Semburat Kuning Museum Kenangan

Di saat rasa cemas datang dan melanda di hati, terbayang senyuman yang kurindukan. –Lagu pembuka film animasi Let's and Go (Tamiya) versi bahasa Indonesia. 



--

Semburat Kuning 




Kau menambahkan warna kuning dalam hidupku yang mulanya cuma hitam dan putih. Kuning mengingatkanku akan warna yang selalu kupilih untuk melukis mentari –yang terapit dua gunung– pada pelajaran menggambar ketika sekolah dasar. Seumpama matahari, apakah artinya kau tak akan mungkin bisa kujangkau sebab dirimu terlalu panas, serta jarak yang memisahkan kita sudah melampaui batas?

Meski mendekatimu itu mustahil, aku tak punya pilihan lain selain tetap menerima sinar ataupun binar matamu dari kejauhan untuk mencerahkan hari-hariku. Apalagi senyumanmu merupakan vitamin D yang bagus untuk tulang-tulangku. Agar aku sanggup memikul nestapa dan penderitaan hidup yang semakin hampa.

Mulanya, kupikir kuning itu buruk dan sangat identik dengan tai. Selain itu, ada gigi kuning, bahkan sakit kuning yang jauh lebih jahanam. Aku tak suka pisang—kulit dan buahnya berwarna kuning. Aku juga benci dengan durian yang sama kuningnya. Aromanya pun mirip pesing dan bikin pusing.

Namun sejak berjumpa denganmu, kuning di benakku tentu mengalami pergeseran makna. Kuning bisa berupa lemon yang mengandung vitamin C. Kuning dapat pula berwujud bunga alamanda, baik nama maupun bentuknya teramat cantik serupa wajahmu.

Kini, warna kuning mulai menjelma sebuah kecupan. Bukan di pipi, apalagi di bibir, melainkan di kening. Kecupan tulus penuh kasih sayang tanpa ada campuran nafsu. Lalu, senyum dan semburat kuningmu pun seakan-akan menjadi momen hening yang ampuh membasmi pening.


Museum Kenangan 




Aku ingin membangun museum kenangan di kepalaku. Nanti museum itu akan kuisi dengan beberapa hal: kemeja kuning, ransel hitam khas perempuan, jaket denim, kacamata berbingkai bulat, gelang karet biru bertuliskan “blogger day”, potret dirimu yang tampak dari belakang, fotomu dari samping yang wajahnya blur, lembaran kertas berisi cerpen maupun puisi yang berkisah tentangmu, senyum manismu, serta air mataku.


Tiket masuk museumnya gratis—khusus buat kamu. Pengunjung lain harus bayar Rp18.022.017. Kenapa mahal sekali? Aku hanya memilih angka spesial, yaitu tanggal pertama kali—atau bisa juga dikatakan terakhir—kita berjumpa. 

Mau bagaimana lagi, itu satu-satunya momen tentangmu yang aku punya. Tapi jika suatu hari kita bersua kembali, aku berjanji akan meralat kalimatnya. Benda-benda di museum itu pun bakal aku tambah lagi dengan semua barang favoritmu.

Aku ingin bertanya, apakah doa itu masih layak untuk orang-orang kurang bersyukur? Sebab aku malu saat merapalkannya. Aku takut harapanku ditertawakan karena meminta sesuatu hal yang sulit (supaya dipertemukan lagi denganmu), padahal aku sendiri sama susahnya setiap kali bertemu dengan Tuhan.

Aku berniat menyusun sajak, tapi yang tercipta justru ocehan sok bijak. Aku ingin mata terpejam, tapi di kegelapan itu malah hadir parasmu yang buram. Bukan kantuk yang kudapat melainkan dada mulai terasa sesak. Karena terus dipaksa masuk oleh barisan rindu yang semakin mendesak. 

Bagaimana cara mengakhiri puisi? Lihat, tanda tanya itu, batas antara yang nyata dan ilusi untuk menemukan afeksi1. 

--

1) Larik terakhir, khususnya di bagian “lihat, tanda tanya itu”, saya modifikasi dari puisi Aan Mansyur berjudul ‘Batas’ pada buku Tidak Ada New York Hari Ini. Bentuk aslinya: Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.

25 Comments

  1. Baiklah, berbeda dengan anda, pak Yoga, saya tidak akan membangun sebuah museum untuk mengisinya dengan benda-benda aneh. Rasanya saya cukup dengan membeli satu lemari, dan bebebapa lacinya saya bagi; laci paling atas untuk pakaian sehari-hari, laci bagian tengah untuk benda-benda yang jarang dipakai, dan paling bawah saya gunakan sebagai laci kenangan. Biar tidak repot, kunci laci bawah saya buang ke laut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lautan penderitaan? Haha.

      Bagaimana kalau udah dibuang, terus ada penyelam yang menemukan kunci itu, menganggapnya harta karun, lantas mengembalikannya kepadamu?

      Delete
    2. Atau kalau ada kenangan baru yang ingin dimasukkan ke laci itu lagi. Kan repot, masa beli lemari baru lagi.

      Delete
  2. Jangan lupa dengan Spongebob bila ada kuning yang lumayan jenaka dan bodoh

    ReplyDelete
  3. Lalu bagiamana anggaran perawatan museum kenangannya, yog? dibayar dengan apa saja agar museum tersebut tetap terawat padahal pengunjungnya pun tidak jelas ada apa tidak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dibayar dengan air mata, kurangnya jam tidur, dan, yang tak kalah penting, doa. Entah museum itu bisa tetap bertahan berapa lama tanpa pengunjung. Kalaupun kelak tak terawat lagi dan jadi gudang, saya akan membiarkan gedungnya tetap utuh. Selama itu bukan disita sama pemerintah. Jika demikian, saya akan melawannya sampai mati. Dan seharusnya jangan libatkan pejabat di sajak ini. Hahaha.

      Delete
  4. Membangun museum? Menarik juga.

    Tapi gue lebih tertarik dengan bagaimana elu bisa bikin tulisan ini. Gue suka banget, anjir!!!! Ajarinnnn!

    Btw kalo modifikasi puisi gitu boleh ga sih sebenernya? Gue pernah kan ada modif puisi gitu tapi tetep ngerasa kayak kurang etis aja wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gue cuma memainkan kata sebetulnya sih, Wi. Tulisan pertama, dari kata kuning kepikiran kata lain: kening. Terus otomatis lahir kalimat kecupan di kening. Lainnya juga sama metodenya, mirip-miriplah. Gue cari semua hal yang berkaitan dengan kuning. Dari buah pisang, muncul kata pusing dan pesing. Tapi karena kata itu enggak cocok sama buah pisang, gue butuh bantuan yang lainnya. Kebetulan gue benci durian, jadilah gue tambahkan ke situ.

      Tulisan kedua: ini natural terketik begitu aja tanpa rumus-rumus atau trik. Mungkin lantaran kangen sama mbaknya, terus enggak pengin melupakan kenangan satu-satunya itu. Dengan kata lain: gue bikinnya karena lagi kasmaran. Modal utama menulis lancar kan biasanya pas lagi jatuh cinta atau patah hati.

      Soal memodifikasi puisi, itu sah aja, kok. Gue cuma pakai satu larik "lihat, tanda tanya itu". Pertanyaannya gue ubah. Gue cantumin sumbernya. Ini juga bukan buat komersial. Anggaplah lagi terinspirasi dan buat belajar.

      Jokpin pun pernah meminjam sajak Sapardi "Pada Suatu Pagi". Dengan 1-2 larik, dia ciptakan puisi baru.

      Soal etis atau enggaknya, itu tergantung diri sendiri gimana bersikap. Mencuri ide penulis pun banyak dilakukan, bukan? Selama penggarapannya menghasilkan sesuatu yang beda mah boleh. Enggak etis itu kalau nyaris menjiplak keseluruhannya, cuma diedit beberapa kata.

      Delete
    2. Whoaaaa gue menemukan insight baru jadinya. Coba deh nanti gue belajar. Kayaknya emang perlu banyak referensi juga ya. Karena nyangkut pautin satu kata ke yang lain itu agak sulit buat gue.

      Hooo i see. Berarti sah sah aja ya. Gue udah lama ga baca buku puisi. Makanya jadi kering wkwk

      Delete
  5. Bagus beud yog puisi yang paragraf awal diksi diksinya #keplok keplok

    Gw suka tuh pengandaian 2 gunung yang mengapit matahari

    Eh btw pas gw nengok di gambar setengah kabur, dari si mbak baju kuning di postingan sebelumnya, samar2 kek wajah adeknya artis nikita willynya, mirip doang sih emang muehehheheh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu bukan pengandaian juga sih, Mbak. Kan emang zaman bocah kita biasanya gambar matahari di antara dua gunung. Haha.

      Kayaknya bukan deh. Masa iya saya naksir orang sejenis itu. Meski saya enggak tahu juga adiknya Nikita tampangnya gimana. Ehe.

      Delete
  6. Wah, yoga kangennya udah di level bahaya nih..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya udah surut sejak tulisan ini dimuat. Ini karena baru gue jadwalin akhir bulan aja.

      Delete
  7. Kenapa sih kalian itu jago banget bikin tulisan berrima kayak gini. Gue susah sekali. Baiklah, gue akan mulai gemar membaca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. *gantian, ya, Man.

      Firman tai.

      Delete
    2. Berrima kenapa segala R-nya dua, sih? Tai emang.

      Gantian soal komentar rima atau apaan nih, Haw?

      Delete
    3. Bisa jadi gasengaja itu kesebut rrima Yog.

      tapi kalo maksudku gantian, karena pas saya komen "yoga gemar membaca" dibales tai ama firman. ngakak saya. yaudah skrg mumpung dia komen begitu, saya bales. xD

      Delete
  8. Di poster promosi museum kenangan harus ada tulisan gede yang wajib banget dicantumin : Maaf, tidak menerima pembayaran cash.

    *lhaiya, mau nyari duit 17 perak dimana ini, pak? XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pembayaran sekarang kan udah pakai uang digital yang tinggal scan barcode, Wis. Bawa duit seratus ribu sampai 180 lembar juga repot. Lagian, siapa yang sudi masuk ke museum mahal begitu, sengaja jadi tempat khusus buat mbaknya. Haha.

      Delete
  9. Wah... Semburat Kuning Museum Kenangan ini bagus sekali tulisannya. Kok bisa-bisanya bikin museum kenangan di kepala dan dengan tiket masuk mahal yang ternyata dari angka pertemuan dan perpisahan.

    Anyway, aku suka gaya bahasa kamu.

    Referensi bacaannya apa sih?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih ya udah suka. :D

      Untuk semua yang tertulis di blog ini atau khusus tulisan puisi aja? Banyak banget soalnya. Enggak bisa disebutkan satu per satu. Wqwq. :p

      Tapi kalau buat menyusun beberapa puisi, selain Aan Mansyur yang tertera di penjelasan akhir tulisan, saya terakhir baca sih sajak-sajaknya Joko Pinurbo, Subagio Sastrowardoyo, Hasan Aspahani, Avianti Armand, Mikael Johani, Sylvia Plath, dan Pablo Neruda.

      Delete
  10. Ini yang dinamakan kerinduan dan pencarian yang menghasilkan karya. Mantap!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ide tulisan bisa berasal dari hal semacam itu, bukan? :)

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.