Seserius Apa pun Temanya, Sebuah Karya Haruslah Menghibur

Setiap kali saya lagi kurang kerjaan dan malas bikin tulisan sendiri, saya akhir-akhir ini punya cara alternatif agar tetap produktif, yaitu menerjemahkan atau mengisahkan ulang suatu teks yang baru saya baca—khususnya tulisan yang saya anggap menarik. Jika sebelum-sebelumnya yang saya coba terjemahkan itu berbentuk cerpen dan esai, kali ini saya mencoba yang formatnya wawancara. Tanpa perlu berpanjang-lebar dan takutnya saya malah meracau, maka inilah terjemahan tulisan Shreya Ila Anasuya atas interviunya bersama Eka Kurniawan, penulis novel Cantik Itu Luka yang karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. 




--

Elemen spekulatif dari kedua novel Anda sangatlah menarik. Dalam bacaan Anda sendiri, apakah yang paling penting bagi Anda?

Saya pikir saya beruntung karena saat masih remaja satu-satunya buku yang tersedia untuk saya baca adalah fiksi picisan dan horor. Saya tidak tahu apa-apa tentang sastra “kelas atas” karena saya besar di kota kecil, jadi saya hanya meminjam buku dari perpustakaan kecil di sekolah. Saya membaca novel populer, novel picisan, dan novel silat. Ketika saya berpikir untuk menjadi seorang penulis, yang terlintas di benak saya adalah saya ingin menulis apa yang menarik minat saya.

Pada saat yang sama, ketika saya masih di universitas, saya belajar filsafat, tetapi kadang-kadang filsafat teramat membosankan buat dibaca, sehingga saya pergi ke perpustakaan dan menemukan Dostoyevsky, Garcia Marquez, Tolstoy. Saya membaca semuanya.

Jadi ketika saya menulis novel pertama saya, saya dipengaruhi oleh semua elemen yang berbeda ini. Saya tidak khawatir apa itu sastra, saya cuma ingin menceritakan kisah menghibur dengan elemen sejarah. Saya pikir pertama-tama tugas penulis adalah memastikan bahwa pembaca dapat membaca dari kalimat pertama hingga akhir. Tak peduli seberapa serius tema Anda, karya itu haruslah menghibur.

Penulis Indonesia manakah yang paling penting bagi Anda?

Saya selalu menyebutkan tiga. Pertama, tentu saja Pramoedya Ananta Toer, penulis novel terkenal. Lalu ada penulis horor Abdullah Harahap, dan penulis Jawa-Cina Kho Ping Hoo, yang biasa menulis novel silat. Ini adalah orang-orang yang telah saya baca sejak masa remaja, dan mereka telah memengaruhi saya lebih dari penulis mana pun.

Sejak masuk nominasi penghargaan Man Booker International, karya Anda telah menerima banyak perhatian internasional. Sebagian dari ini melibatkan perjalanan dan diharapkan, dalam beberapa hal, untuk mewakili Indonesia. Apakah Anda mengalami hal ini sebagai beban, dan bagaimana hal ini memengaruhi posisi Anda sendiri sebagai penulis di Indonesia?

Saya telah menulis selama lebih dari lima belas tahun. Di Indonesia sendiri saya dulu tidak begitu terkenal, dan buku-buku saya hanya dicetak ulang dua kali, mungkin, dan tidak ada yang membicarakan saya. Tetapi setelah dua buku saya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan meraih nominasi Man Booker, orang-orang mulai membaca buku-buku saya dan hanya dalam satu tahun buku-buku tersebut dicetak ulang sepuluh kali. Ini adalah sesuatu yang baru bagi saya dan mengejutkan saya. Saya dulu tidak pernah bertemu penulis lain, cuma teman dalam lingkaran kecil.

Jadi, ketika terkadang saya pergi ke luar negeri dan mengharapkan saya mewakili Indonesia, saya selalu mengatakan tidak mudah mewakili Indonesia sebab saya hanya satu penulis dan hanya menulis dua bukuIndonesia itu sangat luas dan terlalu kompleks untuk diwakili oleh saya. Semua novel saya sejauh ini pada dasarnya berlatar Jawa. Saya tidak begitu akrab dengan pulau-pulau lain. Saya bepergian ke sana-kemari, tetapi Jawa lebih akrab bagi saya.

Kadang-kadang saya mengatakan buku saya tidak pernah mewakili diri saya sendiri.

Saya membaca di suatu tempat bahwa Anda hanya menulis ketika Anda menginginkannya. Bagaimana metode kerjanya untuk Anda? Saya bertanya karena saya kerap mendengar penulis membicarakan tentang kepenulisan (dan penyuntingan) sebagai hal yang cukup menyakitkan.

Saya membaca setiap hari tetapi saya tidak menulis setiap hari, melainkan ketika saya menginginkannya. Menulis itu menyakitkan karena Anda punya ekspektasi sendiri, ingin meraih sesuatu. Berhubung saya tahu ini menyakitkan, saya mencoba membuatnya semenyenangkan mungkin bagi diri saya sendiri. Jika tulisan itu tidak menyenangkan bagi saya, saya pikir itu juga enggak akan menyenangkan bagi pembaca.

Anda juga merupakan seorang desainer grafis. Apakah Anda pernah menulis novel grafis?

Dahulu kala, sebelum saya menulis novel pertama saya, saya menulis dan mengilustrasikan sebuah buku. Obsesi pertama saya adalah menjadi seorang novelis grafis karena saya banyak membaca komik dan manga. Tidak mudah untuk menerbitkan novel grafis sebab hanya ada sedikit pembaca dan sangat sedikit penerbit yang ingin menerbitkan hal semacam ini. Jadi saya beralih ke menulis novel, tetapi pada saat yang sama saya terus melakukan banyak proyek desain grafis. Saya harap saya bisa menuliskannya di masa depan.

Dalam wawancara dengan Majalah BOMB, Anda berbicara tentang film dokumenter Joshua Oppenheimer mengenai pembunuhan massal 1965 di Indonesia. Anda berkata pada saat itu bahwa “sejarah adalah hantu”. Itukah sebabnya Anda benar-benar membangkitkan orang mati dalam novel Anda, Cantik Itu Luka—menyentak orang agar menghadapi sejarah yang tidak ingin mereka hadapi?

Di Indonesia, terutama pada era Suharto (buku itu ditulis hanya dua tahun setelah Soeharto), sangat mengerikan untuk berbicara tentang tragedi tahun '65, tentang Komunisme, dan segala sesuatu yang terjadi. Bagi kami itu seperti hantu. Kami tahu situasinya tetapi kami tak ingin membicarakannya.

Jadi sewaktu saya menulis novel ketika seorang wanita (protagonis Dewi Ayu) hidup kembali, itu adalah cara saya untuk berbicara tentang sejarah yang terkubur dalam ini. Saya hanya ingin berbicara tentang segala sesuatu dalam sejarah Indonesia, sebenarnya tidak hanya tentang tahun '65, tetapi tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, tentang kolonialisme, dan pendudukan Jepang.

Menarik bahwa protagonis Anda dalam Cantik Itu Luka adalah seorang pelacur, sebab pelacur adalah beberapa orang yang paling tidak sensitif terwakilkan dalam buku (termasuk fiksi dan nonfiksi).

Saya ingin perspektif sejarah dilihat dari lubuk hati yang paling dalam karena dia adalah korban dunia tetapi pada saat yang sama dia merupakan hantu, jadi dia sebenarnya luar biasa. Dia tidak terlalu memikirkan tubuh luarnya, dia bermain dengan pria yang tidur bersamanya seolah mereka mainan. Dia melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Tubuh yang sama yang direpresentasikan dengan sangat buruk—dia gunakan sebagai senjata.

Apakah Anda akan terus mengeksplorasi tema gender dan seksualitas dalam karya Anda?

Saya menjelajahi budaya kekerasan ini dari perspektif yang berbeda dalam novel ketiga saya, yang akan dirilis dalam bahasa Inggris akhir tahun ini. Dalam novel pertama saya, saya membahas tentang sejarah. Jika Anda mengunjungi sejarah Indonesia, dan itu akan sama dengan belahan dunia lainnya, Anda akan menemukan bahwa setiap pahlawan adalah laki-laki, setiap pejuang adalah laki-laki, dan cerita berpusat pada laki-laki. Saya bertanya pada diri sendiri—di mana para perempuan?

Cerita yang saya baca mengenai perempuan adalah tentang mereka yang diperkosa oleh tentara Jepang, ditinggalkan oleh keluarga mereka, berjuang untuk hidup. Untuk novel kedua saya, saya berhubungan dengan keluarga. Untuk yang ketiga, saya ingin meneliti maskulinitas, yang mana laki-laki terkadang menjadi korbannya.

Apa yang sedang Anda kerjakan sekarang?

Sekarang saya sedang mengerjakan naskah film berdasarkan novel ketiga saya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.


--

Sumber gambar beserta tulisan aslinya ada di sini: No Matter How Serious Your Theme, the Work Should be Entertaining.

14 Comments

  1. Kebeneran banget gue lagi baca buku Cantik Itu Luka. Untuk di wawancara di atas nggak ada unsur spoiler haha

    Meskipun baru baca 50 halaman, tapi gak nyangka ternyata buku ini tuh berbicara tentang tragedi tahun '65. Gue kira cuma horor-horor aja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang aman, Jeh.

      Enggak secara langsung ngomongnya. Tersirat gitulah.

      Delete
  2. Jangan2 bentar lagi bakal nerjemahin artikel long-form juga, atau mungkin wawancara super panjang yg suka terbit di Paris Review.

    Ketimbang yg ini, lebih suka dan mungkin lebih menarik yg wawancara Eka di BOMB Magazine yg disebutin itu.

    Soal terjemahan, pengen jadi grammar nazi soal penggunaan "di mana" pada kalimat bukan tanya. Soalnya ini kontruksi kalimat Inggris, kata tanya bisa jadi kata penghubung kalimat bertingkat. Solusinya bisa ganti "di mana" jadi "ketika".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Belum berani, Rif. Masih pelan-pelan dulu. Coba satu per satu yang sekiranya mampu. Lagi coba cari juga nih wawancara yang dimaksud. Tapi entah bakal iseng nerjemahin lagi atau enggak.

      Oh, begitu, ya? Makasih buat koreksinya, Rif. Nanti saya perbaiki. :D

      Delete
    2. @Arif: pas baca yang wawancara di BOMB Magazine ternyata memang lebih seru dan menarik.

      Jadi tertarik menerjemahkan tulisan juga setelah baca pos bang Yoga dan bang Arif

      Delete
    3. Mantap, Hul. Ayo coba terjemahkan juga.

      Delete
  3. Salah satu penulis favoritku :D. Baca bukunya yg CANTIK ITU LUKA, aku lgs pgn bisa punya buku2nya yg lain.

    Makasih udh nulis ttg wawancaranya Yog. Seneng baca bentuk terjemahan dalam bentuk interview gini. LBH mudah dimengerti juga sih. :D.

    Waah aku ga sabar nunggu filmnya kluar. Bukunya sendiri aku jg udh baca soalnya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya format ini juga lebih gampang diterjemahkan, Mbak. Kendalanya cuma menemukan mana wawancara yang temanya asyik dibaca.

      Sama-sama. Saya senang juga jika terjemahan saya bisa agak berguna ataupun menambah referensi kepada pembaca.

      Mana pemerannya Lydia Cheryl. Pengin nonton juga. :D

      Delete
  4. Gue masih belum baca bukunya.
    Emang harus beli bukunya sih nih. Karna sampai saat ini, cuma baru baca satu bukunya Eka. Seperti dendam, rindu harus dibayar.

    Wawancara ini, dilakuin baru-baru ini ya, Yog?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pinjam di iPusnas kan bisa asal lu kuat baca e-book, Zi.

      Udah lama, kok. Sekitar 2017. Gue aja ini yang baru iseng baca bulan lalu.

      Delete
  5. Jadi, novel grafis sama komik itu beda ya..kira-kira kalo sekarang mas Eka masih ada niat buat bikin komik atau novel grafis gak ya..jadi penasaran, soalnya gak jarang juga liat mas Eka ngomongin soal manga di akun twitternya 😁

    tinggal nunggu filmnya rilis nih, thank you kak Akbar buat terjemahan wawancaranya 👍🏻

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setahu saya mah sama aja. Atau mungkin komik lebih banyak porsi gambarnya ketimbang teks dibanding novel grafis yang bisa jadi porsinya seimbang. Tapi entahlah. Saya sendiri ragu buat jawab. Haha.

      Iya, Kang Eka juga beberapa kali ngomongin anime. Kirain mah kurang doyan yang begituan.

      Sama-sama, Kak Reka.

      Delete
  6. Selain menghibur harus menginspirasi juga dong, bener nggak kak? Btw proyek grafisnya apa nih, penasaran setelah beralih dari niat awal sebagai inspirator grafis?

    Padahal dijaman sekarang banyak karya grafis tentang motivator loh! Semangat terus deh kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya biasa aja, sih, terkait inspirasi. Yang penting enak dibaca dari awal sampai akhir cukup.

      Kenapa semangatnya ke saya, Mas? Itu kan tentang Kang Eka. :(

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.