1/



Aku sesosok bidadari asal kahyangan yang ingin tau suasana di bawah sana. Tapi, kedua malaikat melarangku turun ke jalan karena kondisinya terlalu kacau. Mereka risau dan takut aku akan terluka, sedangkan aku tidak mau cuma berdiam diri dan berduka. Aku berjanji hanya datang untuk membantu urusan logistik, kemudian kembali ke langit mistik. 

Aku menyamar menjadi mahasiswi yang membagikan botol-botol air suci supaya bisa mengurangi caci atau mengobati benci. Di sana, aku mendapat kalimat-kalimat godaan dari sebagian mahasiswa tentang betapa montoknya tubuh. Hingga dengan melihatku saja tanpa menyentuh, keimanan mereka seakan-akan langsung rubuh. 



Lantas, tidakkah mereka paham apa yang sedang kawan-kawannya ini perjuangkan? Ada tujuh desakan. Salah satunya: Agar budaya patriarki mati. Supaya kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual, apa pun bentuknya, dapat lenyap. Sehingga para perempuan tidak perlu takut lagi tampil sesuai keinginan mereka. 

Perempuan-perempuan itu bisa santai memakai baju seksi tanpa takut diganggu lelaki yang menuhankan nafsu dan gampang ereksi. Perempuan-perempuan bercadar juga dapat beredar di jalan-jalan, lalu terlepas dari ejekan penampilan yang dianggap tidak sesuai standar. Mereka tak perlu lagi merasa miris sebab dituduh teroris. 


2/ 

Aku seorang kakak yang menerima kritik dari adiknya lewat sepenggal sajak Wiji Thukul, ”Apa guna banyak baca buku, kalau mulutmu bungkam melulu?” Aku pun tiba-tiba ikut terjun ke jalanan bersama mahasiswa lain untuk memprotes DPR goblok yang tak punya lagi rasa malu. Namun sesampainya di lokasi, aku mendadak pilu mendengar sebagian mahasiswa bersiul dan merayu seorang gadis yang membagikan kami air mineral. Penampilannya yang manis itu bagaikan sebuah oasis di padang pasir. Membuat siapa pun yang melihatnya bakal langsung naksir

Aku memberanikan diri menghampirinya, lalu meminta maaf kepada mahasiswi itu atas kelakuan teman-temanku. Mungkin aku juga sebenarnya ingin minta maaf buat diri sendiri. Pada masa silam, aku juga gemar melemparkan lelucon soal tubuh wanita. Aku kini sudah tersadar, sebab setiap kali mengingat dosa busuk itu akan menerbitkan derita. 

Tapi aku tetaplah pecundang tolol yang tidak mampu membela kehormatan wanita ataupun menegur oknum-oknum yang menjadikan para perempuan sebagai objek dan bahan ejek. Yang aku bisa hanya menahan diri dari godaan setan supaya tidak lagi ikut-ikutan. 


3/ 

Aku gambar kontol yang dilukis oleh seorang mahasiswa di suatu tembok untuk menunjukkan betapa muaknya masyarakat atas kinerja pemerintah. Aku burung tanpa sayap yang tidak mampu membela kejantanannya sendiri. Aku tidak sudi disamakan dengan bajingan-bajingan tengik di gedung-gedung itu. Jika aku bisa terbang, aku ingin kabur dari sangkar pemiliknya—para DPR yang bikin RUU untuk mengatur urusan selangkangan rakyatnya, padahal mereka sendiri tidak dapat mengontrol berahi. Adakah kata yang lebih laknat dari munafik untuk menggambarkan orang-orang seperti mereka? 


4/ 

Aku anak STM yang diremehkan dan disuruh pulang oleh sebagian pekerja kantoran. Katanya, daripada berbuat rusuh lebih baik kami belajar yang benar biar otak cerdas. Tapi, apa lagi yang harus kami pelajari di sekolahan? Di bangku sekolah, kami sudah banyak tertindas. Kehidupan telah mengajarkan banyak hal kepada kami. Orang tua kami susah payah mencari duit untuk biaya SPP, tapi banyak guru yang lupa atau sengaja tidak masuk ke kelas karena konon percuma mendidik orang-orang udik. Kami mau menggugat keadilan. Kami bukan menuntut adanya anarki. Kami cuma ingin sistem yang bobrok diperbaiki.


5/ 

Aku adalah polisi yang pada empat bulan silam, Mei 2019, menerima banyak puja dan puji. Namun, roda dunia mulai berputar, sehingga yang kami terima saat ini berubah menjadi hinaan keji. Mungkin kau tidak akan percaya bahwa masih ada polisi yang baik selain polisi tidur. Jumlah polisi baik memang sangatlah langka. Setidaknya, percayalah kepadaku ketika diriku ini tidak tega melihat kawananku menendangi tubuh beberapa mahasiswa. Memukul kepala mereka dengan pentungan. Mengeroyok pejuang keadilan itu bagaikan maling. Padahal, pencuri sebenarnya ialah bos-bos kami yang mendapat julukan tikus berdasi. Tapi kami terlalu bodoh dan hanya bisa patuh. Demi menutupi kesalahan itu, kami seperti biasanya akan mencari pembenaran terhadap apa pun, lalu berdalih, “Kami hanya menjalankan tugas.” Walaupun tugas itu sendiri malah membuat pohon kejujuran menjadi cepat ranggas.


6/ 

Aku seorang jurnalis yang dilarang untuk merekam fakta. Ponselku dirampas dari tangan, dibanting, dan akhirnya disita. Apakah polisi-polisi keparat itu tidak mau kejahatannya terlihat? Mungkin mereka takut citra mengayomi berevolusi menjadi menzalimi.


7/ 

Aku rakyat kecil yang tidak pernah percaya kepada aparat sejak masih muda. Sewaktu SD, aku sempat terserempet motor yang ditunggangi seorang polisi. Ia memang tidak kabur sebagaimana penjahat-penjahat tabrak-lari. Namun, tindakannya sungguh lebih biadab. Ia berusaha mencari celah, meyakinkan warga penolong bahwa akulah yang salah. Katanya, aku menyeberang jalan dengan tidak berhati-hati. Tapi apalah arti hati-hati, jika sosok pelindung masyarakat itu justru apati? Aku berpikir lebih baik hari itu aku mati. Karena tidak mampu memberikan bukti. 

Pada kemudian hari, benciku terhadap mereka semakin menjadi-jadi. Ayahku kehilangan motornya dan mengurus ke kantor polisi. Tapi kami tak sanggup membayar retribusi agar mereka lekas menangani kasusnya. Apa yang bisa orang miskin lakukan dalam hal ini? Kami seumur hidup berada di golongan bawah, tetapi polisi itu selalu memasang biaya penyelidikan yang terlalu mewah. Lebih baik kami ikhlaskan motor yang telah hilang, kemudian pulang dan menerima nasib malang. Sejak hari itu, kami tak pernah percaya lagi kepada para polisi. Mereka merupakan manusia-manusia palsu. Yang lebih pantas dijuluki asu.


8/ 

Aku sebuah tabung gas air mata basi yang ditemukan salah seorang saksi. Aku diperintahkan untuk membuat gerombolan mahasiswa itu menangis. Tapi pada akhirnya, akulah yang justru meneteskan air mata. Mengapa aku tetap dijadikan senjata oleh polisi-polisi bengis untuk menghukum para mahasiswa? Bukankah lebih baik mereka menembakkanku ke tempat pejabat-pejabat pendusta? 


9/ 

Aku sebutir peluru yang meraung-raung kala ditembakkan untuk mengusir para demonstran. Aku sadar kalau jeritanku tidak akan pernah terdengar oleh siapa pun. Meski begitu, aku tetap berteriak dan bilang “awas”. Lalu usahaku itu akhirnya malah sia-sia. Aku telah menabrak dada seorang mahasiswa hingga dirinya tewas. Aku sebelumnya sudah membujuk para polisi itu agar tidak perlu berubah ganas. Tapi, suaraku tidak akan mereka hiraukan karena situasi berubah semakin panas. Mereka hanya peduli perintah atasan untuk menegakkan tirani. Sampai-sampai melupakan betapa pentingnya nurani.


10/ 

Aku sehimpun puisi yang dirangkai secara terburu-buru untuk merangkum aksi demo masa kini. Aku tampil di sini tanpa memperhatikan rima dan estetika. Sebab penulisnya berkata, “Untuk melawan penguasa-penguasa jahaham, kita tidak lagi memerlukan keindahan dan etika.”

--

Sumber gambar: https://pixabay.com/photos/demonstration-hamburg-g20-human-2477988/