembali ke pintu masuk, di dekat kafe, untuk mencari Aira yang asli. Dan di sana saya melihatnya, duduk di bar di atas bangku tinggi berlapis kulit. Ia menyesap kopinya dengan susu dari cangkir porselen besar. Kardigan abu-abunya terkancing rapi. Kesukaannya pada tempat duduk di dekat jendela pastilah ia dapatkan selama masa SMA-nya di kota kelahirannya, Coronel Pringles. Pringles bukanlah tempat yang dibuat-buat, seperti Hogwarts atau Macondo. Ini adalah kota sungguhan, tempat pemandangan pampas yang luas, hamparan padang rumput hijau yang luas, membentangkan imajinasi Aira hingga bermil-mil jauhnya. Pampas juga merupakan geografi pilihan Borges, dan warisannya untuk Aira; di sanalah, kedua penulis itu menghasilkan beberapa karya fiksi terbaik mereka. Pampas inilah tempat Aira membayangkan buku-bukunya, Ema, la cautiva, dan Entre los indios**. Namun, tidak seperti milik Borges, pampa Aira berfluktuasi antara fiksi dan fakta, antara ingatan dan fantasi, dengan keseimbangan yang apik.
Namun, pria di dekat jendela itu tetap bukan dia. Berapa banyak orang yang mirip Aira—yang dirinya sendiri pernah menulis tentang kloning penulis Meksiko Carlos Fuentes—yang mungkin dimilikinya? Namun, ketika saya berdiri di dekat pintu putar, Aira masuk, terlambat dua puluh menit, tangannya terulur. Kami gemetar; ia menggigil seolah ingin menularkan hawa dingin di luar kepada saya. Tulangnya panjang dan dingin, tetapi selain itu ia tampak persis seperti kembarannya. Ia bercerita bahwa ia telah melindungi diri dari musim dingin New York dengan baju hangat, “seperti yang mereka gunakan di Antartika.” Saat kami memutuskan di mana akan berbicara, kami berjalan memasuki aula dansa yang sepi, dipenuhi kursi-kursi ungu terbalik, di mana kami mendapati hanya dua kursi yang saling berhadapan di depan sebuah meja. Ada sekelompok orang di luar yang menunggu untuk menyerbu ruangan dengan membawa balon-balon. Untuk sementara, mereka menjauh dari kami.
—Pablo Calvi
THE BELIEVER: Saya ingin Anda mengunjungi Fort Greene karena saya merasa kita akan bertemu Cecil Taylor dan Anda bisa bertemu langsung dengannya. Apakah dia benar-benar musisi favoritmu sepanjang masa?
CÉSAR AIRA: Dia salah satu musisi yang paling sering saya dengarkan—seseorang yang rekamannya paling banyak saya koleksi. Dia tetap menjadi kenangan nostalgia dari usia dua puluhan, ketika saya berkumpul dengan kawan-kawan saya. Kami akan mendengarkan Cecil dan musisi jaz lainnya, dan free jazz, yang bagi kami dan khususnya bagi saya merupakan ledakan kebebasan, atau radikalisme, dari sesuatu yang pada akhirnya... saya sangat mengapresiasi musik meskipun saya tak punya telinga musik yang bagus. Saya sedikit mengaguminya dari luar. Anehnya, belum lama ini saya berpikir betapa banyak orang yang menikmati musik—begitu banyak orang; semua orang, kan?—tetapi betapa sedikit dari mereka yang benar-benar tahu bahasa musik. Dan mungkin kau bisa menelusuri paralelnya dengan sastra. Berapa banyak orang yang mengonsumsi buku, membacanya, tetapi berapa sedikit dari mereka yang mengetahui apa itu sastra, bagaimana sastra bekerja dengan benar?
BLVR: Tahukah Anda cara kerja musik?
CA: Tidak. Tidak. Itulah mengapa saya katakan saya menikmatinya dari pinggir. Hanya untuk kesenangan. Seiring waktu, saya juga belajar satu atau dua hal—membedakan satu tonalitas dari yang lain. Tapi secara praktis, saya pikir hanya musisi yang tahu cara membaca bahasa musik. Untuk sastra, itu lebih buruk, sebab untuk menjadi musisi kau perlu tahu bahasa musik, tetapi untuk menulis buku kau tidak perlu tahu.
BLVR: Tapi Anda memiliki posisi yang berbeda tentang sastra. Anda mengatakan bahwa sastra adalah seni yang paling sulit.
CA: Ya.
BLVR: Dan saya telah memikirkan hal itu. Ada keajaiban musik, anak-anak yang berusia empat atau lima tahun dan dapat memainkan piano dengan virtuositas yang luar biasa. Tapi tidak ada penulis yang berusia empat atau lima tahun dan telah menulis karya penting.
CA: Nah, ada kasus Rimbaud, mungkin satu-satunya.
BLVR: Dia berusia tujuh belas, delapan belas tahun.
CA: Ya, di usia empat belas, lima belas tahun, ia sudah menulis puisi-puisi hebat. Di usia delapan belas tahun, ia berhenti menulis. Ya. Saya memikirkan hal itu karena hal berikut: Saya selalu berpikir bahwa saya telah memilih sastra melalui proses eliminasi. Di masa muda saya, di tahun 60-an, ada ledakan besar musik rock and roll. Saya ingin menjadi musisi. Semua orang ingin menjadi bintang rock. Ada ledakan besar seni lukis, seni rupa. Di Buenos Aires ada Instituto di Tella. Semua orang ingin menjadi seniman rupa. Ada ledakan besar sinema: gelombang baru Prancis, Antonioni, Bergman. Kami semua menonton banyak film. Kami ingin membuat film. Semua hal itu sulit dan terasa jauh, karena untuk membuat musik kau harus memiliki bakat bawaan. Untuk seni rupa, itu sama saja, dalam cara tertentu. Dan ada pertimbangan praktis dalam membuat film—kau membutuhkan banyak uang. Jadi yang tersisa adalah sastra, yang tidak membutuhkan apa pun selain buku catatan dan pena. Jadi, sepanjang hidup saya, saya berpikir bahwa saya telah memilih sastra melalui proses eliminasi.
BLVR: Saya sedang mengerjakan cerita panjang tentang Basquiat, tetapi tidak secara khusus tentang Basquiat—tentang salah satu asistennya, yang tinggal bersamanya selama beberapa tahun. Mereka menjadi teman; mereka menggunakan narkoba bersama. Dia memberi tahu saya bahwa Basquiat hanya bisa melukis ketika dia mendengarkan seseorang bercerita. Dia tidak bisa melukis sendirian, kecuali hanya ketika dia menerima informasi dari dunia. Dan Anda menulis dengan cara yang serupa, bukan?
CA: Ya, dalam arti tertentu, jika kau menganggap bahwa dorongan awal datang dari sebuah ide yang datang entah dari mana, “out of the blue sky” (diucapkan dalam bahasa Inggris, yang kurang lebihnya berarti: tiba-tiba dari langit biru) atau dari sesuatu yang saya dengar. Tetapi saya tidak pernah merencanakan keseluruhan narasi, cerita pendek, atau novela. Saya hanya mengambil permulaan itu dan terjun ke dalamnya secara membabi buta. Dan kemudian, ya, episode-episode berikutnya biasanya berasal dari hal-hal yang terjadi pada saya, hal-hal yang saya lihat, saya dengar. Saya suka seperti itu karena jika saya merencanakan keseluruhan cerita, akan ada garis lurus dari awal hingga akhir. Namun, jika saya membiarkannya terbuka untuk “serendipity” (diucapkan dalam bahasa Inggris, yang artinya: menemukan sesuatu yang berharga secara tidak sengaja) dan keacakan, garis itu menjadi berliku-liku dan, setidaknya bagi saya, lebih menghibur.
BLVR: Jadi Anda tidak bekerja berdasarkan skor, tetapi Anda bekerja dengan improvisasi, seperti free jazz.
CA: Ya. Saya tidak pernah berpikir seperti itu, tapi ya mirip-mirip. Semacam menulis bebas.
BLVR: Saya mengambil ini dari terjemahan Flaubert: “Kalimat prosa yang baik semestinya seperti baris puisi yang baik, tidak bisa diubah, berirama, dan bersuara merdu.” Apakah Anda setuju?
CA: Saya tak pernah berpikir tentang sastra seperti itu. Bagi saya, prosa yang baik adalah ketika setiap frasa merespons pertanyaan implisit yang tersembunyi dalam frasa sebelumnya. Dengan cara itu, ia bersambung. Itulah rahasia prosa: bahwa untuk setiap frasa yang kautulis terdapat banyak pertanyaan implisit. Misalnya, frasa terkenal Valéry “Sang Marquise pergi keluar pukul lima.” Ada banyak pertanyaan tersirat di dalamnya: mengapa dia pergi keluar? Mengapa dia pergi keluar pukul lima? Ke mana dia pergi? Di mana dia sebelum pergi? Kau memilih salah satu pertanyaan ini dan menjawabnya di frasa berikutnya. Ia pergi karena tak tahan lagi dengan suaminya. Nah, dalam puisi, justru sebaliknya. Puisi menciptakan konstelasi frasa, fragmen. “Sang Marquise pergi pukul lima,” dan jika Anda menulis puisi... “burung-burung bernyanyi saat fajar.”
Itu terdengar seperti puisi John Ashbery. Tapi itu bukan prosa. Prosa sejati—dan bagi saya modelnya ditetapkan oleh para penulis besar Prancis abad ke-18; Diderot, misalnya—prosa sejati adalah prosa bersambung yang bergerak maju dengan menjawab frasa sebelumnya. Jadi, perbandingan dengan puisi, dengan syair, itu keliru.
BLVR: Apakah Anda membaca terjemahan Anda ke dalam bahasa Inggris?
CA: Terkadang saya memeriksanya. Tapi tidak terlalu sering. Seharusnya saya bilang tidak. Bahkan, saya tidak membaca ulang buku-buku saya setelah diterbitkan, apalagi terjemahannya.
BLVR: Ketika saya membaca biografi Borges, di mana dia berbicara tentang momen transisi antara tahun 1920-an dan 1940-an—
CA: Di Argentina, ia langsung dikenali—
BLVR: —dia terlalu cerdik untuk mengakui bahwa dia sedang memposisikan dirinya dalam kanon universal. Dia terlalu sinis untuk menjelaskan bagaimana rasanya proses itu, mungkin karena dia tidak tertarik pada psikologi. Tapi Anda berasal dari tempat yang berbeda. Dan saya berasumsi bahwa Anda mungkin dapat melihat bahwa Anda sedang memposisikan diri di titik penting dalam sastra. Bisakah Anda menjelaskan proses itu, pergeseran itu, kepada kami?
CA: Ya. Saya menjalaninya dengan ketidakpercayaan dan kesedihan tertentu karena kesalahpahaman tersebut. Pada suatu titik saya memuji kesalahpahaman tersebut, sebab saya selalu berpikir bahwa sastra melompat dari pemahaman yang berlebihan ke kesalahpahaman. Ketika kau menulis, kau tahu segalanya tentang apa yang kautulis. Tetapi pembaca akan memahami sesuatu yang lain. Dari terlalu paham hingga salah paham, tanpa berhenti memahami, karena jika mereka memahamimu sepenuhnya, itu berarti kau seorang jurnalis, seorang informan. Tapi sekarang saya merasa sedikit—di sini, atau di Prancis, atau di Jerman—bahwa saya disalahpahami. Saya ingin pulang, menutup pintu, dan menulis untuk diri sendiri.
BLVR: Anda tampaknya sangat tertarik pada topik-topik musik tertentu. Para pemain kastrati adalah contohnya. Mengapa?
CA: Musik dan agama. Agama juga sangat menginspirasi saya. Sebagai seseorang yang benar-benar terpisah dari agama, dan jauh dari perasaan religius apa pun, saya merasa agama menarik. Dalam legenda-legenda keagamaan, dari berbagai agama, saya selalu menemukan sesuatu… Saya ingat sebuah ungkapan dari Borges: tidak ada ide absurd yang belum pernah ditulis oleh seorang filsuf. Dan saya tambahkan: jika sebuah ide terlalu absurd bahkan untuk seorang filsuf, pastilah ide itu berasal dari seorang teolog. (Tertawa kecil)
BLVR: Bagaimana dengan ide kesuksesan, yang merupakan topik yang berulang bagi karakter-karakter Anda? Kesuksesan Cecil Taylor, misalnya, merupakan titik sentral dalam ceritanya. Dia adalah musisi terhebat sepanjang masa, tetapi dia tidak pernah dipahami. Sama seperti Anda?
CA: Ya, itu topik universal, seperti cinta atau Nazisme, ya. Mungkin itu juga topik tentang masa muda. Setelah usia tertentu, kau tidak lagi tertarik pada hal-hal itu, aspek-aspek material dari kesuksesan, terutama ketika beberapa masalah ini telah terselesaikan, dan kau akhirnya bisa hidup tanpa kekhawatiran—khususnya, ketika firasat-firasat kecil atau ledakan kesuksesan yang saya miliki mulai terasa enggak nyaman. Karena hal itu memaksa saya untuk berada di sekitar orang-orang, untuk berbicara, untuk begadang, untuk menahan diri terhadap kepribadian yang dalam kondisi lain tidak akan saya toleransi, untuk tersenyum kepada orang-orang yang biasanya tidak akan saya berikan senyum. Kesuksesan, kesuksesan sejati, mungkin dapat membawamu melewati kalvari sosial. Dan mungkin itulah mengapa begitu banyak bintang berakhir terisolasi, mengurung diri…
BLVR: Banyak buku Anda berfokus pada penduduk asli Amerika. Mengapa Anda begitu tertarik pada mereka?
CA: Saya tidak begitu tertarik pada mereka sebagai topik, tetapi sebagai kerangka yang bagus untuk fiksi murni. Dalam sebuah novel baru-baru ini, kepala suku Cafulcurá (saya menyebutnya Cafulcurá dan bukan Calfucurá, yang merupakan nama aslinya dalam sejarah) adalah tokoh utamanya. Di akhir, dia berdialog dengan iblis. Dan iblis memberi tahu dia bahwa dia tahu mengapa dia menggunakan nama Cafulcurá, salah menempatkan huruf l. Itu karena takhayul. Nama aslinya harus tetap disembunyikan. Cafulcurá adalah nama samaran. Tapi ya, saya suka menulis tentang orang Indian karena saya bisa mengungkapkan sudut pandang saya, menuangkan ide-ide saya. Dalam novel terbaru ini, yang berjudul Entre los indios (Among Indians), saya membuat Cafulcurá menjelaskan ideologinya yang menentang buruh, menentang budaya, dan menentang peradaban.
BLVR: Apakah Anda suka sampul The Musical Brain? Terkadang Anda membahas aspek taktil dari karya sastra. Apakah menurut Anda sampul seperti ini meningkatkan aspek tersebut pada buku?
CA: Ya. Mungkin itulah alasan saya menerbitkan begitu banyak buku. Dan buku-buku kecil juga. Karena saya memang suka buku. Saya telah menghabiskan sebagian besar hidup saya di antara buku, dan buku adalah hidup saya, jadi buku membuat saya bahagia. Dan saya sangat menyukai buku-buku hebat yang dibuat di negara-negara tertentu. Yang paling indah adalah buku-buku Hungaria. Saya tidak tahu mengapa, tetapi buku-buku itu memiliki keanggunan yang luar biasa. Tapi, tentu saja, saya tidak bisa membaca buku-buku ini. Hanya dua hal yang bisa saya baca di buku-buku itu, yaitu César Aira dan Coronel Pringles. Hanya empat kata yang saya mengerti. Bahasa Hungaria adalah bahasa yang fatal. Buku-buku Jepang juga sangat indah karena eksotisme membacanya dari belakang, kolom-kolom kecilnya. Saya suka itu. Saya ingat dulu, saya telah menerbitkan banyak buku, tetapi tidak ada satu pun yang diterbitkan dalam bentuk hardcover. Dan saya bertanya-tanya, Kapankah saat itu akan tiba? (Tertawa kecil) Kini waktu itu telah datang dan berlalu.
BLVR: Bagaimana perasaan Anda tentang status baru sebagai “penulis terkenal” yang telah Anda capai di sini?
CA: Saya tidak terlalu memperhatikannya. Pengalaman ini telah memberi saya sejumlah hal baik: mengunjungi sebuah kota sejenis “ibu kota” seperti New York, misalnya. Namun, pengalaman ini juga memiliki sisi buruknya: semua perhatian itu terpusat pada saya, sesuatu yang tidak saya sukai. Saya ingin ditinggal sendiri, pulang, menulis. Saya menyadari bahwa di sini saya tidak bisa menulis. Saya teralihkan. Bahkan ketika saya mengunci diri di kamar. Dan sebaliknya, saya menyadari betapa menulis sangat membantu saya menjalani hidup. Dan itu membantu saya meskipun saya menulis sangat sedikit—tidak pernah lebih dari setengah jam, mungkin satu jam di pagi hari—dan meskipun akhir-akhir ini saya juga kurang produktif menulis.
BLVR: Mengapa Anda mengatakan bahwa tulisan Anda semakin buruk?
CA: Akhir-akhir ini saya jarang menulis karena masalah keluarga, usia, dan rasa lelah. Mungkin ini juga periode energi rendah yang akan segera saya atasi. Namun, karena hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan karena saya selalu mempertahankan tingkat pekerjaan yang sama, dan hasrat menulis yang sama, perasaan ini sangat menyedihkan bagi saya. Tidak ada yang muncul. Saya memulai sesuatu dan, setelah tiga halaman, rasanya tidak berhasil, saya tidak ingin melanjutkannya lagi. Jadi, mungkin inilah akhirnya. Belum lama ini, saat berbincang dengan seseorang yang sangat cerdas—kurator ini, Hans Ulrich Obrist, seorang kurator superstar—kami membahas inspirasi. Dan saya mengatakan kepadanya bahwa seiring waktu, saya menyadari bahwa inspirasi itu sekunder, tetapi yang utama adalah kemauanmu. Kemauanmu untuk melakukan apa yang kaulakukan. Jika kau kehilangan kemauan itu, inspirasi tak ada gunanya.
--
Wawancara barusan saya terjemahkan dari tulisan ini: An Interview with Cesar Aira
*) Musik atonal adalah jenis musik yang tidak memiliki nada dasar (tonal center) atau kunci nada tertentu, dan tidak terikat pada sistem harmoni tradisional. Berbeda dengan musik tonal yang memiliki nada pusat dan mengikuti aturan harmoni, musik atonal justru menghilangkan ketergantungan pada nada dasar dan kunci, serta seringkali menciptakan kesan ketidakstabilan dan ketidakselarasan.
**) Judul bukunya dalam terjemahan Inggris: The Test, Ema, the Captive, dan The Hare.
***) Castrati adalah penyanyi pria dalam musik klasik yang memiliki suara sopran, mezzo-sopran, atau kontralto, yang dipertahankan melalui pengebirian sebelum masa pubertas. Pengebirian ini dilakukan untuk mencegah perubahan suara yang disebabkan oleh pubertas, sehingga penyanyi dapat mempertahankan suara anak laki-laki yang tinggi.
--
Dari sekian banyak karya César Aira, baru dua novelanya yang berhasil saya baca hingga tuntas (How I Became a Nun dan Varamo), dan satu kumpulan cerpen The Musical Brain yang sempat disebut dalam prolog wawancara barusan.

0 Comments
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.