Untuk Aku yang Ingin Belajar Mengulas

Saya kira sebagian orang masih suka lupa atau belum sadar ketika mereka bermaksud menuliskan ulasan/resensi/review, tetapi yang dihasilkan justru sinopsis, bahkan bocoran cerita. Di tulisan saya sebelumnya yang membahas novela Cesar Aira berjudul Varamo, sejak awal saya sudah menyebutkan itu hanyalah bocoran cerita yang diselipkan komentar-komentar seenak jari, bukan ulasan. Alasan saya menggunakan kata review di tautannya: kebetulan memang lagi bandel aja dan berharap nanti mendapat trafik lumayan—meski saya tak yakin jebakan semacam ini bisa menarik pengunjung. Itu juga bisa dibilang semacam ejekan buat diri sendiri yang mungkin pernah teledor dalam mengulas.
 

 
 
Saya pertama kali paham tentang ‘ulas-mengulas’ ini pada pertengahan tahun 2017, tepatnya sehabis bikin tulisan 48 Jam Bersama Gaspar. Selain dari komentar blog, ada seseorang yang menjelaskan (saya benar-benar lupa siapa orangnya dan via apa menyampaikannya) mengenai apa itu review lantaran saya menulis kalimat berikut: “Sebenarnya gue takut mengulas sebuah buku. Entah kenapa pasti ada rasa cemas kalau bagusnya itu nanti malah dirusak oleh gue yang sok tahu ini. Gue malas bercerita banyak akan kisah di dalamnya. Apalagi nanti ada yang komentar kalau gue spoiler.”
 
Jika ingatan saya tak berdusta, kira-kira saat itu dia menggarisbawahi kalimat ‘malas bercerita banyak akan kisah di dalamnya’ dan kata ‘spoiler’ dengan komentar begini: “Ulasan memang harusnya tentang kesanmu setelah menikmati suatu karya. Apa kelebihan maupun kekurangannya, mana bagian yang kamu suka dan mana yang enggak suka. Jika cuma mengisahkan ulang sebagian plot mah sama aja seperti rangkuman atau ringkasan, dan itu lebih cocok disebut sinopsis.”
 
Di luar dari komentar dia yang sungguh memberi saya pemahaman terkait mengulas, kini saya merasa malu banget sewaktu membaca ulang tulisan tersebut. Waktu itu saya menganggap gaya bercerita Sabda Armandio merupakan suatu kebaruan dan mendobrak kisah detektif, dan belakangan diketahui ternyata saya hanyalah pembaca buku yang miskin referensi. Jauh sebelum Dio menerbitkan Gaspar, sudah banyak penulis yang memakai struktur cerita detektif dan mengembangkannya dengan ciamik. Contohnya, Roberto Bolaño lewat novelnya yang bertajuk The Savage Detectives, yang akhir-akhir ini saya gandrungi. Saya tebak Dio juga terpengaruh oleh karya beliau. Ya, walaupun yang terlihat jelas pengaruhnya ialah Cortazar—merujuk pemakaian nama Cortazar sebagai tokoh motor yang konon dirasuki Jin Citah. Belum lagi saya merasa hari itu payah banget karena masih membawa-bawa perkara selera dalam menentukan bagus-tidaknya sebuah novel. Mestinya buat mengukur bagus atau jeleknya suatu karya kan bisa dianalisis pakai otak—baik secara cetek maupun mendalam. Ketika menunjukkan kesukaan-ketidaksukaan, baru deh itu urusan perasaan dan selera bisa mengambil bagian. Misalnya, novel Seratus Tahun Kesunyian Gabriel Garcia Marquez ditulis dengan teknik penceritaan yang apik, bahkan ledakan karya itu sangat berperan dalam generasi Boom di Amerika Latin*, tapi saya terus terang merasa kurang cocok, atau istilah kerennya: bukan secangkir teh untuk saya. Sedangkan novelet Bolaño By Night in Chile tehnya langsung saya teguk habis dan rasanya cocok di lidah sekalipun ini bukan karya gacoan.
 
Balik lagi ke soal pembocoran cerita yang saya tulis dengan penuh kesadaran, berhubung tantangan Jane dan Lia ini buat seru-seruan dan juga membebaskan cara penulisannya, makanya saya kemarinan berani bikin tulisan model begitu tanpa perlu mengulas secara cermat selayaknya tukang review. Seumpama saya disuruh memberi contoh ulasan, seenggaknya saya bisa menganggap tulisan Lelaki Banyak Mau Membaca Lelaki Harimau sebagai salah satunya. Saya akui itu masih jauh dari kata bagus, dan setahu saya tak ada standar pasti bagaimana cara mengulas yang baik dan benar plus asyik. Paling enggak, saya sedikit-sedikit telah belajar untuk membedakan mana tulisan yang benar-benar ulasan, mana yang cuma sinopsis tapi ngakunya ulasan. Setahu saya, sih, sah-sah aja mengisahkan sebagian alur atau mengutip kalimat dari suatu karya dalam menulis ulasan. Namun, bagi saya itu fungsinya buat mempertegas pendapat, pujian, atau kritik yang kita bikin, sebagaimana saya mencomot kalimat pembuka Lelaki Harimau demi menjelaskan teknik foreshadowing dan keterpengaruhan Gabo.
 
Omong-omong soal mengulas, saya jadi ingin cerita kalau dulu sempat membuat pernyataan sok tahu sekaligus konyol tentang memberi bintang di Goodreads. Bermula dari curahan hati yang gagal diterima sebagai asisten editor fiksi pada Juli 2019—yang salah satu syaratnya punya akun Goodreads aktif, sementara akun saya kentara jelas baru mulai aktifnya saat mendapat info lowongan tersebut. Kala itu, saya kira-kira memiliki standar penilaian semacam ini: Skor 1 untuk buku yang saya anggap jelek banget, skor 2 untuk biasa aja, skor 3 buat yang bagus, skor 4 buat yang bagus banget, serta skor 5 yang alur ceritanya menempel, suka sama penokohannya, gaya menulisnya bikin saya tertantang, atau bahkan minder dan jadi takut buat menulis lagi. Saya menyatakan diri bahwa sejauh ini enggak pernah memberikan nilai 1 dengan alasan itu buku sudah jelek, jadi enggak perlu saya jelek-jelekin lagi, dan mendingan pendam sendiri aja—atau cukup membahasnya bareng kawan yang doyan diskusi sambil mengejek.
 
Saya merasa beruntung hari itu mendapat tanggapan dari Agia dan Rido, duo pembaca buku yang saya kagumi sekaligus hormati, karena secara tak langsung telah menegur saya terkait pemikiran bodoh barusan. Mereka berkata: keasyikan dari main Goodreads, ya, jelas dari membaca berbagai jenis komentarnya, bukan soal buku itu dapat bintang berapa. Agia bilang, ada rasa menyenangkan atau kepuasan personal setiap kali melihat seorang pembaca memuji maupun membantai habis-habisan suatu buku, padahal argumen mereka kurang meyakinkan. Sejak itu, pemikiran saya pun bergeser dan hampir tak pernah memberikan skor lagi atas pembacaan suatu buku, kecuali bintang 5 untuk buku yang benar-benar berkesan buat saya. Saya juga lebih senang menggunakan platform Goodreads sebagai pengingat atas daftar buku yang telah saya baca dalam setahun.
 
Belum lama ini Eka Kurniawan juga sempat mengingatkan saya lewat cuitan kalau jumlah rating sangat enggak penting dan sulit jadi pegangan. Sesingkat apa pun ulasan seseorang, katanya, mending hal itu yang dijadikan acuan. Kesimpulannya: saya sepakat dengan ujaran Rido bahwa hal yang paling persuasif bagi calon pembaca maupun penonton ini terletak di ulasannya, bukan jumlah bintangnya.
 
Oleh sebab itulah, saya sekarang bisa bersikap lebih santai dengan ulasan orang lain atas suatu karya—khususnya buku. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, dan saya justru kepengin tahu penilaian buruk orang lain terhadap suatu karya yang saya favoritkan, yang barangkali saya lewatkan sebelumnya akibat bias dalam menilai. Apesnya, ketika saya kebetulan berada di pihak yang netral (belum menjajal satu pun buku dari seorang penulis yang lagi dihujat), saya justru sering melihat beberapa orang yang buru-buru mengeluh tentang bookshaming, enggak terima jika buku favorit mereka direndahkan, atau selera bacaannya dianggap remeh. Di satu sisi mereka tampak baik, tapi di sisi lain sebagian dari mereka malah termasuk golongan sumbu pendek yang susah diajak berdiskusi, bahkan masih kesulitan buat menjelaskan kepada orang yang kontra kenapa suka banget terhadap buku itu.
 
Saya tak bermaksud membenarkan sikap arogan para pengejek, tapi saya entah kenapa benci dengan orang-orang yang langsung mengumumkan jurus maut bahwa selera bacaan tiap orang berbeda-beda, seolah-olah itu hal yang sakral atau enggak bisa didebat lagi oleh siapa pun. Saya akui, saya sendiri pun pernah menggunakan tameng selera sebagai pembenaran, alih-alih meyakinkan orang itu lewat argumen saya yang kuat, yang mestinya bisa membuka sudut pandang baru baginya. Intinya, saya pernah jengkel dengan opini-opini yang berseberangan dengan pandangan saya tanpa mau memverifikasi pendapat orang lain. Apalagi saya sampai menganggap selera mereka keterlaluan payah, padahal di kemudian hari ucapan mereka yang kontra itu justru ada benarnya sebagai kritikan ataupun bahan renungan.
 
Syukurlah seiring bertambahnya umur sekaligus menyerap berbagai referensi, kini pemikiran saya mulai bertumbuh. Saya juga bisa lebih kalem saat menanggapi silang pendapat. Seperti yang terjadi pada masa sebelum pandemi, kala  beberapa teman di sekitar rumah kerap menghina kenapa saya masih suka baca komik serta menonton anime dalam mengisi kekosongan waktu, sampai-sampai kelewat sering menolak ajakan mereka nongkrong di kafe, dan saya bisa dengan enteng tertawa sambil menjawab:  saya kan memang otaku/wibu, yang sekilas tampak kalau saya sudah tak bisa diselamatkan lagi, tapi percakapan itu malah berakhir dengan salah satu dari mereka meminta rekomendasi. Kejadian itu sungguh menyenangkan bagi kedua belah pihak, sebab saya bukan lagi remaja labil yang punya sikap minder dan menyembunyikan sisi nerd, apalagi diam-diam mengutuk mereka yang berseberangan.
 
--
 
*): Generasi Boom ini setahu saya merujuk pada fenomena karya sastra Amerika Latin yang tiba-tiba meledak dan jadi perbincangan internasional pada era 1960-1970.

PS: Maafkan saya jika beberapa contoh diambil dari ulasan sendiri demi menggampangkan urusan. Lagian, andaikan saya merujuk tulisan orang lain, takutnya nanti berujung salah paham dan kebetulan saya lagi malas cari masalah menjelang puasa. Anggaplah tulisan ini juga sebagai pengingat diri sendiri yang lagi belajar mengulas.

Sumber gambar: https://engage.dss.gov.au/review-of-the-disability-support-pension-dsp-impairment-tables/

17 Comments

  1. Setuju banget sama pernyataan seseorang di kolom komentar postingan Kak Yoga itu. Aku sendiri sebagai seseorang yang suka baca-baca review buku, yang aku cari itu kesan buku tsb. Soal sinopsis/blurb, biasanya kan bisa langsung baca di Goodreads bagian deskripsi dan aku sendiri tipikal orang yang jarang baca blurb, biar lebih penasaran isi bukunya tentang apa dan nggak punya ekspetasi apa-apa gitu hahaha. Bermodalkan kata orang-orang yang aku percayai, kalau mereka kesannya bagus, buku tsb auto masuk list incaranku hahahaha.

    Di Goodreads aku lumayan aktif, tapi itu juga untuk mendata buku saja seperti Kak Yoga lakukan 😂. Nggak pernah kasih bintang 1 karena nggak tega sama penulisnya 😅. Kalau bintang 2 jarang banget, tapi kayaknya pernah beberapa kali beri rating 2 untuk buku yang nggak selesai aku baca hahahaha.

    Membaca ada kaitannya dengan selera, tapi bukan artinya itu untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk referensi atau bahkan meracuni soalnya genre kesukaan biasanya akan berubah seiring berjalannya waktu. Sekarang belum suka genre A, bukan nggak mungkin suatu hari nanti bakal berubah menjadi genre favorit kan? 🤭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya justru tipe orang yang seringnya baca sinopsis atau mencari tahu genrenya dulu biar dapat gambaran, soalnya ada sedikit tema yang memang saya hindari sejak awal. Horor dan thriller yang kelewat brutal, misalnya. Enggak kuat saya menikmati yang begitu, khususnya dalam medium film. Terus kalau di anime saya sebisa mungkin menghindari genre mecha dan harem. Ahaha.

      Saya juga enggak keberatan dengan spoiler atau bocoran cerita dari orang lain selama argumennya betulan memikat. Memang, sih, beberapa kali kehilangan efek kejutnya, tapi kalau karya itu digarap dengan ciamik, biasanya saya bisa terlarut ke dalam cerita dan langsung lupa sama bocoran-bocoran yang pernah saya baca maupun dengar.

      Buku-buku DNF alias yang enggak tuntas ini biasanya tetap dapat rating, ya? Saya sering nemu bintang 1-2 di GR yang ulasannya mayoritas menyatakan belum kelar baca. Sementara saya biasanya mengamalkan nasihat seorang kawan buat tetap selesaikan, dan sekiranya jelek banget, kita jadi bisa mengejeknya dengan puas (walau praktik yang enggak layak ditiru ini biasanya cuma sebatas diskusi tertutup bareng teman dekat, enggak sampai ditulis di suatu platform). Seumpama bukunya terlalu tebal juga mending abaikan aja tanpa harus kasih skor ataupun mengulas.

      Iya, saya cukup sepakat dengan opinimu, Li. Saya sendiri pernah kena karma gara-gara dulu meremehkan teenlit atau buku yang isinya cinta-cintaan, lalu suatu hari saat bikin cerita romansa rasanya kok jelek sekaligus norak banget. Sejak itulah saya mulai berpikir bahwa kisah cinta yang kerap dipandang remeh ini ada kesulitannya tersendiri. Jadi, selama ditulis dengan menarik, apa pun jenis bukunya, ya bakal saya anggap bagus dan rela memujinya tanpa rasa malu.

      Delete
    2. Aku rasa kalau ada hal-hal yang dihindari karena triggering, baca sinopsis terlebih dahulu memang wajib banget hukumnya. Ketimbang udah baca setengah terus nemu adegan yang triggering kan, takutnya bisa merusak mood baca 😅. Pernah ngalamin yang seperti ini nggak, Kak? Kalau aku sendiri kebetulan pencaplok apa saja, brutal-brutal juga masih dihajar walaupun habis itu agak bikin kepikiran dan susah makan 😂

      Untuk sebagian orang, buku DNF tetap mereka beri rating. Kalau untukku, hanya buku DNF yang sempat aku baca endingnya saja yang aku beri rating 😅. Kadang kalau baca buku fisik yang dibeli sendiri, rasanya berat untuk di-DNF-kan karena ngerasa sayang uang 🤣 jadi kalau seperti ini, tetap dipaksa baca sampai sekuatnya huahaha. Kebanyakan buku yang aku DNF itu hasil langganan digital, jadi lebih ikhlas untum DNF. Belakangan banyak influencer yang menyebarkan untuk normalize DNF, setidaknya bikin aku jadi lebih ikhlas kalau ingin DNF buku, mengingat TBR yang masih banyak juga mengantri untuk dibaca 🤣.
      Hahaha pernah kejadian ketemu buku yang bikin ingin mengejek sampai puas?

      Huahahaha karmanya termasuk instant karma nggak, Kak? 😂🤣 Betuls, menulis itu susah banget makanya nggak pernah tega ngasih bintang 1 ke penulis karena effort menelurkan sebuah buku itu besar sekali, dalam genre apapun apalagi yang butuh riset besar.
      Jujur, beberapa tahun lalu aku juga nggak terlalu berminat baca buku cinta-cintaan karena merasa endingnya mudah ketebak 😂 tapi yang bikin aku berubah pandangan karena buku romance jaman sekarang nggak cuma membahas cinta-cintaan, banyak masalah yang lebih dalam yang kadang diselipkan di dalamnya, terus ternyata baca cinta-cintaan bikin mood jadi bagus juga akibat mesem-mesem sendiri kalau kena bagian romantis 🤣.

      Delete
    3. Waktu jajal Haruki Norwegian Wood tanpa bayangan apa-apa yang ternyata isinya muram banget plus ada bahasan bunuh diri itu betulan shock berat, disusul ketularan depresi sampai 3 bulan. Baca Murakami satunya, si Ryu, di novel In the Miso Soup ada adegan pembunuhan yang digambarkan dengan detail, dan akhirnya selama satu minggu kebawa mimpi buruk melulu. Baca atau nonton Fullmetal Alchemist, ada adegan seorang ayah yang melalukan eksperimen sampai mengorbankan anaknya sendiri demi jabatan, itu juga bikin frustrasi. Selebihnya saya lupa. Itu zaman 2016-2018 kira-kira, sih. Soalnya waktu Desember 2020 baca karya Dazai Gagal Menjadi Manusia ternyata mental saya udah lebih kuat. Enggak gampang terpicu lagi. Hahaha.

      Iya, jika udah beli bukunya pasti sayang banget buat DNF. Mending kelarin aja deh meski tahu akan kecewa, atau cara alternatifnya bisa dijual, dibikin GA/kuis, atau dihibahkan ke teman yang barangkali suka. Kalau sistem langganan bulanan sepaket dan bisa baca apa aja atau malah gratisan kayak di iPusnas mah mungkin lebih santai ya buat menelantarkan buku. Karena kita mikirnya rugi waktu, jadi mending cari buku lain sebelum masa berlangganan habis.

      Dulu sewaktu masih doyan mengonsumsi bacaan komedi dan cerita keseharian (personal literatur), saya diam-diam sering mengejek karya beberapa selebritas, khususnya komika alias stand up comedian. Saya enggak mau sebut nama. Pokoknya, saya dulu mengira kalau tulisannya akan selucu dan sebagus mereka perform, atau minimal lelucon itu bisa bikin saya tertawa kecil. Ternyata ampun deh, saya nyengir aja enggak. Dalam segi penceritaan juga minus. Malah ada 1-2 buku yang seingat saya maksa masukin kumpulan kutipan enggak penting di beberapa bab demi mempertebal halaman. Kan bawaannya cuma ingin memaki selama baca itu buku. XD

      Sejak itu, saya paham kalau ada sebagian penerbit latah yang memanfaatkan situasi dan ketenaran para tokoh. Ada yang lagi terkenal sedikit langsung ajak nulis buku, padahal si seleb ini juga kurang paham dunia kepenulisan, sampai-sampai konon ada yang pakai ghost writer dan jadinya cuma numpang nama.

      Saya heran kok mereka bodo amat sama isi tulisan, dan yang terpenting bukunya laku. Saya jadi kasihan sama penggemar si seleb yang masih pada polos dan tertipu mentah-mentah gitu.

      Baguslah bacaan saya bertumbuh dan alhamdulillah akhir-akhir ini enggak ada yang sampai mengeluarkan sifat sinis buat mengejek. Sikap selektif saya dalam menentukan bacaan lumayan menyelamatkan, Li. Meski waktu itu juga pernah, sih, baca gratis di iPusnas lalu kecewa sama kumcer Hemingway yang terjemahannya kacau. Saya sampai tulis ulasannya di blog. Ahaha. Tapi itu ejekannya masih batas wajar menurut saya. Enggak sampai jahat.

      Hm, kira-kira 2 tahunan baru kena karmanya. Itu terhitung lama buat saya. Betul, Li, sekarang udah mulai dibumbui masalah lain.

      Jadi mau curcol kalau belakangan ini saya malah lagi doyan-doyannya mengonsumsi kisah cinta-cintaan. Salah satunya anime My Dress-Up Darling. Rupanya melihat orang kasmaran tuh indah banget, melihat senyuman Marin Kitagawa (tokoh ceweknya) secara enggak langsung bisa menumbuhkan harapan, bikin saya lupa sama problem hidup. Energi positifnya menular. :D

      Oke, balasan saya panjang juga ya kalau udah ngobrolin buku begini. Haha.

      Delete
    4. Itu diaa katanya kalau baca buku tertentu harus siap mental karena takut ketrigger 😂. Sekarang udah jauh lebih mudah untuk ngecek triger warning, bisa lewat Goodreads atau kalau tidak salah ada website khusus yang nyediain info perihal triger warning, tapi aku lupa nama websitenya 😂

      Iya bener banget. Berhubung aku lebih banyak baca digital belakangan ini, jadi banyak buku juga yang kena DNF 😂. Biasanya karena nggak cocok sama gaya kepenulisannya. Tapi biarpun DNF, aku kadang suka intip endingnya dulu. Kalau endingnya menarik, aku lanjut baca lagi hahaha. Kak Yoga gimana cara menghadapi buku DNF? Langsung ditinggal tengah jalan aja?

      Hahaha perihal latah, kayaknya memang sudah wajar kalau banyak orang "latahan" termasuk penerbit sekalipun. Mikirnya mungkin mumpung sedang "masa"nya jadi apa aja dihajar tanpa mikirin kualitas. Kalau yang seperti ini, malah kelihatan sekali kalau penerbit hanya ingin mencari keuntungan, bukan? 😂. Dulu, aku juga penikmat karya yang seperti itu xD tapi jujur nggak terlalu ngikutin dunia penerbitan saat itu, jadi kurang tahu juga siapa yang dimaksud Kak Yoga 🤣. Tenang saja(?)

      Aku paham banget kalau baca buku yang terjemahannya berantakan tuh rasanya gimana 😂 gatel banget pengin kritik bawaannya tapi sadar diri juga kalau nerjemahin itu susah 🤣, jadi agak dilema kalau ingin mengkritik. Tapi karena hal itu, aku lumayan milah-milih kalau baca buku terjemahan, biasanya cuma ingin baca buku yang diterjemahkan oleh penerbit tertentu aja yang aku tahu hasil terjemahannya bagus. Memang nggak bisa dijadikan patokan karena translatornya beda-beda, tapi paling nggak, standartnya sama.

      Woaaaa ngomongin Dress-Up Darling ini, aku kemarin itu sempat lihat manga-nya deh kalau nggak salah. Nggak disangka kalau cowok juga suka lihatnyaa soalnya judulnya cewek banget 😂. Kenapa tertarik nonton anime itu?

      Wkwk kalau udah ngomongin buku mah seru banget 🤣. Ini belum aja manggil para pembaca buku lainnya, kalau udah pada hadir, bisa ramai banget kayak pasar nih 🤣

      Delete
    5. Tergantung tipis-tebal buku, Li. Yang tipis-tipis sekitar di bawah 150 halaman seringnya saya kelarin walau mungkin terasa membuang waktu. Terus ini mandeknya juga di bagian mana. Sekiranya baru di awal-awal udah berhenti, belum sampai pertengahan, saya rasa ini enggak cocok aja sama gaya bercerita penulisnya atau enggak ada satu pun hal di buku itu yang bikin saya mau lanjut baca, dan otomatis memutuskan berhenti. Kalau yang udah sampai pertengahan, bisa jadi faktor mood atau lagi bosan, yang begini biasanya saya tinggalkan sejenak, atau cari buku lain yang asyik dan page turner. Sehabis ngelarin satu buku, saya biasanya termotivasi namatin yang lain. Seumpama pas balik ke buku DNF itu masih enggak ada perubahan, yoweslah langsung tinggalin. Berarti memang dasarnya enggak cocok. XD

      Kalau pakai caramu yang coba langsung mengintip bagian akhirnya, ini pernah saya coba di novel Murakami yang Kronik Burung Pegas. Sehabis mengintip kisah akhirnya itu, saya justru penasaran dan memutuskan balik lagi ke bagian yang saya tinggalkan, padahal sebelumnya sempat capek banget dengan dialog yang bahas perang dan mungkin juga udah muak karena kebanyakan melahap karya dia yang unsurnya itu-itu lagi. Siapa sangka setelah membaca ulang jadi menemukan hal bagusnya. XD

      Yap, ada beberapa penerbit khusus terjemahan yang memang punya standar bagus di mata saya. Kalau penerbit dari antah-berantah, pasti standarnya kurang, dan belum lagi ada kemungkinan mereka menerjemahkan suatu karya tanpa izin, belum membeli hak ciptanya. Soalnya saya perhatikan ada beberapa penerbit nakal. Lain cerita kalau itu karya-karya klasik yang jelas tergolong publik domain ya.

      Kapan-kapan saya coba ceritain di blog aja deh terkait kenapa suka anime itu. Takut di sini komentarnya semakin kepanjangan, Li. :p

      Delete
  2. Kalau soal ulasan buku, saya masih bertahan dengan menceritakan sedikit olot dari bukunya dan dipenuhi curhat pribadi juga kesan2 saat membaca bukunya sih. Saya bahkan enggak tau mengulas yang benar sesuai kaidah itu seperti apa, jadi saya lakukan yang saya bisa dan saya suka.

    Tapi rata2 orang yang mencari hasil ulasan di google, bisa jadi ingin tahu jalan cerita dan plotnya. Saya asumsikan, beberapa dari mereka mendapat tugas Bahasa Indonesia untuk meresensi buku, mudahnya dengan copas ulasan yang ditemui di google saja. Bisa ngomong gini karena pernah mengalami. Hahaha

    Jadi, saya suka heran sendiri kalau ulasan saya banyak dikunjungi, apakah mereka benar2 tertarik membaca "curhat terselubung" saya, atau pada akhirnya hanya bounce rate karena nggak menemukan ulasan seperti yang mereka pikir.

    Sisanya, saya tetap pada gaya saya mengulas. Bodo amat kalo dibilang spoiler. Hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. haduh ada yang typo. Kalimat pertama itu harusnya PLOT bukan olot.

      Delete
    2. Gak apa tipo. Paham itu maksudnya plot. Penulisnya juga kadang suka tipo ketika balesin komentar via HP. XD

      Zaman sekolah-kuliah belum pernah dapat tugas mengulas, jadi enggak tahu standar meresensi buku menurut seorang guru atau dosen seperti apa. Tapi kalau murid-murid ini modal cari di Google dan ternyata salah di mata guru/dosen kasihan kan. Kayak yang saya maksud, disuruhnya mengulas, yang dia tulis sinopsis.

      Memang enggak ada standarnya. Yang saya tahu palingan kalau mau spoiler kudu kasih peringatan di awal.

      Kebanyakan tulisan ulasan yang saya temui suka dibagi beberapa poin gitu. Pertama kasih gambaran cerita atau sinopsis dulu, baru kesan-kesannya di poin berikutnya.

      Model ulasanmu itu menurut saya udah mengikuti kaidah, Wi. Ada nyebutin dari penerbit apa, cetakan keberapa, jumlah halaman, dll. Saya malah enggak pernah kasih info macam begitu. Langsung mengulas sesuka hati. Haha.

      Delete
  3. Aku baca review biasanya di amazon kak. Mungkin karena bacanya dari Kindle. Bisa menghemat dari genre yang kurang pas

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oalah. Di sana ulasannya langsung terhubung, ya? Saya enggak punya Kindle jadi kurang tahu, Kak. XD

      Delete
  4. memang kadang batas antara review dan spoiler jadi bias
    tapi kalau kuingan pelajaran bahasa Indonesia dulu, ada beberapa pakem atau struktur review yang bisa jadi patokan
    klo aku pribadi si yang penting pembaca masih tahu sedikit garis besarnya dan tertarik membaca karya, masih oke oke aja sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di pelajaran bahasa Indonesia ada materi tentang pakem mengulas? Saya udah lupa, sih. Tapi kenapa zaman saya sekolah enggak ada tugas mengulas, ya? Apa karena SMK, jadi mata pelajaran di luar penjurusan kurang dalam materinya?

      Saya cuma ingat tuh tugasnya baca satu buku dalam sehari, lalu besok mesti mengisahkan ulang buku yang dibaca itu di depan kelas (tanpa lihat bukunya). XD

      Delete
  5. Berarti yg aku lakuin sekarang ini mengulas ya Yog, bukan review. Ntr jadi pengen edit semua tulisan di blog yg khusus buku, diganti jadi ULASAN deh 😄. Aku jadi banyak belajar kalo baca tulisanmu ttg tulis menulis. Kayak dulu ingeeet banget kamu pernah kasih tahu juga kata 'kita' yang ga cocok untuk tulisan blog, Krn toh itu hanya dialami oleh aku. Bukan bareng pembaca blog. Kata LBH tepat harusnya 'kami'. Sejak itu aku pelan2 revisi tulisan lama di blog. Tapi lagi stop Krn laptopku rusak. Ntr kalo udah bener mau mulai perbaikan lagi.

    Naah balik soal mengulas . Aku juga berusaha fair sih Yog. Ada banyak buku2 yg ga cocok Ama seleraku, tapi harus diakui bagus. Begitu juga sebaliknya. Tapi kadang Yaa, aku Nemu buku yg bingung mau diulas gimana, Krn ga pengen nulis ulasan yang terlalu jujur 🤣🤣🤣.

    Kayak buku yg aku baca skr. Baguuus temanya. Tapi pas baca percakapan para tokoh, aku tuh ga dapet feel nya. Jadi ngerasa lihat drama telenovela atau serial yg di-dubbing. Ngerti ga .. kaku gitu loh.. ntahlaah, aku blm dpt ide mau bikin ulasan gimana.. nulis terlalu jujur, tapi aku kuatir juga, jangan2 seleraku aja yg salah 😂. Ntr kalo banyak yg ga setuju dan bilang aku sok tahu, males juga ribut wkwkwkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setahu saya, mengulas dan me-review sama kok, Mbak. Mungkin maksud Mbak Fanny yang di blog khusus buku itu lebih banyak cerita terkait alurnya, ya? Kesan atau ulasannya cuma dapat sedikit porsi? Jadi lebih banyak menulis sinopsis ketimbang ulasan?

      Enggak perlu diedit pun enggak apa-apa, kok. Kan nulisnya juga di blog sendiri dan buat seru-seruan. Ini tulisan buat catatan pengingat saya aja seandainya nanti mau ikutan lomba mengulas atau mengkritik gitu, bahwa ulasan baiknya ya menjelaskan kesan-kesan setelah membaca bukunya, bukan terlalu banyak menceritakan ulang alur. Apa yang saya tulis ini juga cuma berdasarkan opini pribadi dan hasil meminjam pemikiran-pemikiran orang lain yang mencerahkan saya. Bisa jadi keliru juga di mata pakar. Haha.

      Oh, iya, kalau penggunaan 'kami' memang dipakai ketika orang lain atau pembaca ini enggak termasuk di dalam ceritanya. Contohnya, sewaktu saya menulis tentang saya dan tokoh Rani, maka saya nanti menuliskan narasinya mesti 'kami berdua', bukan 'kita berdua'.

      Menulis terlalu jujur memang kadang suka menyakiti orang lain, dan dalam hal mengulas buku ini jelas nanti si penulis maupun penggemarnya bisa-bisa marah. Namun menurut saya, enggak ada salah-benar dalam mengulas, karena biar bagaimanapun itu kesan yang kita dapat sehabis menikmati suatu karya.

      Bisa jadi suatu hari nanti malah diri kita yang enggak setuju dengan ulasan yang pernah kita tulis itu lantaran mendapat pandangan baru, atau baru paham di mana letak bagus-jeleknya. Soalnya beberapa buku yang 7 tahun lalu saya anggap bagus pun, sebagian besar hari ini ingin saya kritik atau ejek. Haha.

      Terkait selera yang salah ini agak membingungkan, sih. Seumpama dari 100 orang disuruh menilai bagus/jeleknya suatu karya dan mayoritas pada bilang bagus, lalu ada 5 orang yang punya opini berbeda, saya kira sah-sah aja. Ya, mungkin 5 orang itu betul-betul enggak cocok dan bisa menjelaskan di mana bagian buruknya. Lain cerita kalau mereka cuma sok beda atau sok hipster tanpa punya argumen yang kuat.

      Setahu saya selera ini juga bisa dibentuk sih, Mbak. Macam selera pasar gitulah. Ambil gambaran penerbit A cuma mau menerbitkan novel-novel konvensional. Lalu ceritanya kudu realis. Itu kan mengikuti selera redakturnya. Sementara penerbit B atau lainnya berani menerima naskah yang surealis. Yang bentuk novelnya juga mendobrak standar-standar yang berlaku. Nah, para pembaca penerbit A ketika pertama kali jajal buku dari penerbit B, saya tebak pasti merasa aneh, sebab itu enggak biasa buat mereka. Haha. Jadi, setuju dan enggak setuju atas ulasan ini lumrah banget, sih. Jelas balik ke preferensi pembaca lagi. Palingan ya kasihan dengan kebiasaan orang yang sulit menerima perbedaan. Yang bikin ribut sih biasanya hal itu. Ada satu orang tiba-tiba berani bilang suatu buku isinya buruk dengan suatu analisis, ketika orang lain pada memuji habis-habisan, pasti mayoritas penggemar buku itu murka. Tapi kalau pembaca buku itu mau mendengarkan argumen orang lain dan bersedia memeriksa lagi, saya kira yang muncul adalah diskusi, bukan keributan.

      Delete
  6. Kalo menurutku buat review itu emang susah, aku pribadi udah paham kalau review atau ulasan itu berkaitan dengan kesan terhadap hal yg diulas. Tapi terkadang ketika menulis hal yang disukai misal, seringnya kelepasan membocorkan lainnya. Apalagi kalau yang disukai adalah plot atau alurnya, yaa seringnya sedikit banyak kelepasan huhuhu. Mesti banyak belajar lagi sih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, secara enggak sadar bakal menyebut alur yang kita suka dan secara tak langsung jadinya spoiler. Tapi di tulisan ini kan saya bilang mestinya bisa sekalian buat mempertegas poin yang kita bahas/ulas. Enggak semata-mata ngasih bocoran cerita tanpa ada maksud lain.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.