Jurnal Awal Tahun 2024

Tadi pagi saya menerima surel yang memberikan informasi tentang masa domain blog akbaryoga.com yang sebentar lagi akan habis. Saya tentu akan tetap memperpanjangnya meskipun sejak 2023 blog ini sudah jarang terisi (batin saya pun spontan menjerit: Yang bener aje? Rugi dong!). Bahkan, saat saya mengetik kalimat ini, saya juga baru sadar bahwa dalam bulan Januari 2024 ini saya belum menerbitkan satu pun tulisan.
 
Saya lantas termenung dan mengingat bagaimana saya dulu (2015-2021) selalu berusaha menyempatkan diri buat terus aktif ngeblog. Ya, minimal selalu ada satu tulisan baru di setiap minggunya, atau dengan kata lain: sebulan ada empat tulisan. Tapi semenjak pekerjaan saya sungguh menyita waktu serta menguras energi, alhasil saya tak ingin lagi memaksakan diri. Kebiasaan yang tadinya sanggup menerbitkan tulisan seminggu sekali, perlahan berubah jadi dua minggu sekali, lalu semakin ke sini berubah jadi sebulan sekali, atau malah tak ada tulisan sama sekali.
 



Sebagaimana yang saya sampaikan barusan bahwa pada Januari 2024 ini saya belum sempat update blog hingga sekarang sudah berada di penghujung bulan, saya akhirnya mencoba membongkar arsip tulisan di berbagai medium demi menepati janji kepada diri sendiri untuk tetap konsisten mengisi blog walaupun kondisinya sudah seperti hidup segan dan mati pun enggan.


 
Tanpa perlu berbasa-basi lagi, inilah dua tulisan singkat yang menurut saya paling layak ditampilkan ketimbang draf-draf sampah lainnya: 
 
 
Kamu terlalu keren buat pekerjaan ini
 
Pada suatu Jumat sore, atasan saya sempat meminta tolong saya untuk membeli camilan semacam sempol, cakwe, dan aneka gorengan yang total pembeliannya itu seharga 50-100 ribu. Salah satu pedagang tersebut akhirnya iseng bertanya kepada saya, “Emangnya dalam rangka apa sampai beli sebanyak ini?” Setelah saya memberi penjelasan terkait ada evaluasi kerja mingguan dan begitu kelar bakalan ditutup dengan kegiatan makan-makan, dia pun bertanya lagi: Mas kerja sebagai apa?
 
Awalnya saya tentu menjelaskan terkait bidang pekerjaannya, yaitu konsultan pajak dan hukum, tapi begitu saya melontarkan jabatan saya yang hanya seorang kurir dokumen (terkadang makanan juga), entah mengapa penjual itu enggak percaya. Bahkan dia sempat bilang kalau saya sedang merendah dan sebagainya. Setelah saya tanya alasannya apa, dia justru berkata, “Si Masnya kan kulitnya bersih begini, enggak mungkin lah kerja begituan.”
 
Saya jelas heran. Memangnya patokan kerja jadi seorang kurir tuh harus dekil, kah? Seakan-akan yang boleh bersih cuma pegawai kantoran yang bekerja di ruangan ber-AC aja? Sesibuk-sibuknya seorang kurir, masa iya bikin dia lupa merawat dirinya sendiri?
 
Pada lain waktu, saya juga pernah mengantar dokumen ke kantor klien. Lagi-lagi ada seseorang, bedanya kali ini seorang perempuan, yang iseng bertanya tentang pekerjaan saya. Selepas saya menjawab pertanyaannya dengan jujur, dia malah bilang kalau saya terlalu keren buat pekerjaan saya. Terus terang, saya cukup bingung dia itu memuji kerennya dalam segi apa. Seingat saya, pakaian saya pada hari itu, sih, standar aja. Baju saya kalau enggak kemeja flanel, ya palingan batik. Bawahannya juga hanya celana chino hitam dan sepatu Kodachi. Itu harganya masih terjangkau semua, bukan? Apakah penampilan semacam itu layak disebut keren?
 
Namun, daripada memikirkan pertanyaan tersebut, saya lama-lama tersadar bahwa orang-orang yang melihat diri saya dengan jeli, baik dari segi penampilan maupun cara bersikap, entah mengapa bakalan ngomong, “You deserve better.”
 
Yah, lagi pula siapa yang enggak pengin jadi lebih baik? Saat ini, kondisinya memang agak memaksa saya untuk bertahan dalam pekerjaan ini (bagi yang mengenal saya dengan baik, pasti mereka tahu kalau saya sempat putus asa dengan karier lantaran selalu gagal memperoleh pekerjaan tetap sejak 2018-2021, dan pada masa itu saya berusaha mengisi keseharian dengan bekerja serabutan yang upahnya jauh dari kata layak).
 
Saya memang enggak pernah tahu masa depan bakal jadi seperti apa. Yang terpenting: saya kini cuma ingin bertahan dan menjalani hidup sebaik-baiknya, juga sekuat-kuatnya. Toh, selama pekerjaan saya saat ini masih ada manfaatnya buat orang lain, serta enggak merugikan siapa pun, saya mah santai aja. Biarpun mungkin ada sebagian orang yang memandang rendah, saya juga enggak akan peduli lagi apa kata orang, sebab nilai diri itu ditentukan oleh diri saya sendiri, bukan orang lain. Lalu yang juga tidak kalah penting: kurir dokumen ini merupakan pekerjaan yang halal.
 
 
Apakah berkurangnya beban hidup bisa berpengaruh terhadap kenaikan berat badan?
 
Katanya, ciri orang yang berbahagia bersama pasangannya itu berat badannya bakalan bertambah. Saya entah mesti percaya atau enggak dengan pernyataan tersebut, tapi seenggaknya saya pengin coba bercerita begini: Baru-baru ini, sepulangnya dari Dieng (selama liburan empat hari di sana kerjaan saya cuma makan-tidur-piknik), saya iseng menimbang berat badan dan hasilnya ternyata 49.
 
 

 
Sebelumnya, mana pernah berat badan saya mencapai angka segitu. Berat normal saya biasanya selalu mentok di angka 44-45, bahkan pada masa pandemi (ketika finansial sangat krisis dan saya sempat terpapar virus Covid) berat saya sempat mendadak turun hingga 41.
 
Kala itu, sangatlah sulit buat mengembalikan berat menjadi 44-45 lagi. Usaha maksimal saya dengan memperbaiki pola makan dan tidur pun seakan sia-sia, sebab saya hanya bisa mencapai angka 43. 
 
Singkat cerita, perlahan-lahan kehidupan saya lumayan membaik. Saya akhirnya memperoleh pekerjaan, dan saya juga kini bersama seorang perempuan manis—yang kerap saya panggil “mbaknya”. Kehadiran “mbaknya” itu sungguh memberi pengaruh baik bagi diri saya. Misalnya, saya jadi punya tempat berbagi cerita ketika hidup saya mendadak hancur lebur lantaran tertimpa musibah. Ssaya sebetulnya tak tahu ini pantas disebut musibah atau bukan, yang jelas saya mesti membayar utang puluhan juta dalam setahun, padahal uangnya tak pernah saya pakai sepeser pun (saya sempat mengisahkannya di tulisan Don’t Let Me Drown). Berkat kehadiran dia, saya enggak perlu menanggung segala masalah sendirian lagi. Beban saya yang tadinya teramat berat pun jadi sedikit berkurang. Nuhun pisan.
 
Berat badan saya pun sedikit-sedikit kembali normal: mencapai angka 45. Terlebih lagi, sewaktu jumlah utang kian menipis, dan hari-hari saya bersama mbaknya sering diisi dengan kegembiraan, rupanya bisa bikin berat saya bertambah hingga 47.
 
Sebagian kawan saya pernah berkata bahwa saya yang sekarang tampak lebih ceria semenjak bersama mbaknya. Raut wajah saya, ujar mereka, enggak lagi semuram dulu, yang seolah tak punya gairah hidup. Kala dipotret, saya kini juga sudah mulai banyak tersenyum atau nyengir. Pendek cerita, setahun telah terlewati dan utang itu akhirnya bisa lunas, lalu siapa sangka target berat badan realistis saya di angka 50 ini benar-benar tercapai. 
 
 

6 Comments

  1. Saya juga sekarang sedang memantai BB. Soalnya waktu di kerjaan lama, BB saya sekitar 45kg. Tapi berjalannya waktu, mulai paham kalau hidup harus dinikmati sebaik mungkin, dan sempat rutin jogging tiap weekend, BB sy mulai naik. Sekarang selalu di kisaran 51-52 kg. Dan betul juga Yog, nambah BB, bikin tampilan kita lebih segeran dibanding waktu kekurusan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang olahraga rutin itu penting, Din. Saya juga masih suka jogging. Tapi ya gak setiap weekend sih. Apalagi bulan ini sering hujan. Minimal dalam sebulan ada gitu 1-2 kali. Haha.

      Yoi. Alhamdulillah sekarang bisa bertambah beratnya, dan jadi terlihat lebih segar.

      Delete
  2. Ngbloglah sesempatnya.pas lagi sempet, ngepos aja banyak2. Kalo lagi nggak, ya biarin aja~

    Sebagaimana ucapan saya dulu, normalnya, lelaki itu udh menggemuk/membuncit di usia 27. Bawaan hormon. Kalo di usia itu gak ada penambahan berat, ya udh gak apa jg sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masalahnya, udah enggak seperti dulu hasrat menulisnya. Sekarang cuma benar-benar sesempatnya aja, Haw.

      Hahaha. Tapi saya di 28 sih ini betul-betul bertambah. Di 27 hidup justru jungkir balik. Ya emang enggak apa. Yang terpenting bisa tetap sehat, serta survive.

      Delete
  3. Perjalanan hidup yang sungguh roller coaster, sabar ya bang, saya pengen sok tau tapi emang kayanya pasti kesel, sedih, bahagia atas pengalaman yang terjadi itu dan pada akhirnya hanya masalah waktu.

    Iya, kaya domain yang ada masanya. Perlu renew. Sama kaya hidup.

    Lantas yang jadi pertanyaan, apa benar berat badan indikator dari kebahagiaan seseorang? Entahlah, semangat ngeblognya lagi bang. You deserve better!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, tapi balik lagi ke diri sendiri kan. Mau sembuh lebih cepat atau lama, tergantung sikap si individu itu.

      Sebagai orang yang susah banget naik berat badannya, saya sih setuju kalau belakangan ini saya emang lagi berbahagia. Jadi makan pun lahap. Beban pikiran pun bisa berbagi dengan mbaknya. Hehe.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.