Potret Kehampaan

Aku lebih banyak mengekspresikan diri lewat tulisan ketimbang foto. Itu tentu karena kemampuanku dalam memotret jauh lebih buruk daripada menulis. Sejujurnya, aku memang tak memiliki kamera digital, sehingga tak dapat melatih diri maupun coba-coba berkreasi. Setiap kali menangkap momen yang kusuka, aku kerap menggunakan kamera ponsel dan hasilnya pun teramat biasa. Ketika mengisi blog ini, alih-alih memakai foto hasil potretku sendiri, aku malah mesti repot-repot mencomot gambar dari situs penyedia aneka foto yang gratis dan legal semacam Pixabay. Apalagi dalam satu tulisan berjumlah 1.000-2.000 kata, foto yang kutampilkan hanya 1-2. Porsi gambar dalam setiap tulisan benar-benar nyaris nihil. Sampai-sampai aku berpikir bahwa hal itu terkadang bisa membuat sebagian pengunjung bosan sewaktu membaca blog yang keseluruhan isinya berupa teks dan sangat minim foto. Tapi mau bagaimana lagi, niatku sejak awal menciptakan blog ini jelas untuk latihan mendongeng. Bukan untuk pamer foto. Setidaknya, kali ini aku akan mencoba menampilkan lebih banyak foto dari galeriku sendiri beserta fragmen tulisan yang kebenarannya tidak perlu kau percayai.
 

 
 
1.
 
Berdialog dengan diri sendiri
 
 

 
Pernah ada suatu kondisi saat aku bingung harus bercerita kepada siapa, sampai-sampai aku memutuskan berdialog dengan diri sendiri, mengirimkan teks kepada diriku sendiri, lalu suatu hari diriku tak sengaja membaca ulang kalimat tersebut, sehingga kesepianku tampak nyata, menyedihkan, dan tai.
 
2.
 
“Jelaskan header fotomu di Twitter atau kesialan akan menimpamu.”
 
 

 
Aku sudah tak takut lagi jika mengalami kesialan. Nasib apes sudah teramat sering mendatangiku. Meski begitu, aku tetap ingin menjelaskan tentang header foto tersebut. Gambar itu hanyalah potongan film Now You See Me (2013). Pada waktu-waktu gelap seperti pandemi begini, apalagi aku sempat terpapar virus jahanam itu, membaca novel Roberto Bolaño, The Savage Detectives, entah kenapa bisa menerangi hidupku. Ada bagian-bagian cerita yang seolah-olah menyuruhku untuk tetap bernapas dan bertanggung jawab sama hidup. Karena itulah aku sungguh berterima kasih pada novel asyik Bolaño dan menjadikannya header.
 
3.
 
“Unggah foto dirimu sebagai pemimpin organisasi bawah tanah tanpa memotret foto baru.”
 
 

 
Sekitar 6-7 tahun lalu, aku memang sempat memimpin organisasi bawah tanah. Tak banyak yang tahu soal kabar ini. Tapi jika kau pernah mendengar geng bernama “Teorema Monyet Tak Makan Pisang”, akulah yang menjadi pemimpinnya. Saat itu merupakan masa-masa kejayaanku, sebelum akhirnya dikhianati oleh salah seorang kawanku. Bagian yang satu ini sangat tidak enak untuk dikenang, sehingga aku tak akan banyak bicara terkait hal itu.
 
Sekiranya kau tetap tak percaya aku pernah menjadi pemimpin geng yang sungguh ditakuti, aku akan memberitahumu sebuah rahasia: Kala itu, aku tentu tak mau menggunakan nama asli. Orang-orang lebih mengenal nama aliasku: Hanoman atau Albino Kunyuk.
 
Kalau ditanya apa saja perbuatan jahat yang telah geng kami perbuat, rasanya terlalu keji untuk diceritakan ulang di sini. Aku sendiri bahkan merasa ngeri mengingat masa-masa yang penuh bahaya itu. Setidaknya, dua foto ini (maaf jika fotonya blur, sebab waktu itu dipotret menggunakan BlackBerry Gemini yang kameranya cuma 2 MP) telah menjadi saksi bisu atas eksistensi geng kami yang bengis.
 
 
Apakah cerita barusan terdengar gila? Aku hanya mengisahkan omong kosong atau mengarang ketololan? Kau tentu boleh percaya ataupun meragukannya. Toh, aku memang gemar menulis fiksi untuk menyelamatkanku dari kegilaan dunia bedebah ini.
 
4.
 
Gadis-gadis yang terkadang muncul pada tengah malam dan membakar sisa kenangan
 
 



 
Ketika aku mengenangmu, malam terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan pun mendadak turun seolah-olah mewakilkan bahasa tubuhku. Nyamuk-nyamuk berubah ganas dan mengisap darahku yang mungkin terasa lebih manis saat aku mencoba mengingat-ingat bentuk parasmu.
 
Jarum jam bergerak lebih lambat saat waktu menunjukkan pukul 00.00. Kekosongan datang menyergap. Aku lantas dipaksa masuk ke ruang hampa. Tanpa sempat bertanya kenapa. Di dalam sana, aku sesungguhnya cuma berada satu menit, tapi entah mengapa seperti satu tahun penuh. Teori relativitas Einsten benar-benar berlaku kala diriku terjerembap dalam lubang penyesalan.
 
 

 
Mungkin dengan begini, Waktu bermaksud mengajarkanku bahwa suatu momen belum tentu bisa terulang kembali. Jadi, kala sebuah momentum itu hadir, bersenang-senanglah seakan-akan tak ada lagi hari esok. Lupakan soal harapan. Buang segala risiko. Agar pada kemudian hari, kau dapat menjadi kenangan yang tak akan pernah bisa kulupakan sepanjang hidupku. Menetap bagaikan virus yang tak ada obatnya.
 
*
 
Sebagian gadis itu mungkin sudah menikah atau justru telah memiliki anak. Tidak semua kabar tentang mereka aku ketahui. Yang aku tahu, aku pernah suka maupun sayang kepada gadis-gadis yang terkadang muncul pada tengah malam dan mengusik jam tidurku. Apa pun keadaan mereka saat ini, aku berharap semoga mereka semua sehat dan bahagia. Sekalipun ada salah satu di antara mereka yang mungkin hanya menjadikanku pelarian atau membuat perasaanku bertepuk sebelah tangan, aku sungguh berterima kasih kepada mereka yang pernah menorehkan tinta penuh cinta di kanvas hidupku.
 
 5.
 
Apa yang aku ketik saat baru saja terbangun dari tidur dalam keadaan setengah sadar
 
 

 
Tidur membawaku pindah ke dunia lain yang menawarkan harapan, meskipun itu hanya sesaat. Dalam tidur singkatku yang cuma tiga jam itu, aku bisa berbahagia dalam hitungan hari. Tidakkah itu salah satu cara Tuhan membayar kesedihanku di dunia nyata?
 
Artinya, kebahagiaanku selama ini sangatlah berlimpah dibandingkan kenestapaanku. Itu tandanya hidupku ternyata tidak buruk-buruk amat. Namun, tetap saja selalu ada rasa jengkel begitu sadar semuanya cuma mimpi. Terutama mimpi tentang salah satu impian lamaku yang dapat terwujud.
 
Betapa gembiranya aku dianugerahi bunga tidur semacam itu. Meskipun aku setelahnya sadar bahwa harus tetap berjuang lagi untuk mewujudkannya di realitas bajingan ini, setidaknya aku bisa mencicipi bagaimana perasaan lega sehabis menyelesaikan suatu tantangan. Aku rupanya mampu mengalahkan kecemasan, ketakutan, dan keraguanku yang sungguh menjengkelkan itu. Aku menang adu jotos melawan diriku sendiri, sehingga beban itu perlahan menghilang, dan aku tak perlu khawatir lagi jika suatu hari kembali diusik olehnya.
 
 --
 
PS: Sebagian foto memang ada yang dari sananya blur lantaran kondisi kamera yang buruk, ada pula yang sengaja kubuat buram demi menjaga identitas orang-orang di dalam potret kehampaan ini karena aku tidak izin kepada mereka untuk menampilkannya di blog.

6 Comments

  1. Tulisan panjang minim poto emang identik dengan dirimu bang. Cuma kalau menurut aku, yang bikin capek baca itu bukan tulisan yang panjang, tapi tulisan yang lebar.. Kalau tulisan blog itu lebar dan tulisannya kecil alamak ngiter kiri-kanan bacanya wkwkwk

    Jadi selama ini aku antisipasi dengan zoom in biar tulisannya ga terlalu lebar.. Malah oot ya, oke

    itu poto struktur organisasi (poto ramean) bawah tanah kocak bener bang wkwkkwkw.. membayangkan pake topeng begitu aja udah bikin aku engap :))

    Dulu sering ga pede buat motret pake smartphone, karena skill-ku kurang bang.. Kalau pake kamera digital gitu fotoku masih cakep aja gitu.. Tapi sekarang sejak pakai smartphone limbah jepang, hasil foto lewat smartphone-ku meningkat drastis bang.. boleh la dicoba-coba hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tulisan di blog ini enggak kekecilan kan, Bang?

      Buat seru-seruan aja itu mah pakai topeng. XD

      Masalahnya, motret pakai ponsel kan ya begitu doang. Beda banget sama kamera digital atau DSLR atau mirrorless yang ada pengaturan manualnya. Selama objeknya memang sudah bagus, pencahayaan mendukung, dan pemotretnya punya sudut pandang unik, saya kira bisa menghasilkan foto bagus pakai HP.

      Delete
  2. Aku baca ini sadar kalau kebahagiaan itu sederhana, kadang kita juga butuh kesendirian meski rasanya hampa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kata orang, jika sendirian dan merasa hampa itu lagi kesepian. Sekiranya merasa tenang, itu sedang menikmati kesunyian.

      Delete
  3. Tapi kalo kamu nulis ttg fiksi, aku tetep suka bacanya walopun minim foto :D. Krn fiksi memang ga butuh gambar. Cukup imaginasi aja dari alur ceritanya :D.

    Yg foto Genk bawah tanah, aku jujurnya ga percaya kamu pernah jadi ketua Genk yang bengis hahahahaha.

    Eh aku sama Ama mas Andie, aku juga pusing kalo disuruh baca tulisan yg melebar, trus kecil pula fontnya 😅. Mataku udh minus parah soalnya. Jadi kalo liat tulisan kecil melebar, agak nyerah mau lanjutin. Tp blogmu ga kok. Ini mah masih nyaman buat dibaca

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, justru kalau fiksi menggunakan banyak gambar kok seakan-akan penulisnya tak bisa membuat pembaca membayangkan suatu adegan atau apalah itu.

      Aneh juga itu di foto malah ketuanya yang paling kecil. Hahaha.

      Syukurlah kalau masih bikin pembaca nyaman.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.