Himpunan Sajak

Disforia Pengusik Kenangan berisi himpunan sajak Yoga Akbar S. yang ia tulis dalam rentang 2015-2019. Sebagian dari puisi itu pernah tayang di blog ini, WordPress, Tumblr, Twitter, ataupun caption Instagram dengan sedikit perubahan wujud. 



— 

Vakum menulis bukanlah hal yang baru buat saya. Penyebab utamanya tentu saya sedang bosan dengan dunia kepenulisan, bahkan cenderung muak. Selain itu, rasa malas pasti juga pernah ambil bagian dalam jeda tersebut. Saya sangat mengerti bahwa masalah-masalah itu merupakan faktor internal, maka solusinya jelas ada di dalam diri. Lalu, bagaimana kalau saya terpaksa berhenti menulis karena kondisi lain? 

Misalnya, ketika keadaan laptop saya mulai bermasalah pada akhir 2017. Waktu itu saya berusaha mencari berbagai cara untuk mengumpulkan uang tambahan demi bisa memperbaikinya tanpa harus repot-repot mengutak-atik saldo tabungan—yang jumlahnya tidak seberapa. Saya mesti giat mengambil beberapa pekerjaan lepas yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia kepenulisan. 

Di sela-sela vakum lantaran laptop tidak bisa dipakai sama sekali ataupun sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan itu, saya mendadak kangen menulis. Saya pun mengobati rindu itu dengan menuliskan pikiran-pikiran saya di aplikasi Catatan. Berhubung saya tidak suka mengetik yang panjang-panjang di ponsel, apalagi rawan tipo, saya seringnya hanya menuliskan gagasan dalam bentuk poin-poin atau sajak. 

Saya lalu membaca informasi tentang pemuatan puisi pada salah satu media daring yang honornya senilai dengan jatah makan saya seminggu. Harga itu ternyata juga setara dengan pengecas laptop saya yang rusak. Saya jelas langsung tergiur buat mengirimkan puisi-puisi saya ke media itu. Maka, setiap kali saya sedang senggang, saya mencoba membaca ulang seluruh sajak yang pernah saya tulis di blog, aplikasi Catatan, maupun Tumblr, kemudian menyuntingnya. 

Ada tiga belas puisi yang menurut saya lumayan. Mengingat syarat setiap kali mengirimkan ke media itu minimal lima butir puisi, berarti saya bisa mengirimkannya dua kali. Saya ingin mengetes terlebih dahulu kualitas puisi-puisi saya itu dan tak mau mengirimkannya sekaligus. Jadi, saya menimbang baik-baik mana yang pantas diikutsertakan, mana yang ditunda. Saya akhirnya memilih tujuh buah puisi (tiga terbaik dan sisanya yang biasa saja) sebab berpikir 7 itu adalah angka keberuntungan. 

Saya sangat berharap kalau sajak pilihan saya itu dapat terbit di media lain. Berarti sebelum mengirimkannya, saya harus memolesnya lagi agar hasilnya lebih ciamik. Setelah merasa cukup oke, saya mulai membuka surel, mengetikkan alamat media tersebut, melampirkan failnya, mengucap basmalah sekaligus berdoa, dan segera mengeklik tombol kirim. 

Sialnya, tetap belum ada jawaban dari mereka meskipun tahun telah berganti menjadi 2018. Saya sebetulnya sadar bahwa proses ini baru berjalan 2 minggu, sedangkan batas penentuannya selama 2 bulan. Namun, menunggu lebih dari sebulan bagi saya sangatlah menjengkelkan. Pikiran-pikiran buruk pun mendatangi saya dan melahirkan kesimpulan: tulisan saya ditolak. 

Kenapa saya belum apa-apa sudah pesimis, ya? Saya lantas berusaha memikirkan hal-hal positif seperti; jadwal penayangan rubrik puisi itu kan seminggu sekali dan butuh proses seleksi, mungkin jumlah penulis yang mengirimkannya juga kelewat banyak dan naskah saya masuk di antrean belakangan. Baiklah, saya perlu sedikit lebih rileks. 

Tapi yang namanya kecemasan pasti selalu datang dengan sendirinya tanpa bisa dicegah. Daripada saya semakin gelisah, saya lalu menyiasati hal itu dengan mengirimkan puisi sisanya sembari menanti kabar baik. Terlepas dari urusan puisi, saya akhirnya berhasil menabung sejumlah uang untuk membeli pengecas laptop dan kembali ngeblog. 

Dua bulan telah berlalu sejak pengiriman puisi saya yang pertama. Celakanya, lagi-lagi masih belum ada jawaban dari mereka. Jika begini melulu, barangkali saya tak usah berharap lagi sajak-sajak itu dapat terbit di media lain. Saya yakin kedua kiriman puisi itu bakal masuk ke keranjang sampah. 

Anehnya, saya sudah telanjur penasaran, juga ketagihan akan perasaan berdebar-debar selama menanti kabarnya. Saya terus berupaya mencari media lain yang sejenis, kembali mengirimkannya, dan hasilnya ternyata sama bangsatnya. Beberapa puisi yang mendapatkan penolakan itu akhirnya saya taruh di blog.

Memang dasarnya saya manusia berkepala batu, saya mulai mencoba lagi untuk menyusun sajak-sajak baru. Saya memilah mana yang cocok, kembali mengirimkannya, dan ... tetap tak ada jawaban yang menggembirakan. Proses semacam itu masih terus berulang sampai tahun ini (sebetulnya, masih ada satu media yang saya sasar sekitar dua minggu silam dan sedang masa proses, tetapi saya sudah kadung pesimis setiap kali mengingat penolakan-penolakan sebelumnya), hingga akhirnya saya kian muak, serta berpikir tak ingin menulis puisi lagi.

Mungkinkah sajak-sajak yang saya tulis itu keterlaluan buruk, sehingga tak ada satu pun media yang bersedia memuat dan membayarnya? Apakah semua puisi yang saya ciptakan itu terlalu mudah dipahami, diksinya teramat payah, dan tidak menimbulkan kesan di hati pembaca? Apakah saya tak akan pernah bisa menghasilkan sajak-sajak bagus, lalu mendapatkan tempat seperti para pensyair yang saya kagumi? 

Apa pun itu, yang jelas saya sekarang sudah sadar bahwa puisi memang bukanlah bidang saya. Paling tidak, untuk terakhir kalinya, saya masih bisa menghibur diri sendiri dengan mengeditnya supaya hasilnya lebih kece. Dari total sekitar 70 sajak yang terkumpul, saya berhasil memfilter yang sekiranya layak hingga jumlah finalnya menjadi 38 butir. Saya enggak menyangka, ternyata sisanya masih lumayan banyak meskipun sudah membuang hampir setengahnya. Kala itulah mendadak terbit sebuah gagasan di benak saya: Daripada fail-fail itu hanya terlantar di folder laptop, mendingan saya menghimpunnya menjadi buku digital dan membagikannya gratis dalam jangka waktu tertentu sebagai kado tahun baru buat para pembaca blog saya. Untuk menutup tulisan ini sembari merenungi akhir tahun (apakah tahun depan saya masih sanggup mengisi blog ini?), saya cuma mau bilang: Selamat membaca dan bergembira—bisa juga bersedih jika kamu merasa demikian. Selamat tahun baru, wahai kawan-kawan semua. Terima kasih sudah menjadi bagian dalam dunia kepenulisan saya.

— 

Update terbaru: Buku puisi Disforia Pengusik Kenangan tadinya tidak ingin saya perjualbelikan karena saya tidak tahu berapa harga yang pantas. Biarlah sajak-sajak itu menjadi tak ternilai buat diri saya. Tapi seiring berjalannya waktu, saya mencoba mengomersialkannya di platform KaryaKarsa. Sekiranya kamu ada yang sudah memilikinya ketika karya itu saya bagikan gratis sebagai kado tahun baru, tolong jangan disebarluaskan lagi. Cukup pertahankan di kamu.

26 Comments

  1. Biarpun ebook, ini juga karya Yog. Tetep buat saya mah itu prestasi. Soalnya saya mau bikin Ebook novela aja belum terwujud. Hehe.

    Yog, coba mengalihkan ngeblognya dengan menyasar lomba artikel biar ada sasaran lain. Banyak kok blogger yang memilih menjadikan hobinya ini sebagai lahan pemasukan buat bayar hosting. Saya juga sedang belajar sama Blogger lain yang sudah bagus blognya. Siapa tau bisa beli domain buat blog saya ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nunggu ebook-nya Haw nih.. ayo dong~

      Delete
    2. Hapudin: Ayolah, bikin juga dong, Din. Baru inget, novelet saya juga belum dilanjutin lagi nih. Belum nemu tema yang asyik lagi. Terakhir kali ikut lomba artikel kayaknya Desember 2017 yang penyelenggaranya Bank Indonesia sama Desember 2018 dari Bukalapak.

      Dian: Perbanyak minum air putih, Yan, jangan air mata.

      Haw: Diam-diam kalian bakal kolaborasi nih.

      Delete
    3. Yog, tau dari mana lu kalau Hapudin dipanggilnya "Din"? bukannya "Hap"?

      Delete
    4. Btw gw lebih parah lag belom ngerti cara bikin ebook gmn, padahal naskah novel suka suka gw juga ngejogrog di lemari, uda debuan dan ga ada yg baca kecuali diri sendiri hiks

      Delete
    5. Firman: Kalau "Hap", nanti ditangkap.

      Mbak Nita: Caranya sama aja kayak pas bikin buku fisik, Mbak. Sesimpel bikin tulisan di Word dari awal hingga ceritanya kelar. Di-lay out juga. Bedanya ini enggak perlu dicetak, cukup jadi PDF atau epub. Terus bisa sesuaikan ukuran kertasnya lagi. Misalnya, tadinya format A4 jadi A5; atau buat custom kayak 12x18cm, 13x19cm, 14x20cm. Bikin kover depan (sekalian yang belakang juga lebih bagus), buat desain kover 3D untuk promosi di medsos--mau pakai Photoshop ataupun aplikasi online gratis di internet atau sewa jasa desainer.

      Delete
    6. Wah uda dijabarin step2nya, oke ntar gw pelajarin dulu, oiya di ebooknya gw salfok sama penyunting n layouternya ternyata namanya sering dipake dlm fiksi lu ya, agus n rani xixixiix

      Delete
  2. Terima kasih untuk kado akhir tahunnya mas.

    Semoga di tahun depan masih bisa tetap menulis, walau kadang kenyataan menyakiti harapan yang telah dibangun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biar rasa deh tuh si Yoga, Mas, sakit oleh harapannya sendiri. Hahaha.

      Delete
  3. Terima kasih Yoga untuk kado akhir tahunnya. Tentu saja gue akan baca. Semoga terus berkarya dan ngisi di blog ini yaaak!

    Padahal gue juga berniat vakum dari blog tapi kayaknya susah banget hahahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Wi. Boleh juga diulas jika berkenan. Alah, ulas-ulas, kayak puisi gue penting aja. Wahaha.

      Batalkan aja niatnya. Udah banyak yang vakum soalnya.

      Delete
    2. Maunya sih ngulas, Yog. Tapi gue juga tidak pandai mengulas. Paling komen-komen enggak jelas doang nanti isinya hahaha.

      Ya, memang sih sudah banyak tulisan yang siap buat Januari nanti. Wkwk. Mungkin kapan-kapan aja vakumnya.

      Delete
  4. Jual aja Yog, aku mau beli kokkk :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih apresiasinya, Sya. Sepertinya enggak perlu. Saya merasa kurang kompeten menulis sajak. Biarkan aja tetap gratis selama buku itu dibaca dan enggak disalahgunakan. Syukur-syukur ada yang mau mengomentari bukunya juga sehabis baca.

      Delete
  5. Otewe donlod deh gw

    Btw kepo nih yog, media yang lu kirim namanya apa? Online apa cetak? Penasaran euy

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih. Semoga suka.

      Ada yang online, ada yang cetak, Mbak. Nama medianya enggak perlu dijawab di sini kayaknya. Hahaha.

      Delete
    2. Walaupun gw blum bermaksud menginterpretasikan makna puisinya lebih dalam, tapi sejauh yang gw baca semalam, kalau diliat dari pilihan katanya, gw suka yang judulnya
      1. Tidak Enak
      2. Potret Manusia Digital
      3. Warna Puisi
      4. Mendengarkan Mono

      Karena gw suka pilihan kata yang justru rimanya ga samaan bunyinya di akhir
      Dan di keempat judul puisi ini diksinya bagus, banyak, dan enak pas diucapin
      1.

      Delete
    3. Itu yang Mbak sebutin rata-rata ditulis pas 2018-2019 kalau enggak salah. Mungkin saat itu saya udah mengurangi cara bikin puisi yang mesti berima.

      Matursuwun buat tanggapan atas himpunan puisi itu.

      Delete
  6. Saya gak tau apa2 tentang persajakan atau apapun berbaur puisi, tapi saya suka tulisan2 yg dibagian "hidup maut dan kepenulisan" the most.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asyik, udah ada yang kelar baca. Terima kasih buat responsnya, ya. :D

      Delete
  7. Jujur, aku ga terlalu bisa menikmati sajak ato puisi Yog. Tp karena ini karyamu, aku bakal download nanti, dan pgn tau apa aku bisa mengerti sajak2nya. Mungkin dgn gitu jd bisa lebih suka Ama sajak /puisi :D. Aku baca dulu yaaa ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jika udah coba baca dan tetap enggak bisa menikmatinya, jangan dipaksain, Mbak. Saya juga udah berhenti buat memaksakan diri. Sepertinya itu puisi terakhir saya yang bisa Mbak baca.

      Delete
  8. Dilemanya sama yang kayak saya rasain pas ngirim ngirim karya ke media, wkwkwk. Emang susah banget sih tembus ke sana. Aku sempat berpikir kalo mereka cuma mau memuat karya dari penulis yang udah punya popularitas

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.