Penolakan

1/

Aku sadar
bahwa tinta-tinta puisi
yang kulukiskan kepadamu
telah memudar
sebelum warna hijaunya
dapat menyentuh garis edar.

2/

Aku pedih
mendengar ocehanmu
yang selalu menerjemah
tangis itu berarti sedih.

Padahal, berulang kali sudah kubilang
air mata bisa menjadi apa saja.
Termasuk sebuah bentuk pengungkapan
atau penguapan bahagia yang mendidih.



3/

Aku hampa
melihat deretan sajak panjang
yang terpampang
pada lembaran daun ketapang.

Puisi itu dikunyah oleh burung-burung
sampai mereka kenyang, lalu terbang
mencengkeram segepok uang.

Sedangkan sajak-sajak pendekku,
adalah limbah yang tak dapat diolah.
Hanya mencemari sungai para penyair mewah.

Lebih pantas dipandangi kaum kelas bawah
kala mereka pulang memikul lelah
seraya membisikkan doa-doa lemah.

/2018

--

Saking muaknya mendapatkan penolakan, pada setahun silam saya pernah nekat menyindir salah satu media yang saya tuju dengan puisi jelek di atas. Sebetulnya saya selalu berusaha untuk sadar diri, bahwa jika ditolak itu tandanya tulisan saya belum cukup bagus. Namun, mengapa pada suatu hari saya menemukan cerpen maupun puisi yang bagi saya jauh lebih buruk, tapi tulisannya tetap diloloskan oleh media itu? Apakah itu karena penulisnya sudah menyandang nama besar? Jadi, seakan-akan redakturnya merasa tidak enak buat menolaknya? Dengan kata lain, menolak naskah seorang penulis yang sudah memiliki banyak karya adalah sebuah penghinaan terhadap penulis tersebut?

Saya mungkin masih pemula, anak kemarin sore, bau kencur, sok tahu, atau sebutan apalah yang cocok dilekatkan pada diri ini, tetapi saya sadar betul kalau menerbitkan karya buruk itu juga bentuk penghinaan terhadap orang yang menyukai dunia tulis-menulis.

Alasan mengapa saya kembali memajang tulisan-tulisan yang pernah mendapatkan penolakan dari suatu media ke blog ini, barangkali agar saya semakin sadar dan memilih berhenti mengirimkan naskah. Mungkin lebih baik saya juga tak usah menulis lagi. Lebih enak membaca saja, lalu mengejek tulisan-tulisan yang menurut saya busuknya keterlaluan. Mungkin sikap ini akan mendatangkan beberapa musuh. Mungkin malah ada yang berterima kasih lantaran memperoleh hiburan. Sebebasnya pembaca saja. Kali ini, saya tak ingin terlalu peduli dengan respons. Yang penting diri saya bisa bergembira.

Terlepas dari hal-hal barusan, sekiranya blog ini ke depannya masih menyuguhkan tulisan-tulisan yang mendapatkan cap jelek saja belum, kalian boleh banget menghina sepuasnya, dan saya tentu akan dengan senang hati menerimanya.

11 Comments

  1. Yog, puisi lo B aja sih. Masih lebih jelek puisi gue yang ga jelas arahnya wkwkwk.

    Tapi ya, lo masih mending. Masih ada niat dan usaha buat kirim-kirim puisi ke media. Gue mah ada niatan aja enggak. Gatau kayaknya emang pesimis buat diterima jadi lebih baik nggak usah. Tapi yaudahlah gue lebih suka nulis-nulis random, entah tulisan itu bisa disebut puisi apa enggak.

    Walaupun masih suka menikmati puisi di media yang kadang juga gak bagus-bagus amat. Hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mengirimkannya ke media dan berulang-ulang kali mendapatkan penolakan terkadang juga tampak enggak ada bedanya dengan tidak mengirim. Jika proses di baliknya enggak dibicarakan, siapa yang tahu dia pernah mengirimkan naskah?

      Mungkin selera redakturnya juga enggak bagus-bagus amat seperti yang lu bilang.

      Delete
  2. Padahal puisinya bagus, Yog. Atau jangan-jangan sebenarnya dugaan kamu benar. Dan panggung belum cukup tersedia buat kamu. Mungkin sebaiknya bikin panggung sendiri saja dulu, lebih luas, lebih megah. Setelah itu baru masuk panggung baru. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan berlebihan, Din. Itu jelek. Buktinya ditolak.

      Bikin panggung sendiri membutuhkan waktu yang lama banget. Pasti butuh bantuan kawan-kawan di sekitar. Belum lagi persoalan biayanya.

      Delete
  3. Bener banget, Yog. Baru kemarin malam gue nanya temen (penulis Gramedia) soal naskah cerpen, dan dia bilang enggak usah ngarep terbit kalau lo belum punya nama sebesar Sena Gurami. Sena Gurami, walaupun tulisannya biasa aja, akan tetap terbit karena punya nama yang bisa memberikan eskposur lebih besar. Udah sih gitu aja. Selebihnya lo ngerti kan gimana industri ini bekerja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perkataan teman lu langsung mematahkan semangat, Man. Tapi mau bagaimana lagi, memang begitulah yang terjadi. Gue enggak paham-paham amat soal industri itu bekerja, gue lebih mengerti bahwa sedih lagi bekerja dengan giat dalam diriku~

      Delete
  4. Mungkin hanya belum cocok saja dng selera gaya selingkung ke media yg kamu tuju saja.
    Mungkin kalimat kalimat puisinya cenderung memanjang di bait kedua. Suasana Kata katanya jadi tidak sepadat bait pertama. Tapi itu selera sih.
    Jangan berhenti menulis lah. Keep writing!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa jadi. Cocoknya mungkin juga cuma di blog ini.

      Emang kalau di bait pertama pendek, setelahnya tidak boleh memanjang, ya? Saya tak paham aturan semacam itu, Mbak.

      Buat apa keep writing jika leyeh-leyeh baca buku lebih menyenangkan?

      Delete
  5. Sama ya, kadang kadang godaan buat ga rajin nulis itu datang lantaran lebih ngerasa kok lebih santaian baca ya hahahaha
    Gw pun kadang begitu
    Ketika gw ada obsesi nulis, gw bakal kayak njlimet gitu pengen ini itu, pengen tukisan seperfect mungkin, jadi setelah kelar dan pencet publish rasa rasanya, sial betapa ga bagus amat ya tulisan gw,
    Lalu habis itu mikir, aduh mendingan gw santai santai aja sembari menghimpun perbendaharaan kata dg banyak membaca buku orang orang keren aja kali ya. Karena membaca ga ada beban apa apa. Kegiatan yang menyenangkan...begitupula dg cari hiburan nonton film, walau ga menutup kemungkinan setelah baca bukupun atau setelah nonton filmpun selalu ada celah buat nulis reviewnya dan kembali pada pola yang sama....berusaha nulis seperfect mungkin, mikir gimana supaya bagus walau dg standar bagus versi sendiri, pencet publish, lalu ngerasa tulisannya lagi lagi kurang memuaskan...ah kayaknya seperti itu siklus gw akhir2 ini hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lama-lama jadi lingkaran setan ya. Tapi mau bagaimana lagi, Mbak, tentu sulit menahan diri buat diam aja tanpa mengekspresikan diri sehabis mengonsumsi lagu, buku, atau film yang kita anggap keren. Seminimalnya akan muncul hasrat buat membicarakannya dalam bentuk twit atau catatan pendek. Syukur-syukur bisa dikembangkan jadi tulisan blog.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.