Racauan yang Tidak Perlu Kamu Percaya

“Usiaku baru 27 tahun, namun rasanya aku sudah kehilangan banyak hal.”
 
Kalimat dari novel Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya karangan Sabda Armandio barusan, yang pertama kali kubaca pada 6-7 tahun silam, entah mengapa sangat menempel hingga hari ini. Terlebih lagi tahun ini aku memang berusia 27 tahun. Usia 27 tahun adalah umur yang identik dengan klub 27—merujuk pada musisi/artis yang meninggal dalam usia 27, baik itu karena pembunuhan, overdosis, ataupun bunuh diri. Di novel ini pun ada bagian yang menyinggung hal itu, persisnya ketika si protagonis berdialog dengan mantan pacarnya buat membahas kematian Brian Jones dan Kurt Cobain secara singkat.
 
Dari seluruh buku yang ada di rak, baru kali ini aku mencetak rekor dalam membaca buku yang sama hingga belasan kali—sejak pertama kali membacanya pada 2015, lantas mengoleksinya pada 2016. Kesukaanku atas novel ini berawal dari momen menginap di indekos seorang teman. Ketika aku sulit memejamkan mata, aku iseng mengecek rak bukunya, kemudian mengambil buku berkover biru lantaran terpikat dengan judulnya walaupun tak pernah mendengar nama penulisnya, dan aku malah keterusan membacanya hingga pagi.
 

 
 
Memang, kala itu aku tak sempat menuntaskannya karena bukunya tak boleh kupinjam dan kubawa pulang (kalau mau membaca kudu di kos), tapi sebagian cerita yang telah kubaca sewaktu berusia 20 itu benar-benar memikatku hingga aku bertekad buat mencarinya sekalian membeli novel tersebut. Ditambah lagi, aku juga penasaran kenapa dia tak mau meminjamkannya? Apakah novelnya memang sebagus itu, sehingga dia takut aku tak bakal mengembalikannya?
 
Pencarianku saat itu gagal. Jadi, ketika aku sudah coba mengeceknya di tiga toko buku dekat rumah, stafnya berkata kalau novel itu kosong, dan mungkin telah ditarik dari peredaran (konon buku-buku yang kurang laku itu usia dipajangnya cuma sebentar). Pencarian itu pun akhirnya terhenti, sebab tak lama setelahnya hidupku juga mandek. Aku tak tahu kau bakal memercayainya atau tidak, tapi selama Januari-Juli 2016 hidupku benar-benar terasa berakhir akibat tenggelam dalam lautan depresi. Masalah keluarga yang bikin mumet, perekonomian di ambang krisis, serta kuliah yang nyaris drop out—dan akhirnya benar-benar terjadi.
 
Oke, sudah cukup kilas balik masa lalu yang menyedihkan itu.
 
Mari balik lagi tentang pencarian, yang kebetulan novel ini juga bercerita tentang pencarian sendok. Protagonis tanpa nama sekaligus narator yang berusia 27 tahun mulai mengenang masa-masa menyenangkan selama sekolah, yaitu momen bolos sekolah selama tiga hari bersama Kamu (teman baiknya di SMA, walaupun di narasi dia mengaku bahwa mereka bukanlah sahabat, dan cuma teman yang biasa saja).
 
Dalam pencarian sendok itu, sang narator berjumpa dengan tokoh unik bernama Kakek Sugali—yang akrab disapa Kek Su. Kenapa kusebut unik? Karena kakek ini gemar memberikan istilah semena-mena seperti burung ababil untuk menyebut mobil, lalu berceloteh dan menangis untuk teh manis. Mayoritas karakter di novel ini memanglah unik—atau bisa disebut ganjil? Mulai dari protagonisnya yang hanya memiliki tujuh jari tangan dan punya kegemaran makan mi instan, Kamu yang hobi mengucapkan salut untuk berbagai kata ganti atau sekadar ujaran tanpa makna, Kek Su yang tadi kusinggung, serta tokoh perempuan teman sekelas yang jatuh cinta dengan ayahnya sendiri.

Namun, keunikan pada setiap karakter yang awalnya kuanggap kelebihan dari novelnya, jika kupikir-pikir ulang rupanya bisa menjadi pedang bermata dua. Misalnya, polisi yang menyamar sebagai tukang bakso alias intel ini ujaran-ujarannya seperti sedang berfilsafat, dan dia juga suka membaca novel-novel Agatha Christie. Keganjilan tokoh yang cuma numpang lewat ini, kalau direnungkan baik-baik justru jadi kelemahan, sebab suara yang keluar bukanlah milik tokoh itu, melainkan kuanggap sebagai suara penulisnya.

Bagian lain yang mulanya terasa oke-oke saja dan kini nilainya berkurang ialah sewaktu Kamu berdebat dengan Johan. Aku paham bahwa bagian itu ditulis untuk mengkritik profesi Johan, yakni guru yang suka menggurui. Sayangnya, di mataku saat ini kritiknya Sabda Armandio akan hal itu juga terkesan menggurui, atau penyampaiannya masih kurang halus.

Sebagai orang yang referensi bacaannya payah pada usia 20 (aku sebelumnya hanya membaca buku kumcer komedi, pengembangan diri, serta komik), berkat novel ini aku jadi berkenalan dengan genre coming of age, dan siapa sangka akhirnya menjadi genre bacaan favoritku. Omong-omong soal referensi, empat tahun silam aku baru sadar bahwa novel ini terpengaruh oleh karya Albert Camus yang berjudul Orang Asing. Sifat si protagonis yang pahit, absurd, serta cenderung pasrah ini mengingatkanku dengan Meursault. Seketika itulah aku juga menyadari kalau nama Kamu ini merujuk ke Camus. Tadinya kupikir Camus dibacanya kamus, ternyata kamyu—huruf s tak dibaca. Sebuah penghormatan yang keren.
 
Seperti yang terlihat jelas di gambar, novel Kamu merupakan buku yang paling banyak kutempelkan post it lantaran banyak kutipan lucu, menarik, sampai bikin merenung. Contohnya: 

1. “Aku ingin menjadi pengarang agar bisa memetakan perasaan dan pikiranku sendiri.”
 
Ucapan itu entah kenapa aku interpretasikan sebagai pencarian jati diri. Seperti diriku yang coba-coba menulis pada usia 17, sampai sepuluh tahun kemudian alias hari ini aku berupaya untuk terus menulis karena masih berusaha mempertanyakan: Apakah aku betulan kepengin menjalani hidup sebagai seorang penulis, meski aku yang sekarang telah paham bahwa menulis tak banyak menghasilkan? Aku masih belum bisa menjawabnya selain tetap menulis dan bertanya.
 
2. “Tapi mungkin aku hanya sedang berusaha mengecoh kesepian.”
 
Saking relevannya, frasa mengecoh kesepian bahkan terus kupakai untuk deskripsi blog ini.
 
3. “Ih, tapi mi instan itu mengandung lilin!”
 Aku menoleh ke arahnya, “Oh, ya?”
 Ia mengangguk, bersungguh-sungguh.
“Kalau begitu, ternyata lilin itu enak.”
 
Aku spontan mengakak atau mengumpat di bagian itu biarpun telah membacanya berkali-kali.
 
4. “Mengarang adalah cara meludahi seseorang dengan santun. Aku ingin sekali meludahi orang-orang sok tahu, kadang aku juga pengin meludahi diriku sendiri. Asyik sekali. Sebab buku nggak akan menyakiti pembaca seperti manusia menyakiti manusia lain. Ya, kan?”
 
Aku sepakat dengan pernyataan itu. Oleh karena itulah aku lebih sering menghabiskan waktu bersama buku ketimbang manusia.
 
 
Berhubung novel ini sangat berkesan untukku, mungkin aku akan terus membacot atau meracau hingga tak ada habisnya. Setidaknya, demi menyudahi segala omong kosong ini, aku ingin sedikit bercerita tentang bagaimana aku berhasil mendapatkan novel Kamu. Pada Oktober 2016, tiga bulan selepas sembuh dari depresi, persisnya ketika aku perlahan-lahan mengikhlaskan kuliahku yang pupus, aku mulai mengambil proyek kerja serabutan sebagai seorang penyurvei yang bertugas ke luar kota. Pada sela-sela jam makan siang, aku membuka Twitter dan melihat akun Sabda Armandio (saat itu pengikutnya baru sekitar seribuan orang, dan aku tak menyangka bakal diikuti balik olehnya) meretwit seseorang yang menginformasikan tentang novel Kamu tersisa empat buah di Gramedia Matraman.
 
Terus terang saja, sewaktu membaca kicauan tersebut aku mendadak ingin pulang saat itu juga demi tidak kehabisan novelnya. Celakanya, aku tengah berada di Cikarang. Jadwal survei kelar biasanya sekitar pukul 8 malam, lalu sampai di Jakarta pukul 10, dan seandainya nanti terjebak macet bisa-bisa baru tiba pukul 11. Pukul segitu toko bukunya telah tutup, pikirku. Seumpama aku nekat izin pulang duluan, aku juga buta arah di daerah sini. Alhasil, pilihan satu-satunya adalah meminta tolong seseorang, yaitu pacarku. Yah, kau tidak salah baca, pada masa itu aku memang masih memiliki kekasih. Dia merupakan orang yang sangat berjasa atas kesembuhanku. Sekalipun aku sadar jika yang membuatku sembuh adalah diriku sendiri, seenggaknya pertolongan dari orang-orang terdekat juga memiliki peranan, bukan?
 
 “Kamu siang ini sibuk, kah? Kalau luang, aku mau minta tolong, dong,” ujarku kepada si pacar via WhatsApp, lantas menjelaskan tentang buku itu sembari bilang kalau nanti uangnya bakal kuganti ketika kami berjumpa, atau bakal mentransfer uang saat ketemu gerai ATM di perjalanan. Sekitar dua jam kemudian, pacarku mengirimkan potret buku itu beserta setruk belanjanya.
 
Sepulangnya bekerja aku langsung mengajak dia ketemuan di kafe dekat rumahnya, sebab aku betul-betul tak sabar untuk membaca novel itu—dan tentunya aku kangen kepadanya. Waktu aku ke sana udah sisa dua, katanya. Untung aja kamu dapet novelnya, ujarku, makasih, ya. Kala aku mengenang bagian yang satu ini, aku segera sadar bahwa orang yang telah berjasa dalam membeli novel Kamu kini sudah menjadi mantan. Sial. Sial. Sial. Meski demikian, aku mendoakan semoga dia dalam keadaan baik. Terima kasih atas hal-hal baik yang telah kauberikan.
 
 
Aduh, bukannya mengulas, aku malah meracau ke sana-kemari. Tapi bodo amatlah.

Bab “Penyair yang Menulis Puisi-Puisi Kecil, yang Mungkin Tak Pernah Dibaca Orang Lain” terasa sangat sentimental buatku. Selain membahas penyair, salah satunya karena ada bagian tentang seorang adik yang meninggal dalam kandungan, dan anjinglah... itu benar-benar mirip dengan kisah hidupku.
 
 
“Pada akhirnya kau akan merasa bahwa hidup hanya buang-buang waktu dan itu membuatmu muak.”
 
Kalimat itu sungguh mewakilkan keresahanku sekarang. Sampai hari ini, meski hidup rasanya benar-benar melelahkan dan bikin muak, setidaknya aku terus berusaha menjalani hidup sebaik-baiknya dan berdoa agar tak perlu tergabung dalam klub 27 tersebut. Namun, jika sewaktu-waktu hal paling buruk terjadi, aku kini cuma ingin meracau begini:
 
Maafkan aku, Bu, aku berulang kali menghancurkan hidupku sebelum benar-benar menjalani sepenuhnya. Seseorang pernah mengatakan, puisi tidak bisa mengubah apa-apa, tapi aku terlalu lugu untuk percaya begitu saja. Buktinya, aku masih bikin sajak tolol di kamar ini, dan berharap ia bisa mengubah segala ketakutanku menjadi suatu keberanian.
 
Pikiranku kini sudah terlalu gelap, pandanganku akan masa depan hampir buta. Tubuhku juga mungkin tidak berisi apa-apa, hanya cangkang kosong. Singkatnya, aku bagai manusia yang sudah tidak takut mati.
 
Apakah aku dikutuk menjadi sesosok bocah di salah satu larik Subagio, Dan Kematian Makin Akrab? Di sana, anak itu dengan polosnya bilang, “Lihat, Bu, aku tak menangis, sebab aku bisa terbang sendiri dengan sayap ke langit.”
 
Bukankah itu lucu, Bu? Kematian bukan lagi momok yang menakutkan. Kematian bisa menjadi kawan akrab. Apakah kematian terkadang bisa menjadi sangat menggembirakan daripada terus-menerus hidup di dunia yang penuh penderitaan ini, Bu? Sampai-sampai aku tak ingin menjadi manusia lagi seandainya reinkarnasi itu ada.
 
Aku tak ingin menjadi manusia lagi sejak manusia semakin terbiasa menyakiti sesamanya, bahkan melakukan perbuatan nista seperti pemerkosaan. Aku tak kuat melihat beberapa dari mereka memusnahkan hewan dan tumbuhan langka demi suatu kepentingan. Apalagi para bajingan yang bisa-bisanya membakar hutan. Apakah mereka melakukan semua itu tanpa ada rasa berdosa, Bu?
 
Aku tak ingin menjadi manusia lagi ketika sebagian dari mereka mulai ingin menggantikan tugas Tuhan, Bu. Ketimbang meneruskan mimpi jadi seorang penyair, aku mau hidup menjadi puisi saja.

--

PS: Aku sadar kalau teks yang tepat pada gambar itu semestinya menggunakan kata poem, tapi aku sengaja mengabaikan grammar dan lebih memilih kata poetry supaya hidupku yang terasa hilang arah ini semakin tampak salah jalan. Oh, Puisi, tolong tunjukkan aku jalan yang benar.

4 Comments

  1. Banyak banget post it nya ya Yog 😄👍. Aku sendiri kalo nemu2 kata yg bagus di suatu buku, masih LBH suka highlight pake stabilo atau dilipat, drpd post it 😅. Apalagi aku tipe yg ga keberatan utk ngelipat halaman buku 😅. Yg penting isi soalnya 🤭

    Aku pernah juga sampe minta tolong teman utk beliin buku, Krn kebetulan tau stoknya abis di mana2, dan hanya bbrp cabang Gramedia aja yg msh punya. Kayaknya gitu yaaa, kalo kita udah suka atau penasaran banget Ama suatu buku, apalagi dr penulis favorit, aku bakal lakuin apapun sih utk ngedapetin buku nya.

    Baca beberapa paragraf terakhirmu, aku sebenernya jadi mikir. Aku sendiri masih ga berani kalo ngebayangin kematian. Kayak ngerasa ga siap Yog. Tapi kalo dunia berubah jadi sedemikian mengerikan, mungkin aku pun bakal lebih memilih lebih cepat ninggalin dunia ini 😔

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah jadi kebiasaan saya, Mbak, buat nempelin post it. Haha. Tadinya juga suka kasih stabilo gitu, tapi sejak mengenal post it segalanya berubah. XD Kalau melipat buku, saya agak sayang.

      Iya, Mbak. Kalau udah suka, bakal tetap cari walau harus nitip dari luar kota atau malah luar negeri (selama uangnya ada). Wqwq. Bahkan seumpama udah punya versi digitalnya, rasanya tetap pengin ngoleksi buku fisiknya.

      Semoga sih baik-baik aja. Haha. Enggak usah terlalu dipikir racauannya. Lagian itu ditulis waktu isi kepala campur aduk (asal keluar tanpa berpikir) dan kebetulan memang sempat terpicu sama salah satu bagian novelnya yang membahas kematian maupun bunuh diri. Yah, kalau dipikir-pikir, hidup memang sangat melelahkan. Apalagi jika nasib tak banyak berubah. Belum lagi merasa sudah terlalu banyak kehilangan. Terlalu banyak melihat/mendengar hal buruk terjadi lewat berita. Namun, pilihan saya hanya bertahan, sih. Seenggaknya saya masih bisa menikmati hidup walau ada aja yang bikin muak. XD

      Delete
  2. Nyari buku ini emang udah susah Ya, pernah nemu ada yg jual buku bekasnya di litbase tapi keduluan orang wkwkwkk. Saya masih nyari buku nya sampe sekarang dan 24 jam bersama gaspar juga belum terbeli 😂, padahal udh cukup lamq juga penasaran dgn tulisannya Sabda

    OH ternyata maksud KAMU disini terinsporasi dari nama Camus?? Wah menarik nihh👀, apakah kepribadian si tokoh Kamu ini juga mirip sama Mersault??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktu 2017-2018 sempat ada di bazar, ada juga toko buku daring yang jual (stoknya bisa 30-an). Kalau sekarang memang udah sulit, Reka.

      Yang masih mudah dicari novela terbarunya atau kumcer. Atau yang paling gampang bisa berlangganan Kumparan+ (kalau pakai Tsel, bisa tukar poin buat akses gratis 3 bulan) dan baca novel digitalnya, Mongrel. Si Dio mencoba hal baru: nulis fiksi ilmiah.

      Yang mirip justru protagonisnya.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.