Mbak Manis Kemeja Kuning: Pemicu

Mungkin sebagian pembaca ada yang bingung tentang Mbak Manis Kemeja Kuning di cerpen saya sebelumnya, Obrolan Mengenai Paras, Tuhan, dan Nonsens yang Menyedihkan. Itu murni keteledoran saya yang luput untuk menuliskan cerita pengantarnya di blog. Saya baru pernah mengisahkannya di media sosial. Jadi, semoga tulisan berikut ini bisa sedikit menjawab pertanyaan itu.

 --

Apa yang pernah terekam di otak, suatu hari pasti bisa muncul lagi ke permukaan, sedalam apa pun saya mengubur kenangan itu. Saya mulai teringat kembali dengan memori Mbak Manis Kemeja Kuning kala sedang mencari seorang gadis (dia saya nilai manis juga karena memiliki lesung pipi di bawah mata) yang saya lihat saat acara bazar buku.



Saya mengeluh kepada Haw, teman yang datang bersama saya ke acara tersebut, tentang ingatan saya pada wajah cewek itu yang mulai samar-samar. Satu jam sebelumnya, ketika saya sedang menuju zona kalaptempat buku-buku yang mendapatkan diskon 50-70%, saya melewati panggung acara dan tak sengaja melihat seorang perempuan yang mengenakan sweter merah di belakang panggung. Dia sedang melihat hasil foto di kamera DSLR yang dipegang oleh kawan di sebelahnya. 

Saya refleks mengucapkan manis banget ya, Allah

“Yang mana, Yog?” ujar Haw. 

Saya pun memberitahunya. Respons Haw: biasa aja, ah. Saya tak mengerti, apakah selera kami dalam menentukan manis atau tidaknya wajah seorang perempuan itu berbeda, atau dia salah melihat orang, atau dia belum benar-benar memperhatikannya dengan jelas? Selesai membeli buku, kami tentu melewati panggung itu lagi, dan kali ini Haw meralat penilaiannya. 

“Betulan manis ternyata, Yog,” katanya. “Kamu cepat, ya, lihat yang bening-bening.” 

Saya tertawa. Saya hanya tak sengaja melihatnya. Kebetulan wajahnya itu juga punya pesona yang bikin saya ingin terus memandanginya. Bukan jenis tampang yang sewaktu saya lihat muncul perkataan di dalam hati, iya, dia cakep, tapi ya udah. Mungkin gadis itu sekilas terlihat sama saja sebagaimana perempuan-perempuan cantik ala selebgram yang mukanya glowing. Tapi jika diperhatikan lebih detail, saya menilai cakepnya itu termasuk natural. Bukan karena riasan wajah. Paras dia itu kayaknya cuma bisa dimiliki oleh perempuan yang sudah cantik sekaligus tajir mampus sejak lahir.

Apakah saat itu saya ada keinginan untuk berkenalan? Oh, tentu. Namun, saya termasuk orang yang sadar diri karena status sosial kami berbeda. Perempuan seperti itu tak akan terjangkau buat saya hari ini. Meski begitu, di dalam diri saya ada suatu perasaan ingin tetap mengaguminya dari jauh. Oleh sebab itulah, di jalan pulang saya dan Haw masih terus membahasnya. Lalu, kami mentertawakan payahnya memori otak buat mengingat wajah cewek itu dengan jelas. Gambaran mukanya mulai blur di ingatan.

“Nanti pas sampai di rumah coba aja cari di Instagram, Yog,” kata Haw. “Siapa tau dia update kegiatannya hari ini.” 

Saya memasukkan kata kunci tentang acara itu di pencarian Instagram. Tak ada satu pun wajah yang cocok dengan ingatan saya. Saya lantas pindah ke Twitter. Hasilnya ternyata sama saja. Karena tidak ketemu juga setelah mencarinya, terbitlah tiga kemungkinan di benak saya: 1) dia bukan tipe orang yang sedikit-sedikit pengin menunjukkan eksistensinya di media sosial; 2) dia lebih suka menampilkan foto secara telat alias latepost; 3) akun dia diproteksi. 

Pada keesokan harinya, ketika saya sudah malas menelusurinya lagi, lucunya Haw justru mengirimkan saya beberapa foto akun Instagram dengan pertanyaan, “Yang ini bukan?” Saat melihatnya tidak muncul kecocokan di otak, sehingga saya menjawab bukan. Tapi dari beberapa foto dan akun yang dia sodorkan, ada satu perempuan yang tak kalah manis (yang belakangan diketahui, kami juga sempat melihatnya di acara bazar buku) dan justru membuat saya terpikat hingga mengetik begini: “Jenis cantiknya mulai sesuai nih di memori. Tapi kok lesung pipinya hilang, ya?” 

Pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya sebab perempuan yang sedang kami cari itu bukanlah bagian dari kegiatan acara di panggung seperti cewek aduhai yang tak sengaja kami temukan.

“Susah ya cari orang di medsos tanpa tahu namanya. Mana ingatan akan wajahnya juga samar-samar. Apalagi clue-nya ini cuma dia pakai sweter merah,” tulis saya. 

Setelah mengetik begitu, tiba-tiba di kepala saya muncul memori tentang Mbak Manis Kemeja Kuning yang pernah saya temui dua tahun silam, tepatnya pada 18 Februari 2017 di acara “Blogger Day: Sun Life Future Plan”. Saya baru ingat pernah berjuang keras mencari seseorang di media sosial seperti hari ini dan hasilnya nihil lantaran tidak tahu namanya. Apa yang bisa saya ingat darinya hanyalah dia memakai kemeja kuning, lalu paras dan senyumnya manis. Tapi saya tentu sudah lupa, itu jenis manis yang bagaimana.

Walaupun pencarian sweter merah ini tidak mendapatkan hasil, setidaknya penelusuran kali ini bagi saya masih terasa lebih baik karena saya bisa menemukan banyak cewek yang memamerkan keseruan acara itu dan wajah-wajahnya juga tampak jelas. Berbeda sekali dengan Mbak Manis Kemeja Kuning. Selama dua tahun ini saya tak berhasil mendapatkan satu pun informasi tentangnya selain dia bukanlah seorang bloger. Sebab sewaktu saya menelusuri tagar acaranya di Twitter, tak ada satu pun twit darinya. Minimal kan para bloger ini pasti membuat 1-2 twit tentang acaranya. Saya pun pindah ke Instagram menggunakan tagar yang sama, tetapi hasilnya tidak berubah. 

Jika tak salah ingat, acara itu memang terbagi menjadi dua pengunjung; satu untuk bloger, lainnya buat mahasiswa atau umum. Mungkin dia memang bukan bloger. Dia cuma mahasiswi biasa. Bagi saya sangatlah sulit mencari seseorang yang tidak meninggalkan rekam jejak digital seperti para bloger. Lebih-lebih ketika saya sadar bahwa satu-satunya petunjuk tentangnya hanyalah potretnya yang membelakangi kamera. Apa yang bisa diharapkan dari gambar semacam itu? Akhirnya saya menyerah. 




Kini, saya berusaha mencari Mbak Manis Kemeja Kuning kembali karena terpicu oleh gadis bersweter merah, yang entah mengapa justru memunculkan rasa penyesalan. Kenapa saya menyesali hal yang sudah lewat dua tahun itu? Bisa dibilang karena saya tak bisa membohongi diri bahwa perjumpaan tak sengaja bersamanya itu merupakan momen manis yang rasa-rasanya tak ingin saya lupakan seumur hidup. Buktinya, dia betul-betul masih menetap di ingatan, padahal kejadiannya sudah jauh berlalu. Saya pun jadi mengutuk diri, betapa pengecutnya saya hari itu lantaran tak sanggup mengajaknya berkenalan. Sebab kalau Mbak Manis Kemeja Kuning ini saya masih cukup yakin buat bisa menjangkaunya.


Dua hari kemudian, saya ada kopdar bersama teman-teman bloger di Perpustakaan Nasional. Kami janjian pada pukul satu siang. Berhubung ada kawan bloger yang belum sempat hadir dan katanya juga ada yang ingin menyusul, sedangkan Perpusnas hanya buka sampai pukul empat sore, kami pun memutuskan pindah ke Warunk Upnormal Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat. Di sana saya malah tak sengaja bertemu dengan perempuan yang saya bilang memikat saat mencari gadis bersweter merah itu. Untuk memudahkan penceritaan, anggaplah namanya Tasya. 

Mulanya, Haw memanggil saya dan memberi tahu rombongan pengunjung yang baru datang. Kebetulan kami hari itu duduk di dekat pintu masuk. Haw bilang salah satunya mirip sama Tasya. Saya otomatis langsung mengecek ponsel, membuka akun Instagram, dan memandangi fotonya. Memang mirip sih, tapi apakah mungkin semesta langsung mempertemukan begini? 

Melihat Tasya memakai kaos putih yang dilapisi dengan sweter kuning, lagi-lagi memicu saya pada Mbak Manis Berkemeja Kuning. Sebetulnya, ada apa dengan warna kuning dalam hidup saya, sih? Tai, oh tai, mungkinkah ini suatu pertanda Tasya jodoh saya? Oke, itu harapan yang terlalu tolol. Lagi pula, belum tentu itu Tasya yang Haw dan saya temukan di Instagram. 

“Bukan ah, Haw,” ujar saya. “Mirip doang kali.” 

Pikiran saya sudah kadung terusik oleh Mbak Manis Kemeja Kuning dan jadi mau membahasnya kembali. Syukurlah kali ini ada saksi yang juga sempat melihatnya pada dua tahun silam, yakni Dian Hendrianto. 




Pada acara Blogger Day, saya masih ingat dengan jelas kalau duduk di barisan depan sebelah kanan. Di sebelah kiri saya terdapat Reza Andrian, dan di sebelahnya lagi ada si Dian. Saya sesekali mencuri-curi kesempatan untuk menoleh demi bisa memperhatikan Mbak Manis Kemeja Kuning yang duduknya di belakang bagian kiri, percisnya berada di arah jam delapan saya. Saat itulah Reza memergoki tingkah laku saya yang mencurigakan.

“Lagi ngelihatin siapa sih, Bang?” tanya Reza.

“Itu cewek yang pakai kemeja kuning,” ujar saya. 

Tak disangka tiba-tiba muncul sebuah pujian dari mulut seorang jahanam—yang tidak lain tidak bukan adalah Dian: “Manis juga.” 


“Yan, lu masih ingat cewek pas acara Blogger Day di Kokas ini, kan?” ujar saya seraya menunjukkan foto mbaknya yang menghadap ke belakang itu. 

Dian melihat fotonya selama 3-5 detik. Dia mengerutkan dahinya, lantas berkata, “Kayaknya gue punya videonya dah, Yog. Ada di arsip Instagram.” 

“Serius? Coba lihat dong.” 

Dian mengutak-atik ponselnya agak lama, lalu menyodorkan kepada saya sebuah screenshot. 



Meski gambarnya blur, di foto itu dia memang tampak manis sama halnya kayak di memori saya ketika kami berjumpa dua tahun silam. 

“Tolong tampilin lagi dong videonya, Yan. Gue mau tonton,” kata saya. 

“Udah tuh. Udah gue kirim juga SS-nya ke WA lu.” 

Beberapa kawan, termasuk Haw, kemudian ikutan menontonnya. Lalu begitu selesai, Haw memberi komentar, “Kamu enggak coba cari temannya yang berjilbab itu, Yog? Nanti kalau ketemu kan bisa tanya-tanya.”

Anjing, kenapa saya dulu enggak kepikiran sama sekali, ya? Apakah saya terlalu mudah menyerah untuk menemukan seseorang? Sepertinya enggak juga. Mungkin alasan saya dulu tidak mencari tahunya lebih lanjut dan takut mengajaknya berkenalan, sesungguhnya karena saya berpikir tidak etis dengan status hubungan saya. Bisa dikatakan saat itu saya masih punya pacar. Oke, silakan nilai saya bajingan, berengsek, Gemini terkutuk, playboy, softboy, atau apalah makian lainnya. Saya enggak terlalu peduli.

Namun, izinkan saya bercerita beberapa hal tentang hubungan saya dengan si pacar yang membuat saya kepengin berkenalan dengan perempuan lain yang jelita. Ketika itu saya lagi malas-malasnya sama pacar yang berulang kali memberikan omong kosong kepada saya. Dia telah berjanji akan suatu hal, tapi mengingkarinya seenak jidat. Lagi dan lagi. Saya mulai muak dengan permintaan maafnya. Kami bahkan nyaris putus pada akhir Januari karena dia salah paham dengan kalimat saya. 

Januari dan Februari 2017 dapat dikatakan bulan terburuk kami selama pacaran yang usianya baru berjalan 5-6 bulan itu. Apalagi ketika saya mengingat momen terkutuk pada suatu Minggu malam pada awal Februari. Setiap hari Minggu dia punya jadwal mengajar anak-anak dari pagi sampai siang di Bogor. Dia tergabung dalam sebuah komunitas guru relawan. Biasanya, sore sehabis Asar kami menyempatkan diri untuk bertemu sekaligus kencan. Dia pun menyanggupi pada hari itu. Tapi entah kenapa dia tidak ada kabar hingga azan Magrib berkumandang. Saya cemas. Firasat buruk dan pikiran-pikiran aneh pun muncul tanpa bisa saya cegah. 

Sekitar Isya, barulah dia bilang maaf telah membatalkan janji terhadap saya karena enggak enak menolak acara kumpul-kumpul sekalian makan-makan bersama para teman di komunitasnya tersebut. 

“Yoga jangan marah,” tulisnya di WhatsApp. 

“Marah buat apa?”

Awalnya, saya memang cuma membaca pesan-pesannya itu. Saya malas membalas pesannya karena masih ada rasa gondok telah menunggunya sejak sore tanpa kejelasan.

“Marah karena aku enggak ngabarin. Terus tadi aku juga dikasih kado sama temanku. Aku enggak enak buat nolak.” 

“Cowok?” 

“Cowok.” 

“Siapa?” 

Dia menyebutkan sebuah nama. Saya ingat sekali namanya. Itu cowok yang gemar menghujani komentar di beberapa foto Instagram pacar saya. Salah satunya berbunyi begini: “Duh, senyumnya mengajak berumah tangga. *emoji mata love*” 

Seketika membacanya, saya langsung pengin balas komentar tersebut, “Kontol.” Apa dia tahunya kalau pacar saya itu statusnya lajang? Enggak mungkin, ah. Pacar saya pernah memajang foto kami berdua. Itu sudah cukup jelas. Apakah emang cowoknya aja yang kurang ajar? Tidak tahu diri? Tapi pada akhirnya saya cuma bisa menahan diri. Saya malas ribut-ribut selama pacar saya tidak pernah menanggapinya. Pengabaian pun buat saya jauh lebih menyakitkan daripada hinaan. Namun, malam itu, pikiran saya tidak bisa jernih. Siapa yang tahu apa yang terjadi di belakang saya? Saya juga tak pernah tahu seandainya mereka diam-diam rajin bertukar pesan. Itu mungkin saja, bukan? 

Dia lalu mengirimi saya gambar kado dari cowok itu. Sebuah desain foto pacar saya setengah badan yang dibingkai dalam ukuran A3. Desainnya pun lebih bagus daripada bikinan saya. Setan. Saya jengkel banget.

“Terus, kadonya aku balikin apa gimana nih?” tanyanya.

Mendapatkan pertanyaan itu, saya bingung sendiri. Memang agak sulit menjadi orang yang tidak enakan. Mungkin jika saya yang ada di posisinya, saya juga sulit buat menolak pemberian seseorang. Tapi, kenapa seakan-akan dia ini enak-enak saja membatalkan janji sama saya dan telat menghubungi? Rasanya kan kayak enggak dihargai sama sekali. Dia malah bersenang-senang makan bareng dan menerima kado dari cowok lain. Bedebah!

Saya pun merenung. Jika dipikir-pikir ulang soal kado itu, anggaplah saya juga salah karena belum sempat memberikan kado apa pun untuknya selain editan foto yang cuma versi digital, sehingga ada laki-laki lain yang lebih dulu menyuguhkannya hadiah dalam wujud nyata. Jadilah saya menjawab, “Itu hak kamu.” 

Dia lalu berusaha membuat saya percaya kepadanya. Dia malahan bersumpah bahwa tidak menyukai cowok itu sama sekali. Sikapnya biasa saja selayaknya teman. Singkat cerita, kami pun berbaikan. Sayangnya, damai itu hanya berumur singkat. Kami lagi-lagi berantem dan saya juga sulit buat menghapus momen pertengkaran terkutuk Minggu malam itu. 


Saya gembira bukan main saat datang ke acara Blogger Day dan bisa berjumpa dengan kawan-kawan bloger yang dapat menghibur diri dari kondisi hubungan gawat itu. Selama seminggu terakhir kami masih sering bertengkar hebat. Pada hari saya ingin berkenalan dengan Mbak Manis Kemeja Kuning, saya dan pacar bahkan semacam berada di fase saling introspeksi. Mempertanyakan bagaimana hubungan kami selanjutnya, apakah tetap lanjut atau harus berakhir? Orang-orang mungkin menyebutnya dengan istilah break. Saya kala itu sebenarnya masih menyayangi si pacar, tentu saja. Toh, terbukti kami masih bertahan hingga setahun berikutnya. Akhirnya, saya jadi segan buat mengajak Mbak Manis Kemeja Kuning itu berkenalan. Mungkin seakan-akan ada perasaan bersalah di dalam diri. Statusnya masih punya pacar, kok berani-beraninya berkenalan dengan perempuan lain. Barangkali saya juga memercayai sebuah nasihat: sesuatu yang baru dan terlihat lebih menarik, belum tentu lebih baik dari yang telah kita miliki. Jadilah saya membuang gagasan untuk berkenalan. 

Sebelum memutuskan pulang ke rumah sekelarnya acara tersebut, saya dan gadis kemeja kuning itu ternyata masih berjumpa lagi di spot untuk berfoto. Dia percis berada di depan saya saat kami lagi mengantre di salah satu spot. Gila, jarak kami sudah sedekat ini. Parfumnya yang beraroma segar bahkan sampai tercium dengan jelas di hidung saya. Apakah ini tandanya saya memang perlu berkenalan? Jantung saya pun berdebar tidak keruan. Saya terlalu gugup. Tapi saya tak ingin mati menanggung penyesalan hanya karena takut dan tidak sempat mengajaknya berkenalan. Saya harus memberanikan diri. Saya tak mau jadi pecundang.

Saya lantas memejamkan mata sejenak, menghela napas, serta mengembuskannya perlahan-lahan. Sesaat sebelum saya membuka mata, muncul wajah si pacar. Tai anjing. Keberanian saya pun mendadak luntur. Jadi, untuk terakhir kalinya, saya berusaha menyempatkan diri buat memotretnya dari belakang. Saya hanya ingin mengenangnya, bahwa dia bukanlah perempuan khayalan tolol saya. Dia bukan fiksi. Dia itu nyata. Walaupun saya mengerti, sangat mengerti, dia kelak mungkin cuma hidup sebatas di memori saya.

17 Comments

  1. Gue tidak ingin komentar soal pertengakaran dengan pacar lu. Tapi baca ini tiba-tiba saja mengingatkan gue sama satu cowok yang gur temui pas nanjak Merbabu. Gue sempat ngobrol, tau dimana kota dia tinggal.

    Tapi... GUE LUPA NGGAK NANYA NAMANYA! Bego banget emang. Hahahaha.

    Sampe udah turun gunung, gue sempet juga tuh nyari-nyari di medsos kayak yang lu lakuin. Nyari seputaran kegiatan pendakian merbabu pas 17an. Tapi tetap nihil :(

    Asli gara-gara ini gue jadi keinget lagi sama mas-mas bertas oren itu. Dan gatau harus cari kemana lagi padahal gue udah ada di kotanya sekarang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tinggal inget tanggal turunnya, Tiw. lalu buka IG, cari hestek gunung yg didaki, biasanya 1 sampai 3 hari setelah turun ada update kok, kalo bukan dia, ya , temennya.

      Delete
    2. Sudah gue lakukan bahkan sampai seminggu kemudian, Bang. Tapi nggak ketemu juga.

      Delete
    3. selamat, IG-nya diprotek.

      Delete
    4. Sebuah cerita memicu cerita yang lain. Haha. Gue kalau kenalan di pendakian begitu biasanya sama cowok, sih. Belum pernah ketemu cewek. Jarang banget naik gunung juga. Kalau kenalan di kerjaan lepas tuh cukup sering karena satu tim. Tapi ya udahannya biasa aja. Belum pernah naksir. Susah cinlok anaknya.

      Delete
  2. Dulu pernah gombalin cewek bilang gini.. eh kamu manis deh. Si cewek malah balas .. "emg pernah ngemutin saya?"

    Kemudian hening. Tak tau harus berkata apa lagi.
    Takutnya jadi kejadian kayak lagu lama..."akhirnya ku beranikan diri mengemutnya... Astaga, sekali lagi katanya. Astaga dia bilang sudah biasa"

    itu hanya lagu lo ya

    ReplyDelete
  3. Anda hipokrit sekali ya, kesel tapi juga sayang....

    Orang sering bilang, lebih baik nyesel ngelakuin, dibanding nyesel nggak, kalo saya sebaliknya, mending nyesel nggak. udha ngalami keduanya, tapi ternyata kalo nyesel ngelakuin, itu nyeselnya sepanjang masa dan gak bisa diubah, tapi saat nyesel nggak, ternyata beberapa kesempatan masih bisa di posisi yg begitu lagi.

    Kali saja kamu nggak kenalan kemaren karna klo kenalan pun nggak tau bakal cerita apaan selanjutnya, tapi kalo ketemu lagi, kamu punya stok cerita merindu ini yng bisa kamu utarakan semuanya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apakah sayang itu tidak boleh merasa kesal? Haha. Gimana ya, ketika diberikan janji palsu jelas muaklah, Haw. Namun atas nama cinta, mau enggak mau bakal memaafkan. Ini pun saya butuh waktu lama buat berani cerita soal racun di hubungan sendiri. Ketika masih pacaran, saya berusaha menahan diri buat enggak mengisahkannya ke media.

      Iya juga jika dipikir-pikir. Seandainya saat itu kenalan, lalu kondisi break sama pacar jadinya betulan putus. Bisa aja saya juga akan merasa menyesal kenapa dulu meninggalkan dia buat orang baru, yang mungkin belum tentu berjalan mulus. Berkat kepengecutan itu, ada banyak yang dapat saya pelajari.

      Delete
  4. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang, ya, yang namanya komitmen dan kompromi itu sesuatu yang uwuwu~

    Oh ya, padahal si cowok itu komenin aja: kontoru! Haahahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak gampang ternyata berkomitmen sama satu orang ketika hubungan itu mulai beracun. Hahaha.

      Enggak perlu. Cuekin aja.

      Delete
  5. Ternyata, di hari itu pikiran anda sedang ruwet, yah. Kebalikan dari yang sedang saya rasakan. Kalo boleh curhat, seperti biasa (kolom komentar adalah tempat curhat terbaik) justru hubungan saya dengan seorang perempuan lagi mesra-mesranya sampai satu minggu kemudian setelah acara itu saya bersedih sejadi-jadinya. Cinta tai anjing memang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apakah saat itu saya tidak terlihat lagi menyimpan masalah? Wahaha. Sabar, Yan. Pasti nanti tai anjing itu akan berubah menjadi cokelat manis yang rela lu kunyah setiap hari.

      Delete
  6. Softboy? Fuckboy kali, Yog! Haha. Setuju, Yog, diabaikan jauh lebih menyakitkan daripada dihina. Gatau alasannya apa, tapi gue setuju.

    Yog, semakin lu tua lu akan semakin menikmati jatuh cinta atau mengagumi lawan jenis dengan cara seperti ini. Sampai pada akhirnya lu sadar dan mengumpat, "Anjing gue udah setua ini." Wkwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi gue belum pernah "fuck", Man. Gimana dong? Ehehe.

      Iya ya, sudah hampir seperempat abad ternyata usia gue. Kisah cintanya masih begini-begini aja lagi. Sialan juga. Tapi ya enggak apa-apalah. Nikmati aja apa yang sedang berlangsung.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.