Apokrifa


Apa alasan kamu ikut sayembara puisi ini? Begitulah pertanyaan yang muncul saat saya mengisi formulir pendaftaran suatu perlombaan menulis puisi. Saya pun kira-kira menjawab begini:

Jujur aja alasannya sangat realistis. Kondisi pandemi cukup menyulitkan saya untuk memperoleh uang, sehingga saya tergiur dengan hadiah sayembaranya. Selain itu, saya ingin mengingkari janji (saya memutuskan berhenti bikin puisi pada akhir 2019), sebab saya tak bisa membohongi diri lebih lama lagi bahwa menulis puisi terkadang dapat menghibur diri pada situasi sulit. Saya juga ingin menantang diri lagi dengan ikut lomba di bidang kepenulisan. Sejak awal tahun saya belum mencoba hal-hal yang seru. Saya kira sayembara kali ini layak diikuti dan bisa menjadi langkah pertama saya untuk lebih berani mengikuti berbagai perlombaan ke depannya.

Lama enggak menulis puisi tentu bikin diri saya kaku saat menyusun diksi. Susah ya rupanya kembali ke suatu jalan yang pernah saya tinggalkan. Biar bagaimanapun, saya akhirnya berhasil membuat sebuah puisi untuk diikutsertakan dalam lomba itu. Berhubung masih dalam proses penjurian, saya belum bisa menampilkannya sekarang.

Terus terang, saya juga tak banyak berharap akan lomba itu sekalipun memang tergoda banget akan hadiahnya. Siapa sih yang enggak mau duit 1-3 juta dengan bermodalkan bikin satu puisi? Masalahnya, bikin sajak yang aduhai keren dan bisa memenangkan sayembara bukanlah perkara remeh. Saingannya pasti banyak. Saya yakin di luaran sana orang-orang juga menciptakan puisi yang keterlaluan bagusnya. Sementara saya sendiri, baru ikutan pada hari terakhir lantaran telat tahu info tersebut. Saya juga begitu minder dengan apa yang saya tulis. Apakah yang semacam itu masih pantas disebut puisi? Mari kita lihat saja nanti pengumumannya pada November. Apakah kelak ada hal baik sebagaimana yang pernah terjadi dan tertulis di Peristiwa 6 November tahun lalu? Semoga saja. Aamiin.

Terlepas dari hal itu, berhubung saya sudah mengingkari janji pada diri sendiri, saya barusan berusaha membuat puisi lagi. Anehnya, 15 menit berselang memeras ide-ide di kepala dan memandangi layar putih, tak ada satu larik pun yang tertulis. Saya tak bisa lagi menumpahkan perasaan saya lewat puisi. Kacau. Kayaknya kemampuan saya merangkai diksi betulan sudah luntur. Mungkinkah karena saya juga tak membaca buku-buku kumpulan puisi lagi sepanjang 2020? Kira-kira sudah sembilan bulan lamanya.


II

Saya lantas mencoba membuka buku puisi Sylvia Plath yang waktu awal tahun sempat saya coba baca tapi belum rampung, dan memilih salah satu sajaknya secara acak. Setelahnya, seperti yang kamu ketahui, saya iseng menerjemahkannya sebebas mungkin (boleh juga disebut memodifikasi). Maka, inilah hasilnya:




Lorelei

Ini bukan malam untuk tenggelam: Bulan purnama, sungai menghitam di bawah kemilau cermin yang lembut, kabut air biru yang menyelimuti penyamaran demi penyamaran seperti jala ikan. Meskipun nelayan sedang tidur, menara kastil besar menggandakan diri di dalam gelas. Semuanya hening.

Namun, bentuk-bentuk ini melayang ke arahku, mengganggu parasku yang tenang. Dari titik nadir mereka bangkit, anggota tubuh mereka penuh dengan kesempurnaan, rambutnya lebih tebal dari pahatan marmer. Mereka menyanyikan tentang dunia yang lebih lengkap dan jernih daripada yang semestinya. Saudara perempuanku sekalian, lagumu menanggung beban yang terlalu berat untuk didengarkan oleh telinga yang mengular dan mengulir.

Di sini, di negara yang dikendalikan dengan baik, di bawah penguasa yang bijak. Terganggu oleh harmoni yang melampaui tatanan duniawi, suaramu terkepung. Kau menginap di terumbu karang mimpi buruk, menjanjikan perlindungan yang pasti; pada siang hari, kau turun dari perbatasan, dari serambi, juga dari jendela tinggi.

Keheninganmu lebih buruk dari lagumu yang menjengkelkan. Dari sumber panggilan hatimu—kemabukan yang sangat mendalam. O sungai, aku membayangkan hanyut jauh di dalam aliran perakmu, dewi perdamaian yang agung itu. Batu, batu, bawalah aku ke sana.


III

Saya tak paham apa makna puisi itu. Saya pun iseng mencari kata kunci “Lorelei”, hingga akhirnya menemukan suatu jawaban. Saya bermaksud menjelaskan sedikit tentangnya dengan mengolahnya dari berbagai sumber. Jadi, Lorelei adalah batu tulis curam setinggi 132 meter di tepi kanan Sungai Rhine di Rhine Tengah, Sankt Goarshausen, Jerman. Pada sekitar abad pertengahan konon banyak kapal Jerman yang suka berlayar melintasi sungai itu. Sialnya, arus yang tenang justru sering kali menghanyutkan. Membuat para nakhoda yang kurang waspada dan sedikit pengalaman menjadi lengah. 

Lorelei menjadi sebuah dongeng pada abad pertengahan yang telah melegenda. Berkisah saat kapal-kapal berlayar memasuki kawasan Sankt Goarhausen di Rhineland-Pfalz, di atas bebatuan itu ada sesosok nimfa atau siren—berwujud seorang gadis cantik yang sedang duduk sembari menyisir rambutnya yang berwarna keemasan. Gadis itu menyanyikan lagu yang bercerita tentang kerinduannya kepada sang pujaan hati. Ia duduk di atas batu itu demi menunggu kekasihnya yang telah lama pergi dan tak kunjung kembali. Nah, bagi siapa pun yang mendengar nyanyiannya itu bakalan terhipnotis atau terperangkap dalam sihir. Para pelaut itu tentunya langsung mengalami nasib buruk, yakni kapalnya akan menabrak batu-batuan berbahaya, atau dengan kata lain: kematian.

Setelah saya tahu rujukan atau referensinya, puisi itu ternyata bikin saya merasa nelangsa. Sylvia sialan! Jago banget bikin orang sedih. Tapi, kapan sih puisinya Sylvia enggak bernuansa muram?


IV

Ketika mengetahui Sylvia menciptakan puisi dari suatu mitologi, saya jadi teringat dengan puisi bikinan sendiri yang bertajuk Medusa. Kala itu saya habis membaca kisah Medusa di internet, terus entah kenapa terbit perasaan simpati maupun empati terhadapnya. Saya ingin memeluknya, bersedia menemani dirinya yang dipenjara dan dijauhi semua makhluk lantaran kutukannya itu. Saya tak takut menjadi batu. Saya rela memejamkan mata demi bisa bersamanya. Berada di sampingnya. Khayalan barusan sungguh tolol, bukan?

Di lain sisi, pada kenyataan yang dijalani, pada akhir 2018 saya juga sempat naksir sama seorang gadis manis yang pernah memuji tulisan saya. Kami pun berkenalan, membicarakan beberapa hal. Saya baru mengobrol lewat pesan di media sosial dan sebatas melihat wajahnya lewat foto, kemudian bisa-bisanya muncul rasa suka. Terasa aneh sebetulnya menyukai seseorang yang belum pernah saya temui. Tapi menurut saya, dia memang menggemaskan. Kenapa sih jarak sialan ini segala memisahkan kami?

Sadar bahwa saya pernah gagal menjalani hubungan LDR, saya sesungguhnya tak mau nekat lagi buat mencobanya. Itu pun kalau dia juga suka sama saya. Lagi pula, dia tak mungkin bisa saya raih karena perbedaan agama yang menghalangi kami. Saya pun perlahan-lahan menjauhinya.

Pendek cerita, sekitar Juni 2019, dia datang ke Jakarta. Saya mengetahuinya karena dia memamerkan cerita sehabis naik MRT via InstaStory. Saat mengetahui hal itu, saya tak berani mengontak maupun menemuinya. Saya takut perasaan suka yang dulu pernah saya bunuh dengan paksa itu datang kembali. Sekitar seminggu kemudian, saya memberanikan diri untuk mengomentari salah satu fotonya di tempat rekreasi Jakarta, lalu jujur memuji dia manis sekali pada hari itu. Tak sampai lima menit, komentar saya hilang. Dia menghapusnya.

Saya tak terlalu ingat apa lagi yang terjadi selepas itu. Barusan saya mencoba mengetikkan username dia, tapi hasilnya nihil. Saya mengecek di daftar pengikut maupun mengikuti juga tak ada. Saya sepertinya diblokir sama dia. Memangnya saya punya salah apa, ya? Apakah karena dulu terlalu pengecut dan tiba-tiba menghilang? Apakah saya telah salah bersikap? Apakah saya ini bego? Entahlah. Yang saya tahu, kisah cinta saya kalau direnungkan kok rasanya suram banget, ya Allah.

--

Tadinya tulisan ini ingin saya beri judul: Lelaki Menyedihkan yang Tak Bisa Lagi Menulis Puisi dan Gadis yang Bersenandung Sambil Menunggu Kekasihnya Pulang, sayangnya enggak jadi karena kepanjangan.

Sumber gambar: https://irma2204.livejournal.com/200315.html

14 Comments

  1. Iya, panjang banget kalau lu pake kalimat terakhir sebagai judul. Skripsi gue aja bahkan gak sepanjang itu judulnya.

    Setelah gue baca kisah lu sama si cewek beda agama ini, walau singkat, gue jadi berpikir kalau kayaknya ke depannya lu harus berani menceritakan apa pun yang lu rasakan dan mengesampingkan pertanyaan "gimana kalau gini, gimana kalau gitu" yang berputar di kepala lu. Prinsipnya, lebih baik menyesal udah bilang daripada menyesal karena gak pernah bilang. Seenggaknya dengan udah bilang, lu jadi tau yang sebenarnya, dan jadi lebih terbuka dengan ke depan mau ngapain.

    Eh tapi kalau gitu, gak akan ada tulisan kayak gini di blog lu ya. Yaudah deh, gue mau sarapan dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak mau komenin bagian puisi karena gue gak bisa dan gak pernah bikin puisi. Thanks.

      Delete
    2. Sesungguhnya bikin dilema antara menyesal karena telah melakukan dan belum melakukan. Tapi risikonya tetap sepadan, sih. Aneh juga lagian perihal perasaan jika masih banyak menggunakan logika atau memikirkan untung-rugi.

      Baiklah, suatu hari nekat aja. Bisa juga kalau mengungkapkannya jadi tulisan lain, Man. Bahaha.

      Santai aja. Cukup komentari yang lu pahami.

      Delete
    3. Bener juga. Mungkin tulisannya akan jadi sedikit ceria, Yog. Wkwkwk.

      Delete
  2. Hahaha, setuju sama bang Firman di atas, iya kepanjangan kalau judulnya sesuai niat semula.

    Semoga akan ada hal baik lagi di bulan November seperti peristiwa 6 November. Blogpost kali ini nano-nano ya, maafkan saya sempat ketawa baca komenan kamu yang dihapus doi wkwk.

    Mungkin iya dia sakit hati karena ditinggalin tanpa pamit kali, mungkin sih, karena saya juga nggak paham juga. Perempuan beda-beda, bagi kamu itu nggak salah mungkin bagi dia itu salah. Semoga berjumpa orang yang tepat di masa mendatang dan kamu juga tidak maju mundur dalam hal mengungkapkan perasaan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Habisnya saya bingung mau kasih judul apa. Selalu mumet memikirkan ide untuk membuat judul.

      Aamiin. Enggak apa-apa ketawa, memang lucu juga kalau diingat-ingat.

      Istilah anak zaman sekarang: di-ghosting. Wahaha. Saya ternyata jahat juga di mata orang lain.

      Semoga sisi pengecut itu betulan hilang deh. Ya, meskipun saya sudah memberanikan diri biasanya gagal juga, sih. :')

      Delete
  3. Ee iya itu panjang banget, untung diganti jadi lebih pendek dan unik.

    Kalau belum damai dan yakin, udah paling bener stay gini aja dulu, menikmati masa-masa nostalgia game dan nulis-nulis. Salah satu kunci dari relasi yang sehat, sudah berdamai dengan diri sendiri. Karena g bisa dipungkiri, patah hati itu menguras kekuatan mental. So be ready with yourself first

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pendek dan sok misterius pula.

      Saya kira memang belum siap buat membuka diri sekalipun sempat suka sama seorang perempuan. Karena masih banyak pertimbangan gitu. Mungkin jika sudah waktunya hubungan itu bakal terjalin sendiri.

      Asalkan enggak kebablasan betah sendirian. Haha.

      Delete
  4. Yoga jangan patah arah menulis kembali puisi yog, jujur gw ga mempermasalahkan bagaimana hati bisa molah malih, kemaren putus asa ga mau menekuni apa yang uda kita suka lantaran ada emosional tersendiri dalam pikiran karena sebab sebab tertentu tapi besok di hari lainnya lagi berubah arah....karena merasa ada semangat untuk mencoba menulis lagi, ya ga pa pa...toh itu sesuatu yang positif karena bisa jadi semacam penghiburan...

    Jujur puisi, kalimat kalimat indah, etc.. aku juga suka, malah aku yang ecek ecek begini pun kadang ngerasa nekad pengen bisa nulis puitis padahal kalau masalah kemampuan nulis beginian mah yoga tentu jauh di atasku banget wkwkwk, tapi ntah kenapa aku juga selalu menyisakan space kemampuan nulisku buat bisa nulis rangkaian kata kata indah, ya puisi atau apa lah hahahha...

    Btw, masalah lorelei gw dulu malah pernah baca tapi di komik misteri jepang jaman jebot sih yog, ceritanya tentang hantu di sekolah kelas malam yang nyanyiin lagu bernada sendu, lorelei kami...merinding juga gw pas bacanya karena lagunya beneran keinterpretasi cukup menyayat hati


    Tar,..bagian meluk medusa, gw suka tuh kata2nya...ga tau knp wkkk

    Suka ama seseorang walau blom pernah ketemu, tapi pernah ada interaksi, kayaknya sih bisa bisa aja hahhahahha, walaupun ya pastinya complicated banget yak, kayak ceritanya yoga ama si gadis manis yang akhirnya ga bisa kontakan lagi...bukan karena salahnya yoga kali ah, mungkin si dia bingung aja hohoho, e tapi ntahlah, perasaan perempuan itu sungguh sangat misteri yog, semisteri isi lautan #sailah kayak ungkapan dalam film titanic aja ya gw wkwkwk

    Semangat yoga, mudah mudahan lombanya berbuah manis :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Palingan sih nanti jika menulis puisi lagi lebih ke tujuan penghiburan diri. Karena kalau buat komersial atau unjuk diri, bisa-bisa perasaan rendah diri itu bakal datang lagi.

      Monggo dilempar ke publik aja, Mbak, hasil membuat kata-kata puitisnya. Biarkan pembaca menilai lagi. Kalau dulu sih waktu belum paham apa itu puisi, saya ada semacam grup memfiksikan bareng Haw, Arman, Tiwi, Agung, dll. seminggu sekali buat belajar menulis fiksi (cerpen, fiksi kilat, puisi). Di antara mereka, saya yang paling sering membuat puisi. Lumayan bikin semangat ketika ada barengannya. Saling komentar, saling kritik. Hehe.

      Baru tahu ada versi Jepang. Jadi intinya Lorelei memang suka menyanyi sendu gitu, ya? Nadanya bikin sedih ataupun merinding.

      Iya, bisa-bisa aja memang. Beberapa orang resmi jadi pasangan bermula kenal dari media sosial. Tapi, masih tetap aneh buat saya karena bisa aja apa yang dia tampilkan itu sebatas bagian baiknya. Mungkin semacam ada ketakutan, mengingat pengalaman dulu, setelah berjumpa dan mengetahui bagian-bagian yang enggak saya suka juga, perasaan itu mudah memudar. Tapi semoga aja ke depannya bisa lebih santai mengenal orang baru tanpa harus trauma dengan pengalaman dulu.

      Kalaupun itu karena saya salah ambil sikap, saya terima dan akui, kok. Haha.

      Aamiin. Makasih, Mbak Nita.

      Delete
  5. perlu waktu untuk mencoba kembali menulis apa yang dulu pernah kita suka tapi karena satu hal yang menyakitkan jadi sulit banget memulainya
    kalau saya sendiri ke cerpen yang baru aja kemarin bisa nulis lagi
    sungguh memulai sesuatu yang kita suka tapi pernah ada kenangan buruk kok ya sulit amat

    eh kok gitu ya si dia tapi ya sudahlah
    cuma ya kok langsung diblokir gitu

    ngomongin medusa, saya jadi ingat daur hidup aurelia aurita
    halah, kebanyakan zoom di kelas huhu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semacam trauma gitu, ya? Saya juga kurang paham sih. Haha.

      Namanya bagus, terus baru tahu itu ubur-ubur toh.

      Delete
  6. Mungkin Krn aku LBH suka cerita, jd puisi berat untuk dinikmati :D.

    Jujurnya, puisi di atas aku ga ngerti juga maknanya, sebelum baca tulisanmu ttg legenda lorelei. Baru paham setelah baca itu :D. Ngeri juga mitosnya yaaaa.

    Kapan due date bikin puisinya? Mungkin Krn kamu udh kelamaan ga nulis ato baca puisi, jd agak kagok, bukan berarti ga bisa :). Good luck yaa, semoga ntr bisa dpt inspirasi utk ikutan, dan menang ;)

    Hmmmm, feelingku ttg si cewe, kayaknya memang dia marah deh kamu diam2 menjauh. Berarti diapun sbnrnya sayang tuh Yog. Makanya bisa marah bgt sampe ngeblock kamu . Kalo ga punya perasaan apa2, harusnya sih ga sampe semarah itu. Itu pandanganku dr sisi cewe loh yaa :D. Aku juga pasti sebel kalo co yg ditaksir diam2 menjauh. Mikirnya nih cowo kalo ga suka bilang aja, ga usah diem2 menghindar dunk. Kan tersinggung :p.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya udah ikutan, Mbak. Maksud tulisan ini pengin bikin puisi yang bukan buat lomba gitu. Ternyata malah mentok. Aamiin. Semoga aja. Makasih ya. :D

      Bisa jadi begitu. Tapi sebetulnya bingung bilang untuk menjauh kudu gimana. Dikatakan atau enggak kayaknya sama-sama menyakitkan. Terus kadang yang memilih pergi juga bisa aja lebih menderita, kan? Biar bagaimanapun, ke depannya lebih baik saya berani ngomong deh. Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.