Gracias, Amigos

Mata saya pernah refleks keluar cairan sewaktu ada teman yang bilang betapa senangnya mereka melihat saya masih aktif menulis—terlepas dari isi tulisan yang biasanya bernuansa suram. Saya sengaja memilih kata “mereka” yang seolah-olah terlihat banyak walaupun mungkin cuma dua yang berkata demikian. Seingat saya, orangnya memang lebih dari satu, dan mereka (dua) > dia. Rasa senang di sini maksud saya jelas bukan ke arah senang melihat penderitaan orang lain, melainkan mereka turut bahagia menemukan salah satu kawannya yang masih berusaha menyisihkan waktu buat melakukan hobinya.
 
Saya jelas menduga mereka sangat paham kalau tulisan-tulisan saya belakangan ini cukup menyiratkan betapa hancur leburnya kondisi, atau dengan kata lain: butuh pertolongan. Tapi di lain sisi, saya juga senang karena mereka menahan diri dan selalu menganggap keadaan saya masih baik-baik aja. Saya enggak lenyap lagi seperti beberapa tahun silam, dan itu lebih dari cukup. Saya tentu yakin mereka juga pernah berharap dan mendoakan saya lebih sering bergembira daripada mengeluh lewat tulisan. Itu artinya: mereka enggak mengasihani saya. Mereka percaya saya kuat, mampu melewati segala kepelikan hidup, dan sanggup menari di atas luka mimpi.
 
 

 
Saya sering tak menyangka bahwa sebagian pembaca blog ini, yang saling mengikuti di media sosial dan pernah mengobrol di WhatsApp ataupun surel, bahkan segelintir dari mereka yang pernah bertemu, ternyata diam-diam masih menyimak ocehan-ocehan saya, sekalipun kini kami jarang berinteraksi maupun meninggalkan komentar. Ujaran-ujaran mereka saat mengontak saya, yang mungkin obrolan kami begitu konyol atau ngalor-ngidul tak tentu arah, jelas berarti banget bagi saya dan semakin menguatkan diri buat bertahan hidup. Secara tak langsung, tindakan mereka itu merupakan bentuk perhatian, kepedulian, simpati, empati, atau apalah sejenisnya. Ini jelas tafsir sok tau, tapi saya selalu ingin menganggapnya begitu. Toh, kala saya benar-benar jatuh sekaligus nyaris putus asa, dan gobloknya jarang meminta bantuan, di sana terbukti ada orang-orang yang muncul memberi pertolongan tak terduga.
 
Pertolongan itu bisa berupa: mendukung sekaligus membeli karya saya, mengirimkan hadiah berupa makanan, buku, ataupun barang lain, mengajak bekerja sama dengan bayaran setimpal, ajakan kolaborasi demi meramaikan dunia blog sekaligus seru-seruan, merekomendasikan nama saya kepada salah seorang klien, membacakan puisi saya-merekamnya-serta memamerkannya di media sosial, bikin video klip musik, memberikan rekomendasi buku/film/lagu asyik, bahkan mengajak diskusi tentang One Piece.
 
Untuk hal yang terakhir, beberapa dari mereka yang sudah mengikuti petualangan kru bajak laut Topi Jerami pasti menganggap kalau menikmati komiknya setiap minggu hingga nanti cerita One Piece tamat sebagai satu dari sederet alasan buat tetap bertahan hidup di dunia yang memble ini. Sekilas itu tampak seperti alasan yang teramat sepele, tapi ini benar adanya dan bermakna bagi para pencandu cerita seperti saya.
 
Sebuah cerita (terutama yang kisahnya digarap dengan baik) rupanya bisa membuat saya lupa sejenak atas permasalahan hidup yang bikin pusing. Memang, masalah saya masih tetap ada dan belum tentu juga saya mendapatkan solusi maupun pencerahan sehabis menikmati cerita itu. Tapi kehadiran cerita (baik dalam bentuk cerpen, novel, film, dan anime) itu sungguh mampu melepaskan beban-beban berat di pundak saya, atau seakan-akan cerita telah mengulurkan tangan dan meminjamkan tangannya agar kami bisa mengangkatnya berdua, sehingga bebannya terasa lebih enteng. Untuk itulah saya benar-benar berterima kasih kepada setiap pencerita yang sejak dulu telah menerangi hidup ketika hari-hari saya sedang gelap.
 
Adakalanya ketika lagi proses menulis sembari memikirkan gagasan cemerlang, di dalam hati saya muncul keinginan untuk bisa menjadi salah satu dari mereka—pencerita yang pernah menolong saya. Tentu saja saya paham itu merupakan tugas yang berat, tapi saat tiga minggu silam saya menonton ulang anime Bungou Stray Dogs seraya menunggu komik terbarunya rilis, saya refleks merenung tentang tokoh Dazai yang sempat berpikir sekaligus merasa bahwa hidup ini kosong dan enggak ada artinya, sampai-sampai dia berulang kali melakukan percobaan bunuh diri—meski pada akhirnya selalu gagal.
 
Sebelum menjadi seorang detektif khusus, Dazai mulanya tergabung dalam organisasi mafia. Kematian seorang kawan dekat (Oda Sakunosuke) beserta pesan wasiatnya itulah yang membuat dia keluar dari grup kriminal. Wasiat Oda kira-kira berbunyi begini: “Jika menjadi orang baik maupun jahat bagimu sama aja, setidaknya beradalah di pihak yang menyelamatkan orang lain. Dengan memilih sisi baik, sedikit-sedikit akan membuat hidupmu lebih berarti.”
 
 

 
Selama ini, sehabis saya menolong orang lain—seremeh apa pun bantuannya, saya entah mengapa merasa lega serta bahagia ketika melihat wajah gembira atau mendengar ucapan terima kasih dari mereka. Mungkin itulah yang dimaksud Oda tentang berada di sisi baik dan hidup menjadi lebih berarti. Apesnya, keinginan menolong orang lain itu kadang-kadang terbentur dengan kondisi diri sendiri yang sama-sama membutuhkan bantuan. Simpelnya, sih, jika mau memberi makan orang lain, pastikan perut sendiri sudah kenyang dulu, sebab menolong orang lain dalam keadaan lapar jelas mempersulit diri sendiri. Itulah kenapa saya menganggap betapa beratnya menolong ataupun menyelamatkan orang lain. Pada detik-detik menjelang kematiannya, Oda pun mengerti kalau seseorang hidup untuk menyelamatkan dirinya. Intinya, selamatkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang lain.
 
Tulisan-tulisan saya yang ada di blog ini maupun media lain secara tak langsung adalah metode saya dalam menyelamatkan diri sendiri. Makanya akhir-akhir ini saya cuma ingin menghibur diri sekalian bersenang-senang dalam menulis, dan tak mau terbebani rasa agar dapat menolong orang lain. Kalau nantinya pembaca bisa ikutan senang atau merasa tertolong, itu saya anggap aja sebagai bonus. Meski begitu, selepas saya menonton anime Bungou Stray Dogs, tepatnya tanggal 4 Maret, saya spontan bikin puisi buat kawan-kawan yang berharga—bisa dibaca secara gratis di KaryaKarsa
 
Berikut saya tampilkan potongan puisinya:
 
Aku tak ingin menjanjikan apa-apa,
kepada setiap kawan yang sedang hampa,
tapi aku harap suatu hari kelak,
puisi yang kususun hari ini
mampu menyelamatkan diri sendiri.
 
Barangkali di masa depan
puisi juga bisa menjadi cangkul
yang terus-menerus menggali
 mimpi-mimpi dan harapan kita,
yang kini terpaksa dikubur
jauh di dalam tanah.
 
 
Sebagaimana yang saya tulis di puisi itu kalau tak ingin menjanjikan apa-apa, dan hanya berharap mampu menyelamatkan diri sendiri, paling enggak saya tetap bermaksud untuk mengucapkan terima kasih kepada seluruh kawan yang pernah menolong saya. Kini saya sungguh sadar diri lantaran belum mampu gantian membalas kebaikan mereka, makanya sementara ini baru bisa memberikan bantuan lewat sebuah sajak. Selain itu, saya juga ingin berterima kasih kepada mereka yang masih terus bertahan hidup sekalipun kondisinya sangat berantakan.
 
Gracias, amigos
 
--
 
Sumber gambar: Pixabay, SS anime Bungou Stray Dogs.

2 Comments

  1. Akupun seneng kok kalo ada temen blogger yg masih ttp aktif Yog 😊. Berasa banget temen2 yg dulu aktif, skr jadi ga kedengeran updatenya.

    Tentang menolong orang, pernah dikasih tau, sebaik2nya pemberian/pertolongan, datang dari orang yang sebenernya juga butuh pertolongan. Itu artinya dia rela mengenyampingkan kebutuhannya sendiri utk menolong orang lain dulu. Dan aku berharap orang2 yang seperti itu nantinya bakal menerima rezeki yang jauh lebih besar lagi 😊. Semangat ya yog 🎉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, teman bloger yang dulu akrab dan sekarang masih aktif mah bisa dihitung jari. Saya pun senang ketika melihat mereka masih ngeblog.

      Iya, saya juga pernah dengar nasihat itu, selama enggak membebani diri sendiri. Nuhun, Mbak Fanny. Aamiin.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.