Terjebak Citra Sendiri

Saya tidak dapat mengingat sudah berapa kali saya menjilat ludah sendiri. Mungkin karena begitu banyaknya. Bisa juga sebab saya enggak terlalu peduli akan hal itu. Pola pikir dan selera setiap manusia bisa bergeser. Misalnya, sewaktu SMK saya sempat bilang enggak akan pernah mau mendengarkan dan menyukai lagu-lagu Korea. Tapi sejak adanya Blackpink, saya harus menarik kembali pernyataan itu. Lama-lama saya pun merasa hal itu biasa saja. Itu merupakan sebuah proses. Setiap manusia tentu pernah mengalaminya. Lalu, dari sekian banyak ludah yang telah saya lepeh dan telan kembali, saya pasti selalu mengingat yang satu ini: tidak menulis mesum lagi.

sumber: https://pixabay.com/id/disensor-rahasia-komunikasi-1726364/

Sejak mendekati akhir tahun 2016, tepatnya sehabis membuat cerita es krim spesial (bagi yang pernah membaca tulisan itu, kata spesial mungkin bisa kamu ganti jadi: terkutuk, sialan, bajingan, dan sebagainya), saya mulai merenungi gaya menulis di blog. Apakah saya enggak capek nulis lelucon yang berbau porno melulu? Kemudian, saya pun sampai bikin twit berikut.





Sejak twit tersebut saya buat, saya mulai berjanji kepada diri sendiri untuk mengurangi (kalau perlu menghilangkan) tulisan mesum di blog. Nyatanya? Saya masih saja mengulanginya. Saya kira ke depannya pun bakalan tetap ada. Kenapa saya berani mengatakan akan terus ada? Mungkin karena saya sudah bisa menempatkan porsi yang sesuai dalam tulisan-tulisan saya. Mungkin juga karena sekarang saya telah berdamai dengan diri sendiri. 


Namun, tidak dengan kemarin-kemarin. Terutama pada tahun 2016-2017. Kala itu, saya sering terjebak oleh citra yang saya rancang sendiri. Mulanya, niat itu saya pikirkan begini: saya pengin orang lain menilai saya buruk di dunia maya, tapi begitu bertemu di dunia nyata, orang itu mengubah pemikirannya bahwa saya tidak seburuk yang dia bayangkan—dan cenderung ke arah baik. Oleh sebab itu, saya buatlah pencitraan mesum.

Seingat saya, saya mulai bikin tulisan yang ada mesum-mesumnya itu saat tahun 2015. Awalnya, saya enggak pernah berani menuliskan hal yang jorok-jorok begitu. Tapi berhubung referensi cukup mendukung, akhirnya saya iseng mempraktikkannya. Pengaruh mesum itu di antaranya: Komik Tatang S. yang ceritanya kebanyakan horor, tapi tetap ada bagian yang menyerempet seks; cerita dewasa di internet yang pernah saya baca ketika SMK; novel Adhitya Mulya, Jomblo versi awal atau sebelum revisi; novel Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas; cerpen-cerpen Haruki Murakami yang saya temukan di internet; buku Raditya Dika, Babi Ngesot; lagu-lagu Kungpow Chicken dan Baon Cikadap.

Jika ditanya kenapa bisa berlanjut atau keterusan, mungkin jawaban saya akan mirip seperti penjual bakso boraks yang diwawancarai oleh tim investigasi, “Ya, namanya juga coba-coba. Setelah dirasa enak karena mendapat banyak keuntungan, saya mulai ketagihan.” 

Ketika itu, saya mesti mengakui kalau menulis mesum memang ada manfaatnya. Trafik blog mulai naik secara drastis, mendapatkan banyak komentar, orang-orang pun rasanya mudah tertawa dengan lelucon semacam itu. Apalagi saat datang ke acara kopdar, ternyata ada orang yang betul-betul bertanya, “Ini Yoga yang di blog tulisannya mesum itu, kan? Kok aslinya enggak pecicilan? Malah kalem gitu?”

Citra yang saya bangun itu berarti telah berhasil.

Sayangnya, itu semua hanyalah kenikmatan semu. Lama-lama saya jadi risih sendiri dengan ledekan orang lain yang bilang saya mesum. Entah konteksnya bercanda atau serius, saya tetap curiga kalau mereka menganggap saya mesum beneran. Setelah saya pikir-pikir lagi, menulis mesum itu juga bagaikan SEO hitam. Bikin blog ramai dengan cara curang. Apa bedanya saya dengan orang-orang penggila trafikbaik yang langsung komentar tanpa membaca, ataupun yang suka komentar pakai open ID (komentarnya lebih dari satu nama, padahal tautannya itu-itu juga) supaya dapat kunjungan balik atau backlinkitu? Kemudian, puncak kekesalan saya datang ketika seorang kawan bilang kepada saya, “Udahlah, nikmatin aja dikatain mesum begitu. Itu bukti kalo branding lu berhasil banget.” 

Apakah dikenal karena keburukannya itu nikmat? 

Tidak sama sekali. Saya muak dan benci kepada diri sendiri. Diam-diam hati saya pun berbisik, carilah gaya menulis baru yang lebih baik. Namun, kita semua tentu mengerti rasanya meninggalkan hal yang buruk itu amat sulit, bahkan jika sudah berhasil suatu saat akan kambuh kembali. Berulang kali saya berusaha mencoba gaya yang lain, tapi ujung-ujungnya saya masuk ke zona negatif itu lagi. Apalagi pas udah benar-benar berusaha melepaskan diri, eh malah dapat komentar, “Kok enggak ada mesumnya lagi, sih? Ini yang nulis pasti bukan Yoga, ya? Balikin Yoga yang dulu!” 

Bedebah! Saya sungguh bertambah dongkol dengan citra mesum itu. Saya akhirnya jadi menyesali pilihan goblok waktu itu, lalu introspeksi diri untuk ke depannya. Saya pun mulai menyadari ketololan lainnya. Kalau saya enggak nyaman dengan penilaian tersebut, kenapa saya seolah-olah marah dan protes kepada orang lain? Bukankah saya sendiri yang awalnya bikin citra itu? Seharusnya itu salah saya, kan? Apa yang sudah dilepas ke publik, berarti saya mesti siap juga dengan segala risikonya. Dan yang terpenting, kenapa saya terlalu memikirkan penilaian orang lain? 

Sekarang, saya sudah tidak begitu menghiraukan omongan orang lain—apalagi yang buruk-buruk. Namun, saya pasti sangat memikirkan bagaimana ucapan orang tua saya, terutama ibu saya. Beliau yang memberi saya makan, menyekolahkan, membesarkan saya sampai seperti ini. Singkatnya, orang tua telah membiayai hidup saya. Saya enggak mau membuat mereka kecewa.

Orang tua saya sedikit-sedikit mulai melek teknologi. Keduanya pun sudah menggunakan aplikasi WhatsApp. Jadi, saya yakin mereka juga bisa mengakses blog anaknya ini. Orang tua saya kalau membaca tulisan mesum di blog ini nanti bagaimana? Meskipun saya sadar dan dapat menjelaskan bahwa menulis jorok itu cuma citra, tapi saya tahu hal tersebut bisa saja menyakiti perasaannya. Ya, mungkin mereka diam-diam juga telah membacanya, lalu bersedih sampai berlinang air mata, hingga kudu berdoa setiap selesai tahajud supaya anaknya bisa segera tobat.

Oke, imajinasi saya rasanya mulai kelewatan. 

Selain yang barusan, ada hal yang juga mengubah pola pikir saya tentang kata-kata tabu atau mesum. Saya membaca wawancara Eka Kurniawan yang membahas mengenai kenapa dia berani menuliskan kata-kata kasar atau jorok di novelnya. Misalnya, alih-alih menggunakan kata “penis”, Eka memilih kata “kontol”. Eka bilang, dia menggunakan kata-kata itu tergantung konteks. Kata itu keluar dari suara narator atau tokohnya? Jika ada kata vulgar seperti “pejuh”, itu biasanya terdapat di dialog para tokohnya. Kalau narator yang berbicara, tentu kata “sperma” yang akan dia pilih. Jawaban Eka tersebut cukup menyadarkan saya. Lalu dalam esainya, Kata-Kata yang Dibunuh, pun semakin memperkuat pemikiran saya. Eka berujar, jangan sampai kita membunuh satu kata karena kita tak menyukainya. Saya pun suka bagian ini:
Jika kita ingin memperlakukan sesama manusia dengan cara adil, saya rasa kita bisa memulainya dengan memperlakukan kata-kata dengan cara adil. Sebab sejarah telah mencatat, hari ini Anda membunuh sebuah kata, hari lain sangat mungkin Anda membunuh manusia yang mempergunakannya. 

Kesimpulan dari perenungan itu: tandanya ada yang harus saya ubah dalam gaya menulis di blog ini. Kalau memang mau tetap ada elemen mesumnya, saya mesti mencari cara supaya porsinya pas. Hal mesum itu perlu ada karena untuk kepentingan cerita, bumbu komedi, atau entah apalah itu. Bukan diniatkan untuk citra mesum lagi kayak sebelumnya. Seiring berlarinya waktu, mungkin cara saya sedikit-sedikit mulai berhasil. Terutama kala saya bikin cerpen. Pembaca sudah jarang mempermasalahkan bagian joroknya itu.

Lalu, saya pun telah belajar agar tidak terjebak dengan citra sendiri. Saya enggak pengin lagi bikin pencitraan aneh-aneh seperti dulu. Tidak mau melabeli diri saya itu bloger jenis apa. Biarkan pembaca yang menilai. Ada yang ingin menyebut saya tetap bloger curhatan kayak dulu, ya silakan. Ada yang pengin menganggap saya cerpenis, ya terserah. Ada yang mau bilang saya bloger sajak karena suka menulis puisi di blog satunya, itu juga sah-sah saja. Ada yang mau ... jadi pacar saya? 

Intinya, saya hanya ingin menjadi seorang pencerita. Apa pun bentuknya, apa pun medianya. Jika gaya bertutur dan kisah yang saya tuliskan itu masih buruk, saya cuma bisa minta maaf. Kamu dapat memberikan kritik dan masukan kepada saya, sehingga saya akan berusaha untuk memperbaikinya agar tulisan saya bisa semakin asyik dibaca. Lagian kalau tulisan saya masih jelek, itu tandanya saya memang harus lebih banyak membaca dan berlatih lagi.

-- 

PS: Berbicara soal mesum, saya jadi teringat Icha yang pernah menginterviu saya di tulisan ini: Nge-BF Bareng Yoga Akbar Sholihin. O iya, BF itu baperin film, bukan bokepin film.

46 Comments

  1. Pandangan orang terhadap karya orang lain itu kan beda-beda, ada yang memahai maksud dan tujuan kita membuat, ada juga yang tidak. Selebihnya tergantung bagaimana kamu mau menanggapinya :) Sukses selalu ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu dia, setiap karya itu pasti punya pasarnya.. Mau apapun itu, mungkin pasar yang dimaksud belum ketemu atau belum muncul atau bisa juga belum tepat, dulu akun twitter saya twit kata kata galau dan puji syukur yang re-twit banyak banget sampe 500an, tapi sekarang pas udah gak ngetwit lagi yaa gak ada, makanya folls ku bisa banyak, ya bekas itu wuehehe

      Delete
  2. Ya, berintopeksi diri itu memang cara yang tepat mas. Setidaknya akan membuat kita menjadi lebih baik.

    ReplyDelete
  3. Menurut saya, tidak ada orang yang sempurna. Selalu ada yang lawas sebelum yang baru. Semangat ya :)

    ReplyDelete
  4. Menurut gue, mungkin lo udah sukses dengan tujuan lo, dikenal sebagai blogger mesum, tapi pas ketemuan gak seperti citra di blog. Setelah sukses, jadi kurang semangat bercerita. Hehehe

    Setuju dengan kalimat akhir, intinya hanya ingin bercerita. Terlepas apapun, oranglah yang menilai. Semangat bercerita bro. Apapun itu!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak juga, sih. Intinya, ada hal-hal yang emang udah enggak cocok lagi. Bukan karena udah sukses membuat citra buruk, lalu ternyata pas ketemu justru penilaiannya berbeda itu.

      Delete
  5. Saya paham apa yang kamu rasain. Di cap "mesum" itu nggak enak. Apapun yang diucap pasti dianggapnya bokep padahal serius. Dan yaa, perubahan yang tepat kalo menurut saya. Keep it up ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehehe. Makasih, Bel. Semoga memang bisa berubah menjadi lebih baik tulisannya.

      Hm, kalo cewek yang dinilai begitu lebih menyebalkan kayaknya, ya? Seakan-akan cewek enggak boleh nulis vulgar. :)

      Delete
  6. Awal-awal saya tertarik (halah, tertarik, jare) sama blog ini juga karena jokes-jokes mesumnya, sih. Wkwkwk. Apalagi kalau pas baca tulisan yang ceritanya kurang lebih sama, dengan apa yang saya alami sendiri. Jadi kan bisa lebih dapet itu feel jokes mesumnya. Sempet juga, habis baca satu tulisan yang sukses bikin saya ketawa, terus lanjut baca beberapa blogpost lainnya.

    Nah, sama. Ketika ada anggota keluarga (apalagi orang tua) yang tahu sosial media kita (jadi nggak cuma blog), pas main blog, IG, Twitter, dan sosmed lainnya, berasa was-was gitu.
    Takut kalau ada yang komen : "Lhah, ini anak kalau di dunia maya kok gini banget, ya?" Beda sama yang "versi aslinya". :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi, ini salah satu bloger penikmat lelucon mesum itu? Wahaha. XD Semoga tetap bisa tertarik tulisan lainnya--yang enggak ada hal nganu. :p

      Itu dia, Wis. Ngeri juga kalau diem-diem ada keluarga yang baca. Terus diceramahin ini dan itu. Syukur selama ini belum pernah ada yang bahas blog saya ketika kumpul keluarga. Jangan sampe deh.

      Delete
  7. Duh, saya pun dapat cap mesum gara-gara suka becandaan yang mesum. Padahal berbuatnya gak pernah (kayaknya!). Tapi pelan-pelan saya merubahnya sebab citra ini bikin rendah nilai diri. Akhirnya saya mengurangi drastis. Dan yah lumayan ampuh memperbaiki citra diri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu citra di dunia nyata, Din? Kalau di blog, setau saya kamu enggak nulis yang begitu.

      Delete
  8. Berasa dicurhatin secara langsung pas baca ini. Menurutku wajar sih kalau kita terjebak sama branding blog yang nggak baik, Yogs. Namanya juga belajar nulis dan bisa dibilang lagi nyari jati diri kita sebagai blogger itu seperti apa. Aku juga ngerasa kayak yang kamu rasain, ya jadi aku agak ngerasa relate sama tulisan ini. Malu juga sih baca tulisan-tulisan lamaku yang banyak kata-kata kasarnya huhuhuhu. Tapi kalau baca tulisan-tulisan nge-BF aku masih senyam-senyum sih hahaha lucu aja gitu ngerasa nyambung sama orang dan pemikirannya karena sebuah film.

    Yang ngena banget dari tulisan ini, apa yang kayak yang kamu bilang, nggak usah peduliin apa kata orang. Nggak usah mikir mau pake branding apa. Tulis aja apa yang kita suka dan kita banget, ntar pembaca sendiri yang menemukan atau mengenali kita ini blogger apa. Yuhuuu~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, pas nulis kegelisahan ini emang kayak lagi cerita ke temen. Itu kan juga ada paragraf yang udah saya curhatin di grup, Cha. Wqwqwq. Karena diksi yang kita pakai emang enggak jauh beda. Kalau bercanda mesum di rubrik BF gitu justru lebih enak sih, Cha. Ada lawan mainnya atau nakalnya bareng temen. :p

      Iya, lebih nyaman kayak gitu. Enggak perlu mengklaim diri sendiri gimana-gimana.

      Delete
  9. Iya, sebuah kata itu netral. Nggak negatif, nggak positif. Kitalah yang membentuk dan membuat penilaian pada mereka.

    Dan iya, kadang hal-hal yang berbau mesum lebih disukai orang-orang. Wajar juga sih, itu tandanya masih normal. Huhu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak betul-betul netral, sih. Awal mula kata diciptakan pasti ada unsur atau nilai tertentu. Pernah dibahas oleh Zen RS dan Ivan Lanin di Twitter. Cuma ya gitu deh. Manusia bisa menafsirkan kata (yang sebenarnya tidak netral) itu lebih jauh dari pertama kali dia lahir.

      Seorang dosen di kampus gue juga pernah bilang bahwa otak manusia akan lebih mudah bereaksi dengan yang berbau seks dan makanan.

      Delete
    2. Menarik nih, gue naruh lapak sini aja kayaknya deh.

      Delete
  10. Jika Anda (alkisah seorang teman menulis 'Anda' ketika WA seorang profesor, kemudian beliau marah teman saya dikatai tidak tahu sopan santun dan etika. Kini di dalam fakultas ada banner mengenai tata cara berkomunikasi dengan dosen secara baik dan benar)-----aelah panjang bener.

    ---terjebak pada citra, saya malah jati diri hahaha (sama aja mungkin).

    Saya juga menemukan beberapa teman yang 'menjilat lidah sendiri', jujur saja sekelebat ada rasa sinis, 'heu dulu omongnya apa sekarang apa'. Termasuk masalah kpop kpop itu wkwkwkw. Padahal mungkin engga sadar bahwa diri sendiri juga gitu.

    Kadang cape jadi idealis.

    Btw kemarin barusan lihat video, isinya tentang ngobrol sama senior produser nya channel Vice Indonesia. Wah deep conversation banget. Salah satunya (intinya) gini, 'sebelum pencet publish apapun itu di media sosial, dipikir lagi jangan sampai kedepannya nyesel. Bukan masalah bener atau salah tapi tentang impact. Apa impact yang mau kita bawa ke masyarakat? Satu lagi, does it matter or not?'.

    Wah, ketampol sih.
    Cheers wkwkkw.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahaha. Masih sering terjadi ternyata kata "Anda" digunakan oleh mahasiswa kepada dosen? Ya, kita semua pernah menjilat ludah sendiri. Baik secara harfiah maupun kiasan.

      Capeknya karena apa? Hm, mungkin idealisnya perlu berkompromi sama yang realistis.

      Ya, makanya pas bikin tulisan ini pun perlu dipikirkan matang-matang. Tadinya lebih kasar dan terlalu emosi. XD

      Yap, sebelum pencet bagikan memang perlu dicek lagi. Apalagi kalau berpengikut banyak di medsos. Mungkin orang-orang yang viral itu juga awalnya enggak menduga dirinya bakalan terkenal, ya? Hahaha.

      Delete
  11. Hahaha
    Tapi sukses kok itu bikin citra yg emang lu inginkan, yog. Gue malah belom bisa nih bangun citra diri kayak gitu. Heu

    Selama udah bisa akur sama diri sendiri, tulis aja. Tapi ya harus bisa nerima hasil pandangan orang lain dari tulisan yg telah dibuat.

    Klo gue sendiri, krna bokap sering baca blog gue, makanya harus sering" di koreksi tulisan yg dibuat. Minimal jgan smpe mesum aja lah. Hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sukses bikin citra begitu, tapi kalo enggak ada duitnya buat apa? :p

      Yap, terserah penilaian orang gimana. Lalu tulisan itu bisa dipertanggungjawabkan juga. Wah, bapak sendiri rupanya pembaca setia. :D

      Delete
  12. Ahahahaha omaygat yoga ternyata dulunya seperti itu ahaha dan ini sih mirip banget kayak gue. Bedanya kalau yoga membuat self image dari tulisan yang ditulis, kalau gue dari pencitraan foto di feed ig. Lu pingin dilihat otak bandel, gue pingin dilihat girl on fire *apabanget* wkwk tapi sebenarnya itu semua cuma dibuat buat untuk bikin branding image.

    Selama dijalanin aja seru sih rasanya... Apalagi sampai berhasil bikin orang mencap kita sesuai yang kita pinginin. Tapi, kelamaan di cap seperti itu kok makin lama rasanya enggak nyaman ya? Kayak gak betah pakai topeng yang bukan topeng diri kita gitu ahahaha. Yah ternyata begini ya rasanya. Membenci kita yang dulu. Padahal yang dulu asalnya dari kita.

    Baiklah, yang sudah terjadi, ya sudahlah. Yang sudah terjadi, tentu sudah berlalu. Baiknya dilupa dan di evaluasi untuk dicegah supaya tidak terjadi lagi. Kalau begitu, selamat tinggal masa lalu nakal. Bye bye

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, saya dulu kayak gitu, Na. Meski beberapa ada yang udah dihapus, tapi jejak digitalnya pun masih ada di blog ini. :)

      Hm, mungkin karena dulu mikirnya itu keren, Na. Jadi asyik-asyik aja. Sekarang mah melihat masa itu bakalan terasa alay. Kayak pas udah kuliah lihat foto SMP-SMA pun aneh, kan. Wqwq.

      Berkat masa lalu saya bisa menjadi yang sekarang~

      Delete
  13. Napa ujung-ujungnya kamu tetap nyari pacar, Yog? Hahaha.

    Btw saya nggak pernah baca postingan kamu yang ada mesum-mesumnya. Apa emang karena saya jarang mampir ya? Wkwk. Udah yog, tulis apaan aja, tapi bikin branding yang baik-baik saja. Biar ke depannya juga enak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, iseng aja. Bingung mau matahin pakai kalimat apa biar lucu. :( Tadinya mau pakai "ada yang mau beliin saya buku?", tapi takutnya malah yang baca sedih. Masa kayak minta-minta. Walaupun pertanyaan soal pacar itu bisa juga terlihat menyedihkan dan kurang kerjaan, sih.

      Bisa jadi karena kamu enggak baca tulisan yang itu, atau baru mengenal blog ini setelah tulisannya sedikit lebih rapi. Jadi masa-masa buruknya udah lumayan tertinggal jauh.

      Delete
  14. Meski belum pernah menemui tulisan mesum itu, namun rasanya Yoga yang aku kenal tidam semesum itu. Ia hanya nakal pada diksinya. Hehehe.

    Kak Icha juga begitu sih, dari nama blog aja udah bikin keringetan. 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau diksi emang sok-sok nakal demi citra, kan. Padahal ada juga yang alur ceritanya mengarah ke mesum~ Syukurlah kalau belum baca. :)

      Delete
  15. Setuju gue bang, orang tua sekarang udah pada melek teknologi bisa berabe kalo dibaca sama mereka. Gue juga pernah nulis komedi mesum tapi sengaja gak gue post di blog, walaupun Cuma buat lucu-lucuan doang tapi secara gak langsung pembaca tulisan gue bakal ngebranding kalo gue penulis komedi mesum.

    Semangat bang buka lembaran barunya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang penting berani bertanggung jawab sama tulisan sendiri. :)

      ((lembaran baru))

      Delete
  16. Emang lo semesum apa sih? Perasaan biasa aja deh. Yang tuiisannya mesum mah icha. Ampuni hamba cha. Hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. parah lu, di
      *manas-manasin ica*

      Delete
    2. Sebetulnya hal mesum di blog ini emang rata-rata masih wajar, Di. Toh, gue menggunakannya juga untuk lelucon. Tapi gimana ya, penilaian orang pasti berbeda-beda. Enggak semua orang siap dengan hal semacam itu. Apalagi sempet ada tulisan mesum yang menurut gue udah kelewat batas. Pembaca blog ini mungkin juga masih ada yang belum 17. Gue cuma berusaha mengingatkan diri sendiri. :)

      Soal tulisan Icha yang lu bilang mesum (entah lu cuma bercanda atau beneran), menurut gue itu mesumnya pun biasa aja. Mungkin karena kami sempat terjun ke area itu. Mungkin dia lebih berani menggunakan diksi-diksi atau umpatan yang enggak biasa dipakai aja oleh orang-orang daripada gue. Tepatnya, seperti yang Rahul Syarif komentarin.

      Atau, masalahnya karena dia cewek? Kalo cowok mesum itu wajar, kalau cewek itu liar? Buat gue itu enggak adil, sih. Terlepas dari jenis kelaminnya, mereka punya hak yang sama untuk mengekspresikan diri.

      Tapi terlepas dari balasan komentar gue ini, kayaknya akan balik lagi ke dua paragraf terakhir tulisan ini: terserah pembaca. Ehe~ :D

      Delete
  17. dari semua referensinya, cuma baon cikadap yang saya nggak tahu. xD apakah saya akan mengalami jalan yang sama nanti...

    Mohon maap sebelumnya, Yog, tapi saya sempet ngakak ketika kamu bilang bedebah saat diminta kembalikan yoga yang dulu, xD

    Ini mah nggak perlu nasihat orang lain bagusnya gimana, malah jadi sadar sendiri bahwa apa yang sangat kita inginkan dulu ternyata bisa membuat kita membencinya. lalu menerimanya. saling terikat dan berkembang bersama untuk lebih baik. Nulis mesumnya jadi lebih baik. eh gimana... mesum baik itu gimana ini.. bodolah saya bingung sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, pasti mengalami jalan yang sama kalau kamu naik motor dan boncengan sama saya. :p Enggak apa-apa, Haw. Bagian itu emang menyebalkan dan enak buat diketawain. XD

      Mesum baik itu yang bikin pembaca sampai terbawa berahi? Eh~

      Delete
  18. Saya juga suka novel Eka Kurniawan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dari gambar covernya yang "Burung Tidur" kita pasti bisa menebak isinya bagaimana hehe

    Memang benar, pandangan baik buruk saya menganggapnya relatif. Tapi jika orang yang berpandangan buruk tentang kita, sikap kita, atau postingan kita lebih banyak yang buruk, memang sepertinya kita harus berubah. Saya juga pernah berfikir " Jadi onar atau mesum tidak terlalu jelek juga ". Tapi semakin dewasa diri semakin malu dengan masa lalu, agak risi sih.

    Apapun yang terjadi, sekarang kita masih dalam tahapan berproses. Ke arah yang lebih baik tentunya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu kover lama tapi, kan? Yang barunya rada aneh. Iya, ada rasa risih sama tulisan lama seiring bertambahnya umur dan bacaan.

      Delete
  19. Sama kata-kata aja enggak adil, ya. Ehehe~

    ReplyDelete
  20. Mesum atau gak kan sebenernya gimana yang bacanya juga. Kalau sudah omes liat pepaya atau pisang pun yang bakal muncul dipikiranya lain lagi, kan.
    Sing penting semoga kita bisa terus semangat untuk menjadi lebih baik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Bang. Semua kembali ke pikiran masing-masing. Bisa lebih terbuka atau enggak sama hal yang tidak biasa.

      Delete
  21. Yahh. Kubaru tau blognya mas inii. Keren sih berani mengambil keputusan dan menyadari kesalahan. Eak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seandainya tahu dari kemarin-kemarin, memang kira-kira akan kenapa? Bisa jadi sama aja, kan? Justru lebih baik tahu yang sekarang menurut saya. Daripada baca tulisan lama yang belum sebaik hari ini. Halah.

      Delete
  22. Aku pernah sih baca bbrp tulisanmu yg pakai jokes mesum. Tapi jujurnya, aku ga prnh anggab kamu mesum yog, walo tulisannya begitu. Mungkiiiin nih, krn sblm baca tulisan yg jokes mesum, aku udh rutin baca tulisan2mu sblmnya yg masih normal :p. Jd yg kepatri duluan, Yoga yg tulisannya enak dibaca, bisa aku jadiin acuan bljr nulis dan bisa menulis dalam gaya apapun :p.

    Toh buktinya kamu balik lg nulis yg normal, jauh dr kata mesum :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. O iya, Mbak Fanny kan emang udah mengikuti blog ini dari zaman tulisan saya masih waras. Ehehe. Kemarin-kemarin lagi proses mencoba-coba gaya, Mbak. Sampai bisa nyaman dengan gaya yang sekarang.

      Iya nih. Kembali apa adanya saja. Enggak usah buat pencitraan aneh-aneh. Hahaha.

      Delete
  23. Terkadang labelisasi diri dalam hal apa pun (kecuali untuk urusan ibadah) itu diperlukan sebab itu bagian dari branding yang ingin kita bangun. Terlepas dari apa pun hasilnya, berkarya - baik dengan/tanpa labelisasi - sangat diperlukan untuk tumbuh kembang kebudayaan. Salam kenal dan salam sukses bung...

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.