Tempat yang Layak

Bagi sebagian orang, derasnya hujan pada malam hari bisa bikin tidur mereka lebih nyenyak. Sewaktu kondisi begitu, tak jarang saya menemukan ujaran-ujaran di Facebook atau Twitter sejenis ini: “Cuacanya asyik buat tidur dan kelonan.” Saya akui munculnya hawa dingin alami tanpa perlu menyalakan kipas angin atau AC memang bikin tidur terasa lebih nikmat. Beberapa tahun silam saya juga sempat menjadi bagian dari mereka yang bisa tertidur pulas itu—hanya saja baru bisa kelonan sama guling.

Malangnya, dua bulan belakangan ini saya enggak bisa lagi merasakan kenikmatan tersebut. Selain karena atap rumah yang bocor percis di atas kasur (sebetulnya sudah pernah ditambal, tapi belum sampai dua bulan langsung bocor lagi), saya kini juga selalu waswas akan banjir yang masuk ke rumah. Saya tak mau kejadian kasur lepek akibat kebanjiran pada awal tahun itu terulang kembali. Jika momen keparat itu terjadi sekitar habis Subuh, enam hari lalu saya bahkan harus terbangun pada pukul dua sebab banjir datang lebih awal. Sepertinya waktu banjir memang sulit diprediksi. 

Bisa dibilang saya cukup beruntung pada hari itu. Adik saya yang kebetulan lagi begadang langsung membangunkan semua orang di rumah. Jadi, saya pun masih keburu buat memindahkan kasur yang tadinya tergeletak di lantai ke atas bangku plastik yang berjejer. Keberuntungan semacam itu tentu tak bisa datang berkali-kali. Ada saatnya salah satu dari keluarga kami (meski pilihannya paling-paling cuma saya dan Adik) mesti bersiaga kala kondisi hujan keterlaluan lebat. Tanpa perlu menunggu kapan datangnya hari itu, keesokan harinya saya langsung terpaksa begadang karena hujan kembali turun pada waktu dini hari.

Maka, setiap 10-15 menit sekali saya perlu mengintip dari jendela kamar untuk memperhatikan kondisi air got yang mungkin telah meluap serta membanjiri jalanan. Satu jam berselang sejak bergantinya hari, mata saya terasa berat banget seakan-akan ada tangan setan yang berusaha menurunkan kelopak mata saya. Sialan! Saya sungguh pengin tidur, tapi kenapa tumben-tumbennya adik saya juga sudah pulas pada jam segini? Mau tak mau saya kudu menjaga kesadaran. 

Pukul setengah dua hujan mulai reda, lalu saya akhirnya bisa memejamkan mata. Konyolnya, tak sampai lima menit hujan mendadak deras lagi. Saya spontan melontarkan makian dengan berteriak. Sepuluh menit berikutnya hujan berubah menjadi gerimis, tapi tak lama setelah itu polanya berulang kayak semula. Saya bagaikan sedang dipermainkan oleh hujan. Baiklah, sepertinya saya memang tak punya pilihan lain selain melek hingga pagi.

Pada saat saya bersiaga dan ingin mengusir kecemasan akan air butek yang memasuki rumah, entah mengapa saya mencoba mengalihkan pikiran itu dengan membuka Facebook. Terdapat puluhan notifikasi yang saya lihat sekilas berupa informasi kawan yang sedang berulang tahun, undangan memainkan sebuah gim, dan penjelasan tentang teman-teman yang selamat dari banjir kemarin. Di sebelah ikon notifikasi, ada pula satu pesan masuk yang setelah dibuka langsung menumbuhkan kebencian terhadap diri sendiri lantaran menemukan dosa masa silam. Dosa itu kemudian membuat saya menelusuri jejak-jejak dari masa yang sangat lampau. Dari banyaknya keburukan pada masa silam yang saya jelajahi selama dua jam di Facebook, saya pun merangkum tiga kisah yang nantinya saya ceritakan satu per satu di blog ini. Kamu boleh menikmatinya sebagai cerita fiksi, atau memercayainya bahwa kisah itu benar-benar terjadi.




Tempat yang Layak 

Pesan yang saya buka sebetulnya sudah telanjur dihapus oleh Siska—sang pengirim merangkap teman sekelas saat SMK. Namun, jejak yang tertinggal itu justru mengantarkan saya ke percakapan-percakapan jahanam pada 9-10 tahun silam. Selama membacanya, saya pikir diri saya merupakan seorang pemberang. Bukti paling dekat bisa saya temukan ketika membaca ulang twit ataupun tulisan tentang banjir. Lalu, kebencian saya terhadap seorang bloger munafik (yang berniat mencari pengikut banyak demi memenuhi syarat menjadi buzzer, tapi bisa-bisanya bersembunyi di balik frasa ‘mencari teman’) pun masih terekam jelas di blog ini. 

Saat mencoba membaca ulang tulisan-tulisan tersebut, mungkin kemarahan saya terasa lebih elegan dan dapat dimaklumi karena sudah berusaha menyusun kalimat sebaik-baiknya. Tapi, bagaimana jika saya membaca ulang tulisan diri saya sepuluh tahun yang lalu? Yang ada hanyalah rasa malu sekaligus jijik. Mengapa jari-jari saya bisa-bisanya dengan enteng menghina teman sekelas tolol dan enggak punya otak gara-gara dia keliru mengetik “yes, we can” menjadi “yes weekend”, padahal itu cuma persoalan sepele?

Sejauh yang mampu saya ingat, nilai mata pelajaran Bahasa Inggris saya pada hari itu bisa dibilang sangat memuaskan. Saya juga masih terkenang akan kejadian langka sehabis Ujian Tengah Semester, ketika guru kami memberi tahu bahwa nilai ulangan kami sekelas nyaris remedial semua, kecuali dua siswa. Guru itu pun sampai memberikan dua murid tersebut uang 5.000 rupiah sebagai apresiasi karena merasa salut. Saya termasuk salah satu dari dua orang itu. 

Apakah hal semacam itu langsung bisa membuktikan kalau diri saya ini cerdas, apalagi bisa semena-mena mengejek para murid yang remedial? Pertanyaan tolol barusan tentu tak perlu saya jawab. Pelajaran Bahasa Inggris di sekolah dulu buktinya tak bisa menjadikan diri saya yang sekarang ini mahir dalam menggunakannya. Kemampuan saya masih teramat pasif, bahkan bisa dibilang amburadul.

Terlepas dari urusan bahasa Inggris, sebetulnya kala itu saya tidak menghina mereka semua. Saya hanya mencaci satu orang teman yang bernama Wawan karena kami memiliki masalah pribadi. Saya sudah lupa mengenai masalahnya, tapi yang jelas hari itu saya mencari celah buat melawan dia lewat olok-olok atas kekeliruannya mengetik kalimat. Keributan di pesan grup Facebook yang sempat menghebohkan kelas kami itu pun membuat saya merenung, apakah mayoritas remaja tak mampu mengontrol jari-jarinya dalam bertutur via teks?

“Yang enggak punya otak tuh sebenarnya lu, Yog,” ujar Ajeng yang mungkin mencoba membela kekasihnya itu. “Kalimat-kalimat lu tuh kayak orang yang enggak pernah sekolah.”

Saya masih menanggapi kalimat-kalimatnya beberapa kali dan balas menghina, hingga akhirnya saya sadar kenapa malah berdebat sama perempuan. “Mana nih si Wawan? Bukannya nongol, malah minta dibela sama ceweknya,” tulis saya. Wawan tidak muncul di percakapan itu lagi setelah dirinya salah mengetik. Apakah saya berhasil mempermalukan Wawan di hadapan teman-teman sekelas atau dia hanya berusaha menahan diri supaya tidak bertengkar lewat teks? Saya masih tidak tahu sampai sekarang (sebetulnya saya juga sudah lupa kalau saja enggak membaca pesan itu lagi). Yang saya tahu, pada hari itu saya justru mempermalukan diri sendiri.

Sekilas permasalahan barusan tidaklah berarti apa-apa bagi diri saya sekarang. Itu cuma ketololan remaja berusia 15 tahun yang emosinya begitu meluap-luap. Sayangnya, kenyataan bahwa Ajeng telah meninggal dunia enam tahunan silam bikin dada seorang remaja 15 tahun itu—yang kini telah bertumbuh menjadi lelaki berumur seperempat abad—sesak bukan main. Ajeng harus mati muda akibat tertabrak metromini yang melaju secara ugal-ugalan. Setiap kali mengingat tragedi itu, kesedihan dan kemarahan otomatis bekerja dalam diri saya. Sumpah, saya masih enggak rela teman sekelas saya dibunuh oleh supir metromini biadab, sampai-sampai tulang rusuknya menembus keluar.

Mengingat saya sendiri juga pernah jahat kepada Ajeng, kayaknya saya juga enggak pantas buat mengutuk supir itu. Mungkin kesalahan itu sudah dimaafkan dari jauh-jauh hari oleh Ajeng. Namun, sehabis membaca obrolan-obrolan laknat yang akhirnya saya hapus karena tak kuat menahan malu dan tangisan, mengapa perasaan bersalah dalam diri ini juga tak kunjung lenyap? 

Apakah karena dia telah pergi dari dunia ini, sehingga saya tidak bisa meminta maaf ulang kepadanya? Lagian, kenapa hal sepele akan kesalahan dalam bahasa Inggris dulu itu bikin saya lepas kendali? Daftar pertanyaan ini bisa terus bertambah jika saya tidak menghentikannya. Apa pun yang pernah terjadi kemarin, saya jelas tak bisa memutar waktu buat memperbaikinya. Saya hanya bisa berdamai dengan diri sendiri dan berusaha memaafkan kesalahan yang pernah saya perbuat. 

Sebagaimana orang-orang beriman melantunkan doa untuk orang meninggal agar kelak mereka mendapatkan tempat yang layak, saya pun ikut berharap supaya Ajeng bisa memperoleh sebuah tempat yang bersih dan terang—selayaknya judul cerpen Hemingway. Selepas membaca surah Alfatihah sembari mendoakannya, saya diam-diam juga berharap Ajeng telah memaafkan dosa saya saat remaja.

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/grave-sky-cross-old-stone-heaven-674443/

2 Comments

  1. Kenapa jadi kikuk gini suasananya habis baca ya.

    Yog, kayaknya memang karena semasa remaja kita masih labil, masih susah mengontrol emosi makanya lebih gampang kepancing sama banyak hal. Dan sering ada perasaan seperti lu lebih baik dari temen lu dan merasa punya hak untuk merendahkan dia. Soalnya.. gue kayaknya dulu juga pernah (apa sering ya?) kayak gitu. Sekarang sih berusaha enggak kepancing lagi. Semoga aja bisa. Wkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gue juga enggak tahu kenapa menulis hal kayak begini, Man. Yang jelas, perasaan aneh sehabis membaca kalimat jahat dari diri sendiri itu betul-betul bikin campur aduk.

      Iya, tapi tetap aja kok kayak enggak percaya pernah sebangsat itu kata-katanya.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.