“Dalam kesengsaraan kami, kami ingin menjerit minta tolong, tetapi di sana tak ada seorang pun yang membantu kami.” —Petronius.
--
Adikku bilang aku kayak orang depresi yang mendengarkan lagu Bring Me the Horizon - Drown terus menerus, bahkan dalam sehari bisa terputar lebih dari tiga kali. Namun untuk saat ini, dialah yang paling paham bahwa: I'm not okay and it's not alright. Hm, atau lebih tepatnya we're not okay.
Kami harus menanggung tanggung jawab yang bukan kesalahan kami. Tapi kami tak punya pilihan sebab nama kami ikut terseret. Aku sebagai anak pertama seakan-akan sedang memikul neraka di pundak, dan diam-diam aku meratap: Ya Allah, capek banget sama hidup. Kenapa kami kena sial begini? Entahlah ke depannya kami bakal bagaimana, tapi semoga sih kami sanggup menyelesaikannya. Aku jelas mencoba bertahan sekuatnya, dan berharap dia juga kuat, walau aslinya batin kami menjerit tak keruan.
Kupikir tahun baru menawarkan harapan baru, dan ternyata menjelang Januari berakhir kami malah kena musibah. Hidup sungguh ada-ada aja, ya Allah. Sebetulnya tak pantas menyebut hal ini sebagai musibah, sebab aku paham betul itu murni kesalahan atau kecerobohan manusia. Masalahnya, bukan kami yang melakukan kesalahan itu, dan mau tak mau justru kami juga mesti ikut menanggung bebannya. Rasanya mungkin ini beban terberat yang pernah kami—khususnya aku—hadapi sepanjang menjalani hidup.
Bicara soal hidup, harapanku saat ini amatlah sederhana. Aku hanya ingin bisa tetap dikasih hidup dengan kondisi sehat lahir dan batin minimal sampai Desember nanti demi bisa menyelesaikan urusan-urusan pelik. Semoga aku juga bisa tetap bekerja dan memperoleh penghasilan rutin tiap bulannya demi mencicil berbagai tanggungan bedebah itu.
Aku paham mengeluh begini di tulisan akan tampak tolol, norak, atau apalah itu, tapi semoga masalah kali ini betulan ada jalan keluar karena kami benar-benar kebingungan banget. Seingatku, aku belum pernah sefrustrasi ini lagi sejak enam tahunan silam kala memasuki fase depresi berat akibat drop out dari kampus.
Jika kamu bertanya-tanya, sebetulnya apa, sih, yang sedang terjadi?
Aku sementara ini belum mampu menjelaskan permasalahan detailnya selain bilang kalau ini merupakan masalah finansial yang gawat. Hm, kami harus membayar uang sekitar 20 juta yang sebelumnya tak pernah kami pakai sepeser pun. Yang berbuat tolol siapa, dan kamilah yang mesti ganti rugi. Itu biadab banget, kan?
Bagi orang lain, mungkin jumlah uang itu tergolong biasa saja. Namun, itu jumlah yang sangat-sangat-sangat banyak buatku. Aku baru bekerja beberapa bulan dan baru selesai masa probation. Aku cuma karyawan kontrak dan bukan pegawai tetap. Aku tak punya tabungan sebanyak itu, bahkan bisa dibilang gajiku yang pas-pasan ini cuma cukup buat menyambung hidup dari bulan ke bulan. Pokoknya, masih bisa tetap makan enak hingga gajian berikutnya datang itu merupakan kenikmatan hidup. Apalagi kalau masih ada sisa sedikit uang untuk menghibur diri seperti jajan buku atau menonton film ke bioskop.
Gajiku bulan ini, yang kurang lebih bakal cair tanggal 1 Februari, bisa dipastikan langsung lenyap untuk mencicil tagihan tersebut. Sebenarnya aku tak terlalu pusing akan hal itu, karena setidaknya masih ada pegangan uang buat menyambung hidup sampai Maret datang hingga aku kembali memperoleh gaji. Namun, bagaimana cara membayar setengah tagihan dari 20 juta itu alias dari mana cari uang sebesar 10 juta kurang dari seminggu? Seandainya tak ada batas waktu, tentu aku tak akan menganggapnya beban berat. Apesnya, batas waktunya cuma sampai tanggal 5 Februari. Baiklah, itu memang masih beberapa hari lagi, tapi tetap saja kondisiku sekarang benar-benar di ujung tanduk.
Jika kurenungkan dan membuat estimasi, gajiku 1 Februari nanti, setelah dikurangi biaya hidup yang sangat dibikin hemat, aku sepertinya cuma sanggup membayar seperempatnya, atau semaksimalnya mentok di angka 3 juta. Aku masih belum tahu bagaimana menutupi sisanya yang 3/4. Aku sempat menghubungi ayahku dan dia katanya bakal bantu cari solusi walau sebenarnya lagi enggak memegang uang. Aku juga mulai mengecek arsip dokumen di Drive, lalu kepikiran buat mengumpulkan berbagai tulisanku dan mengomersialkannya lagi. Aku pun sampai memandangi koleksi bukuku. Barangkali ada sebagian buku yang bisa dijual buat tambah-tambah menggenapi uang tersebut. Yah, apa pun itu, semoga sih betulan ada titik terang atau jalan keluar buat kasus jahanam ini.
Terlepas dari segala hal busuk barusan, yang paling aku takutkan justru tersebarnya data pribadi kami. Orang tak bertanggung jawab ini, yang sungguh bikin kami kelimpungan, bisa-bisanya mengirimkan dataku (meliputi alamat tempat tinggal dan semacamnya) ke pihak lain yang jelas-jelas tak bisa dipercaya.
Aku harap sih dataku baik-baik saja dan tak dipersalahgunakan walau aku ketakutan setengah mampus lantaran ingat peristiwa sedih saat foto-fotoku dicuri dan ada oknum yang memakainya seenak jidat. Aku tentu tak bisa membohongi segala kecemasanku karena di era yang serba kacau ini seorang korban bisa dengan mudahnya difitnah menjadi pelaku kejahatan.
Alasan mengapa aku mengisahkan semua ini ke blog (tentu sudah difilter dengan baik): Walau sudah bercerita kepada beberapa kawan dekat, aku tetap merasakan sesak di dadaku. Aku juga kembali mengalami gangguan tidur, padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah tidur larut kecuali sesekali pada akhir pekan. Menuliskan keresahan via blog, pikirku, mungkin bisa membuat hatiku lebih plong. Bisa juga karena aku sangat membutuhkan dukungan moril dari para pembaca (meski jumlah pembacaku juga tak seberapa). Semoga aku bisa terus hidup hingga masalah ini beres. Bantu doakan aku, ya, agar keadaanku bisa lekas baik-baik saja.
Oh iya, aku benar-benar ingin minta tolong kepadamu. Sekiranya pada kemudian hari terjadi hal-hal yang lebih gawat, semacam ada orang yang menyebarkan berita buruk tentangku, mengaku dirinya sebagai aku untuk menipu atau apalah itu, tolong percayalah kalau itu bukanlah aku. Mengingat betapa mudah viralnya suatu peristiwa, andaikan itu terjadi (aku harap sih tak terjadi apa pun lagi) semoga kamu bisa juga membantuku menjelaskan ke netizen bahwa aku bukanlah orang jahat.
Aku selama ini cuma berusaha hidup dengan baik, sebisa mungkin tak mau merepotkan orang lain, dan tak mau melakukan hal yang aneh-aneh, tapi mengapa kesialan dalam hidup bagai datang bertubi-tubi?
Save me from myself. Don't let me drown.
Kala ingin menutup tulisan ini, aku merenung cukup lama. Apakah seluruh teks ini tak masalah jika kuterbitkan di blog? Aku tanya hal itu berulang-ulang kepada diriku sendiri hingga aku malah memperoleh pencerahan begini: Bukannya aku bersikap sok bijak, tapi terlepas dari kesialan yang menimpaku belakangan ini, aku bersyukur masih bisa bernapas dan melihat matahari pagi ini. Hidup yang selama ini sering kuanggap busuk, rupanya masih memiliki sisi indahnya. Terakhir, walau kondisiku sementara ini benar-benar memble, semoga setiap harinya segala aspek dalam hidupku bisa kian membaik. Semoga masih ada hari esok untukku.
--
PS: Aku tak mau berharap banyak kepada siapa pun. Namun, aku akan sangat berterima kasih kepada siapa pun yang sudi meringankan sedikit bebanku dengan membeli buku-buku digitalku—baik memesannya via surel atau mendukungnya lewat KaryaKarsa. Gracias muchos amigos.
Hm, seandainya aku tak lagi ada di dunia ini, aku benar-benar meminta maaf dan berterima kasih dari lubuk hati yang terdalam.
1 Comments
astaga... kok bisa sampe gitu, Yog? ini ada yang pake data pribadi buat pinjam ya, jahat bgt. semoga keluarga dikuatin dan ada jalan keluarnya.
ReplyDeleteMana keadaan lagi pada susah malah ada aja hal-hal aneh terjadi kayak gini. semoga cepat kelar masalahnya ya...
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.