Wawancara Bersama Bolaño: Membaca Lebih Penting daripada Menulis

Salah satu wawancara yang terhimpun dalam buku The Last Interview and Other Conversations edisi Roberto Bolaño dan bertajuk “Membaca Lebih Penting daripada Menulis” ini dilakukan oleh Carmen Boullosa, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Margaret Carson (dan lewat pos ini, Yoga Akbar S. berupaya menerjemahkannya ke bahasa Indonesia).

Diterbitkan pertama kali di Bomb, Brooklyn, musim dingin 2002.




--

Roberto Bolaño termasuk dalam kelompok novelis Amerika Latin yang paling terpilih. Kudeta Chili, Kota Meksiko pada 1970-an, dan penyair muda yang sembrono adalah beberapa pokok pembahasan yang sering dipilih, tetapi ia juga mengambil tema lain: ranjang kematian César Vallejo, kesulitan yang dialami oleh penulis enggak terkenal, dan kehidupan menggelandang. Lahir di Chili pada tahun 1953, ia menghabiskan masa remajanya di Meksiko dan pindah ke Spanyol pada akhir tahun tujuh puluhan. Sebagai seorang penyair, ia mendirikan gerakan Infrarealis dengan Mario Santiago. Pada tahun 1999 ia memenangkan Penghargaan Rómulo Gallegos, yang sebelumnya diberikan kepada Gabriel García Márquez dan Mario Vargas Llosa, untuk novelnya The Savage Detectives, sewaktu ia juga menerima Penghargaan Herralde yang bergengsi.

Seorang penulis yang produktif, binatang sastra yang tidak membuat konsesi, Bolaño berhasil menggabungkan dua naluri dasar seorang novelis: Dia tertarik pada peristiwa sejarah, dan dia ingin memperbaikinya, untuk menunjukkan kesalahannya. Dari Meksiko ia memperoleh surga mitos, dari Chili neraka yang nyata, dan dari Blanes, kota di timur laut Spanyol tempat ia sekarang tinggal dan bekerja, ia membersihkan dosa keduanya. Tidak ada novelis lain yang mampu menyampaikan kompleksitas megalopolis Kota Meksiko, dan tidak ada yang mengunjungi kembali kengerian kudeta di Chili dan Perang Kotor dengan tulisan yang begitu tajam dan cerdas.

Demi menggemakan kata-kata Bolaño, “membaca lebih penting daripada menulis.” Misalnya, dengan membaca Roberto Bolaño. Jika ada yang berpikir bahwa sastra Amerika Latin tidak melewati momen kemegahan, melihat beberapa halamannya bakalan cukup untuk menghilangkan gagasan itu. Dengan Bolaño, kesusastraan—bom indah yang tak dapat dijelaskan meledak dan dihancurkan, dibangun kembali—harus merasa bangga dengan salah satu kreasi terbaiknya.

Percakapan kami berlangsung via surel antara Blanes dan rumah saya di Kota Meksiko pada musim gugur 2001.

--

CARMEN BOULLOSA: Di Amerika Latin, ada dua tradisi sastra yang mana pembaca rata-rata cenderung menganggapnya sebagai antitesis, berlawanan—atau terus terang, antagonis: yang fantastis—Adolfo Bioy Casares, yang terbaik dari Cortázar, dan yang realis—Vargas Llosa, Teresa de la Parra. Tradisi keramat memberitahu kita bahwa bagian selatan Amerika Latin adalah rumah bagi yang fantastis, sedangkan bagian utara adalah pusat realisme. Menurut pendapat saya, kau menuai keuntungan dari keduanya: Novel dan narasimu adalah penemuan—yang fantastis—dan cerminan realitas yang tajam dan kritis—realis. Dan jika saya mengikuti alasan ini, saya akan menambahkan bahwa ini karena kau telah tinggal di dua tepi geografis Amerika Latin, Chili dan Meksiko. Kau tumbuh di kedua sisi. Apakah kau keberatan dengan gagasan ini, atau apakah itu menarik bagimu? Sejujurnya, saya merasa agak tercerahkan, tetapi juga membuat saya tidak puas: Penulis terbaik dan terhebat (termasuk Bioy Casares dan antitesisnya, Vargas Llosa) selalu mengambil dari dua tradisi ini. Namun dari sudut pandang Utara yang berbahasa Inggris, ada kecenderungan untuk mengelompokkan sastra Amerika Latin hanya dalam satu tradisi.


ROBERTO BOLAÑO: Saya pikir para realis datang dari selatan (maksud saya negara-negara di Kerucut Selatan), dan penulis yang fantastis datang dari bagian tengah dan utara Amerika Latin—jika kau memperhatikan pengelompokan ini, yang mana kau tidak harus, dalam keadaan apa pun, menganggapnya serius. Sastra Amerika Latin abad kedua puluh telah mengikuti impuls imitasi dan penolakan, dan mungkin terus melakukannya untuk beberapa waktu pada abad kedua puluh satu. Sebagai aturan umum, manusia meniru atau menolak monumen-monumen besar, bukan harta kecil yang nyaris tak terlihat. Kita memiliki sangat sedikit penulis yang telah mengembangkan yang fantastis dalam arti yang paling ketat—mungkin tidak ada, karena antara lain, keterbelakangan ekonomi tidak memungkinkan subgenre berkembang. Keterbelakangan cuma memungkinkan karya sastra yang hebat. Karya yang lebih rendah, dalam lanskap monoton atau apokaliptik ini, adalah kemewahan yang tak terjangkau. Tentu saja, itu tidak berarti bahwa kesusastraan kita penuh dengan karya-karya besar—justru sebaliknya. Pada awalnya penulis bercita-cita untuk memenuhi harapan ini, tetapi kemudian kenyataan—kenyataan yang sama yang telah mendorong aspirasi ini—bekerja untuk menghambat produk final. Saya pikir hanya ada dua negara dengan tradisi sastra otentik yang terkadang berhasil lolos dari takdir ini—Argentina dan Meksiko. Mengenai tulisan saya, saya tidak tahu harus berkata apa. Saya kira itu realistis. Saya ingin menjadi penulis yang fantastis, seperti Philip K. Dick, meskipun seiring berjalannya waktu dan saya semakin tua, Dick tampaknya semakin realistis bagi saya. Jauh di lubuk hati—dan saya pikir kau akan setuju dengan saya—pertanyaannya tidak terletak pada perbedaan realis/fantastis tetapi dalam bahasa dan struktur, dalam cara melihat. Saya tidak tahu bahwa kau sangat menyukai Teresa de la Parra. Ketika saya di Venezuela, orang-orang banyak membicarakan tentang dia. Tentu saja, saya belum pernah membacanya.


CB: Teresa de la Parra adalah salah satu penulis wanita terhebat, atau penulis terhebat, dan ketika kau membacanya, kau akan setuju. Jawabanmu sepenuhnya mendukung gagasan bahwa arus listrik yang mengalir melalui dunia sastra Amerika Latin cukup serampangan. Saya tidak akan mengatakan itu lemah, karena tiba-tiba itu mengeluarkan percikan api yang menyala dari satu ujung benua ke ujung lainnya, tetapi hanya sesekali. Tapi kita tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang saya anggap sebagai kanon. Semua divisi semaunya sendiri, tentu saja. Ketika saya berpikir tentang selatan (Kerucut Selatan dan Argentina), saya berpikir tentang Cortázar, cerita khayalan Silvina Ocampo, Bioy Casares, dan Borges (ketika kau berurusan dengan penulis seperti ini, peringkat bukanlah masalah: Tidak ada “nomor satu,” mereka semua adalah penulis yang sama pentingnya), dan saya memikirkan novel pendek serta buram karya María Luisa Bombal, House of Mist (yang ketenarannya mungkin lebih karena skandal—dia membunuh mantan kekasihnya). Saya akan menempatkan Vargas Llosa dan de la Parra yang hebat di kamp utara. Tapi kemudian segalanya menjadi rumit, karena saat kau bergerak lebih jauh ke utara, kau menemukan Juan Rulfo, dan Elena Garro dengan A Solid Home (1958) dan Recollections of Things to Come (1963). Semua kelompok seenak jidat: Tidak ada realisme tanpa fantasi, dan sebaliknya.

Dalam cerita dan novelmu, dan mungkin juga dalam puisimu, pembaca dapat mendeteksi penetapan nilai (serta penghormatan yang dibayarkan), yang merupakan blok bangunan penting dalam struktur naratifmu. Saya tak bermaksud bilang novelmu ditulis dalam kode, tetapi kunci keselarasan naratifmu mungkin terletak pada caramu memadukan kebencian dan cinta dalam peristiwa yang kauceritakan. Bagaimana cara kerja Roberto Bolaño, sang ahli keselarasan?


RB: Saya tidak percaya ada lebih banyak nilai yang ditetapkan dalam tulisan saya ketimbang di halaman-halaman buku penulis lain. Saya akan bersikeras pada risiko yang terdengar bertele-tele (yang mungkin saya sendiri, dalam hal apa pun), bahwa ketika saya menulis satu-satunya hal yang menarik bagi saya adalah tulisan itu sendiri; yaitu, bentuk, ritme, plot. Saya mentertawakan beberapa sikap, pada beberapa orang, pada aktivitas dan hal-hal penting tertentu, hanya karena ketika kau dihadapkan pada omong kosong seperti itu, oleh ego yang begitu tinggi, kau tidak punya pilihan selain tertawa. Semua kesusastraan, dalam arti tertentu, bersifat politis. Maksud saya, pertama, itu refleksi politik, dan kedua, itu juga program politik. Yang pertama mengacu pada kenyataan—pada mimpi buruk atau mimpi baik yang kita sebut kenyataan—yang dalam kedua kasus berakhir dengan kematian dan pemusnahan tidak hanya kesusastraan, melainkan juga waktu. Yang terakhir mengacu pada potongan-potongan kecil yang bertahan, yang berlangsung; dan beralasan. Meskipun kita tahu, tentu saja, bahwa dalam skala manusia, kegigihan adalah ilusi dan akal hanyalah pagar rapuh yang membuat kita tidak terjerumus ke dalam jurang. Tapi jangan hiraukan apa yang baru saja saya katakan. Saya kira seseorang menulis karena kepekaan, itu saja. Dan mengapa kau menulis? Kau sebaiknya tidak memberi tahu saya—saya yakin jawabanmu akan lebih fasih dan meyakinkan daripada jawaban saya.


CB: Benar, saya tidak akan memberi tahumu, dan bukan karena jawaban saya akan lebih meyakinkan. Tetapi saya harus mengatakan bahwa jika ada alasan mengapa saya tidak menulis, itu di luar kepekaan. Bagi saya, menulis berarti membenamkan diri di medan perang, mengiris perut, melawan sisa-sisa mayat, lalu berusaha menjaga medan pertempuran tetap utuh, tetap hidup. Dan apa yang kau sebut “penetapan nilai” tampaknya jauh lebih ganas bagi saya dalam karyamu daripada kebanyakan penulis Amerika Latin lainnya.

Di mata pembaca ini, tawamu lebih dari sekadar isyarat; itu jauh lebih korosif—ini merupakan pekerjaan penghancuran. Dalam buku-bukumu, bagian dalam novel berjalan dengan cara klasik: Sebuah fabel, sebuah fiksi menarik pembaca dan pada saat yang sama membuatnya menjadi kaki tangan dalam membongkar peristiwa-peristiwa di latar belakang yang kau, sang novelis, sedang mengisahkannya dengan kesetiaan yang ekstrim. Tapi mari kita tinggalkan itu untuk saat ini. Tidak seorang pun yang telah membacamu dapat meragukan imanmu dalam menulis. Ini adalah hal pertama yang menarik pembaca. Siapa pun yang ingin menemukan sesuatu selain menulis sebuah buku—misalnya, rasa memiliki, atau menjadi anggota klub atau persekutuan tertentu—tidak akan menemukan kepuasan dalam novel atau ceritamu. Dan ketika saya membacamu, saya tidak mencari sejarah, menceritakan kembali periode yang kurang lebih baru-baru ini di beberapa sudut dunia. Beberapa penulis melibatkan pembaca sebaik yang kau lakukan dengan adegan konkret yang bisa menjadi bagian statis yang lamban di tangan penulis “realis”. Jika kau termasuk dalam tradisi, apa yang akan kausebut itu? Di mana akar pohon silsilahmu, dan ke arah mana cabang-cabangnya tumbuh?


RB: Sebenarnya, saya tidak terlalu percaya pada tulisan. Dimulai dari saya sendiri. Menjadi seorang penulis itu menyenangkan—bukan, menyenangkan bukanlah kata yang tepat—itu adalah aktivitas yang memiliki momen-momen menghibur, tapi saya tahu hal-hal lain yang bahkan lebih menghibur, mengasyikkan seperti halnya sastra bagi saya. Merampok bank, misalnya. Atau menyutradarai film. Atau menjadi gigolo. Atau menjadi anak-anak lagi dan bermain di tim sepak bola yang kurang lebih apokaliptik. Sayangnya, bocah itu tumbuh dewasa, perampok bank terbunuh, pembuat film kehabisan uang, gigolo sakit, dan kemudian tidak ada pilihan lain selain menulis. Bagi saya, kata “menulis” adalah kebalikan dari kata “menunggu”. Alih-alih menunggu, ada tulisan. Yah, saya mungkin salah—mungkin saja menulis adalah bentuk lain dari menunggu, menunda sesuatu. Saya ingin berpikir sebaliknya. Tapi, seperti yang saya katakan, saya barangkali salah. Mengenai ide saya tentang kanon, saya tidak tahu, itu seperti ide orang lain—saya hampir malu untuk memberi tahumu, ini sangat jelas: Francisco de Aldana, Jorge Manrique, Cervantes, penulis sejarah Hindia, Sor Juana Inés de la Cruz, Fray Servando Teresa de Mier, Pedro Henríquez Ureña, Rubén Darío, Alfonso Reyes, Borges, hanya untuk beberapa nama dan tanpa melampaui ranah bahasa Spanyol. Tentu saja, saya ingin mengeklaim masa lalu kesusastraan, tradisi, yang sangat singkat, hanya terdiri dari dua atau tiga penulis (dan mungkin satu buku), tradisi memesona yang rentan terhadap amnesia, tetapi di satu sisi, saya tidak terlalu bagus terkait karya saya dan di sisi lain, saya telah membaca terlalu banyak (dan terlalu banyak buku telah membuat saya bahagia) untuk menikmati gagasan konyol semacam itu.


CB: Apakah tidak sewenang-wenang kau menyebut sebagai penulis leluhur kesusastraan yang menulis secara eksklusif dalam bahasa Spanyol? Apakah kau memasukkan dirimu ke dalam tradisi Hispanik, dalam arus yang terpisah dari bahasa lain? Jika sebagian besar sastra Amerika Latin (terutama prosa) terlibat dalam dialog dengan tradisi lain, saya akan mengatakan bahwa ini benar dalam kasusmu.


RB: Saya menyebutkan penulis yang menulis dalam bahasa Spanyol untuk membatasi kanon. Tak perlu dikatakan, saya bukan salah satu monster nasionalis yang hanya membaca apa yang dihasilkan oleh negara asalnya. Saya tertarik pada sastra Prancis, pada Pascal, yang dapat meramalkan kematiannya, dan perjuangannya melawan melankolis, yang bagi saya tampaknya kini lebih mengagumkan daripada sebelumnya. Atau kenaifan utopis Fourier. Dan semua prosa, biasanya anonim, dari penulis sopan santun (beberapa ahli tata krama dan beberapa ahli anatomi) yang entah bagaimana mengarah ke gua tak berujung di Marquis de Sade. Saya juga tertarik pada sastra Amerika tahun 1880-an, terutama Twain dan Melville, dan puisi Emily Dickinson dan Whitman. Sebagai seorang remaja, saya melewati fase ketika saya hanya membaca Poe. Pada dasarnya, saya tertarik pada sastra Barat, dan saya cukup akrab dengan semuanya.


CB: Kau hanya membaca Poe? Saya pikir ada virus Poe yang sangat menular di generasi kita—dia adalah idola kita, dan saya dapat dengan mudah melihatmu sebagai remaja yang terinfeksi. Tapi saya membayangkan kau sebagai penyair, dan saya ingin beralih ke narasimu. Apakah kau memilih plot, atau apakah plot mengubermu? Bagaimana kau memilih—atau bagaimana plot memilihmu? Dan jika keduanya tak benar, lalu apa yang terjadi? Penasihat Pinochet tentang Marxisme, kritikus sastra Chili yang sangat dihormati membaptis Sebastián Urrutia Lacroix, seorang pendeta dan anggota Opus Dei, atau tabib yang mempraktikkan Mesmerisme, atau penyair remaja yang dikenal sebagai Detektif Liar—semua karaktermu ini memiliki lawan sejarah. Mengapa demikian?

RB: Ya, plot adalah hal yang aneh. Saya percaya, meskipun mungkin ada banyak pengecualian, bahwa pada saat tertentu sebuah cerita memilihmu dan tidak akan meninggalkanmu dalam damai. Untungnya, itu tidak begitu penting—bentuk, struktur, selalu menjadi milikmu, dan tanpa bentuk atau struktur tidak ada buku, atau setidaknya dalam banyak kasus itulah yang terjadi. Katakanlah cerita dan plot muncul secara kebetulan, bahwa mereka termasuk dalam dunia kebetulan, yaitu kekacauan, ketidakteraturan, atau ke dunia yang terus-menerus kacau (ada yang menyebutnya apokaliptik). Bentuk, di sisi lain, adalah pilihan yang dibuat melalui kecerdasan, kelicikan, dan keheningan, semua senjata yang digunakan oleh Ulysses dalam pertempurannya melawan kematian. Bentuk mencari kecerdasan; cerita mencari jurang. Atau menggunakan metafora dari pedesaan Chili (yang buruk, seperti yang akan kaulihat): Bukannya saya tidak suka tebing, tetapi saya lebih suka melihatnya dari jembatan.


CB: Para penulis wanita terus-menerus terganggu oleh pertanyaan ini, tetapi saya tak dapat menahan diri untuk tidak menanyakannya kepadamu—jika hanya karena setelah ditanyai berkali-kali, saya menganggapnya sebagai ritual yang tak terhindarkan, meskipun tidak menyenangkan: Berapa banyak materi otobiografi yang ada dalam karyamu? Sejauh mana potret diri itu?


RB: Potret diri? Tak banyak. Potret diri membutuhkan jenis ego tertentu, kesediaan untuk melihat diri sendiri berulang kali, minat yang nyata pada dirimu atau dirimu sebelumnya. Sastra penuh dengan otobiografi, beberapa sangat bagus, tetapi potret diri cenderung sangat buruk, termasuk potret diri dalam puisi, yang pada awalnya sepertinya lebih cocok untuk genre potret diri daripada prosa. Apakah karya saya otobiografi? Dalam arti tertentu, bagaimana mungkin tidak? Setiap karya, termasuk yang epik, dalam beberapa hal adalah otobiografi. Dalam Iliad kita mempertimbangkan nasib dua aliansi, kota, dua pasukan, tetapi kita juga mempertimbangkan nasib Achilles dan Priam dan Hector, dan semua karakter ini, suara individu ini, mencerminkan suara, kesendirian, dari sang pengarang.


CB: Ketika kita masih penyair muda, remaja, dan berbagi kota yang sama (Kota Meksiko pada tahun tujuh puluhan), kau adalah pemimpin sekelompok penyair, Infrarealis, yang telah kau mitologiskan dalam novelmu, The Savage Detectives. Ceritakan sedikit tentang apa arti puisi bagi kaum Infrarealis, tentang Kota Infrarealis di Meksiko.


RB: Infrarealisme adalah semacam Dada ala Meksiko. Pada satu titik ada banyak orang, tidak cuma penyair, tetapi juga pelukis dan terutama pemalas dan pengikut-pengikutnya, yang menganggap diri mereka Infrarealis. Sebenarnya hanya ada dua anggota, Mario Santiago dan saya. Kami berdua pergi ke Eropa pada tahun 1977. Suatu malam, di Rosellón, Prancis, di stasiun kereta api Port-Vendres (yang sangat dekat dengan Perpignan), setelah mengalami beberapa petualangan yang membawa malapetaka, kami memutuskan bahwa pergerakan semacam itu telah berakhir.


CB: Mungkin itu berakhir untukmu, tetapi itu tetap hidup dalam ingatan kami. Kalian berdua adalah teror dunia sastra. Saat itu saya adalah bagian dari kerumunan yang sungguh-sungguh dan serius—dunia saya begitu terputus-putus dan tidak berbentuk sehingga saya membutuhkan sesuatu yang aman untuk dipegang. Saya menyukai sifat seremonial pembacaan puisi dan resepsi, peristiwa-peristiwa absurd yang penuh dengan ritual yang kurang lebih saya ikuti, dan kau adalah pengganggu pertemuan ini. Sebelum pembacaan puisi pertama saya di toko buku Gandhi, pada tahun 1974, saya berdoa kepada Tuhan—bukannya saya benar-benar percaya pada Tuhan, tetapi saya membutuhkan seseorang untuk dipanggil—dan memohon: Tolong, jangan biarkan Infrarealis datang. Saya takut membaca di depan umum, tetapi kecemasan yang muncul dari rasa malu saya tidak seberapa dibandingkan dengan kepanikan yang saya rasakan saat memikirkan bahwa saya akan diejek: Di tengah membaca, Infras mungkin meledak dan menyebut saya idiot. Kau berada di sana untuk meyakinkan dunia sastra bahwa kita tidak boleh menganggap diri kita begitu serius atas karya yang tidak serius secara sah—dan bahwa dengan puisi (untuk bertentangan dengan pepatah Chili-mu), poin yang tepat adalah untuk membuang dirimu ke jurang. Tapi izinkan saya kembali ke Bolaño dan karyanya. Kau berspesialisasi dalam narasi—saya tidak dapat membayangkan ada orang yang menyebut novelmu “liris”—namun kau juga seorang penyair, penyair aktif. Bagaimana kau mendamaikan keduanya?


RB: Nicanor Parra mengatakan bahwa novel terbaik ditulis dalam irama. Dan Harold Bloom mengatakan bahwa puisi terbaik abad kedua puluh ditulis dalam bentuk prosa. Saya setuju dengan keduanya. Tetapi di sisi lain saya merasa sulit untuk menganggap diri saya seorang penyair yang aktif. Pemahaman saya adalah bahwa penyair aktif merupakan seseorang yang menulis puisi. Saya mengirim yang terbaru kepadamu dan saya khawatir itu mengerikan, meskipun tentu saja, karena kebaikan dan pertimbangan, kau berdusta. Saya tak tahu. Ada sesuatu tentang puisi. Apa pun masalahnya, yang penting adalah terus membacanya. Itu lebih penting daripada menuliskannya, bukan begitu? Faktanya, membaca selalu lebih penting daripada menulis.

--

Catatan terkait penulis-penulis yang disebutkan sepanjang wawancara:


Menurut Bolaño, penulis Argentina Adolfo Bioy Casares (1914–1999) menulis “novel fantastis pertama dan terbaik di Amerika Latin.” Dia berteman dekat dengan Borges dan menikah dengan penulis Silvina Ocampo. Kolaborasi antara Bioy Casares dan Borges banyak serta beragam. Pada tahun 1990 ia dianugerahi Cervantes Prize, penghargaan tertinggi dalam sastra berbahasa Spanyol. Karya utamanya adalah The Invention of Morel (1940).

Mungkin penulis favorit Bolaño, Julio Cortázar (1914–1984) memengaruhi banyak penulis Amerika Latin. Bolaño menyebutnya sebagai “yang terbaik”.

Kekuatan awal dalam sastra bahasa Spanyol, Teresa de la Parra (1889–1936) adalah putri seorang diplomat Venezuela. Dia lahir di Paris dan dibesarkan di Eropa tetapi kembali ke Venezuela saat dia berusia sembilan belas tahun. Karya utamanya, Iphigenia (1924), adalah karya realisme modern.

Penyair Argentina dan penulis cerita pendek Silvina Ocampo (1903–1993) adalah anggota penting dari budaya sastra golongan pelopor (avant-garde) Buenos Aires. Dia menerbitkan sastra fantastisnya di Sur, sebuah jurnal sastra intelektual yang diterbitkan di Buenos Aires oleh saudara perempuannya, Victoria Ocampo. Pilihan karyanya, Leopoldinas Dream, tersedia dalam bahasa Inggris.

Karya penulis Chili María Luisa Bombal (1910–1980) mematahkan realisme dominan zaman itu dengan gaya yang fantastis dan surealis. Karya utamanya, House of Mist (1947), tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris.

Dramawan Meksiko, novelis, penulis cerita pendek, dan penulis esai Elena Garro (1920–1998) menggabungkan tradisi surealis dan imajiner sastra Amerika Latin dengan tradisi realis Amerika Latin. Dia memiliki pernikahan yang kacau dengan Octavio Paz yang berakhir dengan perceraian.

Seorang penyair abad keenam belas, penulis cerita pendek dan tentara, Francisco de Aldana (1540-1578) adalah favorit Cervantes dan merupakan bagian integral dari Renaisans Spanyol.

Penyair Spanyol Jorge Manrique (1440-1479) adalah tokoh utama dalam sejarah sastra Spanyol. Bait tentang Kematian Ayahnya telah diterjemahkan berkali-kali, termasuk dalam terjemahan tahun 1833 oleh Longfellow.

Seorang penyair yang sangat penting dan produktif, Sor Juana Inés de la Cruz (1651-1695) tinggal di Meksiko di bawah kekuasaan Spanyol. Karyanya sangat radikal untuk zamannya. Dia sangat peduli dengan pendidikan perempuan dan dipandang sebagai jawara awal feminisme.

Seorang biarawan Dominikan yang lahir di Monterrey, Servando Teresa de Mier (1763–1827) adalah seorang pengkhotbah dan politisi terkemuka di Meksiko pra-revolusioner. Saat diasingkan di Spanyol ia menulis karya-karya seminal dan membantu penyebab kemerdekaan Meksiko.

Salah satu penulis Hispanik pertama yang dibaca secara internasional, Pedro Henríquez Ureña (1884–1946) adalah pendukung kekuatan bahasa untuk menghasut perubahan sosial. Seorang akademisi dan putra seorang presiden Dominika, dia adalah salah satu ahli teori dan sejarawan budaya Amerika Latin terpenting abad kedua puluh.

Penyair Nikaragua yang paling terkenal dan diakui, Rubén Darío (1867–1916) dikreditkan dengan membawa modernisme ke sastra Amerika Latin.

Seorang tokoh besar dalam budaya Meksiko pada paruh pertama abad kedua puluh, Alfonso Reyes (1889–1959) adalah seorang penulis esai, penyair, dan diplomat yang produktif. Dia menjabat sebagai sekretaris kedutaan Meksiko di Spanyol, menteri untuk Prancis, dan duta besar untuk Brasil dan Argentina. Pada tahun 1943 ia mendirikan El Colegio Nacional di Mexico City. Karya utamanya termasuk The Position of America and Other Essays (1950) dan Mexico in a Nutshell and Other Essays (1964).

Seorang penyair dan kawan lama Bolaño, Mario Santiago (1953–1998) adalah lingkaran terdekat Bolaño dan salah satu anggota pendiri, bersama dengan Bolaño dan lainnya, gerakan infrarealis tahun 1970-an. Bolaño mengabadikan Santiago dalam novel The Savage Detectives sebagai Realisme Jeroan Ulises Lima.

Seorang penyair Chili yang lahir pada tahun 1914, Nicanor Parra sangat memengaruhi puisi dan tulisan fiksi awal Bolaño. Dianggap modernisasi, bahasa Parra menyerupai karya penyair Beat Amerika yang jauh lebih baru. Bolaño menganggapnya sebagai “penyair bahasa Spanyol terbaik yang masih hidup”. Kumpulan karyanya Anti-poems: How to Look Better & Feel Great tersedia dalam bahasa Inggris.
 
--
 
Sumber gambar: amazon.

3 Comments

  1. DI Indonesia ada gak ya noelis yang seperti beliau yang " Dia tertarik pada peristiwa sejarah, dan dia ingin memperbaikinya, untuk menunjukkan kesalahannya " ?

    Kalau aku pribadi belum tau karena novel atau buku yang aku baca hanya sebatas pengarang2 itu - itu saja. Kalau untuk Novel Laila S. Chudori yang Pulang sama Laut Berbicara ada sudah bisa dikatakan demikian? menceritakan sejarah dan diberi perkembangan? Apalagi yang Laut Berbicara, saya menemukan sosok yang digambarkan mirip Widji Tukul baik dari segi karakter maupun kisahnya. Tapi gak tau juga sih hehe

    Kalau sekarang lebih banyak yang romansa kalau menurutku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, saya juga enggak banyak baca fiksi yang bahas sejarah. Haha. Namun, Eka Kurniawan di Cantik Itu Luka setahu saya menunjukkan sejarah masa kolonial Jepang. Terus hantu-hantu komunis yang gentayangan itu juga kayak mau menunjukkan peristiwa pembantaian PKI. Bahkan tokoh Dewi Ayu yang bangkit dari kubur juga semacam metafora.

      Hm, saya kebetulan belum membacanya, dan sepertinya kurang tertarik. Tapi seingat saya, beberapa teman sempat mengulas kalau itu mengisahkan tragedi tahun 1965.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.