Buku yang Memenangkan Sayembara dan Semua Ikan di Langit

Sebelum saya membahas novel Semua Ikan di Langit, saya cuma ingin mengaku kalau saya ini bukanlah tipe orang yang gampang tertarik dengan buku-buku yang memenangkan sayembara maupun penghargaan (begitu pun yang masuk daftar nominasinya). Alasannya sederhana: biasanya karya para pemenang itu membuat saya kecewa, atau enggak cocok dengan selera bacaan saya. Saya enggak akan mengambil contoh jauh-jauh seperti pemenang Nobel atau Man Booker, sebab bacaan saya pun masih terbatas, sehingga saya cukup menceritakan pengalaman saya ketika menjajal buku para pemenang sayembara DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan Kusala Sastra Khatulistiwa.
 
Saman karya Ayu Utami, novel yang memenangkan sayembara DKJ pada 1998, yang katanya bagus dan fenomenal itu, ternyata bikin saya mandek membaca. Saya enggak tahu kenapa malas dengan adegan-adegan vulgarnya, lantas memilih berhenti. Jika saya mau membaca ulang lagi, mungkin saja penilaiannya akan berubah. Namun, saya sadar kalau ada satu hal yang sulit diubah dari diri saya: kesan pertama dalam membaca biasanya enggak pernah bohong, dan saya tebak bakal tetap sulit untuk menamatkan novelnya.
 
Saya juga kecewa dengan Maryam karya Okky Madasari, novel yang memenangkan KSK tahun 2012 dan konon mengangkat kisah pilu warga Ahmadiyah. Saya berharap tema sebagus itu bakal diceritakan dengan keren sekaligus penuh kritik/satire. Tapi setelah dibaca, rupanya isi novel itu lebih dominan ke kisah cinta tokoh Maryam, yang bagi saya sungguh bikin ngantuk.
 
Saat itu saya mulai menyerah dengan prosa yang memenangkan penghargaan, lalu beralih ke puisi. Sialnya, kekecewaan yang sama terulang kembali ketika saya iseng meminjam Buli-Buli Lima Kaki karya Nirwan Dewanto (pemenang KSK kategori puisi pada 2011) di iPusnas. Entah saya yang goblok dalam memahami puisi atau sajak-sajaknya memang sok rumit, yang jelas saya tak akan merekomendasikan buku itu kepada orang lain. Kala itu, saya sampai-sampai berpikir begini: Buku-buku semacam itu bisa menang karena ada kepentingan politik kali, ya?
 
Syukurlah pada kemudian hari ada karya-karya yang sanggup mengubah persepsi tersebut. Untuk yang puisi ada: Surat Kopi (Joko Pinurbo), Museum Penghancur Dokumen (Afrizal Malna), Museum Masa Kecil (Avianti Armand); sementara yang prosa: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto), Semua untuk Hindia (Iksaka Banu), serta Semua Ikan di Langit (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie).
 
 

 
Novel bersampul hijau campur merah karya Ziggy yang saya sebut barusan itulah yang ingin saya coba bahas. Novel ini berkisah tentang perjalanan bus DAMRI yang pindah trayek (mulanya hanya melewati Dipatiukur-Leuwipanjang) dari antarkota berubah menjadi keliling angkasa serta melintasi dimensi ruang dan waktu. Itu semua terjadi karena si bus bertemu sosok Beliau—bocah laki-laki yang saya interpretasikan sebagai sosok Tuhan. Terus kenapa judulnya Semua Ikan di Langit? Apakah karena ada ikan julung-julung yang selalu berkerumun di sekitar Beliau? Saya tak akan menjelaskan atau mengisahkan isinya lebih lanjut. Silakan kamu baca sendiri saja (bisa pinjam gratis di iPusnas, kok). Saya hanya ingin memberikan kesan dari pembacaan saya pada 2018 ataupun pembacaan ulang pada masa pandemi (saya lupa waktu persisnya, entah 2020 atau 2021).
 
Hal yang saya suka dari novelnya 
 
1. Sang penutur cerita atau naratornya bukanlah seorang manusia seperti kebanyakan novel, melainkan bus DAMRI. Saya selalu punya ketertarikan khusus terhadap majas personifikasi semacam ini.
 
2. Ziggy mendeskripsikan sosok Tuhan lewat cara yang menyenangkan. Begitu pula dengan hal-hal filosofis yang mungkin menjadi pertanyaan umat manusia tentang Tuhan. Bagi saya, Ziggy berhasil menyajikannya dengan nikmat.
 
3. Saya dibuat kagum dengan cerita tentang bagaimana penggambaran dunia bermula, berakhir, dan akhirnya tercipta lagi. Apalagi menjelang akhir cerita ada kemunculan sosok bocah lelaki lain, yang setelahnya berubah menjadi Si Jahanam—yang saya asumsikan sebagai sosok Dajjal. Ziggy mencoba mendeskripsikan bagaimana fitnah Dajjal bekerja dengan cara yang unik, seakan-akan mencoba mengingatkan kepada pembaca bahwa hal itu kelak akan nyata adanya. Dibanding mendengar ceramah sebagian ustaz ataupun pemuka agama tentang Dajjal yang rasanya terlalu menakutkan, membaca fragmen novel Semua Ikan di Langit pada bagian Si Jahanam ini terasa lebih asyik.
 
4. Ziggy adalah penulis yang buat saya paling sulit dikenali jejak-jejak bacaannya. Saya cuma tahu kisah ini mirip The Little Prince atau Pangeran Clik karya Antoine de Saint-Exupéryka—yang saya anggap sebagai homage alias penghormatan. Selebihnya kisah-kisah itu jelas merujuk ke kitab suci beberapa agama, dan sisanya saya benar-benar buta. Apakah yang semacam ini bisa disebut kekaguman? Entahlah. Yang saya tahu, ada kesenangan tersendiri saat membaca novel yang saya tak tahu referensinya. Lain cerita ketika saya berhadapan dengan beberapa penulis lokal lelaki. Meski saya tetap suka dengan karya mereka, cuma sewaktu saya bisa menebak begini: “Ini mah terpengaruh Garcia Marquez, Borges, Bolaño, Dostoyevsky, Hemingway, Haruki Murakami, dst.”, adakalanya proses pembacaan jadi terganggu.
 
5. Saya sampai memberikan bintang 5 seusai membacanya pada 2018. Meski saya lupa apa alasannya, seenggaknya saya yakin kalau saat itu buku ini benar-benar mendekati sempurna di mata saya. Atau anggap saja saya sepakat dengan komentarnya dewan juri, bahwa novel ini ditulis dengan keterampilan bahasa yang berada di atas rata-rata para peserta sayembara.
 
 
Kekurangan novelnya
 
Mencari kekurangan dalam suatu hal biasanya tuh gampang banget. Sayangnya, saya sungguh kesulitan menemukan hal minus di novel ini. Entah penilaian saya bias karena novel ini telah memenangkan penghargaan dan secara tak langsung bikin saya takut mengkritiknya, atau Ziggy betulan menggarapnya dengan ciamik. Syukurlah saya akhirnya berhasil menemukan dua hal yang bisa dianggap kekurangan:
 
1. Novel ini terdapat tokoh pohon raksasa bijak di luar angkasa yang bernama Chinar dan memiliki empat orang anak, yaitu C, H, A, dan R. Nah, di sinilah saya rasanya tak bisa membedakan suara mereka satu sama lain dari cara mereka berdialog. Dengan kata lain: tokoh anak-anaknya sangat seragam. Jadi, kalaupun namanya diubah jadi Y, O, G, A, mungkin juga tak akan dianggap penting oleh pembaca.
 
 

 
2. Saya merasa tak ada konflik utama di novel ini. Memang, sih, sejak awal konsep penceritaannya selalu pindah-pindah tempat dan mau tak mau konfliknya jadi berbentuk potongan-potongan. Tapi lantaran hal itu jadi ada beberapa bagian penting yang justru terlupakan, atau dengan kata lain: beberapa fragmen enggak menempel di ingatan pembaca. Mau bagaimana lagi, saya ini terbiasa dengan bacaan yang punya satu konflik besar, dan setahu saya itulah yang membuat sebuah novel kisahnya bisa melekat di benak pembaca, kan?
 
 
Kesimpulannya: Buku yang memenangkan sayembara atau penghargaan ternyata banyak juga yang terbukti benar-benar bagus. Bukan semata-mata suatu kepentingan politik seperti yang pernah saya asumsikan sebelumnya.
 
--
 
PS: Kawan bloger saya sedang mengadakan giveaway berhadiah belanja buku senilai 150 ribu. Monggo dicek di: akun Reggievia.

PS 2: Entah saya ini tetap dianggap sebagai peserta giveaway atau bukan lantaran akun Instagram saya diproteksi (dan enggak akan pernah mau membuka gemboknya lagi karena takut peristiwa jahat tempo hari terulang kembali), seenggaknya saya telah berusaha meramaikan atau anggap aja sebagai tim hore.

PS 3: Sempat pengin beli tapi enggak pernah kesampaian. Apalagi sekarang juga udah keluar PS 4 dan PS 5. Oke, abaikan lelucon bodoh di akhir kalimat ini.

4 Comments

  1. Sepanjang pengalaman membaca buku, saya jarang sekali memperhatikan karya penulis dengan menghubungkan ke prestasi literasinya. Saya mungkin tipe yang akan membaca buku kalau sekiranya ceritanya bakal bagus, sampulnya keren, atau sebelumnya saya pernah membaca bukunya dan merasa bagus.

    Ziggy ini salah satu penulis yang bikin saya penasaran dengan karya-karyanya. Tapi saya hanya pernah membaca 2 bukunya: San Francisco dan Kita Pergi Hari Ini. Tapi saya belum menemukan poin kenapa harus begitu menyukai karyanya selain alasan ceritanya selalu beda-beda.

    Dan yang saya baca, nama Ziggy ini lumayan dielu-elukan oleh banyak pembaca buku. Makanya karya-karya beliau banyak dibicarakan. Saya jadi penasaran dengan bukunya yang ini. Apalagi di bukunya ini beliau mengambil sudut pandang benda mati. Tampaknya seru juga ceritanya. Semoga ada kesempatan di masa depan untuk membaca bukunya ini, hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mending begitu memang, Din. Daripada melihat prestasinya, lalu kita nanti malah kecewa karena enggak sesuai harapan. Jadi ya baca sesukanya aja tanpa perlu melihat siapa penulisnya. Mau dia dari antah berantah, bukan siapa-siapa, kalau bagus ya bagus aja.

      Kamu malah baca buku terbaru dia ya, Kita Pergi Hari Ini. Saya justru belum baca yang itu. XD Jangan lupa juga jajal Di Tanah lada.

      Sip. Semoga nanti suka dan terhibur.

      Delete
  2. Sewaktu pertama baca buku ini, aku juga mengartikan sosok Beliau ini sebagai Tuhan dan betapa ceritanya sangat mengarah kepada Beliau sebagai Tuhan, tapi belakangan ini baru tahu dari Kak Ziggy bahwa sebenarnya Kak Ziggy nggak bermaksud mengartikan sosok Beliau sebagai Tuhan. Aku lupa baca dimana, kalau nggak salah ada tertulis di salah satu tweet Kak Ziggy, but CMIIW, siapa tahu aku yang salah mengartikan pernyataan Kak Ziggy 😂
    Ngomong-ngomong, begitu menutup buku ini, aku langsung tahu bahwa buku ini pasti akan aku reread di masa depan karena aku sesuka itu dengan pembahasan yang diangkat yang terasa dekat hahaha. Aku juga terbiasa dengan cerita yang ada konflik besar, tapi khusus buku ini meskipun nggak ada konflik besarnya, tapi tetap terasa nikmat sekaliiii untuk dibaca 🙈
    Habis ini, lanjut baca Di Tanah Lada, Kak 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Walau Ziggy bilang orang-orang berlebihan dalam menafsirkan, saya tetap kepengin menginterpretasikan beliau sebagai sosok Tuhan.

      Betul, saya tetap sepakat kalau buku itu asyik dinikmati. Tapi saya merasa potongan-potongan cerita itu jadi kurang melekat. Ya, anggap aja ini preferensi pribadi atau ingatan saya lagi payah.

      Sudah pernah baca, Li. Sejak awal tau itu kisahnya sedih, eh di akhir ternyata semakin nelangsa. Haha. Meski begitu, saya suka kisah Ava dan Pepper.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.