DIY (Do It Yourself)

Ketika kau membuka folder tulisan berisi draf-draf yang belum selesai di laptopmu, ada kemungkinan kau akan menemukan sebuah harta karun di antara keseluruhan teks. Entah itu berupa fragmen novel, cerpen setengah jadi, puisi yang membuat penulisnya muak dan terpaksa menelantarkannya, atau hanya sebatas catatan tolol tentang percintaan. Seperti tulisan berikut yang diketik pada 5 September 2019, saya pun menemukan kisah mengenai grup WIRDY yang kini keberadaannya bagaikan mitos. 


Menuju Empat Tahun WIRDY


Akhir November nanti, WIRDY—grup kecil yang saya cetuskan untuk jadi tempat nongkrong asyik buat curhat sekaligus belajar menulis—berumur empat tahun. Seandainya ia seorang manusia, tentu usia segitu sang anak lagi gemas-gemasnya dan banyak ingin tahunya. Bagi golongan orang mampu dan merasa banyak duit, anaknya bakalan dimasukkan ke dalam PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), sementara di sisi lain, bagi yang merasa uangnya lebih baik digunakan buat kepentingan prioritas atau alasan khusus, orang tua itu jelas memilih mengajarkan dan membimbing sendiri anaknya di rumah.

Eh, tunggu sebentar, kenapa saya tiba-tiba malah ngomongin anak, ya? Seharusnya saya membicarakan grup WIRDY, kan? Kok bisa-bisanya dianalogikan jadi seorang anak, sih? Apakah ini berarti sudah waktunya bagi saya untuk menik—hmm, menikung pacar orang?

Abaikan kalimat ngawur barusan. Saya sengaja menulis catatan ini hanya untuk mengenang keseruan dan kebersamaan kami selama 3 tahun menuju 4 tahun, yang belakangan ini nyaris tak bisa dikembalikan lagi. Bisa dibilang sudah jarang interaksi di antara kami berlima dalam enam bulan terakhir. Saya juga tak tahu mengapa mereka mulai meninggalkan dunia blog. Apakah perkuliahan maupun pekerjaan sangat menyita waktu mereka? Mungkin saja. Atau barangkali mereka sedang ada masalah krusial ataupun benar-benar fokus di kehidupan nyata, sehingga tak ada waktu lagi buat mengekspresikan diri di dunia maya. Saya menghargai hal itu dengan tidak bersikeras mencari tahunya lebih lanjut.

Rasa rindu dan keinginan di dalam diri agar saya bisa menulis bareng-bareng seperti 2015-2017 (masa aktif kami) sungguh menggebu-gebu, dan entah mengapa membuat saya iseng mendesain potret kami berbentuk coret-coretan ampas tanpa wajah sembari berharap usaha bodoh ini bisa bikin mereka tergugah kembali untuk ngeblog.




Belakangan diketahui, usaha seperti itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang saya mau. Hanya ada respons singkat terkait desain payah tersebut selama dua hari, lalu keramaian di grup itu segera lenyap lagi, dan menyisakan kekosongan.

Saat itu, sejujurnya, sempat terlintas di pikiran saya buat membubarkan grup WIRDY lantaran kami sudah tidak aktif bikin proyek tulisan bertema, begitu pun langkanya komunikasi di grup. Seandainya ini dinamakan fase mati suri, saya pun ragu bisa menghidupkannya lagi suatu hari nanti. Apalagi sewaktu saya menyadari usia grup kami yang hampir menyentuh angka empat. Setahu saya, angka empat berdasarkan fengsui tentu bermakna kematian. Mungkinkah ini tanda kematian bagi grup WIRDY?

Walaupun banyak yang mengatakan bahwa memulai sesuatu hal itu amatlah sulit, tapi bagi saya sekarang ini rupanya memulai termasuk hal yang lebih mudah ketimbang mempertahankan ataupun membubarkan. Saat ini saya merasa sama sekali tak punya tenaga untuk mengakhiri kebersamaan kami dengan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Seolah-olah saya tak ingin semuanya lekas berakhir begitu saja.

*

Dua tahun telah berlalu sejak omong kosong itu saya tulis dan memilih buat memendamnya sendirian. Tak ada satu pun anggota yang tahu tentang keresahan saya pada hari celaka itu, bahkan saya sendiri juga hampir lupa jika tidak membuka tulisan ini lagi. Kini anggota kami cuma tersisa tiga orang: Darma, Icha, Yoga—yang disingkat menjadi DIY alias do it yourself. Itu berarti sama saja dengan saya mesti melakukannya seorang diri. Saya betul-betul menyadari kalau grup WIRDY sudah tak bisa dipulihkan. Mungkin memang sudah jalannya begini.

Robby merupakan personel yang pertama kali memilih pergi, dan tanpa penjelasan sedikit pun. Setelah saya cari tahu, dia memutuskan keluar dari semua grup yang berhubungan dengan blog entah karena alasan apa. Saya menduga dia sepertinya sedang fokus dengan perkuliahannya yang sudah mendekati semester akhir. Lalu, Wulan minggat dari grup semenjak menikah (sebetulnya dia pernah meminta masuk grup lagi dan sempat bergabung beberapa saat, tapi setelahnya benar-benar meninggalkan grup hingga hari ini). Saya memang cukup akrab dengan kehidupan beberapa kawan yang mendadak menutup diri dari dunia luar setelah mereka menikah. Jadi, saya sungguh menghargai pilihan itu dan tidak menanyakan apa-apa kepadanya.




Meskipun Darma dan Icha masih berada di grup, saya kira mereka juga sudah menjalani hidupnya masing-masing, serta melupakan eksistensi grup WIRDY. Terbukti jelas di grup kami sudah tak ada percakapan sama sekali sehabis Robby dan Wulan keluar. Sepulangnya Darma dari Turki dan balik ke Indonesia, dia kayaknya fokus mengamalkan apa yang telah dipelajarinya selama ini dengan sibuk menjadi seorang guru di suatu tempat. Sementara si Icha, sepengetahuan saya, sih, dia masih tetap menulis di platform Letterbox (tempat khusus untuk mengulas film) dan bersenang-senang bersama lingkaran barunya sesama penikmat film.

Singkat kata, mereka sudah menemukan habitat barunya masing-masing. Menyisakan saya seorang diri sebagai penggagas grup yang bisa-bisanya terjebak dalam nostalgia biadab semacam ini. Saya tak tahu mengapa saat terjaga pada dini hari justru menghabiskan waktu dengan mengubek-ubek kenangan di folder tulisan, lantas memutar ulang memori tentang hari-hari mengasyikkan bersama WIRDY, hingga akhirnya membuat racauan sinting yang sedang kaubaca sekarang ini.

Saya mengerti, sangat mengerti, bahwa saya tak akan pernah bisa kembali ke masa-masa kacau nan gila ketika umur baru memasuki 20-an awal. Kini usia saya sudah 25 tahun lebih, hidup harus terus berjalan, lingkaran pertemanan perlahan semakin mengecil, dan tanggung jawab dalam hidup pun kian bertambah, yang artinya saya mesti melepaskan hal-hal yang dulu pernah akrab dan melekat. Toh, hubungan yang merenggang bukan berarti berhenti berkawan. Saya masih bisa mendoakan mereka dari jauh agar tetap sehat dan berbahagia.

15 Comments

  1. Ada yang berubah ya Yog. Semakin usia bertambah, semakin beda prioritas, semakin mengecil lingkaran perkawanan. Kalo ingat itu lumayan bikin sedih. Tapi bersyukur juga pernah melewati masa-masa itu. Dan mungkin memang sudah waktunya buat kita semua untuk menemukan lingkaran versi dewasa agar nggak terjebak melulu dengan bayangan lingkaran kemarin. Pasti bisa Yog. Ini kayak saya sedang bercermin pula, jadi kangen kawan2 deket pas SMA

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang segala hal ada masanya, Din. Haha. Iya, mesti tetap melangkah, jangan sampai terjebak. Sesekali kilas balik bolehlah buat mengenang, asalkan tak memaksakan diri buat mengulang hari. Hidup harus terus berlanjut.

      Delete
  2. Saat mulai dewasa dan tumbuh sendiri-sendiri semua berubah, teman yang dulunya bersama kita sampai gila dan ketawa bareng sekarang punya kehidupan sendiri. Mereka meninggalkan kita karena ada yang lebih diprioritaskan, kita sendiri masih di sini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu hal yang alamiah, sih. Semua orang pasti punya prioritas. Sebetulnya enggak benar-benar masih di sini, hanya kadang berpikir waktu berlalu cepat sekali.

      Delete
  3. Proyek kecil-kecilan begini emang seru pada jamannya ya bang. Kayaknya emang euforia ngeblog udah banyak ditinggalkan bang, karena masyarakat sekarang kebanyakan lebih suka menonton daripada membaca kan yah. Liat aja itu yutup para pesohor yang bisa meraup jutaan rupiah per bulan hanya dari adsense :))

    Di kota saya sendiri, yang namanya komunitas blogger juga udah banyak yang mati suri beranjak ke vlogging dan aplikasi android.

    Semoga kedepan ada proyek seru-seruan lagi sama circle yang baru ya bang :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Untuk para pesohor yang memperoleh jutaan dari adsense, saya kira mah karena Youtube punya aplikasi tersendiri. Kemungkinan video dia muncul di beranda karena video itu direkomendasikan atau terkait dengan algoritma pencarian. Beda sama tulisan yang enggak mungkin muncul di beranda orang sebelum blognya diikuti. Kita kudu googling, dan buat mencapai halaman 1 google cukup sulit. Toh, ada perbedaan bagi hasil antara iklan dalam bentuk video dan iklan di blog yang cuma gambar.

      Aplikasi Android tuh Tiktok, ya?

      Saya kira tak akan ada circle baru. Proyek cuma dikerjakan sendirian, semacam bikin naskah cerpen atau puisi atau novelet. Haha.

      Delete
  4. Iseng buka beranda dasbor blog terus nemu ini dan.... AAAAAK YOGAAAAAAA MAAF KALAU SELAMA INI BIKIN NGERASA KAMU JADI SENDIRIAN, TERJEBAK, DITINGGALKAN, DAN SEMACAMNYAAAA. Sumpah aku nggak bermaksud kayak gitu. Ya mungkin karena udah nggak ada bahasan yang baru yang biasanya menyatukan kita. Kalau aku pribadi sekarang juga malas nulis, Yogs. Review film aja udah nggak se on fire dulu. Nulis juga palingan di Tumblr itupun private huhuhu. Terus ya masalah circle sesama pecinta film karena satu passion, tapi ya nggak selalu mulus juga pertemanan di circle itu :D Sepertinya memang harus ada konflik yang kita bisa perbincangkan kayak dulu lagi atau sekedar saling bertukar kabar intens gitu iya nggak sih. Ini aja aku ada bilang mau telpon Darma buat kabar-kabaran tapi sekarang belum kutelpon-telpon :'D

    Tapi iya bener, aku juga kangen kok masa-masa bedebah kita dulu. Meme-meme jaman dulu dan screenshot chat grup Line masih aku simpan sampai sekarang, dan aku liat kalau aku lagi bete hehehe soalnya bikin ngakak (dan sedih huhuhu).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaaaah, salah satu personelnya ada yang baca. Hahaha.

      Sebetulnya enggak perlu minta maaf, Cha. Itu keresahan saya tahun 2019, kalau sekarang sudah berdamai dengan realitas. Cuma karena baca tulisan lawas itu makanya kayak terpicu sedikit. Hal yang dulu akrab kini menjauh. Ehe. Tapi itu wajar banget, kok. Enggak usah merasa bersalah juga kamunya. Santai. Kita semua punya prioritas sendiri-sendiri.

      Iya, saya sendiri juga sebetulnya agak malas menulis, dan enggak mungkin lagi bahas hal-hal tentang tulis-menulis yang mungkin jatuhnya kayak keluhan kenapa blog sepi atau menembus media sulit. Hahaha.

      Terkait lingkaran sesama penikmat film, itu emang wajar. Tiap pertemanan ada gesekannya. Apalagi kalau perdebatannya selera. Seenggaknya saya tahu kamu masih baik-baik aja dan nongol di Twitter itu udah bagus. Paling enggak tahu kabarnya. Sementara si Darma sama sekali enggak kelihatan di medsos, sih. Terakhir kontak waktu Lebaran, terus enggak ada balasan lagi.

      Gokil masih disimpan. Meme zaman dulu adanya di ponsel lawas saya, dan kayaknya udah lenyap deh karena sempat dihapusin kepenuhan memori dan lupa back up.

      Delete
  5. Kalo baca ttg masa lalu, pasti sedih Yaa, apalagi kalo kenangannya memang indah dan memorable gitu.

    Aku sendiri, udah lama berdamai klo ga akan bisa Deket lagi Ama sahabat2 yg dulu lengket kemana2 :(. Dari semuanya cuma tersisa 1 , itupun sejak pandemi dia balik ke Medan. Bisa dibilang temen terdekat skr ini, ya suami hahahahaha. Udh ga ada lagi yg lain lah... Walo kdg suka kangen chat Ama sahabat zaman sekolah, tapi mau mulai percakapan aja susah banget kan. Banyakan mikir dia terganggu ATO ga dll. Pdhl dulu, nginep bareng di rumah.

    Kayaknya memang makin dewasa, hrs bisa ikhlas ngelepas kebersamaan zaman remaja :D . Beruntung sih orang2 yang msh bisa akrab dengan sahabatnya walo sudah nikah. Ga banyak yg begitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini mba Fanny kondisinya sama banget kayak saya, sekarang teman terdekat saya ya pasangan. Soalnya satu persatu sahabat sudah mulai pergi menjalani hidupnya. Jadi komunikasi pun nggak seintens dulu, meski tetap terhubung sesekali 🙈

      Mungkin karena dengan bertambah umur, prioritas juga sudah berubah. Apalagi yang sudah berkeluarga, pasti yang utama itu pasangan dan anak 😆 Thankfully saya menulis blog, jadi circle terdekat tetap bisa dapat update dan reply-reply sejenak. Well pada akhirnya yang penting kita berusaha ada saat sohib butuh teman cerita, saya rasa itu more than enough meski nggak bisa kembali bercengkerama seperti dahulu kala 😁

      Terima kasih untuk tulisannya mas, mengingatkan saya akan masa muda 🥳

      Delete
    2. Mbak Fanny: Tapi saya enggak punya pasangan, apalagi belum menikah, Mbak. Tentu sulit untuk relate. Ahaha. Iya, kian dewasa kudu bisa melepaskan hal-hal yang telah berlalu. Terus melanjutkan hidup. Hm, ada rasa iri juga sih sama orang-orang yang masih bisa akrab dari zaman sekolah hingga udah nikah begitu--selayaknya persahabatan di novel/film 5cm. Sebagian orang yang saya kenal ada yang begitu, tapi saya sadar bukan bagian dari mereka.



      Mbak Eno: Saya enggak yakin beberapa teman saya zaman sekolah-kuliah ada yang masih baca blog ini. Haha. Tapi saya akui, berkat blog jadi kayak punya teman baru walaupun kami belum pernah berjumpa.

      Sama-sama, ya.

      Delete
  6. Bener juga DIY singkatan nama kalian dan ujung2nya dikerjakan sendiri hahaha kaya udah nunggu bubar aja gak sih sebenernya? (sekate-kateee)

    Dulu juga aku punya satu group blogger waktu awal ngeblog, tapi udah left juga dari lama. Masih pake line kalau gak salah waktu itu. Terus emang aku gak betahan aja sih kalau group2an gitu, pernah diinvite juga ke group wa isinya anak2 wordpress, dan ujung2nya milih untuk left juga. Tau dah lebih suka personal aja kalau tiap temenan. Ceilah dateng2 blogwalking langsung curhat dimari.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terlepas nanti bubar atau enggak, saya telah berdamai dengan kenyataan itu, Teh. Haha. Saya kira memang ada masanya bikin proyek sendirian, tanpa ketergantungan teman.

      Kalau tentang grup bloger yang jumlahnya sampai puluhan itu, saya kira saya juga bakalan keluar. Anaknya suka pusing lihat notif banyak-banyak. Wqwq. Saya lebih cocok dengan lingkaran yang kecil gitu, sih.

      Sangat dipersilakan kok curhat di blog ini. Kalem aja. :p

      Delete
  7. ini Yoga udah kayak terjebak di Limbo. kadang saya juga merasa demikian sih, suka tiba-tiba sedih kalo inget kenangan lama yg udah gak bisa diapa-apain lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Yan. Mirip-mirip lagi di Limbo. Bagusnya saya terbangun dari mimpi itu, dan mulai menghadapi kenyataan.

      Saat mengenangnya senyum-senyum atau cengengesan, waktu sadar itu hanya kenangan yang tak mungkin terjadi lagi, rasa sedihnya sungguh sialan.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.