Mencoret-coret Sesukanya dan Menulis Semaunya dalam 24 Jam

1

“Kamu kenapa mendadak bengong, sih?” tanya Rara kepadaku ketika kami berada di Kedai Bersahaja, Jakarta Timur, tepatnya selagi kami menunggu seorang pramusaji mengantarkan dua porsi panekuk beserta teh manis hangat yang kami pesan lima menit lalu. “Lagi mikirin apa?“

“Kamu ingin mendengar jawaban bohong atau jujur?”




Rara pun menatapku dengan wajah yang menakutkan. Dia tersenyum, tetapi senyumannya itu sungguh berbahaya, seakan-akan ingin memberitahuku bahwa pertanyaanku itu sangat tolol, bahwa dia (begitu juga setiap perempuan di seluruh dunia) tak suka dibohongi, bahwa dia ingin segera mendengar keterusteranganku sebelum jari-jarinya mengambil sebilah pisau atau garpu yang tersedia di meja dan lantas menusukkannya ke mataku. Aku tak mengerti kenapa imajinasiku dalam menafsirkan senyumannya itu terlalu liar, tapi bagiku terkadang senyuman seseorang memang terasa misterius, terutama senyuman perempuan manis.

Aku sebenarnya juga bingung mengapa barusan menanggapi pertanyaannya dengan kalimat semacam itu. Rasanya ujaran itu terlontar begitu saja dari mulutku tanpa sempat berpikir, atau mungkinkah aku teramat malu sekiranya mesti menceritakan hal yang kupikirkan tadi kepadanya? Jadi, aku pun berujar: Aku cuma sedang memikirkan hal yang sama.

“Sama? Tentang tulis-menulis lagi?”

Rara sangat mengenalku dan kukira dia sudah muak dengan keluhanku, makanya aku malas membicarakannya lagi. Tapi, lagi-lagi, aku malah mencerocos begini: Iya, kamu tahu kan aku sering berpikir bisa mendapatkan penghasilan utama dari menulis, bukan dari kerja-kerja serabutan enggak jelas kayak pekerjaanku sekarang.

“Lalu, kamu mau coba ngotot lagi bikin naskah puisi, cerpen, atau novel dan mengirimkannya ke media atau penerbit demi mendapatkan uang? Sekalipun nanti cuma bikin kamu kecewa dan lapar?”

Terlepas soal uang, di kepalaku barusan bahkan sempat terlintas pikiran agar aku bisa mendapatkan hal-hal yang aku mau, termasuk pasangan, lewat menulis. Tapi setelah kupikirkan ulang, ternyata mencari pacar lewat metode menulis—atau dengan kata lain berusaha memikat perempuan dengan ceritaku, sepertinya mustahil.

--

Yang barusan murni fiksi dan yang di gambar bukan Rara. Entah siapa, aku nemu di web.


2


“By now I knew it was pointless to write. Or that it was worth it only if one was prepared to write a masterpiece. Most writers are deluded or playing. Perhaps delusion and play are the same thing, two sides of the same coin. The truth is we never stop being children, terrible children covered in sores and knotty veins and tumors and age spots, but ultimately children, in other words we never stop clinging to life because we are life.”

—Bolaño, 2666.




Lately I wrote some self help poems, bcoz my life was really tiring. After that poem was written, I tried to rest myself. I also tried not to be burdened by the ugliness of the poem. At least, I can be relieved. Even sometimes, I'm doodling on my own photos like this if writing fails to make me feel better. And finally I felt better.

However, Idk why this feeling of tiredness comes back. Over and over again. So, I wake up and I feel exhausted. Then I said to myself: “Damn, I'm back here again and Idk what should I do.” Suddenly I think about my life now and is really messy. It feels like a vicious circle.

Hm, but that’s okay. I have no choice but to survive, right? I must rebuild my heart, start over and reconstruct my life. And I hope, I still have energy left to do it.



3


Lirik lagu Lykke Li, No Rest for the Wicked, mengantarkanku pada ayat Alkitab, yakni Yesaya 57:20-21 yang berbunyi:

“Allah sudah membentuk hati nurani manusia sedemikian rupa, sehingga tak akan pernah ada damai bagi orang yang hidup secara fasik—baik damai dalam batin maupun damai secara lahir. Selama mereka berbuat dosa, hidup mereka akan seperti ombak laut yang penuh sampah dan lumpur. Allah menentang mereka, sambil menginginkan agar mereka bertobat dan diselamatkan.”

Di Al-Quran, seingatku juga ada ayat yang berbunyi seperti ini: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”




Sebelum berlanjut, kenapa aku tiba-tiba memulai sebuah cerita dengan gaya Borges? Yah, apa pun itu, saat ini aku hanya ingin refleksi diri. Jika memang akhir-akhir ini terdapat kekacauan dalam diri, barangkali saja seperti yang disebutkan dalam Alkitab, bahwa aku tergolong orang fasik. Masalahnya, dosa apakah yang telah aku perbuat belakangan ini? Aku pun bingung.

Kalau ingin mengacu tujuh dosa besar manusia (sombong, rakus, serakah, nafsu, dengki, murka, serta malas), mungkin tanpa sadar aku sempat bermalas-malasan, kemudian dengki dengan segelintir orang, hingga muncul rasa murka. Atau aku membayangkan bisa memeluk perempuan manis yang tak bisa kumiliki—sepertinya ini sudah mengacu ke arah nafsu. Bisa juga aku telah melakukan dosa lain yang tak pernah kusadari.

Setelahnya, pernah ada momen ketika hatiku tetap gelisah padahal aku baru saja melaksanakan salat (jika mengingat Allah, hati kita katanya bakal tenang, kan?). Apakah aku tidak khusyuk? Apakah ada yang salah dalam caraku beribadah? Atau sebenarnya, ini cuma masalah simpel kalau aku butuh bercerita kepada manusia, makhluk yang berwujud, yang bisa menanggapiku saat itu juga?

Entahlah. Aku hanya ingin meracau buat mengakhiri episode “Mencoret-coret sesukanya dan menulis semaunya dalam 24 jam.” Untuk sekali saja, aku membuang rasa malu dan membiarkan diriku norak. Menunjukkan kepada dunia tentang diriku yang teramat tolol, bisa-bisanya mengagumi seorang gadis yang mustahil diraih—menjadi kekasih.


--

Meski aku tahu bahwa foto maupun tulisan ini sama sekali tak penting, aku tetap ingin memindahkan gambar beserta kata-kata yang tadinya terpajang di Instagram ke blog, sebab proses atau upayaku untuk mengurangi beban sekaligus perasaan kacau di dalam diri sangatlah penting. Yah, sesekali aku ingin mengamini kalimat di novel Dunia Kafka tentang proses menulis itu penting walau hasil akhirnya sama sekali tak berarti.

2 Comments

  1. Mendapat pasangan lewat menulis menurutku nggak mustahil, tapi jujur prosesnya aku nggak tahu gimana 😂. Mungkin bisa dengan kerja di kantor penulis atau di dunia perbukuan? 🤔

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya ampun dijawab serius. Itu pernyataan asal aja, Li. Haha. Zaman memasuki usia 20, saya sebetulnya sempat punya pacar karena blog juga, kok.

      Tapi boleh jadi itu mikir mustahil karena saya sadar saat semakin berumur. Lama-lama metodenya enggak cocok lagi. Kalau zaman 5-7 tahunan lalu, prosesnya kayak tulisan disukai pembaca, lalu akhirnya dekat sama penulisnya, mereka berteman, sampai akhirnya pacaran.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.