Sahur Cabur Hancur Lebur

“Sebelum cahaya berubah bencana, ia hanya api kecil di sudut ruang keluarga.” –Melancholic Bitch, Cahaya, Harga 

--

Puasa tinggal dua hari lagi. Kebanyakan orang sudah malas sahur, termasuk keluarga Pak Agus. Meskipun demikian, bukan berarti mereka tak mau menyantap makanan sama sekali. Mereka tetap ingin mengisi perut sekalipun buat beranjak dari kasur saja ogah-ogahan. Sayangnya, pikiran dan ucapan buruk bisa menjadi doa yang terkabulkan. Seperti yang terjadi hari ini, misalnya. 


Kakak baru benar-benar bangun dari tidur pada pukul empat pagi, padahal sekitar 15 menit sebelumnya Ibu telah meneriaki para anggota keluarga dari dapur. Dengan mata masih sepet, Kakak mengambil piring, membuka pengukus nasi, dan bermaksud menciduk nasi ke piring. Matanya langsung melotot ketika nasi yang dia lihat masih berwujud beras dan air. Kakak menggeser pandangannya ke lampu alat penanak nasi yang tidak menyala. 

“Lah, ini tempat nasi dari tadi enggak dicolok?” kata Kakak setengah berteriak. 

Ibu menyahut dari dapur, “Kok bisa? Tadi yang masak si Adik.” 

Sembari menggoreng tempe, Ibu memarahi Adik habis-habisan. Ibu lalu menjelaskan hal-hal yang telah mereka ketahui tentang menanak nasi: sebelum ditinggal pergi tuh lampunya diperhatikan lagi, sudah menyala atau belum; tombol juga jangan lupa dipencet. 

Adik berteriak dari kamarnya, “Tadi lampunya udah nyala, kok. Sebelumnya emang susah, enggak mau nyala. Aku coba utak-atik, eh bisa. Ya udah, aku tinggal ke kamar.” 

Kakak memperhatikan colokan yang menancap ke stopkontak. Kabelnya menyambung. Dia akhirnya sadar, jika kabel yang berada di pengukus nasilah yang bermasalah. Kabel itu hanya menempel, tapi tidak benar-benar tercolok. 

“Mungkin kabelnya udah kendor, terus ada yang nyenggol kali,” ujar Adik. Dia tak mau disalahkan begitu saja. 

Pertanyaannya, siapa yang menyenggol? 

Bapak masih tidur dan baru terbangun ketika mendengar keributan yang terjadi. Kakak berada di ruang tengah belum lama ini. Lalu, apakah pelakunya Ibu? Mengingat Ibu yang dari tadi sibuk di dapur, kayaknya bukan juga. 

sumber gambar: https://pixabay.com/photos/korean-cuisine-food-shrimp-1991580/

Ibu membawa masakan yang sudah matang ke meja makan di ruang tengah satu per satu. Terong balado, tempe goreng, dan udang goreng tepung. Aromanya sangat mengusik hidung Kakak dan Bapak.

“Capek-capek masak, nasinya malah enggak ada,” kata Ibu. 

Kakak merespons perkataan itu dengan mencomot udang goreng dan mencicipinya. Peduli setan dengan nasi yang belum matang.

“Tinggal beli ke warteg. Repot amat,” Adik langsung menyahut begitu keluar dari kamarnya. 

Seandainya Adik berkata seperti itu pada tiga hari silam, mungkin masalah bisa langsung selesai. Tapi hari ini sangatlah berbeda. Sejak kemarin lusa, warteg-warteg di dekat rumah mulai pada tutup karena para penjualnya sudah berangkat mudik. 

“Gih, cari sana warung yang masih buka,” kata Ibu. 

Seketika sadar akan kondisi itu, Adik lantas bilang, “Ogah amat. Kakak aja sana yang beli.” 

Kakak tak mau nekat. Walaupun nanti dia berhasil menemukan warteg dan membeli nasi, paling-paling sesampainya di rumah sudah terdengar kata “imsak” dari pengeras suara di masjid. Biarpun mereka tahu imsak yang sebenarnya adalah azan Subuh, atau dengan kata lain masih ada waktu buat menyantap hidangan, tapi makan terburu-buru jelas tidak asyik. 

“Sekarang begini aja, ini semua salah siapa?” tanya Kakak. 

“Salah yang masaklah,” kata Ibu. “Masak nasi selalu enggak becus. Waktu itu terlalu pera. Kemarin malah kurang air kayak mentah.” 

“Giliran nasi enggak mateng malah nyalahin orang,” ujar Adik. “Makanya bangun, jangan pada tidur terus. Kalau udah kayak gini aja bisanya pada bacot doang.” 

Kakak tertawa. Betul-betul anak sialan yang tidak bertanggung jawab sama kesalahannya sendiri. 

Adik mengambil segelas air putih dan langsung kembali ke kamarnya. 

Selama di kamarnya, Adik mengeluarkan umpatan berkali-kali dan mengutuk orang rumah yang tidak tahu terima kasih. Dua minggu terakhir ini, dia nyaris tidak pernah tidur dan menyempatkan diri untuk menanak nasi. Dia jugalah yang membangunkan keluarga buat sahur, terutama ibunya supaya menyajikan makanan. Namun, apa balasan yang dia dapatkan? 

Kakak merasa kesal dan tidak terima mendengar ucapan yang dimaksudkan buat menyindir dirinya. Tapi, benarkah dirinya itu kerjaannya cuma tidur? 


Enam jam sebelumnya, Kakak baru kelar mengeringkan pakaian di mesin cuci sebanyak dua ember dan menjemurnya. Beberapa jam sebelumnya, dia juga mengumbah pakaian-pakaiannya sendiri (secara manual, tentu saja) yang baru tersentuh sebagian, tapi kemudian malah diteruskan oleh Ibu. Daripada harus menunggu cucian Kakak selesai, kata Ibu, lebih baik sekalian dijadikan satu. Seusai menjemur pakaian itu, Kakak bahkan masih harus disuruh ibunya lagi.

“Kak, Ibu pengin indomi deh.” 

“Ya, tinggal bikin,” kata Kakak. 

“Kamulah. Ibu capek banget habis beres-beres rumah.” 

Sehabis salat Tarawih, Ibu merapikan seluruh ruangan. Mulai dari kamar tidur, kamar mandi, dan ruang tengah. Itu telah menjadi kebiasaan khusus saban kali menjelang Lebaran. Hanya bagian dapur saja yang sekarang belum dapat dipegangnya.

Selagi Kakak memikirkan alasan untuk menghindar atau menyuruh Adik, tiba-tiba Bapak bilang, “Bapak juga sekalian ya, Kak.” 

Kakak menghela napas dan mengembuskannya. Mau tak mau, dia cuma bisa patuh. Toh, percuma juga kalau menyuruh adiknya. Setiap kali diberikan tugas, Adik pasti selalu menjawab program andalannya: OK-OC alias ogah kerja, ogah capek. 

Contohnya, tadi saat Kakak mengeringkan pakaian, dia menyuruh Adik supaya mengumpulkan hanger dengan melepaskannya dari baju-baju yang sudah kering. Jawaban yang Adik berikan: Di cucian itu enggak ada bajuku, copot saja sendiri. 

Baiklah, Kakak mencoba memakluminya. 

Kakak risih melihat piring, gelas, dan sendok kotor yang masih menumpuk. Dia lalu memberikan perintah lain kepada adiknya, “Daripada cuma mainan HP, mending kau cuci piring.”

Mendengar kalimat itu, Ibu segera menimpali, “Udah enggak usah. Nanti biar Ibu aja.”

“Kau enggak kasihan apa sama Ibu?” kata Kakak kepada Adik. “Kalau emang tetap enggak mau, ya udah aku yang cuci piring, terus kau yang jemur baju.” 

“Dih, baju-baju siapa, yang jemur siapa. Malas amat.”

“Tai.”


Kakak mendadak kepikiran, apakah anak laki-laki itu banyak yang malas mengerjakan tugas-tugas rumah? Tapi, mengapa dia sendiri senang-senang saja setiap kali melakukannya? Dari sekian banyak pekerjaan rumah tangga, dia hanya benci menyetrika pakaian. Dia lantas teringat Bapak yang jarang sekali turun tangan menangani pekerjaan di rumah. Apa ini berarti salah bapaknya, sehingga si Adik menjadi begitu? Apakah doktrin akan tugas laki-laki cukup bekerja di kantor atau menghasilkan uang, sedangkan perempuanlah yang mengurusi rumah itu sangat melekat? Jika uang berlebih bahkan bisa pakai cara alternatif: sewa pembantu.

Menurut Kakak, pemikiran semacam itu sudah usang. Meskipun mencari nafkah adalah tugas Bapak, tapi Ibu pun boleh ikutan bekerja. Yang membereskan pekerjaan rumah juga bukan melulu perempuan. Selama sedang luang dan tenaga masih mampu, apa salahnya laki-laki mengerjakannya sendiri? Menjadi mandiri bukanlah ide buruk. 

Sialnya, setiap kali Kakak protes mengenai hal itu, terutama sewaktu Bapak enggan menaruh piring bekas makannya ke tempat cucian piring, Bapak diam saja. Sekalinya menjawab justru tidak mengenakan hati. Kan sudah menjadi tugas anak untuk berbakti sama orang tua. Kakak pun dongkol dan membatin, orang malas selalu bisa mencari alasan.

Memikirkan semua hal keparat itu, membuat perut Kakak keroncongan. Daripada hanya menyajikan buat orang lain, dia akhirnya ikutan memasak mi instan untuk dirinya sendiri. 

Tiga piring mi instan kini tersaji di meja makan. Dua mi goreng jumbo untuk Kakak dan Bapak, satu mi rebus rasa soto buat Ibu. Ketiganya langsung menggasaknya sampai habis. Setelah makan, Kakak pindah ke kamar dan beranjak tidur. 


Mereka tak mungkin makan mi lagi buat sahur. Ibu masih mencerocos tentang nasi yang masih beras tersebut. Kapan matangnya?

“Udah-udah, enggak usah ribut. Kalau mau makan nasi, minta aja ke sebelah,” kata Ayah. 

“Ibu enggak mau kalau disuruh minta-minta ke tetangga. Kalian aja sana.” 

“Aku paling anti yang namanya minta,” ujar Kakak. 

Ketiganya lalu makan apa yang ada sesuai selera masing-masing. Ibu mengambil buah pepaya dari dalam kulkas, kemudian mengupasnya, dan memakannya. Ibu tidak sreg lagi memakan masakannya sendiri. Entah karena sudah puas menghirup wanginya selama memasak atau rasa jengkel yang membuatnya kenyang. Bapak menggado udang dan beberapa jenis kue Lebaran. Kakak mengolesi tempe goreng dengan sambal balado, serta menaruh tiga buah udang di atasnya. Begitu tempe dan udang itu sudah habis dikunyah, Kakak melahap lagi dua potong terong. Kakak menutup sahur hari itu dengan minuman sari kacang hijau dan dua gelas air putih. 

Pelantang masjid mewartakan sudah masuk waktu imsak sebanyak tiga kali. Seketika itulah Ibu berteriak, “Adik kenapa enggak sahur? Sini, makan apa yang ada. Minum susu, kek. Makan biskuit, kek.”

“Biarin ajalah, Bu. Lagi ngambek dia,” kata Bapak. 

“Iya, lagian dia udah kenyang kok, Bu,” ujar Kakak. 

“Emang tadi dia sempat makan, Kak?” 

Sempet. Makan gengsi.” 

Bapak dan Ibu spontan tertawa. 


Sepuluh menit berselang, azan Subuh pun berkumandang. Pengukus nasi baru berbunyi—tanda sudah matang—kala Kakak sedang berwudu. 

Adik yang mendengar suara itu sekonyong-konyong menghampiri kakaknya, “Nasinya udah matang tuh. Makan sana, Kak, buruan. Udah aku masakin juga, malah enggak ada yang makan.” 

“Kau saja sana. Yang belum makan, kan, tinggal kau seorang.” 

Adik tidak menggubris perkataan itu. Dia hanya terkekeh-kekeh dan berangkat ke masjid.

9 Comments

  1. Kalau kebiasaan dari bapak nya pemalas begitu, lantas ibu pun juga bisa kebawa malas jadinya si anak yang harus repot-repot mengurus semua yang disuruh.

    Lantas apa kemungkinan si anak juga akan berlaku demikian ke anak-anak mereka nantinya? Kalau begini ya jadi repot ya. Didikan salah tak patut di contoh.

    Alangkah baiknya si bapak/ibu pun juga menunjukkan perilaku mandiri supaya anak juga bisa sadar diri biar semuanya pun bergerak dan bekerja mandiri supaya enggak kasihan dengan si kakak. Ayey X)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kembali ke orang-orang di sekitarnya, bakalan terpengaruh malas itu juga atau enggak. Anak yang bijak mestinya dapat mengambil baiknya, lalu membuang buruknya, dari setiap hal yang dia alami atau pelajari.

      Delete
  2. Hahahahaha. Program OK-OC itu mau gue tiru ah. #plak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selama duit masih mengalir terus mah OK-OC bisa diterapkan. Dengan kata lain: punya bapak tajir melintir tujuh turunan yang menjamin hidupmu. Wqwq.

      Delete
  3. Aku punya adik sejenis itu. 2 lagi. Ketika disuruh emak ngerjain ini, gak mau. Banyak alasannnya. Jadinya aku yg ngerjain. Pas udh selesai, beberapa jam kemudian dia nanya apa yg mau dikerjain tadi.

    Disuruh nyuci wc gak mau. Ampe dua hari berturut2 gak dikerjain. Main. Capek. Lagi tidur. Apa lah ada aja. Pas mati lampu dari malam. Air ledeng gak ngalir. Pagi2 dia kuras semua air wc. Org yg mau berak dan pipis jadi gak bisa. Pas diomelin dia nyaut, "kan emak yg nyuruh."

    Klo saja menyakiti tubuh manusia itu hukumnya mubah. Kubukan org penyabar lahir batin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Satu aja repot, gimana dua? Hmm. Konyol juga, giliran udah kelar baru bertanya. Meledek betul.

      Lah, giliran membantu malah menyusahkan. Andai saja doktrin pada keluarga tentang kakak, lebih-lebih anak pertama, harus bisa memberikan contoh terbaik buat adik-adiknya itu enggak ada. Percuma juga ngasih contoh kalau tidak ditiru. Wahahaha.

      Delete
  4. Sahurnya rusuh banget yaak wahaha. Dapet sih ini emosinya, gue bacanya smbil emosi jg sama si adik yg dibilangin batu bgt smbil baper, bapaknya yg rada ngselin jg, tau jd doang. ibunya jg rada ksian sih krjaannya jd bnyak, untung kakaknya hebat mau bantu2 krjaan rmh tangga. Cowok kyak gtu hrs dilindungi tuh😂ya mskipun dia agak ga mo ngalah jg ama adeknya. Bacot2annya khas adek kakak banget. Ah, emosi dan warna-warni di dlm kluarga.. Feelnya dpt. Hohoo. Palagi yg trakhir tuh kampret bner udh subuh baru nyuruh mkan nasi :'D pgn kemplang pala tu adik...

    Soal warteg dan sgala tkang makan yg udh pda ttup mnjelang lebaran.. Gue jg ikut mrsakan ksulitannya soalnya wkwk tp gue sih lebih ke ribet nyari mkanan buat bukaan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biar sesuai judulnya. Sahur yang kacau. Omong-omong, bacot-bacotan adik-kakak ini berlaku buat sesama jenis (terutama cowok) aja atau gimana, sih?

      Sama aja disuruh batal. Kan jadi pengin getok pakai centong nasi.

      Kayaknya cari bukaan masih lebih gampang, Lu.

      Delete
    2. Ohh artinya itu ya? Gue bacanya malah sahur cebar-cebur masa :'D
      Keknya mau adik-kakak cewek/cowok sama aja deh, kalo gak kakaknya yang jail ya adeknya. Udah hukum alamnya begitu. Pdhal gue gak ngerasain sih, tp yg gue liat dri org2 skitar gtu. Wkwk

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.