Saat tiga hari lalu melihat beberapa akun perempuan cantik bikin cuitan yang memamerkan potret dirinya disertai kalimat “beri tahu aku sesuatu yang tidak kuketahui”, protagonis kita dalam cerita ampas ini nyaris memberi tanggapan begini kepada salah satu di antara mereka, sebelum akhirnya dia menghapus seluruh kalimat:
Kau enggak tau bahwa aku gemar menumpahkan gagasan-gagasan tak penting di blog. Kau tak tau betapa cintanya aku dengan dunia tulis-menulis. Begitu pun seberapa besar aku membencinya. Namun, wajar saja jika kau tak tau, kau jelas-jelas tidak mengenalku dan kenyataannya aku juga bukanlah siapa-siapa.
Tapi, apakah kau ingin tau hal yang lebih nelangsa? Di luar dari kalangan segelintir bloger yang mengenalku dan sama-sama suka menulis, ada beberapa teman atau kenalan di sekitar yang juga tau bahwa aku gemar menulis. Sialnya, mereka tak pernah betul-betul peduli dengan hal itu. Mereka tak pernah mendukung, apalagi mengapresiasi.
Meski begitu, mereka-mereka itu rupanya cukup konyol. Aku selalu tak habis pikir dengan sebagian teman atau kenalan yang bisa-bisanya meminta tolong kepadaku buat merangkai kata untuk sebuah caption, suatu ucapan selamat, merayu lawan jenis, atau apalah itu, tanpa ada kesadaran buat membayar jasaku. Aku rasa memang sulit menyadarkan orang lain untuk lebih menghargai pekerjaan yang menguras pikiran semacam ini.
Omong-omong tentang permintaan tolong, seminggu yang lalu ada seorang pengurus masjid yang memintaku menulis artikel singkat terkait Ramadan untuk ditempel di mading masjid. Tentu saja dia menyuruhku secara cuma-cuma, sehingga aku tak pernah bisa mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.
Aku pikir membuat suatu tulisan yang diminta oleh orang lain tanpa ada bayarannya itu menjengkelkan sekaligus menyedihkan. Mungkin sikap semacam ini membuatku tampak pamrih. Mungkin juga kebiasaan seperti ini enggak baik bagi diriku ke depannya. Namun, menulis sesuatu yang bukan berdasarkan kemauanmu alias terpaksa, apalagi gratisan, pasti bikin semangatmu luntur, kan? Seakan-akan mereka tau kalau ada seseorang yang menguasai bidang tertentu, mereka bakal memanfaatkannya dalam berbagai urusan tanpa harus merogoh kocek.
Alhasil, tanpa disadari bakalan muncul rasa malas berbaur dengan masyarakat yang mulutnya suka memprotes, “Loh, masa sama tetangga sendiri bayar, sih?” Saat mendengar kalimat itu, aku ingin sekali berteriak: Tai, mending kau kerjakan sendiri saja sana! Tapi di lain sisi, aku tak pernah bisa menerapkan pikiran liar itu ke realitas bajingan ini. Aku terlalu pengecut untuk menolak permintaan semacam itu, sebab memang tak ada orang lain yang bisa diandalkan lagi terkait tulis-menulis di wilayahku. Lebih-lebih aku sempat berjanji: aku akan membantu semampunya, lantaran selama ini aku memang tak pernah berkontribusi terhadap masyarakat.
Sayangnya, aku ini terlalu naif. Kontribusi semacam itu tak ada bagusnya bagiku maupun mereka. Sebelum aku disuruh membuat artikel pendek tentang Ramadan, dua bulan silam aku sempat mencoba menyuguhkan tulisan ringan kepada mereka, lantas salah satu respons yang aku dapatkan justru seperti ini: “Saya mau kasih saran nih. Besok-besok lebih diringkas lagi, ya, tulisannya. Karena biasanya mayoritas warga sini cuma mau lihat gambar-gambarnya. Tulisannya jarang ada yang mau baca. Apalagi kalau kelihatan panjang kayak begitu. Kau mendingan fokus ke desainnya.”
Kala mendengar jawaban itu, apakah terasa lucu? Menyedihkan? Atau paduan keduanya? Yang jelas, aku tertawa hingga keluar air mata. Lalu pada saat tawaku mulai reda, tangisan di hatiku rupanya tak kunjung berhenti. Bisa dibilang aku tak tau lagi apa gunanya diriku menulis buat mereka.
Kata sahibulhikayat: Kita perlu wadah yang cocok supaya bisa berkembang. Masalahnya, aku terlalu sering berada di tempat yang salah. Contoh paling dekat yang bisa aku ambil ialah kejadian protes tulisan kepanjangan itu. Jadi, mulanya aku bikin artikel 500 kata, dan begitu dikombinasikan dengan gambar pendukungnya ternyata tak muat di selembar kertas A4, sehingga aku perlu menyuntingnya sampai sekitar 300 kata, tapi setelah rampung dan tertempel di mading, aku malah diberikan saran untuk meringkasnya lagi. Seandainya aku masih perlu membuang seratus kata lagi demi menyesuaikan minat baca orang-orang itu, sehabis kubaca ulang dan renungkan baik-baik, saking pendeknya artikel bedebah itu, aku justru bagaikan orang yang tak bisa menulis.
Aku benar-benar murka setiap kali mengingat hal yang satu itu. Aku sengaja memberi tau sesuatu hal yang tidak kau ketahui sekaligus mengeluh begini agar kelak energi negatif itu lenyap, kemudian muncul hasrat buat menuntaskan tugas keparat itu. Jika nanti tugasnya bisa selesai dengan hasil yang ala kadarnya, mungkin rasanya aku bakal bersyukur bukan main. Tak perlulah aku berharap muluk-muluk menghasilkan artikel bagus. Walaupun jauh di dalam diriku pasti ada seseorang yang tak sepakat, karena dia selalu membenci tulisan jelek.
Ah, andaikan sejak awal mereka tak pernah tau kalau aku bisa menulis, pasti urusannya tak akan semerepotkan ini. Lalu, setiap kali ada tetanggaku yang bilang, “Semoga kebaikanmu diganjar dengan pahala yang setimpal,” entah mengapa aku mendadak ingin memaki: Aku saat ini tak butuh pahala. Pahala tak akan bisa mengenyangkan perutku. Aku saat ini perlu uang buat beli makanan.
Mei 2020
--
Gambar perempuan: penyanyi kesayanganku si Amelia Murray alias Fazerdaze.
8 Comments
Di setiap rasa cinta selalu ada risiko benci dan luka, kau tidak tahu karena besarnya cintaku pada menulis aku benci menulis yang membuatku terus larut ke dalamnya.
ReplyDeleteJadi pintar-pintarlah mengolah kebencian itu menjadi tulisan yang cukup enak dibaca. Haha.
DeleteGue enggak relate sama sekali
ReplyDeleteBhahah
Pertama, tentang nulis harus dibayar. Gue setuju akan hal itu, apalagi nulis kan enggak semudah ngebacot doang. Permasalahan yang gue hadapi sih, kayaknya gue masih enggak tau, apakah tulisan gue itu baik atau belum. Selama tulisan yang gue buat, bikin gue ketawa sendiri, gue udah hepi sih.
Dan juga, gue masih bingung buat ngasih rate ke tulisan sendiri. Ehe
Tolong, berikan aku arahan, suhu.
Untungnya, sejauh ini tetangga enggak ada yang tau kalo gue suka nulis. Dan kalau pun gue disuruh nulis, kayaknya bakalan langsung gue tolak juga sih. Kalau ngomongin pahala, gue jadi bersyukur mengenyam pendidikan di timur tengah. Meskipun otak gue minim begini, bisa lah gue debat perkataan orang-orang yang apa-apa dikaitkan dengan urusan pahala-pahala ini.
Terkait rate sebetulnya diri sendiri yang paham sama nilai jualnya. Kayak lu udah ngeblog berapa lama, terus effort lu dalam menulis tuh seberapa besar. Sekiranya dihargai sekian ratus ribu, apakah kemurahan? Nah, nanti kan bisa mencari nilai tengah antara budget dari klien dan standar lu itu. Kalau tetap kemurahan tolak, di atas standar ya alhamdulillah anggap bonus.
DeleteGimana tuh, Zi, sama orang-orang yang berlindung di balik kata pahala? Masa mencari pembenaran dari situ?
Aku tuh kadang mikir Yog, gimana ya caranya supaya orang2 ini suka membaca, setidaknya ga perlu suka, tapi mau membaca. Kok miris banget kalo Nemu orang yg jelas banget kliatan dia ga membaca dulu sebelum komen. Aku kalo sdg bad mood, dan Nemu orang tipe begini, biasanya langsung aku judesin. Kesel loh... Apalagi yang kayak ceritamu, udahlah nyuruh, giliran Nerima nyuruh potong dgn alasan orang2 ga suka baca yg terlalu panjang wkwkwjwjwjkwkw . Pengen aku tenggelamin orang tipe begitu
ReplyDeleteBudaya kita lebih ke bacot duluan sih, Mbak. Mereka lebih ke lisan dibanding tulisan. Lebih gampang menyerap visual daripada teks. Melihat teks sedikit rasanya malas. Mungkin itulah kenapa sebagian murid malas mengerjakan PR, terbiasa menyalin jawaban teman aja. Kenapa di soal bahasa Indonesia yang jawabannya terdapat dalam 'bacalah kalimat berikut', tapi masih tetap banyak yang salah? Itu soalnya benar-benar tidak dibaca secara teliti. XD
DeletePengin ada konten di mading kok syaratnya kudu perbanyak gambar, bukan tulisan. Ya, mending bikin sendiri aja sesuai maunya dia, buat apa nyuruh orang. Haha.
beberapa hari yang lalu tulisanku cuma dibagikan sepotong oleh sebuah akun akhirnya akun IGku tumbang
ReplyDeletebener2 kemauan membaca amat rendah banget
akhirnya mulai berpikir hati2 kalau buat judul soalnya engga semua orang mau baca sampai selesai
Wah, parah banget kalau sampai IG diserang begitu. Terbiasa emosi duluan sebelum mencerna seluruh tulisan dengan baik. Iya, dipancing sedikit sama judul fenomenal atau sensitif langsung kebakaran.
Delete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.