Pembukaan Kneller's Happy Campers

Cerita berikut ini merupakan bab-bab awal alias pembukaan dari novela Kneller's Happy Campers karya Etgar Keret. Saya lupa kapan persisnya menerjemahkan kisah tentang kehidupan di alam lain bagi tokoh-tokoh yang memutuskan bunuh diri ini. Mungkin keisengan itu muncul pada 2019 akhir ketika saya merasa terlalu sering mendapatkan penolakan dari beberapa media yang saya kirimkan teror (naskah cerpen, puisi, serta esai), demi bisa menyenangkan diri sendiri. Bisa juga pada masa-masa Covid baru saja masuk ke Indonesia. Harap maklum, ingatan saya akan waktu lama-lama terasa kacau karena masa pandemi benar-benar membuat saya mengira berbagai peristiwa baru saja terjadi kemarin atau lusa atau minggu lalu. Saya tak tahu apakah ke depannya bakal iseng lagi buat melanjutkan bab-bab berikutnya atau cukup berhenti di sini. Yang jelas, nikmati saja bab pembuka yang ada.
 
 

 
--
 
Prolog

Aku pikir pacarku menangis di pemakamanku. Bukannya sombong atau apa, tapi aku yakin sekali. Terkadang aku bisa benar-benar membayangkan dia membicarakan tentangku kepada pria yang dekat dengannya. Menceritakan bagaimana aku sekarat. Tentang bagaimana orang-orang menurunkanku ke liang kubur, yang telah layu dan menyedihkan, seperti sebatang cokelat kedaluwarsa. Tentang bagaimana kami tak pernah betul-betul mendapatkan kesempatan. Dan setelahnya pria itu akan menyetubuhi pacarku, demi membuatnya merasa lebih baik.


Bab 1

Di mana Mordy menemukan pekerjaan dan bar hard-core

Dua hari sehabis bunuh diri aku menemukan sebuah pekerjaan di kedai piza. Mereka menyebutnya Kamikaze dan ini bagian dari cabang. Manajer sifku sangat keren dan membantuku menemukan tempat tinggal, bersama orang Jerman yang bekerja di Kamikaze juga. Pekerjaannya pun tak merepotkan, cuma perlu sedikit penyesuaian. Dan akhirat—entahlah—kapan pun mereka meributkan soal kehidupan setelah mati dan sehabis melewati perdebatan ada-tidak adanya akhirat, aku tak pernah memiliki gambaran jelas mengenai tempat itu. Hanya ini yang dapat kuberi tahu: aku selalu membayangkan bunyi bip, seperti detektor polisi, dan orang-orang yang melayang di ruang angkasa dan semacamnya. 
 
Namun, kini aku di sini, entahlah, mengingatkanku akan Tel Aviv. Menurut teman sekamarku, si orang Jerman, tempat ini dibikin seperti Frankfurt. Aku rasa Frankfurt mirip tempat sampah juga. Saat gelap tiba, aku menemukan bar—tempat asyik bernama Stiff Drinks. Musiknya enggak buruk-buruk amat, memang kurang kekinian, tapi berkarakter dan cukup membuat cewek-cewek bersantai. Tubuh mereka menjelaskan bagaimana mereka bunuh diri, goresan luka di pergelangan tangan dan bagian lain, tapi sebagian bekas luka terlihat cocok berada di sana. Salah satu dari mereka—yang aduhai betul—mendatangiku pada malam pertama kunjunganku. Kulitnya, seperti tampak kendur dan layu, bagaikan orang yang mati tenggelam, tapi dia punya bentuk tubuh yang ingin sekali kausentuh, dan sepasang matanya adalah sesuatu yang lain. Meski begitu, aku tak membuat pergerakan. Tetap meyakinkan diri bahwa apa yang kualami ini karena Desiree. Sebab kematian dan tetek bengek ini justru bikin aku semakin mencintainya. Tapi entahlah, barangkali aku cuma depresi.

 
Bab 2

Di mana Mordy bertemu kawan sejati dan kalah dalam permainan biliar

Aku bertemu Uzi Gelfand di Stiff Drinks, hampir secara kebetulan. Dia kelihatan sangat ramah. Membelikanku bir dan segalanya, yang membuatku aneh karena kupikir dia pasti berusaha untuk membesar-besarkanku atau apalah. Tapi segera aku mengerti bahwa dia tidak bermaksud apa-apa, hanya bosan. Dia beberapa tahun lebih tua dariku, dan menuju kebotakan, bekas luka kecil itu—yang ada di pelipis kanan tempat peluru itu—semakin menonjol, dan begitu juga yang lainnya, yang jauh lebih besar, di sebelah kiri, tempat keluarnya.

“Menggunakan dumdum,” lanjut Gelfand, dan mengedipkan mata pada dua gadis yang berdiri di bar tepat di sebelah kami, meminum Diet Coke. “Maksudku, jika kau akan melakukannya, lakukanlah dengan tepat.”

Hingga mereka berdua mengabaikan kami demi seorang pria berambut pirang dengan kuncir kuda. Uzi mengakui dirinya hanya mengobrol denganku karena dia pikir kami bareng-bareng. “Bukan berarti itu ada bedanya,” katanya, dan membenturkan kepala ke bar—tapi tidak terlalu keras, hanya mencoba untuk rileks. “Bahkan jika kau memperkenalkanku, mereka pada akhirnya akan pergi dengan seorang pria berambut pirang. Begitulah adanya. Setiap gadis yang aku temui—mereka selalu memiliki seorang pria berambut pirang yang menunggu mereka di suatu tempat. Tapi aku enggak dengki. Sama sekali enggak. Mungkin sedikit putus asa, tapi bukan dengki.”

Empat bir setelahnya, kami bermain biliar, dan Uzi mulai bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata dia tinggal tak jauh dari tempatku, tetapi dengan orang tuanya, yang mana cukup aneh. Maksudku, kebanyakan orang tinggal sendirian di sini, atau dengan pacar, atau teman sekamar. Orang tua Uzi telah bunuh diri lima tahun sebelum dia. Ibunya menderita beberapa penyakit dan ayahnya tidak mau hidup tanpanya. Adik laki-lakinya juga tinggal bersama mereka. Baru saja sampai. Menembak dirinya sendiri, di tengah pelatihan dasar. “Mungkin aku seharusnya tidak mengatakan ini,” Uzi tersenyum, dan memasukkan bola delapan tepat ke lubang kiri, secara kebetulan, “tetapi ketika dia sampai di sini, kami benar-benar berbahagia. Kau harus bertemu ayahku, seorang pria yang tak akan peduli jika kau menjatuhkan palu godam sepuluh pon di kakinya. Peluk dia dan menangislah seperti bayi, tak masalah.”

 
Bab 3

Di mana Kurt mulai mengeluh dan Mordy sudah muak

Sejak aku bertemu dengan Uzi, kami mengunjungi bar setiap malam. Hanya ada tiga bar di sini dan kami memasuki ketiganya setiap kali demi memastikan kami tidak melewatkan aksi apa pun. Kami selalu berakhir di Stiff Drinks. Ini yang terbaik, dan tetap buka hingga yang paling akhir. Tadi malam sangat menjengkelkan. Uzi membawa temannya, Kurt. Berpikir pria itu sangat keren, sebab dia merupakan pemimpin Nirvana dan segalanya. Tapi sebenarnya dia berengsek. Maksudku, aku juga tidak benar-benar meyakinkan di tempat itu, tapi orang ini, dia tidak akan berhenti mengeluh. Dan begitu dia mengkritik—lupakan sajalah. Dia akan mengejekmu seperti bet pemukul. Apa pun yang muncul selalu mengingatkannya pada beberapa lagu yang ditulisnya. Dia harus mengisahkannya kepadamu sehingga kau dapat bilang kepadanya betapa keren liriknya. Kadang-kadang dia bahkan akan meminta bartender untuk memainkan salah satu lagunya, dan kau hanya ingin menggali lubang di tanah. Bukan hanya aku. Semua orang membencinya, kecuali Uzi.
 
Aku pikir ada hal yang setelah kau menyingkir dari dirimu sendiri, dengan cara yang begitu menyakitkan dan segalanya—dan itu sangatlah menderita—hal terakhir yang kaupedulikan adalah seseorang yang tidak memikirkan apa pun selain bernyanyi tentang betapa tidak bahagianya dia. Maksudku, jika kau peduli tentang hal-hal semacam itu saat kau masih hidup, dengan poster Nick Cave yang menyedihkan di atas tempat tidurmu, alih-alih berhenti di sini.
 
Tetapi kenyataannya bukan hanya soal dia. Kemarin aku baru saja kecewa. Pekerjaan di kedai piza dan mabuk semalaman di bar-bar, segalanya menjadi sangat melelahkan. Melihat orang yang sama dengan Coke hambar mereka setiap malam, dan bahkan ketika mereka menatap langsung ke matamu, kau akan merasa seakan-akan mereka hanya sedang memandangi. Tak tahulah, mungkin aku terlalu tegang, tetapi ketika kau melihat mereka, bahkan sewaktu kau merasakan getaran di udara seperti sesuatu yang benar-benar terjadi, dan mereka berdansa atau bercumbu atau tertawa bersamamu, entah bagaimana selalu ada hal ini tentang mereka, seperti hal itu tak pernah menjadi masalah besar, bagaikan tak ada yang benar-benar penting.

4 Comments

  1. Di prolog hemm merasa dilambungkan, lalu dijatuhkan kenyataan atau memang ironi yang menyakitkan. Gak habis pikir, antara si pacar itu bahagia atau beneran sedih terhadap kematian si "aku".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jika mau melanjutkan baca novela ini, nanti akan terjawab si pacar sedih atau bahagia dengan kematiannya. :p

      Delete
  2. Ya Allah, sampe ada Kurt cobain di sini hahahahahah. Ga biasa Yaa tema buku ini. Ga kebayang aja para orang2 bunuh diri berkumpul, saling cerita di tempat paska kematian :D. Penulisnya punya imaginasi tinggi nih :D.

    Bagian yang menggambarkan luka2 mereka Krn cara bundir yang dipakai, serem juga bayangin nya. Trutama yg bundir pake dumdum :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Etgar Keret tulisan-tulisannya emang liar, Mbak. Makanya saya kagum dengan karyanya. Apalagi cerita pendeknya.

      Iya, saya juga enggak bisa membayangkan melihat orang yang bunuh diri dengan meledakkan kepala gitu.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.