Obrolan Mengenai Paras, Tuhan, dan Nonsens yang Menyedihkan

Kala kukirimkan pesan tentang hujan rinduku terhadapmu yang jatuh terlalu deras, apakah kau akan menganggap diriku sedang memburas? Aku lantas mengira-ngira jawabanmu yang hanya menghamburkan tawa, atau kau akan balik bertanya, “Tapi bagaimana kau bisa merasakan kangen jika tidak mengingat parasnya?”

Saat itulah kukisahkan dongeng lama tentang dunia virtual yang kumainkan. Aku tak pernah tahu tentang lawan bicaraku. Apakah ia pria atau wanita, apakah ia sudah tua atau masih muda, apakah ia jujur atau dusta. Aku pernah menolong seseorang dari api maut yang disemburkan Naga Emas, raja dari segala hewan. Lalu kami bersatu untuk melawan, hingga kami menjadi kawan. 

“Jangan berbelit-belit, apa inti kalimatnya?” tanyamu. 

“Kita bisa berbuat baik kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Begitu pula kangen. Kita bisa merindukan siapa saja, walaupun belum sempat ada temu.” 

“Seperti cinta dan rindu kepada Tuhan?” 

“Tentu saja mencintai manusia tidak dapat disamakan dengan Sang Maha Esa. Meski begitu, sepertinya aku agak mengerti maksudmu. Sejujurnya, aku tidak terlalu paham soal cinta digital atau semacam itu, tapi kita memang bisa merindukan seseorang tanpa perlu mengetahui wujudnya.”

“Alah, omong kosong. Kau pasti memiliki keinginan untuk menemuinya lagi, kan? Kau pasti ingin melihat bentuk fisik, terutama wajahnya.”

“Bagaimana ya, perasaan semacam itu hadir tanpa bisa dicegah. Seperti hasrat ingin menggaruk ketika ada bagian tubuh yang gatal. Sewaktu kita rindu terhadap Tuhan, misalnya, kita juga akan menemuinya lewat ibadah, bukan? Kita mencoba berkomunikasi kepada-Nya. Terlepas dari kalimatku tadi, aku entah mengapa sangat percaya kalau kau itu memang manis. Semanis kata-katamu.” 

“Analogimu boleh juga. Tapi kenapa kau bisa kangen dan sangat ingin berjumpa denganku? Benarkah kau mengira aku manis? Apakah menurutmu aku ini pribadi yang baik? Kau kan belum mengenalku. Lalu, bagaimana jika ternyata kau nanti kecewa dengan kenyataan yang tidak sesuai khayalanmu itu?”

“Kita kan pernah berjumpa dua tahunan lalu. Jika memoriku tidak berkhianat, kau memanglah manis. Jika soal kepribadian, aku hanya bisa menebak-nebak dari caramu tersenyum, berbicara, dan berjalan. Bagiku, kau tampak kalem dan elegan. Aku tak tahu bakal kecewa atau tidak sebelum kita kembali bertemu. Lagi pula aku tidak berharap imajinasiku mesti akurat. Daripada menjawab pertanyaanmu lebih jauh, boleh aku bertanya?” 

“Kalimatmu yang barusan itu juga sebuah pertanyaan, Bodoh. Tapi tak apa, silakan bertanya lagi.” 

“Seandainya kau kelak bertemu dengan Tuhan, lalu melihat bentuknya yang jauh dari gambaranmu, apakah kau juga akan kecewa?”

“Pertanyaanmu sinting! Apa kau sendiri pernah membayangkan wujud Tuhan?” 

“Sewaktu kecil, sebelum aku mengetahui bahwa Tuhan tidak memiliki jenis kelamin, aku mengira Dia serupa kakek-kakek berambut panjang dan berjenggot lebat yang tubuhnya tegap, tatapannya meneduhkan, serta auranya penuh kebijaksanaan.” 

“Ternyata imajinasimu tentang Tuhan seperti para sufi yang sudah tua atau serupa dengan para filsuf Yunani terkenal itu, ya?” 

“Bisa dikatakan demikian.” 

“Kalau aku justru mengira Ia sesosok bocah sebagaimana tokoh ‘Beliau’ di novel Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Semua Ikan di Langit. Sebelum membaca buku itu, aku juga sudah berpikiran ke arah sana.”

“Tunggu, kau kok bisa hafal nama Ziggy? Aku terkesan.”

“Nama belakangnya tinggal dipecah jadi empat. Zezsya-zeo-vienna-zabrizkie. Dengan begitu akan lebih mudah dihafal.”

“Cara kita sama berarti. Kalau soal Tuhan itu seperti bocah, aku juga hampir berpikir begitu, sih. Bedanya, aku membayangkan wujud Tuhan kayak bayi. Sebab terkadang aku bingung membedakan mana laki-laki, mana perempuan, ketika bayi tersebut memakai baju tanpa motif. Lalu, bayi tidak memiliki dosa. Wajah mereka menggemaskan, membuat setiap orang ingin memandanginya berlama-lama. Bayi juga tubuhnya harum. Air kencingnya bahkan belum terhitung najis.”

“Ada-ada saja pikiranmu.”

“Pikiran memang suka liar dan tak terkendali. Jadi bagaimana? Kapan kita bisa bertemu lagi?” 

“Berkomunikasi saja belum, tiba-tiba sudah ingin berjumpa. Pelan-pelan, Sayangku, lakukan selangkah demi selangkah.” 

“Apa maksud kalimatmu?”

“Apa kau tidak sadar? Sedari tadi kita tidak benar-benar mengobrol. Kita hanya berdialog di dalam kepalamu. Semua nonsens ini cuma sebatas khayalan menyedihkanmu.”

“Maaf, aku mendadak lupa. Aku terhanyut ke dalam cerita. Oh iya, aku mau mengaku: meskipun kisah kita ini tidak nyata, setidaknya perasaan tentang rindu dan diriku ini benar-benar menyukaimu itu merupakan fakta.”

“Sampaikan langsung ke orangnya. Mengatakannya kepadaku tidak akan mengubah apa-apa.” 

“Bagaimana caranya? Aku saja tidak tahu nama dan akun media sosialmu. Aku sudah mencarimu ke segala platform, kenapa hasilnya tetap nihil? Tapi ya sudahlah, aku juga mulai capek. Setidaknya, dengan berakhirnya cerita ini aku bisa merasa puas. Siapa tahu saja kau –yang sebenarnya– suatu hari diam-diam akan membacanya.”



--

PS: Jika kamu (Mbak Manis Kemeja Kuning) yang saya maksud ini membacanya, apakah kamu sudi meninggalkan komentar, atau menghubungi saya lewat surel maupun media sosial?

Maaf, ya, jika gambarnya ada simbol hati dan terlihat norak. Tapi kali ini saya memang ingin seperti manusia yang baru mengenal kasmaran. Segala hal tentangmu mungkin juga akan terus membuat saya menjadi norak.

23 Comments

  1. AAAAWWWW yogaaaaa lagi kasmarannnnn uuuuuu cieeeee *tebar bungaaaa*

    "Untuk mbak manis kemeja kuning, segera hubungi yoga lewat media sosialnya yaa, lebih mudah menghubungi lewat twitter yoga namanya @ketikyoga, langsung aja di mention pasti langsung dibalas. Karena sayang sekali, kalau yoga udah kasmaran, hal itu jarang terjadi ke perempuan manapun, jadi di kesempatan langka kali ini teruntuk mbak kemeja kuning jangan sampai terlewatkan yaaah! hehe" tuh saya bantu promosi yoga semangat yoga :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bunga apa yang ditebar? Kembang tujuh rupa?

      Hahaha. Bisa aja kamu, Na. Makasih untuk promosi dan semangatnya. :)

      Delete
  2. Ini masi edisi mb baju kuning
    Apa jand jangan anak almamater ui kali ya yang jaketnya warna kuning miehehhehe

    E btw memburas tu apaan ya, fw baru dengar

    Trus setau gw lencing bayi keitungnya uda masuk najis bukane, soale tiep kali keompolan gw selalu wudhu dan ngebersiin tempatnya sampe benwr2 suci

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemeja biasa gitu, sih. Semacam membual gitu, Mbak.

      Hahaha, betulkah? Saya ingatnya pelajaran pas sekolah dulu tuh bayi yang cuma minum ASI, belum makan apa-apa, kencingnya belum terhitung najis. Tapi kalau betul begitu, makasih ya koreksinya.

      Delete
  3. Kalau gue pernah membayangkan Tuhan berwujud perempuan berukuran besar dengan pakaian serba putih. Dia berkali-kali lebih besar dari bumi, dan hanya menjaga bumi. Tidak planet-planet lain. Kayaknya sih gara-gara suka sama Dewi Kwan Im di Kera Sakti waktu itu. Hahahaha.

    Eh kayaknya kalau lagi kasmaran gitu kita emang tiba-tiba jadi norak tanpa sadar deh. Jadi buat gue itu wajar aja. Iya gak sih? Anjir jadi ingat kata-kata di film Her: Falling in love is a crazy thing to do. Its kinda like a form of socially acceptable insanity.

    Udah kayak Gigip aja nih ngutip kata orang mulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terus Tuhan turun ke Bumi untuk menyamar menjadi gembel gitu? Ingat bagian Dewi Kwan Im menjual pakaian compang-camping ke Tom Sam Chong. Hahaha.

      Mungkin sekalipun udah berpengalaman, ketika menemukan pasangan baru bakal jadi pemula lagi. Tapi tingkat noraknya kan juga beda-beda, Man. Ada yang bisa dimaklumi, ada yang bikin jijik. Entah gue masuk bagian yang mana di mata orang.

      Delete
    2. Hahaha gue juga ingat yang pas jadi gembel itu.

      Emang bener kayaknya kalau lagi kasmaran tai aja bisa berubah jadi coklat yang lezat. Hahaha

      Delete
  4. baru gabung langsung disuguhi yang seru...definisi tuhan kadang saya juga gaknyampeotaknya..pernah waktu kecil membayangkan tuhan itu duduk di kursi raja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bisa menemukan keseruan lainnya.

      Duduk di kursi raja kayak Kaisar Langit di film Kera Sakti sebagaimana komentar di atasmu? Kenapa referensinya ke situ terus dah ini gue? Hahaha.

      Delete
  5. Dibilangin, mbak baju kuning itu berasal dari masa depan. dia itu anakmu sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kirain dia itu bulan dan kamu ranting yang terseok-seok di pinggir jendela. AEMANTAAAP.

      Delete
    2. Woi, kena racun series Dark enggak gini-gini jugalah. Hahaha. Sial.

      Delete
    3. Fak, kenapa gue baca bagian ini.

      Delete
  6. Hei gaya tulisan mu bagus.
    Gambaran tentang Tuhan beda memang tiap orang, dan itu yang menarik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih apresiasinya.

      Dalam setiap agama saja sudah berbeda, gimana dengan tiap kepala manusianya. Ehe.

      Delete
  7. Saya hanya berhmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm saja membaca tulisan ini.

    ReplyDelete
  8. Imajinasi tentang Tuhan yang berjenggot panjang itu mirip-mirip sama imajinasiku. Cuma, kalau saya lebih ke kakek-kakek berjenggot putih panjang semacam tokoh-tokoh kaisar atau raja di film-film mandarin itu. Lengkap dengan pakaian jubahnya yang gombrong-gombrong.

    Ini beneran, Yog, tulisan bulan ini bakal berisi tentang mbak-mbak berjaket kuning semua?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha. Ya, saya ada pikiran kayak begitu juga. Efek menonton film saat masih bocah emang suka begitu.

      InsyaAllah betulan, Wis. Oktober mau saya isi dengan hal-hal manis. Semoga enggak norak. Haha.

      Delete
  9. Ini aku ketinggalan cerita sebelumnya kah ? tiba2 ada si mbak kemeja kuning disebut :D. oke ntr aku baca artikel2 di bawah ini..

    lagi2 yaaa, tulisan yoga bikin nebak2, ini sepenuhnya fiksi ato memang cerita nyata kamunya :D. berasa nyata banget, padahal jelas2 ditulis cerpen fiksi. Gambaran ttg Tuhannya juga menarik. aku sendiri bayangin Tuhan itu berbeda2. kadang yaaa,aku bayangin Tuhan seperti wanita separuh baya, keibuan, di mana kalo aku sdg dpt masalah, rasanya pgn bersandar di badanny sambil dipeluk, persis pelukan seorang ibu.

    tp kalo sedang ingin mencari rasa aman, aku bayangin Tuhan itu seseorang yang besar, gagah, kuat, yg bakal bisa melindungiku daei orang jahat manapun. tp sampe skr blm prnh sih aku bayangin Tuhan sebagai seorang bayi :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cuma pernah muncul di tulisan puisi awal Oktober. Mbak itu saya cantumkan di nomor 5. Tapi di sana gambarnya jadi hitam putih semua.

      Itu kelihatan jelas fiksinya, Mbak. Khayalan berdialognya cuma nonsens. Bagian tentang mencari seseorangnya tapi beneran, kok.

      Wah, interpretasinya pada keren-keren euy. :D

      Delete
  10. saya membayangkan mbak kemeja kuning punya blog dan suka bikin tulisan semacam ini. bagaimana jika, diam-diam, mbak itu juga mengagumi seorang akbar yoga? biarlah waktu yang menjawabnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dia pasti bisa menemukan gue dengan mudah kalau emang niat mencari. Tapi kayaknya enggak mungkin dah. Penampilan gue hari itu saat ketemu dia sungguh kurang menarik. Rambut gondrong, sialnya malah enggak ada keren-kerennya. Hahaha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.