#JanexLiaRC: Metode Ampuh César Aira Saat Bikin Mahakarya Puisi

Rasa penasaran saya terhadap César Aira, seorang penulis yang direkomendasikan oleh Roberto Bolaño, ternyata tak seperti bayangan awal saya. Karya Aira yang pertama saya coba, kumcer berjudul The Musical Brain, terasa memuaskan walau saya baru membaca 12 dari 20 cerpennya. Karya berikutnya, novela How I Became a Nun, malah bikin saya jengkel bukan main sebab kisah si tokoh menjadi nun alias biarawati sama sekali enggak ada. Meski judulnya sungguh menipu dan membuat saya kesal, saya masih bisa menikmati alurnya, mendapatkan kejutan, dan berusaha memakluminya. Sementara yang akan saya bahas kali ini, Varamo, saya betul-betul tak tahu kudu menjelaskannya seperti apa. Saya hanya bisa bilang, novela ini pada awalnya tampak menjanjikan, tapi begitu di pertengahan hingga tamat saya mulai pasrah sekaligus bodo amat. Apa yang membuat saya tetap menyelesaikannya ketimbang berhenti di tengah jalan tentu karena jumlah halamannya yang tipis—kurang dari 150.
 
 

 
Sejak awal saya sudah mendapatkan bocoran cerita bahwa Varamo bekerja sebagai pegawai negeri yang baru saja menerima gaji, lalu 10-12 jam ke depan dia bakal menulis puisi panjang eksperimental avant-garde (garda terdepan) padahal dalam 50 tahun ini dia tak pernah sekali pun menulis, bahkan memiliki kecenderungan buat menulis sebaris puisi, tapi bisa-bisanya menghasilkan sebuah mahakarya puisi modern yang terkenal di Amerika Tengah. Untuk itulah kini saya juga bermaksud membocorkan seluruh ceritanya yang masih menempel di ingatan dan sesekali berkomentar tentangnya daripada mengulas sebuah novela selayaknya tukang review.
 
Saya sempat bertanya-tanya, apakah Aira jago mengecoh dalam mengoceh, atau fokus sayalah yang gampang teralihkan saat disuguhkan fakta terkait gaji bulanan yang dia terima adalah duit palsu, sehingga saya benar-benar lupa kalau dia kelak menerbitkan mahakarya puisi? Dua lembar uang 100 peso palsu yang diterimanya ini membuat Varamo berpikir itu merupakan masalah krusial, tapi dia bingung kudu berbuat apa. Sebagai manusia normal, saya jelas akan langsung mengembalikan uangnya dan menagih bayaran duit asli seandainya hal itu menimpa saya, sementara Varamo di sini mengira semuanya sudah terlambat begitu uang masuk ke kantong.
 
Narasi berlanjut dengan penjelasan bahwa satu kejadian akan mengarahkan si tokoh ke hal lain. Intinya, walaupun kejadian Varamo menerima duit palsu serta nantinya akan menulis mahakarya puisi ini tak terduga, keduanya masih dapat dihubungkan oleh rantai sebab-akibat yang sangat masuk akal. Masalahnya, tetap ada beberapa hal yang bagi saya enggak masuk akal. Seperti di perjalanan pulang ketika dirinya dilanda kecemasan gara-gara uang palsu tersebut, dia malah bertemu salah seorang supir dari kementerian tempat dia bekerja yang menitipkan uang beserta catatan bertuliskan nomor tentang kemenangan lotre milik ibu Varamo. Dia juga tiba-tiba bisa mendengar suara-suara gaib.
 
Di tengah-tengah cerita, naratornya seakan berganti menjadi penulisnya—yang seenak jidat menjelaskan kalau kisah Varamo ini dituturkan memakai sudut pandang orang ketiga dengan gaya bebas tak langsung demi menciptakan kesan natural, membuat kita lupa bahwa kita sedang membaca fiksi, dan bahwa di dunia nyata kita enggak pernah tahu apa yang dipikirkan orang lain, atau mengapa mereka berbuat sesuatu hal. Apakah ini semacam ejekan biar saya enggak terlarut ke dalam cerita yang lagi dibaca? Buat apa coba menginterupsi begitu?
 
Ceritanya juga kian melantur ke pembalsaman ikan dan hubungan Varamo dengan ibunya yang bisa saja bukan ibu kandungnya. Saya sungguh tak paham, apakah pembalsaman ikan ini berdampak dengan plot utama? Apakah itu mengandung metafora atau suatu makna?
 
Selang beberapa jam kemudian, Varamo lantas berniat main ke kafe kesukaannya dan di pertengahan jalan justru tak sengaja menjadi saksi kecelakaan balap mobil liar. Awalnya Varamo kepengin pura-pura enggak tahu, tapi dia malah melihat seorang korban yang mencoba merangkak keluar dari mobil, yaitu si supir yang tadi menitipkan dia duit. Tai, kebetulan macam apa ini?
 
Selain si supir, di mobil itu rupanya juga ada orang penting, yang jika saya tak salah ingat ialah sang bendahara kementerian. Mereka lalu pergi ke suatu rumah misterius, dan di rumah itulah baru terungkap kenapa Varamo belakangan ini suka mendengar suara-suara gaib yang kata-katanya enggak nyambung. Rumah misterius ini mengadakan pesta dadakan. Tamu-tamunya kemungkinan besar para sindikat kejahatan, yang anehnya kepala kepolisian juga hadir di sana. Di antara mereka yang bedebah, ada seorang wanita (yang disebut si wanita terakhir) menjelaskan suara gaib itu semacam sandi. Isi sandinya kurang lebih begini: rencana-rencana menggulingkan pemerintahan. Si wanita pun memberikan buku catatan kepada Varamo buat memecahkan kode suara-suara gaib itu, dan usahakan dia bisa mengubah sandinya agar rencana jahat mereka gagal total.
 
Selepas meninggalkan rumah misterius itu secara diam-diam, alih-alih balik ke rumahnya, Varamo justru meneruskan pergi ke kafe yang batal dia datangi. Di sana dia bertemu orang gila yang coba memalaknya, lalu berakhir ngobrol bareng tiga orang yang kerja di penerbitan bodong, hingga ditawari menulis. Varamo bilang dia belum pernah menulis, tapi punya ide cerita tentang pembalsaman ikan dan memberikan sebuah judul calon bukunya. Tiga orang ini berbicara panjang lebar tentang menerbitkan buku, sedangkan Varamo memotong obrolan mereka dengan menyebut judul yang lebih nyentrik, sampai-sampai orang dari penerbitan itu semakin antusias.
 
Saya kira omongan pihak penerbit ini semacam satire, sebab mereka bilang menulis itu gampang. Dalam waktu satu jam kita bisa menulis 20 halaman, berarti 4-5 jam jadilah buku. Tai, kalimat mereka benar-benar tai. Mereka seolah-olah menghina para penulis yang membutuhkan waktu bertahun-tahun demi terciptanya sebuah buku. Secara tak langsung mereka tuh ingin memakai cara berengsek: menjual judul yang wow dan peduli setan dengan isinya. Apalagi seseorang dari mereka ngomong enggak usah peduli dengan ejaan/tipo, itu biarlah menjadi urusan pengoreksi naskahnya atau proofreader. Dan yang paling bangsat dari itu semua: Mereka bertemu di kafe pada malam hari, lalu besok siang janjian ketemuan lagi buat setor naskah. Pihak penerbit bilang karyanya biarkan mentah tanpa pengeditan.
 
Penyelesaian konflik di awal terkait duit palsu: si Varamo dapat pengganti yang jumlahnya sama besar lewat kerja sama dengan orang penerbitan, karena kerja samanya bukan berdasarkan sistem royalti, melainkan beli putus karya. Sementara itu, si Varamo juga berhasil mengubah buku catatan soal sandi menggulingkan pemerintahan sampai tak dikenal lagi oleh para sindikat. Saya sejujurnya bingung dengan akhir tak jelas di novela ini. Apakah ini artinya Varamo juga memasukkan kode-kode aneh itu ke dalam puisinya?
 
Eka Kurniawan pernah mengaku di jurnal digitalnya tentang dia yang merasa terkena karma lantaran dulu sempat berpikir bahwa novela Aira ceritanya enggak jelas banget, dan dia baru paham di mana bagian asyiknya setelah bertahun-tahun kemudian, hingga akhirnya jadi ketagihan dengan karya-karya Aira. Saya tak tahu apakah kelak bisa merasakan yang semacam itu, tapi saya yakin cara berkisah yang mendobrak novel-novel konvensional ini secara enggak langsung membuat saya lebih berani buat menulis novela dalam waktu dekat. Saya juga mulai berani bikin judul yang tampak ngawur, yang sama sekali enggak mencerminkan isi tulisan.

9 Comments

  1. Aku iseng cari judul buku ini di Goodreads dan ternyata rating-nya lumayan tinggi ya. Padahal aku sendiri nggak paham ini isinya tentang apa 😂

    Tapi cukup tersentil soal kalimat satire soal menulis buku itu. Duh, andaikata nulis memang "semudah" itu ya. Aku pun pernah dengar kebanyakan penulis di luar sana memang menjedakan beberapa tahun sekali untuk menerbitkan buku, karena proses menulisnya sangat sangat memakan waktu (dan tenaga).

    Terima kasih, Mas Yoga sudah ikut serta reading challenge bulan ini! Semoga project menulis Mas Yoga juga berjalan baik dan tetap semangat! 💪🏼

    ReplyDelete
    Replies
    1. Novela biasanya kan konfliknya lebih sederhana daripada novel, atau gaya penulisnya minimalis gitu dan sengaja enggak mau berpanjang-panjang halaman biar ceritanya semakin padat. Sementara buku tipis ini kok terlalu abstrak buat saya. Asli, demen amat si Aira ngalor-ngidul. Haha. Kayaknya novela ini enggak cocok buat dibaca mayoritas. Cuma orang-orang khusus yang bisa menikmatinya. Atau pemahaman saya aja kali ya belum sampai ke sana. XD

      Bagian satire terkait kepenulisan atau menerbitkan buku ini sempat bikin ngakak, sih. Tapi jelas dibarengi rasa jengkel dan pengin mengumpat.

      Sama-sama ya, Ci Jane. Mumpung mood membaca dan menulis saya lagi baik, jadi ikutan. :D Aamiin, gracias.

      Delete
  2. Ahahaha entah kenapa kok saya malah ketawa bacanya ya. Jadi ini tuh semacam perjalanan Varamo yg bakal menghasilkan mahakarya sebuah puisi. Tapi di tengah2 perjalanan tersebut dia ketemu orang-orang dan kejadian aneh lainnya?

    Novela ajaib sampe bikin Kak Yoga kesel sendiri😂. Tapi saya jadi penasaran kak. Ini bukunya bisa dibaca lewat mana? oiya dari 2 buku Aira yg udah Kak Yoga baca, apakah ceritanya sama2 menjengkelkan dengan buku ini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, berawal dari terima gaji duit palsu yang membawa dia ke serangkaian kejadian aneh. Masalah semestinya bisa langsung beres andai dia langsung balik lagi ke kantor bagian pembayaran buat protes dan minta duit asli, sementara ini dia mendem sendirian sembari cemas. Tapi gimana ceritanya dia dapat duit senilai gajinya yang 200 peso itu lewat bikin buku padahal selama 50 tahun nulis aja enggak pernah ini bagi saya yang sulit diterima. Haha. Lucu campur jengkel gitu.

      Saya kebetulan baca buku digitalnya yang versi Inggris format epub. Saya baca pakai aplikasi yang saya beli Moon+ Reader Pro.

      Kalau yang cerpen, saya sempet terjemahin 2 cerita. Juduknya 'Tidak Ada Saksi' dan 'Kemiskinan', kamu bisa juga cari lewat googling cerpen terjemahan Aira berjudul 'Picasso'. Pokoknya masih enak deh mengonsumsi cerpennya yang absurd. Yang novela How I Became a Nun, seperti yang saya tulis di kalimat pembuka, itu judul paling menipu. Haha. Boro-boro jadi biarawati, isinya cuma tentang bocah cewek berantem sama bapaknya gara-gara es krim. Si bapak bilang enak, si bocah ngomong rasanya kayak basi gitu, yang ternyata emang mengandung sianida dan berakhir keracunan. Terus ributlah si bapak sama penjual es krim. Selebihnya si bocah tak sadarkan diri dan berusaha mengingat kejadian-kejadian hari itu sambil bertanya tentang dirinya. Alurnya masih asyik. Enggak banyak kejadian aneh macam di Varamo.

      Delete
    2. Alur ceritanya Varamo gak ketebak ya Kak. Saya tertarik baca How I became a Nun, kebetulan ada di kindle free sample😁. Terima kasih Kak Yoga untuk reviewnya, seru seru!👌

      Delete
    3. Tapi tulisan saya ini bukan review, Reka. Murni bocoran alur kisahnya ditambah komentar-komentar sesuka hati. Haha.

      Delete
    4. Hahaha gpp Kak Yoga, saya malah jadi penasaran dan kepengin baca bukunya😁👍🏻

      Delete
  3. Duuuuh Yog, sepertinya ga cocok juga aku baca novel begini 😅. Puyeng yg ada kalo alurnya ga jelas 😂. Kok jadi ikut ngakak dan emosi juga pas bagian pembuatan novel, peduli Ama Ama typo dsb 🤣🤣🤣. Betul2 Yaa penerbit buku abal2 wkwkwkwkw.

    Aku pribadi ga suka kalo ketemu novel ga jelas isinya. Bisa2 yg ada aku blacklist semua karya2nya, ga akan mau sentuh lagi 😅..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Mending enggak usah coba dari awal sekiranya merasa enggak cocok. Haha. Karena penerbitan yang baik mah pasti menjelaskan kekurangan naskah itu, lalu meminta penulisnya buat mengedit bagian-bagian tertentu.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.