Argumentasi Kesedihan, Eksposisi Kebahagiaan

Persetan dengan Bahagia yang selalu menjadi tujuan hidup umat manusia. Kesedihan juga butuh tempat bernaung.

Kau selalu menggali kembali gagasan itu setiap kali dirimu mencoba tersenyum, padahal sebenarnya kau sama sekali tidak merasakan gembira. Mungkin kau pendusta kelas berat. Mungkin pula kau hanya gemar menyembunyikan sisi suram itu. Tapi kau cuma ingin terlihat normal sebagaimana kawan-kawan sepaguyubanmu yang mencintai lelucon atau lawak atau komedi atau kelakar atau guyon atau gurau. Dengan kata lain, kau ingin mereka menerimamu. 

Semenjak seseorang menanamkan virus: “Kesedihan juga bisa menimbulkan orgasme”, kau pun mulai menjajalnya. Lantas muncul rasa suka, ingin mengulanginya, bahkan ketagihan. Sampai-sampai kau justru melupakan tawamu. Kau tidak tahu lebih candu mana antara rokok dan nelangsa, tapi kau yakin seribu persen bahwa keduanya bisa sama-sama membunuhmu.

Aku ingin mati muda, katamu suatu hari kala sedang lelah-lelahnya menyusuri sebuah jalan–yang belakangan diketahui ternyata tidak akan pernah membawamu ke mana-mana. Hanya berputar-putar di situ saja. Namun, adakah alasan untuk berhenti? Bergerak jauh lebih baik daripada diam. Kau membatin, betapa tololnya aku masih sanggup menipu diri. Mau bagaimana lagi, tak ada cara lain selain berupaya melupakan garis finis dengan menangis.

Selama di perjalanan itu, kau mengisi waktu untuk menyenandungkan elegi. Kau merekam suaramu, kau edit sebaik mungkin agar bunyinya tidak sumbang, kau pun mengunggahnya ke media massa.

“Jika kau terus-menerus membacaku, menceritakan tentangku, dan mempertontonkanku, apakah aku masih memiliki makna?” tanya Kesedihan kepadamu di kolom komentar.

Kau tak tahu harus menjawab apa. Yang kau pahami, berkat menabung Kesedihan dalam setahun, kau jadi lebih bersyukur ketika Bahagia mampir ke lintasanmu. Apakah ini berarti Sedih masih mempunyai nilai guna? Pertanyaan itu hinggap begitu saja di benakmu.

Kau akhirnya membuat konklusi: Sewaktu orang-orang berlomba-lomba mengejar Kebahagiaan, aku hanya berdiam diri—karena letih, lalu tersungkur, dan nyaris semaput. Entah mengapa Bahagia sekonyong-konyong datang. Aku pun tak perlu bersusah payah mencarinya. Ia akan langsung mengulurkan tangannya kepadaku, menyuguhkanku sebotol minuman, serta berkata, “Tenang saja. Aku akan selalu menghampirimu di waktu yang tepat.”

--

Maret 2019

Gambar dicomot dari Pixabay.

PS: Sang pemilik blog sedang malas bikin tulisan baru, jadi dia sementara ini hanya bisa menampilkan draf-draf lawas. Lebih tepatnya teks yang barusan merupakan nukilan dari salah satu cerita di buku Fragmen Penghancur Diri Sendiri. Dia sengaja menampilkannya di sini supaya blog ini tetap terisi sekalian bermaksud promosi. Barangkali saja tiba-tiba ada yang berminat membaca produk semenjana itu. Tapi ya, dia sudah tak berharap banyak. Dia cuma berupaya memasarkan dagangannya sebagaimana penjual pada umumnya daripada tidak melakukan apa-apa.

12 Comments

  1. Analogi ini mirip dengan ekspektasi. Jika berekspektasi besar, saat gagal kecewanya juga akan besar. Tapi masalah perasaan, saya kira kontrolnya adalah kita sendiri. Mau berlama-lama, atau mencukupkan dan kembali menjalani kehidupan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bebas kok mau ditasfirkan gimana, Hul. Haha.

      Iya, selain apa yang sudah ditentukan sama Tuhan bagaimana nasibmu, tetap diri sendiri yang memang punya kontrol atas segala yang terjadi dalam hidup itu.

      Delete
  2. Gaya bahasa penulis sejati emang keren (sastra tkt tinggi). Beda ma kita nulis sekedar nulis. Kosa kotanya itu2 aja :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sastra tingkat tinggi tuh yang gimana, Bang? Bahasa dipakai sesuai kebutuhan aja, kok. Ada tulisan yang pakai kosa kata itu-itu aja juga bagus. Tergantung cara penulis menyampaikannya.

      Delete
  3. melupakan garis finis dengan menangis
    saking nyeseknya kadang engga nangis tapi tawa garing haha

    mulai menurunkan ekspektasi
    ya wislah
    aku liat orang berlomba saja
    sambil makan kuaci heuheu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sampai sebegitunya, ya? :(

      Makan cilok aja lebih mantap. Kuaci capek ngupasnya.

      Delete
  4. Lagi malas aja tulisannya tetap bagus ya, haha. Nggak mau komen yang gimana-gimana, cuman mau bilang, sukaa banget bagian yang mati muda sampai paragraf setelahnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seumpama memang bagus, kan itu dibuatnya ketika rajin.

      Delete
  5. Paragraf ketiga, kesedihan juga menimbulkan orgasme, aku agak serem bacanya. Apalagi ditulis menimbulkan candu. Serem kalo orangnya sampe apatis bener2, kehilangan semangat samasekali, dan jadi jenuh mau berusaha utk optimis :(. Semoga ga sampe seperti itu

    Tapi kalo tujuan tulisannya utk tema penghancur diri sendiri, ini efek destroyingnya dapet sih yog..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jika enggak dibaca sampai habis pasti seram. Tapi di bagian penutup ada konklusi, kan. Haha.

      Saat menuliskannya memang lagi gemar dengan tema sedih.

      Delete
  6. Yog, pas baca ini mengingatkanku sama review film inside out di youtebe. Yang bikin reviewnya menarik adalah reviewernya terdiri dari seorang terapis berlisensi dan seorang profesional filmmaker. Nama channelnya cinema therapy.

    Di awal paragraf cerpenmu, penyampaiannya mirip sama penjelasan si terapis, kita manusia cenderung menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup dan mengeliminasi kesedihan karena menganggapnya sebagai suatu keadaan negatif yang akan merugikan diri. Padahal nggak gitu, semua harus seimbang, kita tetap butuh kesedihan, amarah, dan kecewa, supaya tahu apa itu bahagia.

    Selebihnya, cerita kamu selalu oke punya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, di film Inside Out menjelaskan tentang semua emosi manusia itu penting. Masa iya cuma bahagia dan ketawa-ketawa doang? Justru perpaduan rasa itu yang bikin manusia jadi memahami bentuk emosi lain.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.