Kiriman dari Hamba Allah

“Ya Tuhan, saya mohon tahun 2021 ini bisa lebih baik dari 2020. Semoga enggak ada lagi musibah yang terjadi. Tolong berikanlah kami semua kekuatan,” tulis seseorang dengan teks asli bahasa Inggris yang muncul di lini masa Twitter saya. Sebelum mengutarakan kalimat itu, dia menyebutkan hal-hal buruk yang sempat membuat hatinya bersedih seperti kondisi pandemi yang tak kunjung usai sekaligus korbannya meningkat, kecelakaan pesawat, tanah longsor di Sukabumi dan Sumedang, gempa bumi di Sulawesi, banjir di berbagai kota, serta wafatnya beberapa ulama besar.
 
Saat membaca cuitan itu, saya tentu mengingat bagaimana 2020 juga diawali dengan hujan lebat hingga beberapa titik di wilayah Jabodetabek terendam air butek sebelum akhirnya wabah Corona menyerbu—yang kemudian bikin manusia-manusianya mengalami krisis dan menderita. Jika saya renungkan, jelas musibah yang terjadi pada awal 2021 ini lebih banyak ketimbang 2020. Meski begitu, saya tak berani berpikiran yang jelek-jelek mengenai hari yang akan datang. Biarlah hari esok tetap menjadi misteri tanpa perlu menebak-nebak keburukan berikutnya, dan lebih baik saya berharap akan ada hal baik yang berdatangan. 
 
Selama perenungan barusan, saya bahkan mencoba menelusuri ulang tahun 2020 yang rasanya teramat berengsek itu, dengan mengenang kejadian-kejadian menggembirakan beserta hal baik yang pernah saya dapatkan, terutama ketika saya memperoleh kiriman hadiah dari hamba Allah yang membuat saya berpikir kalau bantuan bisa datang dari mana saja. Pasti tetap ada hal-hal baik yang terjadi, seburuk apa pun situasi. Alhasil, setelah menerima kebaikan yang datangnya tak terduga ini, sebisa mungkin saya kudu lebih mengontrol sifat sinis dalam diri, kurangi menggerutu, dan mencoba bersikap baik kepada siapa pun—jika belum bisa menerapkan kebaikan itu, paling tidak jangan menjahati orang lain. 
 
Jika boleh mengaku, pada masanya saya kerap menjadi orang yang menyebalkan di internet. Saya gemar mencari perkara dengan mengejek atau ikut campur masalah orang lain. Pokoknya, ketika ada hal-hal yang memicu amarah dan tidak sesuai dengan diri saya, otomatis kesinisan saya meluap-luap dan jari-jari ini hilang kendali sampai melontarkan kalimat-kalimat jahanam—yang kemungkinan besar melukai perasaan orang lain. Tapi siapa sangka, masih ada aja beberapa orang yang berbuat baik kepada manusia menjengkelkan bernama Yoga ini. Terlebih lagi, orang-orang baik ini mulanya cuma saya kenal via internet dan sebagiannya juga belum pernah berjumpa, tapi bisa-bisanya mengirimkan kegembiraan kepada saya melalui bingkisan dan seakan-akan mereka percaya bahwa masih terdapat kebaikan di dalam diri saya, sehingga saya masih layak buat menerima kebaikan hati mereka. 
 
 

 
Lewat tulisan ini saya ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada mereka yang saya maksud di atas dengan mengoceh tentang hadiah yang telah mereka kirimkan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan rasanya juga tak perlu menyebutkan nama mereka, saya sungguh berterima kasih akan kebaikan yang sudah mereka berikan, dan tentu saja saya ingin mendoakan semoga kebaikan selalu menyertai mereka. Daripada tulisan ini semakin melantur tak jelas, maka inilah daftar kiriman dari hamba Allah beserta celotehan saya.
 
 
Cokelat dari Rani 
 
Menuliskan nama Rani di daftar ini adalah bentuk pengecualian atas kalimat saya sebelumnya yang bilang tak ingin menyebutkan nama pengirimnya. Tapi bagi yang akrab dengan tulisan fiksi di blog ini, tentu mereka tahu bahwa Rani adalah nama yang paling sering saya pakai pada tokoh-tokoh cerita saya. Walaupun saya sadar kalau perempuan-perempuan bernama Rani itu sebatas khayalan dan imajinasi saya saja, kali ini saya benar-benar merasa beruntung karena bisa mengenal Rani yang betulan hadir di kenyataan, dan bisa menjadi kawan saya—bisa-bisanya saya sepercaya diri ini, padahal dia belum tentu menganggap saya teman juga. 
 
Terlepas dari hal itu, saya tetap senang sekali ketika menerima bingkisan darinya. Seingat saya, gagasan tentang kiriman camilan cokelat ini bermula dari obrolan para penghuni salah satu grup di Twitter yang anggotanya kebetulan kurus-kurus. Rani bilang, dia memasukkan segelintir bloger yang menurutnya cukup akrab—termasuk saya—ke grup itu agar bisa mendiskusikan berbagai topik dengan santai. Di antara berbagai obrolan, kami sempat membahas perihal fisik dan perawatan wajah, dan kala itulah Rani tiba-tiba curhat tentang dirinya yang lagi mengurangi konsumsi cokelat supaya tak jerawatan tapi telanjur menstok beberapa camilan, kemudian inisiatif membagikan penganan itu kepada kami daripada mubazir. 
 
 

 
 
Kiriman itu tiba di rumah saya pada masa PSBB baru saja dimulai. Saya yang saat itu benar-benar tak berani keluar rumah karena kengerian akan wabah dan diliputi rasa cemas yang seolah-olah tak ada habisnya, entah mengapa mulai merasa rileks selepas menerima dan menyantap cokelat yang Rani kirimkan. Sewaktu ada hal yang teramat buruk menimpa dan bikin saya stres, ternyata muncul pertolongan dari arah yang tak terduga. Sejauh ini, saya kira cokelat selalu berhasil menjadi obat mujarab untuk mengurangi kekacauan maupun kegilaan dalam diri. 
 
 
Surat, kartu pos, dan pembatas buku 
 
“Maaf ya, waktu itu aku tiba-tiba menghilang ketika kita lagi berkirim surel,” ujar seorang perempuan membuka percakapan via WhatsApp. “Aku benar-benar butuh waktu sendiri buat menenangkan diri. Terima kasih waktu itu sudah menanggapi curhatanku. Oh iya, sekarang aku tinggal di Bali, Yog.” 
 
Awalnya saya sempat kaget karena dia tiba-tiba mengirim pesan setelah sekian lama menghilang dan menghapus berbagai akun media sosial, apalagi sampai memprivasi blognya. Sehabis mencerna kalimat yang memberi kabar bahwa dia pindah ke Bali rupanya membuat saya kian terkejut. 
 
Seusainya kami membahas apa alasan dia pindah ke sana, bertukar kabar, dan berdiskusi tentang buku, dia lantas meminta alamat saya karena ingin meneruskan niatnya buat mengirimkan kartu pos yang sempat dia bahas di surel dan akhirnya tertunda itu. Kiriman itu datang pada lima hari kemudian. Saya membukanya dan di dalamnya terdapat selembar surat, 4 buah kartu pos, dan 2 pembatas buku yang gambarnya dia lukis sendiri—hasil belajar melukis selama di Bali. 
 

 
Seumur-umur, saya belum pernah menerima surat berbentuk tulisan tangan selain dari pacar saya—yang tentu saja sudah pada jadi mantan, dan ketika kali ini saya mendapatkannya dari salah seorang kawan yang kenal lewat blog, ini membuat saya seperti memiliki sahabat pena. Di era digital yang sudah semakin canggih ini, di mana orang-orang bisa bertukar pesan melalui surel, via SMS, bahkan aplikasi perpesanan instan, lalu kini saya dapat membaca teks yang tertulis di atas kertas sebagaimana masa lampau, alhasil memunculkan kegembiraan dan rasa sentimental yang istimewa.
 
 
Rak dinding
 
Dia mendoakan semoga buku-buku saya cepat laku ketika saya menjual beberapa buku yang sudah tak pernah dibaca ulang demi bisa mengurangi beban rak yang sedikit rusak (salah satu papannya patah) akibat terendam banjir. Saat saya lagi mengucapkan ‘aamiin’ di dalam hati, kalimat setelahnya justru membuat saya terperanjat, sebab dia bilang, “Aku kasih hadiah buat kamu nih” beserta gambar rak dinding.
 
Kala itu, saya juga lagi proses membuat rak dinding sederhana berupa papan panjang aluminium bekas (hasil pemberian dari kenalan yang habis membongkar rumahnya dan sedang dalam tahap renovasi) yang kelak diberikan penyangga kemudian dipaku ke tembok, lalu kini saya malah dapat kabar akan mendapatkan rak tambahan yang sudah jadi. Oh, betapa gembiranya hati saya.
 
Saya tak tahu hal apa yang membuatnya sampai mengirimkan hadiah kepada saya saat itu. Apakah membaca luapan emosi dalam diri saya di tulisan sentimental tentang banjir secara tak langsung menimbulkan iba? Entahlah. Seingat saya, sewaktu saya pertama kali mengalami banjir pada Januari 2020, dia sempat mengirimkan pesan via WhatsApp dan menawarkan bantuan. Membaca kalimatnya itu, tentu bikin saya heran dan bertanya-tanya, hingga membalasnya dengan pertanyaan, “Hah? Bantuan apa? Enggak ada yang perlu dibantu kayaknya, Teh.” 
 
“Ya, barangkali aja ada yang bisa aku bantu. Aku kan enggak tahu, makanya nanya.” 
 
Saya lantas menjelaskan kalau kondisi saya tidak separah para korban banjir yang mesti mengungsi ke posko terdekat dan membutuhkan kiriman makanan. Alhamdulillah keadaan rumah saya termasuk aman. Walaupun air butek itu masuk ke rumah dan akhirnya bikin kami sekeluarga capek beres-beres dan membersihkannya, bagi kami kesusahan itu masih bisa ditoleransi. Saya pun bertanya balik, apakah rumah dia di daerah Bandung itu aman dari banjir?
 
“Rumahku alhamdulillah aman, kok.”
 
Kami lalu mengobrol terkait banjir, khususnya saya yang bercerita bahwa baru kali itu rumah saya bisa kebanjiran lagi setelah sekian lama terbebas dari banjir. Kami juga membahas isu mengenai Jakarta, bahkan pulau Jawa, yang kemungkinan akan tenggelam dalam waktu puluhan tahun mendatang itu bakal benar-benar terjadi. Kami pun iseng membicarakan kira-kira nanti harus pindah ke mana biar aman dari air bah itu. Selepas kami mentertawakan khayalan konyol itu, dia pun menutup pesan tersebut dengan berkata, “Ya udah, pokoknya kalau sewaktu-waktu membutuhkan bantuan apa pun itu, jangan sungkan hubungi aku ya, Yog.” Saya pun mengucapkan terima kasih atas tawaran baik dan kepeduliannya.
 
Berhubung saya anaknya tak suka merepotkan orang lain, dan selalu berupaya menyelesaikan masalahnya sendiri selama diri ini masih kuat dan sanggup, saya jelas tak pernah mengontak teman untuk meminta bantuan. Meski begitu, pada suatu hari dia diam-diam mengirimkan saya pulsa buat internetan selama terjebak pada situasi pandemi, yang mengharuskan saya tetap berada di rumah. Semoga bisa tetap enjoy ya selama di rumah, ujarnya saat itu. Nah, kali ini dia juga diam-diam mengirimkan hadiah berupa rak dinding sekalipun saya tak berkata apa-apa. Teteh yang satu ini baiknya memang kebangetan. Saya tak tahu kudu mengucapkan terima kasih seperti apa lagi, yang jelas doa-doa baik akan saya kirimkan dengan senang hati. 
 
 
Ketika saya membuka bingkisan paket darinya dan melihat bentuk rak itu, ternyata rak dindingnya tak cukup lebar untuk menaruh buku-buku. Saya tak tahu, apakah dia tertipu oleh gambar saat membelinya atau memang jenis rak inilah yang dia ingin berikan sejak awal. Apa pun itu, rak dindingnya sangatlah berguna buat menyimpan pernak-pernik, khususnya alat tulis, pengecas HP, apalagi bisa buat memajang mainan Lego. 
 
 
Parsel natal beserta tahun baru yang gurih dan manis 
 
Sejak saya masih SMP, ibu saya gemar berpesan: “Jangan suka mengemis pertolongan selama masih mampu melakukannya sendiri, tapi jika ada seseorang yang menawarkan bantuan tanpa kamu minta, kamu tentu boleh menerimanya. Lalu kalau ada yang memberikan kamu sesuatu, lebih baik juga diterima aja, sebab enggak baik menolak rezeki.” Berdasarkan petuah itu, saya pun dengan senang hati menerima pemberian seseorang yang pada akhir tahun memiliki rencana mengirimkan parsel ke beberapa kawan bloger. Entah atas dasar apa dia memilih saya sebagai salah satunya, tapi saya benar-benar bersyukur bisa termasuk ke dalam daftar.
 
Dia bilang, itu hanya hadiah kecil-kecilan berupa makanan karena dia sudah sering mengulas berbagai aneka makanan-minuman di blognya, sehingga kepengin teman-teman yang selama ini membaca blognya juga bisa ikutan mencicipi. “Lebih suka gurih atau manis?” tanyanya, setelah saya mengirimkan alamat rumah. Saya jelas suka keduanya sekalipun lebih gandrung ke manis. Anehnya, saya menjawab gurih karena berpikir makanan itu tak mungkin saya lahap sendirian. Saya jelas mau berbagi juga kepada keluarga di rumah. Dia lantas menutup pesannya dengan menyuruh saya menunggu sekitar minggu ketiga pada bulan Desember. 
 
Saya rupanya memperoleh parsel berupa Ayam Tungku Atung. Siang itu, kebetulan ibu saya juga belum memasak apa-apa, jadi kami sekeluarga pun bisa melahap ayam satu ekor itu bersama-sama sebagai makan siang.
 
 
 
Berbeda dengan cara makan sang pengirim yang bilang tak perlu pakai nasi lagi, saya tetap memakannya dengan nasi biar lebih kenyang. Cara makan saya begini: nasinya saya siram kuah kaldu yang tersedia dalam paket itu, lalu bumbu berwarna gelap dan mericanya saya pisahkan ke wadah kecil buat dikombinasikan berdasarkan takaran pribadi hingga pedasnya sesuai, dan barulah ayamnya saya cocol ke bumbu yang sudah tercampur rata sembari mencomot nasinya itu. Dan begitu seterusnya sampai sepiring nasi dan potongan ayam itu tandas.
 
Keesokan harinya, saya sangat terkejut karena masih mendapatkan kiriman lagi berupa makanan yang jenisnya manis, yakni kue es krim, padahal awalnya kan diberikan pilihan antara gurih dan manis. Alhamdulillah saya bisa mencicipi keduanya.
 

 
 
Saat menentukan opsi antara cokelat dan merah jambu, tanpa ragu pasti saya langsung pilih yang cokelat buat dikonsumsi terlebih dahulu, dan yang satunya otomatis saya masukkan ke dalam kulkas. 
 
 

 
Sebetulnya perpaduan atas Milo Panna Cotta, Nutella, Hazelnut Cream, Chocolate Biscuit, Basque Cheesecake, dan Chocolate Sponge Cake ini sungguh nikmat—terutama Nutella, krim hazelnut, dan biskuit cokelat yang memang menjadi favorit saya. Namun, sebagaimana nasihat tentang hal-hal yang berlebihan itu enggak baik, campuran dari berbagai jenis cokelat yang mulanya sangat enak itu pada akhirnya justru sedikit bikin enek. Entah efek kebanyakan cokelat atau lidah saya yang kurang cocok, campuran cokelat yang berada di paling bawah dan bentuknya mirip puding itu benar-benar memicu rasa mual. Tapi bisa jadi itu akibat saya kekenyangan karena sebelumnya habis makan siang. Menjadikannya sebagai makanan penutup tampaknya kurang pas bagi diri saya. Santaplah saat lagi bersantai dan kondisi perut tidak penuh. 
 
Saya tak tahu rasa yang California seperti apa, sebab saya akhirnya memberikan makanan pencuci mulut tersebut kepada ibu saya gara-gara teringat bahwa hari itu adalah Hari Ibu. Terasa kebetulan, ya? Saya kan jadi bisa sedikit menggembirakan ibu saya pada momen spesial tersebut, sekalipun hadiah itu bukan saya yang membelinya. Oleh karena itu, nuhun pisan buat sang pengirim yang kebetulan juga sudah menjadi seorang ibu. 
 
 
Akhir kata, buat sementara ini saya hanya bisa mengirimkan doa-doa baik dan baru sempat memberikan hadiah remeh yang nilainya jelas tak sepadan kalau dibandingkan dengan bingkisan yang telah mereka kirimkan. Hal yang bisa saya lakukan saat ini pun baru sebatas mengucapkan terima kasih lewat tulisan blog sebagai pengingat diri sendiri. Meski demikian, saya harap suatu hari kelak bisa membalas kebaikan-kebaikan mereka entah dengan cara apa. Andaikan keadaan tak mengizinkan lantaran saya keburu koit sebelum sempat membalas kemurahan hati mereka, saya percaya Tuhan juga pasti membalas perbuatan baik mereka dengan cara-cara ajaibnya. 
 
Hontou ni arigatou.

8 Comments

  1. Baca cerita ini jadi merasa hangat, karena terlihat banyak kebaikan dan suka cita dalam hal berbagi di sana 😍 hehehe. Dan saya yakin, mas Yoga deserved it terlepas penilaian mas Yoga pada diri sendiri yang menganggap mas Yoga orang menyebalkan 😆

    Hohohohoho. Padahal in my opinion, mas Yoga nggak begitu orangnya, so far, mas Yoga baik sekali setiap berkomentar. Wk. Atau masa menyebalkan mas Yoga sudah lewat dan berganti jadi menyenangkan (?) 😜 Semoga tahun 2021 ini, semakin banyak hal-hal baik yang bisa memeluk mas Yoga yaaaa ~ terima kasih sudah berbagi cerita 🥳🎉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin sudah berlalu masa menjengkelkannya, meski nanti bisa aja khilaf lagi. Haha.

      Sama-sama. Terima kasih juga telah menjadi bloger yang gemar berbagi dan mendukung sesamanya, Mbak Eno.

      Delete
  2. Duh itu yg postcard dan pembatas buku cakep bener elah..

    Dulu saya dan mantan pacar juga aering bertukar surat tulisan tangan, crafting, dll yabg pokoknya sangat analog sekali.. Alhamdulillah si mantan pacar dah jadi istri sekarang :))

    Btw, terkait hujan dan banjir di awal tahun ini, di Pekanbaru masuk musim kemarau dimana asap kebakaran hutan sudah mulai ada, hik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bagus banget dan punya nilai khusus karena dilukis sendiri. :D

      Alhamdulillah ya, Mas Andie. Sekarang bertukar ceritanya bisa langsung, ya? Atau terkadang saling bertukar diary? Haha.

      Wah, semoga permasalahan yang berulang tiap tahun ini bisa ada penanganan yang betul-betul serius. Sabar-sabar ya, Mas.

      Delete
  3. Rani bener2 penyuka coklat dulunya yaaaa :D. Stok coklat yg dikirimin ke kamu itu fav suamiku semua. Aku yg biasa aja Ama coklatpun, doyan kalo Snack dari Nutella itu :D. Walopun ttp dikit2 makannya, secara metabolisme tubuh ga secepet pas masih 20an hahahahaha. Skr mah, makan dikit, udh agak geser ke kanan itu timbangan.usia memang ga bisa boong :D.

    Kamu Gemini kan ya kalo ga salah Yog? Mungkin udh sifat Gemini kalo udh Nemu topik yg bikin senewen, itu jari lincah bener bikin pembelaan tapi rada judes isinya hahahham aku juga seriiiiiing. Kalo udh di grub, trus membernya pada nyebelin, nanya something yg seharusnya udh jelas2 ditulis misalnya, ato panik ga jelas ttg sesuatu, duuuh itu pgn aku semprot memang. Tp kalo skr, aku nahan diri banget, Krn udh ga kepenegn cari musuh hahahaha. Daripada ribut di grup ato platform lain yaaa kan :D.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enak banget soalnya camilan Nutella itu, Mbak. Dalam dua hari bisa langsung habis. Saya tetap gini-gini aja alhamdulillah sekalipun konsumsi cokelat. Mengusahakan air putih yang banyak, dan enggak sering-sering juga. Semoga sih kadar gulanya baik-baik aja dan bisa tetap sehat.

      Saya semakin tua juga mulai menahan diri. Malas cari perkara lagi.

      Delete
  4. Kalau peribahasa jaman smp yang dijelaskan diatas tadi saya setuju yoga, cuma ada tambahan di akhir kalimatnya. "...setelah mengucapkan terima kasih, balik balas memberi kepada yang si pemberi" itu ajaran ibu ku, jadi rasanya semacam ber-hutang kepada si pemberi pertama.

    Wah btw kebanyakan orang dapet parsel natal tahun baru tuh dari lembaga gitu misalnya, atau tuker-tukeran kado akhir tahun sama teman, tapi kamu bener-bener dapet hadiah spesial dari si Rani yaa. Entah siapa itu rani hehe. Boleh lah sekali-kali rani asli nya dimunculin ke post blog, kan kita tuh rakyat gossip girl jadi kepooow :p

    Kali ini gue komen di akun yoga akbar yang asli, gak salah sebut kayak di akun yoga esse haduuuhh bisa-bisanya saya tuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu bukan peribahasa, itu ucapan biasa sebagaimana ibu menasihati. Ya, itu juga diajarkan, selama balas memberinya ketika dalam keadaan tak terpaksa.

      Saya aja masih belum tahu sosok Rani kayak gimana. Dia tidak menunjukkan potret diri. Tapi saya tak pernah mempermasalahkan. Kita bisa tetap berbuat baik sekalipun enggak tahu wujudnya.

      Ya ampun, masih aja dibahas di sini. Semoga lain kali enggak ketuker lagi, Na. :p

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.