Aku Bukanlah Siapa-Siapa

“Langit bumi bersaksi, derita kujalani. Tak juga aku mengerti misteri dunia ini.” —Sulis, Misteri Dua Dunia

--




“Siapakah engkau pada usia 25 tahun?” 

Seumpama ada seseorang yang menyodorkan pertanyaan itu, kau tak tahu harus menjawab apa selain kalimat ini: “Aku bukanlah siapa-siapa.” Memang, saat ini tak ada sedikit pun keinginan menjadi orang besar di dalam dirimu. Kau tentu juga merasa bukan orang penting. Lagi pula menjadi biasa-biasa aja mungkin tidak terlalu buruk, dan jadi terkenal sepertinya malah sangat merepotkan. Begitulah pandanganmu sejak usia 23 hingga sekarang. Rupanya telah terjadi perubahan yang cukup signifikan ketimbang dirimu pada masa remaja.

Kau tak begitu ingat bagaimana sosokmu pada usia 17 tahun ketika mencoba melihat dirinya kelak pada umur 25. Barangkali dia berpikir pada usia segitu kondisi finansialnya sudah sangat stabil, telah menjadi penulis sukses, dan sudah tunangan—atau malah menikah.

Kau harus mengakuinya, bahwa pada masanya kau sempat memiliki keinginan menjadi terkenal lewat karyamu, atau singkatnya menjadi seorang penulis yang bukunya laris manis dan digandrungi ribuan pembaca. Namun, lama-kelamaan kemauan itu lenyap dengan sendirinya seiring bertambahnya usia ataupun melihat kenyataan di depan mata.

Begitu pula dengan menikah. Kau jelas pernah punya target bisa menikah pada usia 24-25. Apesnya, percintaanmu kerap memble. Kau belum berani memulai hubungan baru lagi (yang sangat serius) selepas putus sama pacarmu pada umur 23. Sebetulnya, sih, kau sempat mencoba membuka hati beberapa kali, tapi ujung-ujungnya tetap gagal karena berbagai alasan. Di antara alasan-alasan tersebut, ada tiga hal yang paling sering terjadi: 1) Kau mendadak menjadi orang yang minder setelah tahu kelas sosial kalian berbeda; 2) Kau langsung menyerah selepas tahu agama kalian berbeda; 3) Kau cuma dijadikan pelarian atau dimanfaatkan oleh gadis-gadis itu.

Ketimbang mencobanya lagi dan ujung-ujungnya hanya menyiksa diri sendiri, kau perlahan-lahan kembali menutup diri. Jadi, menurutmu, masalah romansa ini bakalan kau kesampingkan terlebih dahulu selama dirimu masih punya prioritas lain, terlebih kau juga masih baik-baik saja kala melajang.

Apakah kau berani merenungi nasibmu? Pertanyaannya gampang saja, ketika kau melihat bagaimana alur hidup yang jauh dari perkiraan awal itu, apakah kau pernah merasa dirimu itu dulunya seorang manusia yang terlalu naif? Bisa dibilang demikian. Tapi, setahumu, begitulah masa remaja yang hasratnya masih menggelora. Remaja itu banyak berencana dan terlalu optimis kalau hidupnya bakal berjalan mulus sampai-sampai lupa bahwa kegagalan bisa terjadi kapan saja.

Menghadapi kenyataan yang bobrok tentu bikin remaja itu tertawa konyol dan akhirnya ditelan depresi berkepanjangan. Lebih konyolnya lagi, saat kau sudah mencoba bangkit pelan-pelan hingga kembali normal, mulai meminimalisir kegagalan dengan bersikap realistis saja, tak berharap muluk-muluk lagi, serta harapan akan masa depan tampak kembali cerah, lalu tiba-tiba kehidupan kian bergoncang tanpa disangka-sangka akibat serangan wabah percis saat kau berumur 25 tahun.

Hampir semua kalangan, khususnya golongan bawah, benar-benar mengalami krisis. Kau semakin tak tahu apa yang bisa dirimu harapkan saat ini selain bertahan hidup sampai keadaan pulih sebagaimana sebelum terjadinya pagebluk.

Kalau mau menengok keinginanmu pada usia 23 buat jadi yang biasa-biasa aja (biasa yang kau maksud tuh begini: menjadi pegawai kantoran pada umumnya dengan gaji UMR atau lebih yang pokoknya cukup buat hidup, menabung, serta membantu perekonomian keluarga, lalu tidak lagi keras kepala ingin hidup sebagai pekarya), sialnya masih terhitung belum berhasil.

Terus terang, pada usia 25 kau hanya seorang pekerja lepas yang lebih cocok disebut pengangguran karena sejak pandemi berlangsung tawaran kerja yang kau terima sangatlah sedikit, bahkan beberapa kali terpaksa mengambil kerjaan harian yang upahnya jauh dari kata layak. Daripada enggak ada sama sekali, katamu mencoba menghibur diri sendiri.

Syukurnya, kau masih bertahan hidup dengan berbagai siasat. Dan alhamdulillah pula, Tuhan memberikanmu rezeki lewat cara-cara ajaibnya. Di antaranya: 1) Ada sebuah web asal Jepang yang punya cabang di Indonesia dan memberikanmu penawaran menulis dengan bayaran yen—jika diubah ke rupiah itu jelas mencapai sejuta lebih; 2) Kau juga sempat memenangkan sebuah sayembara menulis bertema khusus yang diselenggarakan oleh kenalanmu dan hadiahnya sama besar dengan kerja sama dengan perusaan Jepang itu, ketika dirimu benar-benar membutuhkan uang.

Sesungguhnya, di luar urusan duit, kau sangat bersyukur masih sehat dan kondisi mental pun semakin baik-baik saja di tengah kengerian biadab ini. Kau benar-benar enggak menyangka masih bisa tetap waras hingga sekarang, sebab jika kau sudi menengok 6-10 bulan ke belakang, keadaan mentalmu kala itu sungguh hancur lebur.

Hidup dengan pikiran tenang dan tak memikul neraka di pundak bagimu sudah luar biasa sekali. Kau kini bisa semakin mengontrol perasaan-perasaan terkutuk yang datangnya tak bisa diprediksi.

Meski begitu, kadang muncul rasa sedih ketika kau tahu ada teman-teman dekat yang kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang dirimu sendiri, dan kau tak bisa berbuat apa-apa karena buat diri sendiri pun teramat pas-pasan. Rasa ingin menolong itu muncul dengan sendirinya. Tapi setelahnya kau tersadar, bahwa kau tak boleh memaksakan diri. Jadi tak ada yang bisa kau perbuat selain saling menguatkan dan mendoakan. Sebelum kebutuhan diri sendiri dapat terpenuhi, pikirmu, jangan pernah nekat. Itu sama saja berbuat zalim kepada diri sendiri. Bantulah ketika sudah bisa bernapas dengan lega. Bukan saat ngos-ngosan.

Di sisi lain, kesedihan juga pernah datang dari rasa iri atau cemburu. Sifat iri ini jelas termasuk ke dalam tujuh dosa pokok manusia—enam lainnya: sombong, rakus, serakah, nafsu, murka, dan malas. Melanjutkan tentang rasa iri ini, entah kenapa kau begitu cemburu saat mendengar teriakan kurir di beberapa rumah tetangga sewaktu ada momen promo belanja. Mereka dapat menghibur diri saat terkurung di rumah dengan belanja online dan mendapatkan barang-barang murah, sementara dirimu kudu terus-menerus menahan diri.

Mau bagaimana lagi, ujarmu, seumpama aku ikutan tergoda bisa-bisa dana darurat itu bakal terpakai. Ya, bisa dibilang ada bagusnya juga memiliki kontrol diri semacam itu. Seandainya kau sampai khilaf, kau pasti akan menyesalinya begitu ada hal-hal gawat yang barangkali terjadi.

Perubahan hidup yang amburadul dan kian bertambah luluh lantak jelas menyiksa batinmu. Apalagi kesedihanmu tambah meluap ketika kau tahu bahwa salah satu manusia yang membeli barang itu adalah seorang tetangga yang masih berutang kepada ibumu. Bagaimana mungkin dia bisa santai memesan barang, sedangkan melunasi utang justru dia lupakan seolah-olah itu bukanlah masalah?

Asu tenan, umpatmu dalam hati, setiap kali bertemu bedebah yang satu itu.

Apakah dia berpikir bahwa kau dan keluargamu itu orang kaya, ya?

Sekalipun kau tak pernah merasa miskin dan alhamdulillah pada situasi krisis ini terbilang berkecukupan tanpa harus meminjam uang sebagaimana si cecunguk itu, tentu kau pernah menangis saat melihat saldo rekeningmu yang mengempis, lebih-lebih merasa saat ini cuma jadi beban keluarga.

Lelah dengan perasaan nestapa setiap menjelang tidur, pada suatu malam tanpa sadar kau pun memutar ulang memori-memori menggembirakan yang pernah terjadi dalam hidupmu. Dari beberapa cuplikan indah itu, kebahagiaan yang paling sering muncul adalah saat kau berumur 19. Tepatnya kala kau masih memiliki penghasilan tetap setiap bulannya.

Pada masa-masa itu, kau pernah memiliki pacar yang keluarganya sangat menerimamu, bahkan kau begitu akrab dengan adik-adiknya karena sering main PS bersama. Kau setiap sebulan sekali mencoba berbagi rezeki kepada sohib-sohibmu dengan mentraktir mereka di suatu rumah makan. Saban melihat senyuman mereka dan bisa bertukar cerita, tentu menerbitkan rasa hangat di hatimu. Kau masih punya rekan kerja yang bisa diajak seru-seruan bareng—baik itu kulineran, main futsal, ataupun bertamasya. Masa-masa perkuliahan yang asyik sebelum dinyatakan sebagai sarjana gagal alias drop out, terlebih di universitas itulah kau dapat berjumpa dengan pacarmu. Dan terakhir, kau sempat mengobrol dengan seorang kawan yang konon bisa meramal atau membaca garis nasib.

Pada bagian ingin mengetes ramalan atau mengetahui nasibmu itu, sebetulnya kau cuma iseng-iseng saja. Tapi bisa jadi alam bawah sadarmu justru terus-menerus mengingatnya. Jadi, sebelum dia membaca garis tangan dan memandangi wajahmu secara cermat, kau sempat bercerita memiliki impian menjadi seorang penulis. Kau bertanya kepadanya: Apakah aku kelak bisa jadi penulis sukses?

Kau sadar bahwa pada zaman itu kau sudah membuat blog dan gemar membaca, tapi kau sebenarnya tak paham apa-apa terkait tulis-menulis. Orang itu juga tak pernah sekali pun membaca tulisanmu. Anehnya, dia percaya diri sekali ketika bilang, “Lima tahun dari sekarang, jika kamu terus menekuninya, tulisanmu bakal mendapatkan tempat di sebuah media. Kamu juga akan jadi penulis sukses.”

Seingatmu, lima tahun setelah hari itu, tepatnya pada 2019, beberapa cerpenmu yang ditulis dalam rentang 2015-2017 memang memperoleh tempat di sebuah media daring. Namun, jika yang seperti itu dianggap sukses, kau rasanya ingin tertawa sampai rahangmu pegal. 

Gambaran sukses di kepalamu pada hari ramalan keramat itu jelas ketika tulisan-tulisanmu (baik puisi maupun cerpen) bisa termuat di koran-koran nasional, atau kau menerbitkan novel yang laris manis dan kelak diadaptasi menjadi film layar lebar dan ditonton jutaan orang, atau minimal kau bekerja menjadi penulis artikel di salah satu media dengan gaji bulanan yang mantap dan bisa berfoya-foya.

Ah, andai benar nasibmu begitu, tak mungkin kau mengetik kalimat-kalimat suram seperti ini. Apalagi setiap kali ingin bercerita hal-hal baik ataupun berbagi keceriaan sebagaimana janjimu kepada diri sendiri pada awal tahun ini, kau justru tak pernah sanggup menyelesaikannya. Ada saja hambatan menulis dengan nada riang. Tulisanmu yang pada akhirnya selesai selalu berkelok dari niat awalnya. Seperti sekarang ini, misalnya. Seakan-akan kau malah mengamini ucapan beberapa orang, yakni kau itu sebenarnya tak bisa menulis. Kau cuma bisa menggerutu atau menyanyikan kesedihan lewat teks. Singkat kata: kau bukanlah siapa-siapa.

/2020-2021

7 Comments

  1. Relate banget ini emang tulisannya. Di saat dulu saat remaja begitu percaya diri untuk bisa menjadi orang, kini kepercayaan diri itu hilang entah kemana. Kini yang terpenting masih bisa kerja dan bisa sedikit membuat diri bahagia, meskipun beban tak kunjung reda. Keinginan hidup gak muluk-muluk. Banyak banyakin bersyukur aja kuncinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semakin tua dan dewasa justru menerapkan sifat qanaah, ya? Haha. Tapi keberanian remaja itu terkadang masih diperlukan dalam hidup sih, agar kita enggak jadi pengecut.

      Delete
  2. I dont know why.. but this kinda sounds too deep for me.

    Kehidupan memang penuh dengan misteri ya Yog.. hmmmm 🤔, baca ini bikin aku flashback ke masa lalu yg bikin aku terdiam dan berpikir "what if atau seandainya"..

    soalnya, kalau dipikir2 kehidupannku ya juga berbelok-belok, nggak jelas, ngalor ngidul kemana-mana, nggak konsisten. Padahal dlu sewaktu SMA udah excited banget pngen lulus, bayangannya mau kerja sambil kuliah.. ehh, ternyata nyari kerja yg berpenghasilan susah juga. Akhirnya ikut kuliah reguler.

    Terus pas kuliah nggak sabar pengen cepet2 lulus kuliahh saking pusingnya... eehh pas udah lulus cari kerjaan ternyata pusingnya melebih kuliah... ntar, giliran dpet kerjaan ehhh mikir kalau tenaganya diperas habis2an..

    sejenak, sempat mikir ngebayangin gimana rasanya jadi burung biar bisa terbang kemana2 😂, tapi resikonya sering diburu..

    ahh sudahlah, dasarnya emang diriku ini yg kurang bersyukur. Padahal nikmat yg Tuhan beri sungguh besar, tapi aku malah cenderung abai.
    Jadi ingat kata2 dosen yang bilang "Sebenarnya kejadian-kejadian terdahulu yg terjadi dalam hidup kita itu memiliki korelasi atau hubungan kedepannya. Hanya kitanya saja yg belum lihat tali hubungannya.. 😁 jarang2 sbnernya aku nulis kalimat kaya gini Mas Yog. Hehe. Soalnya aku paling susah buat diajak serius..

    Oh ya, sebelumnya salam kenal ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga, Mas Bayu.

      Alur hidup memang sulit ditebak. Yang pada awalnya dikira bisa lurus aja dan mulus, justru berkelok-kelok, tak jarang bikin tersesat juga.

      Iya, zaman sekolah pengin kuliah, giliran udah menjalaninya kok merasa tugas-tugas dari dosen lebih berat. Begitu pula bekerja. Ada aja yang bikin ngeluh.

      Mau serius ataupun bercanda, diperbolehkan kok di sini. Santai aja. Toh, tema tulisannya emang sok-sok ngajak merenung para pembaca (sekalipun niat awalnya selalu buat mengingatkan diri sendiri).

      Delete
  3. Kayaknya masih kurang lepas nulisnya, kalau bisa ditambahi beragam macam kosakata umpatan asal jeplak dan umbar merk atau produk budayanya secara blak-blakan hehe.

    Soalnya inget dulu juga sering bikin tulisan ginian, pas lagi doyan Bolano jadi ngikutin gaya visceral realism-nya (realisme jeroan kalau kata orang), yg nyerocos kenestapaan hidup gitu.

    Jadi pengen ikut curcol juga, kalau pas usia 25 kemarin sih (tahun 2019) fase menyerah dari karier sastrawi soalnya masih belum diajak Emerging Writer di Ubud Writer Festival sama belum punya naskah buat jadi juara sayembara novel DKJ, dua langkah paten biar jadi sastrawan mapan dan dilirik penerbit mayor.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, masih ditahan-tahan, karena takut sekiranya menyenggol pihak-pihak tertentu malah jadi masalah. Terus waktu ngeditnya juga bulan puasa, beberapa umpatan waktu pertama kali nulisnya (2020), ada yang saya hapus biar tampak rada halus menggerutunya, padahal mah itu mengurangi esensinya. Tapi biarlah. Lain kali kalau mau mengamuk, mungkin akan saya coba lebih lepas (meski enggak yakin apa yang kelak bisa bikin murka).

      Di The Savage Detectives itu sebetulnya nama geng mereka kan, ya? (saya baru baca 100 halaman awal) Terus realisme jeroan ini malah jadi genre baru gitu?

      Berarti ini memang usia-usia mulai sadar diri bahwa impian jadi penulis pada masa remaja baiknya jangan terlalu dikejar lagi, bahkan mending dikubur aja. Kini nulisnya cukup sesuka hati di blog, enggak usah ambisius menembus media atau memenangkan sesuatu atau apalah itu yang sekiranya bisa mendongkrak nama.

      Yang Ubud belum pernah kepikiran, saya 2018 cuma sempat niat mau ikutan DKJ, tapi baru setengan jalan langsung ragu itu naskah bisa bikin juri terpikat. Napasnya kebetulan habis juga. Belum sanggup menjaga daya tahan nulis novel. Analogi Haruki kalau bikin novel itu mirip maraton sepertinya tepat, soalnya saya udah pingsan duluan. Belum kuat ikut maraton. Ujungnya mengendap itu naskah di draf, atau malah udah dihapus. XD

      Delete
    2. Bukan genre sih, lebih soal gaya atau gerakan, yg emang sengaja diciptakan mereka, kayak Lost Generation sama Beat Generation, yg intinya ya buat ngelawan gaya yg ada. Iya, sampe ada manifesto infrarealis yg dibikin si Garcia Madero di Savage Detective itu.

      Meski ga terlalu ngerti detail gimana2nya, tapi pernah nyoba kayak nulis panjang ga pake pembagian paragraf dan tanda kutip, dialog langsung sama sekelebatan di kepala ditulis semua, Sunda-Inggris-Indonesia dicampur, ya mirip yg sering ditulis Bolano gitu, lumayan juga kayak ngelatih tulisan ekspresif.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.