Elegi

Hawadis sempat bertanya kepada saya mengenai cara menuliskan kesedihan dan masalah hidup dengan lancar sewaktu kami mengobrol di WhatsApp pada suatu siang. “Kok aku malah kebalikannya, ya?” ujarnya. “Ketika lagi sedih, aku enggak pernah bisa menyusun kata-katanya.” Saya kira Haw sedikit keliru menganggap metode menulis saya seperti itu. Mungkin Haw teringat dengan pernyataan saya dan Dian Hendrianto kala kami bertiga berjumpa, bahwa kami lebih mudah menumpahkan kalimat saat merasa sedih ketimbang bahagia. Toh, itu sudah sewajarnya, bahkan saya pernah membaca tentang penelitiannya, kalau hal-hal negatif memang lebih mudah diingat dan diutarakan. 



Meski demikian, setahu saya setiap penulis memiliki formulanya masing-masing. Jadilah saya menjawab sejujur-jujurnya tentang hal itu tanpa perlu menyembunyikan rahasia sedikit pun: “Saat kesedihan dan masalahnya datang menimpa, itu bisa lancar karena sebetulnya cuma tulisan buat menghilangkan beban. Saya baru mampu menulis ulang ataupun mengedit secara maksimal ketika rasa sedihnya telah berlalu. Saya enggak pernah bisa langsung menulis, lalu diterbitkan saat itu juga. Hasilnya pasti jelek. Saya harus membuat diri menjadi lebih baik dan rileks dulu, makanya saya senang mengendapkan tulisan dan punya banyak draf.”

Saya sudah lupa bagaimana ujung percakapan kami pada hari itu. Yang saya ingat, Senin kemarin saya mampir ke indekos Haw buat mengembalikan flashdisk dan sempat bercerita soal banjir. 

“Kamu belum jadi juga nulis soal banjir itu, Yog?” tanyanya. 

“Masih bentuk draf.”

Kalimat semacam itu mirip jawaban seorang pendusta sekaligus pemalas yang mengaku-ngaku dirinya penulis. Mungkin juga termasuk jawaban penyelamat bagi mereka yang belum memulai apa pun. Tapi terus terang saja, saya sempat membuat catatan tentang kronologi banjir pada awal Januari. 

“Kenapa? Masih nunggu rasa sedih dan bencinya hilang?” kata Haw. “Gimana mau hilang coba, kalau kemarin lusa habis kena banjir lagi.” 

Saya tertawa dan menanggapi lagi malas buka blog. Itu jelas jawaban bohong. Saya telah berusaha untuk mengisi blog ini lagi, tapi tak ada satu pun draf yang bikin saya sreg dan memenuhi standar. Saya juga tidak berminat melanjutkan tulisan banjir karena kebanyakan isinya berupa sumpah serapah dan tak layak baca.

Terlepas dari urusan itu, jika direnungkan soal metode menulis pada awal paragraf, berarti sudah tiga minggu berlalu sejak kejadian banjir yang pertama. Bukankah itu waktu yang cukup untuk membuat emosi saya lebih stabil? Lalu, mengapa saya masih tetap memendamnya, sampai-sampai terjadi banjir yang kedua kalinya? Apakah saya memang terbukti seorang pemalas? Mungkin saja betul. Saya selama ini tak pernah puas akan hasilnya karena belum mencoba menyunting dengan lebih tekun. Hasilnya pasti bakal berbeda andaikan saya mau lebih bersabar memandangi teks-teks itu. 

Boleh jadi saya juga sedang jenuh sama tulisan sendiri dan mesti menjauhi dunia kepenulisan. Saya tiba-tiba teringat dengan anime Shokugeki no Souma musim ketiga episode 21, tentang kisah Joichiro Saiba—ayah Yukihira Souma—yang melarikan diri dari kompetisi memasak sebab tertelan rasa depresi terhadap resep hidangannya sendiri, padahal sebelumnya masakan-masakan dia selalu memenangkan turnamen dan memperoleh julukan koki jenius. Mengetahui kondisi tersebut, direktur sekolah memasak lantas memberikan nasihat kepadanya: Bakat yang terlalu besar bisa menjadi bom waktu untuk dirinya sendiri. Maka, dalam sementara waktu Joichiro harus berhenti memasak dan pergi meninggalkan Jepang demi kebaikan jiwanya. 

Biarpun anime itu tak ada hubungannya dengan permasalahan saya, apalagi saya tidak memiliki bakat hebat dalam bidang yang saya geluti alias kisahnya sama sekali enggak relevan, tapi saya sepertinya mengerti bagaimana perasaan kalut Joichiro. Dibandingkan melawan orang lain, mengalahkan diri sendiri tentu jauh lebih sulit. Saya pun nyaris selalu kalah setiap kali menghadapinya. Entah sudah berapa kali saya menghapus ataupun mengembalikan tulisan (khususnya yang lawas) ke draf lantaran krisis kepercayaan diri. Walaupun itu menandakan adanya perkembangan dalam diri seiring bergesernya waktu, saya tetap minder sama kemampuan menulis sebelum-sebelumnya yang masih jauh dari kata “kompeten”.



Bisa jadi saya pun malu menerbitkan tulisan blog yang kerap berisi keluhan maupun kesedihan. Pembaca kelak akan mentertawakannya atau spontan berkata, “Ah, lemah. Baru begitu doang aja ngeluh. Dasar payah!” Mungkin gejala ini juga mirip dengan keresahan Adi yang berpikir kalau curhat di blog bikin dirinya semakin terpuruk sebab akan dianggap alay.

Sebenarnya, peraturan mana sih yang melarang orang agar tidak mengisahkan kenestapaan hidup? Apakah ajakan-ajakan untuk menebarkan dan berbuat hal-hal positif itu seakan-akan bikin kita wajib mengubur sisi negatifnya? Sebagaimana ujaran-ujaran para pesohor untuk menyampaikan dan menunjukkan yang bagus-bagus saja di dunia maya, lalu jeleknya cukup dipendam sendiri? Jangan sampai khalayak melihat bagian burukmu. Cukup orang-orang terdekat saja yang tahu. 

Saya akui itu merupakan nasihat yang baik. Namun, bukankah setiap orang juga punya filter tersendiri akan privasinya? Mereka sudah tahu batasan-batasannya? Mana yang bisa asyik diumbar, mana yang perlu disembunyikan? Misalnya, sebagian orang menganggap menceritakan hubungan dengan kekasihnya yang sampai pelukan dan ciuman ke dunia maya adalah tabu. Sebagian yang lain menganggapnya biasa saja (menolak lupa video mesra Awkarin maupun Anya Geraldine bersama pacarnya masing-masing). Terus merujuk utas-utas di Twitter, cukup banyak netizen yang dengan entengnya memamerkan kisah erotis mereka.

Tugas saya bukanlah menilai, tetapi mereka memang punya kehendak bebas untuk membagikan mana yang menurutnya penting demi bisa mengekspresikan diri di dunia virtual. Begitu juga dengan kita yang dapat memilih berhenti melihat seandainya merasa muak dan jijik. Toh, setiap platform jelas-jelas ada kebijakannya sendiri. Kamu enggak suka akan suatu hal di dunia maya? Ada pilihan buat cuek, menyindir, berkhotbah, membisukan, memblokir, atau laporkan sebagai spam. Jangan diambil pusing.

Balik lagi soal mengisahkan kesedihan, sekiranya saya suatu hari kembali cemas akan penilaian masyarakat, saya rasa tulisan ini bisa menjadi pengingat buat diri saya. Jika saya malu buat mengeluh atau merasa bersusah hati karena masih banyak orang lain yang jauh lebih menderita, terus untuk apa saya membanding-bandingkan penderitaan manusia yang ketahanan dirinya berbeda-beda? Kenapa saya repot-repot memikirkan respons jahat orang lain yang sama sekali tidak memahami keadaan diri saya, lebih-lebih itu baru berupa hasil pemikiran buruk isi kepala sendiri yang belum tentu terjadi? Lagi pula, hal semacam itu sudah menjadi konsekuensi, bukan?

Saya menuturkan kesedihan dan mengemas ceritanya dengan payah sekaligus norak, lalu ada kemungkinan kalau pembaca nantinya akan tertawa menghina atau mengutuk tulisan itu saat membacanya. Saya pernah mengejek tulisan orang lain seperti sampah, maka suatu hari saya juga bakal menerimanya dari orang yang merasa lebih hebat.

Untuk lebih meyakinkan diri bahwa menceritakan kesedihan itu sah-sah saja selama bisa menggarapnya dengan apik, sepertinya saya perlu membaca ulang tulisan-tulisan Hemingway, Kawabata, Haruki Murakami, Orwell—tulisan bernuansa muram mereka terasa keren buat saya dan bikin merenung. Atau mungkin saya juga harus membaca ulang Etgar Keret, Vonnegut, Bolano, Alejandro Zambra, supaya bisa mentertawakan kesedihan hidup sekalian meledek diri sendiri.

Daripada saya menengok karya penulis-penulis besar barusan sehingga justru bertambah kerdil, kayaknya saya hanya butuh mengingat momen pada dua tahunan lalu, ketika Rani (salah seorang pembaca blog akbaryoga) menanyakan kenapa sudah seminggu lebih blog saya tidak ada tulisan baru. Biasanya kan rutin seminggu sekali. Saya menjawab sedang vakum dalam beberapa saat. Merasa tidak puas dengan jawaban itu, dia bertanya lagi, “Tapi ke depannya kamu bakal balik nulis lagi, kan?”

“Selama aku masih bisa bersedih,” ujar saya. “Aku bakal terus menulis untuk bersenang-senang.”

--

Gambar dicomot dari: https://pixabay.com/photos/little-boy-hiding-sad-child-fear-1635065/

19 Comments

  1. Saya rada kaget juga melihat kalau draft di blogmu sampe sebegitu banyak. Itu kalau diterbitkan ulang, bisa jadi artikel untuk 200 mingguan. Mantap.

    Terus terang, saya pun kadang merasa tulisan saya itu jelek dan nggak pantes dipublikasikan ke blog. Saya pun memfilternya. Tapi saking banyaknya yang dibuang, saya jadi menyesal. Blog memang warung yang siapa aja bisa datang dan mengintip walau nggak beli, kalau nggak malu. Tapi kalau kita nggak menyajikan banyak varian dagangan, kualitas baik-kualitas buruk, kita nggak akan melihat mana kualitas terbaik kita.

    Saya sepakat kalau keadaan kamu mungkin sedang jenuh saja. Tapi kalau mau diatasi, justru jenuh bisa jadi konten. Tulis saja kata "Jenuh" sebanyak-banyaknya hari ini. besoknya kamu tulis, "Pengen Jalan-Jalan." Besoknya lagi tulis "kangen". Dan seterusnya. Saya tidak bisa menjamin gairah menulis itu bakal sembuh seperti sedia kala dengan cepat, tapi saya yakin kamu bakal nulis lebih dari satu kata pada hari keberapanya.

    Maaf, maaf, ini saya juga bingung sedang nulis komentar apaan, dan mau mengomentari bagian yang mana.

    Pokoknya, lanjutkan Yog. Atasi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa buat tiga tahunan, ya? Hahaha.

      Selain diri sendiri yang menilai, dengan mencipta berbagai varian pun jadi paham mana tulisan yang banyak disukai pembaca, meskipun diri sendiri enggak suka.

      Soal lanjutkan, itu udah terjelaskan sendiri di akhir tulisan.

      Delete
  2. Gila, Yoga drafnya banyak banget. Jujur aja gue malahan tipe orang yang agak susah mengendapkan tulisan berlama-lama. Kebanyakan tulisan gue spontan aja. Kadang nulis sehari sebelumnya buat posting besoknya. Atau nulis pagi buat posting malamnya. Makanya tulisan gue jelek semua hahahaha.

    Soal menulis kesedihan, gue lebih sering nulis hal-hal sedih, galau, dna menyakitkan lainnya sebenernya lebih ke buang beban pikiran kayak yang lo bilang. At least dengan gue menulis keresahan itu, gue merasa bebas alias udah ga ada lagi yang perlu gue pikirin. Soalnya udah gue "buang" ke tulisan. Makanya kalo belum ketulis tuh kayak masih nyisa. Ini based on experience sih.

    Ada beberapa tulisan yang memang gue tulis karena alasan itu. Dan sampai sekarang nggak gue bahas lagi dimanapun ya karena masanya udah selesai. Rasa sakit dan sedihnya udah selesai.

    Tapi omong-omong soal mengemas kesedihan dalam tulisan yang apik kayaknya gue emang perlu belajar banyak lagi sih. Biar tulisannya gak cuma jadi tulisan sampah. Wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak draf kalau enggak layak ditampilkan juga buat apa? Yang bisa didaur ulang palingan cuma seperempatnya.

      Menulis hari ini, lalu kelar besok atau malah malamnya juga belum tentu jelek, sih. Tergantung kemampuannya. Orang-orang kompeten konon kerjanya cepat. Metode lu mungkin yang enggak bisa diendapkan lama begitu.

      Gue suka memendamnya karena dengan menahan diri bisa lebih teliti, memunculkan gagasan baru, dsb. Pendek kata, gue bisa dibilang sok perfeksionis atau pemalas yang gemar menunda-nunda.

      Sebelum beban itu terbuang lewat menulis ataupun cara lain, memang kayak memikul neraka di pundak, atau menyungginya, atau menaruhnya di jantung hingga hati terasa terbakar. Tapi atas nama rasa malu, kadang-kadang bebannya cukup dibuang dengan menulis jurnal--entah tulis tangan atau di aplikasi Notes. Bisa juga ngeblog di platform lain yang dibuat privasi.

      Delete
    2. Dan ngeblog di platform lain jadi salah satu yang gue pilih ketika platform publik gabisa jadi tempat gue membuang keresahan.

      Delete
  3. Fans akbaryoga.com garis keraaad itu, si Rani. Mantaph!

    Kalau aku, misal nulis draft yang isinya cuma curhatan-curhatan receh, kadang sehari memang bisa selesai. Tapi ya, mungkin sehari setelahnya baru tak posting setelah tak baca ulang dan ada revisi sana-sini.

    Tapi misal nulis yang agak berbobot dan butuh sedikit data yang valid macam tulisan buat lomba, itu biasanya seminggu juga kurang xD

    Itu 200 draft, udah bentuk paragraf semua, Yog? Apa baru garis besar tulisan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang bikin lama emang proses risetnya. Menuliskannya mah cepat, terus mulai lama lagi sewaktu menyunting.

      Dari 200 itu, sebagian besar justru tulisan 2012-2016 yang dikembalikan ke draf karena menurut saya sudah enggak layak baca. Ada kali 50 judul yang mestinya pengin saya hapus, tapi trafiknya lumayan jadi cukup kembalikan ke draf. Sisanya tulisan yang rada vulgar dan saya mempertimbangkan buat dipendam aja.

      Kalau draf yang kamu maksud tulisan belum pernah terpublikasi, palingan cuma belasan. Itu udah bentuk paragraf, tapi saya masih ragu buat dibaca orang lain. Yang baru poin-poin malah enggak sampai sepuluh.

      Delete
  4. Gue sejak suka bikin cerpen, jadi lupa gimana caranya curhat di blog. Faklah. Kemarin nyoba nulis curhat lagi rasanya jadi aneh. Terus baca tulisan-tulisan lama yang isinya curhatan, asyu ternyata emang aneh. Hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. *Saya masih nungguin Firman curhat.

      Delete
    2. Anehnya karena sadar bahwa diri telah berkembang? Enggak pantas lagi mencurahkan hal semacam itu?

      Delete
    3. Anehnya bukan aneh karena merasa diri berkembang, Yog. Gimana ya, bingung juga ngejelasinnya. Keluarin kata-kata mutiara aja kali ya: INI BUKAN JALAN GUE...

      Enggak akan, Yan. Tahun ini beneran mau nulis cerpen full. Jadi gue bakal bacain tulisan curhat lu sama temen-temen aja. Gue curhatnya nanti pas ketemu kalian lagi aja. Gimana, win-win solution banget kan? Hahahaha

      Delete
  5. Ya ampun yog, gw ngikutin yang di twittermu tentang banjir yang pertama kemaren, udahlah rasanya nyesek, e sekarang ada banjir kedua huhu, ga kebayang bener rasa capeknya dihantui ketidakpastian banjir yang masih terus datangnsewaktu waktu, ckxkckx

    Gw tau ni rasanya pengen ngeluarin uneg2 terkait banjir kek gimana tapi kadang ya begitulah ya, ntar dikira gimana

    Tapi seris jakarta sekarang klo musim ujan kenapa gini lagi ya, padahal dulu gw tinggal di sana 3 tahun ga separah sekarang banjirnya

    Btw gw tau tuh komik masak masak ini, komiknya kadang ada bayangan2 mesumnya tuh hahahah, yang klo ngebayangin makanan tetiba aja bayangannya jadi gambar manga yang kagak pake baju lah wkwkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, seumur-umur baru kali ini merasakan banjir terparah. Sebelum banjir 2019-2020, kalau enggak salah tuh pas 2014 kayaknya banjir yang sampai masuk ke rumah.

      Iya, efek visualnya terlalu berlebihan dan mengandung unsur mesum. Kadang-kadang mengganggu.

      Delete
  6. Ngeliat draftnya jadi berasa minder, apa kabar saya yang tulisannya acak adul tapi tetep aja diposting

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak usah minder semestinya sama banyaknya draf tulisan saya yang enggak layak baca.

      Bisa jadi kabar baik. Apa yang menurutmu buruk, belum tentu di mata orang lain begitu. Coba lebih percaya diri lagi atau mulai meningkatkan kecakapan menulis.

      Tapi pembenci tulisan sendiri macam saya sepertinya enggak pantas komentar begitu. Haha.

      Delete
  7. Aku jg ga bisa lgs menulis, trus lgs publish saat itu juga.bakalan banyaaaak banget kalimat ga nyambung, berulang, ga enak dibaca dll :p. Udah diendapin aja kdg msh ga puas Ama hasilnya hahahaha.

    Mungkin Krn apa yg kita tulis beda, aku sendiri sudah menulis saat sedang sedih yog.ga bakal kluar moodnya. Makanya harus nunggu pas mood bener2 baik.

    Draftmu banyak bangetttttt :D.kalo punya draft sebanyak itu, mungkin aku ga perlu cari bahan blog dgn kulineran ato jalan2 :p.ngabisin stok draft aja mendingan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, selalu aja merasa ada yang kurang setelah dibaca ulang. Meski demikian, apa yang udah terbit biarkan sajalah. Semoga bisa lebih bersemangat untuk bikin tulisan yang lebih asyik.

      Tiap bloger emang jenis tulisannya berbeda, Mbak. Mungkin saya punya kecenderungan dengan hal-hal negatif. Ketika sedih, marah, sakit hati, dsb., baru terasa lebih bagus tulisannya ketimbang saat menuturkab kegembiraan. Atau seperti yang pernah saya bilang, saya berusaha menyulap "derita" menjadi "cerita".

      Delete
  8. Saya enggak tau masuk kemana saya, orang yang bisa menulis atau orang yang berusaha untuk bisa menulis.
    Tapi, saya sadar satu hal bahwa saya butuh membanggun mood, pekerjaan menghindari saya untuk membangun itu.
    Saya takjup sama blog ini yang masih jauh lebih aktif daripada saya.
    Semoga ini tidak diluar konteks.
    .
    Saya sadar satu hal, saya selalu bisa lancar menulis ketika saya merasa sendiri. Sedang sekarang rasanya saya sedang punya banyak teman, bukan pamer, jadinya saya lebih suka berbagi berita terbaru ke orang yang jelas jelas saya jumpai daripada lewat tulisan.
    Dan saya akan kehilangan banyak teman sebentar lagi, padahal kami hanya berjumpa sebentar tapi rasanya menyakitkan juga ya.
    Semoga kamu bisa mengerti hubungan menulis dan kehilangan teman itu.
    ..
    Yog, Apa kabar btw?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kabar saya begini-begini aja, Dick, tapi alhamdulillah baik. Masih bisa bertahan.

      Soal merasa sendiri itu, menulis jelas butuh kesendirian. Meskipun ada orang yang bisa gue ajak berbagi, entah kenapa mencurahkan isi hati dan kepala lewat menulis tetap perlu. Semacam terapi.

      Iya, gue paham akan perasaan itu. Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.