Ritual Bulanan

Brian Hugh Warner alias Marilyn Manson—seorang vokalis grup musik asal Amerika Serikat—memiliki ritual khas sebelum manggung. Salah satunya: memakan permen karet rasa pop corn. Phil Jones, pemain belakang Manchester United, juga punya kebiasaan khusus sebelum bertanding. Jika bermain di kandang, dia akan memakai kaos kaki sebelah kanan terlebih dulu; sedangkan di tandang, dia mengenakan yang sebelah kiri terlebih dulu. 

Ritual semacam itu mungkin hanya sebuah sugesti agar mereka dapat memberikan performa terbaiknya. Saya pun segera menengok diri sendiri. Apakah saya memiliki ritual terkait dengan kegiatan menulis demi terciptanya karya yang bagus? Kayaknya saya setiap pengin nulis mah langsung tulis aja. Hm, atau saya belum engah sama ritual saya sendiri? Baiklah, saya akan coba mengingat-ingatnya.

Sembari memikirkan hal itu, saya lantas teringat akan suatu artikel tentang Asma Nadia, penulis kondang novel religi, yang konon terbiasa berwudu sebelum menulis supaya prosesnya lebih lancar. Lalu ada pula ritual penyair sebelum menciptakan sajak-sajaknya. Agar tidak buntu dalam menyusun diksi, sebagian dari mereka membutuhkan kopi dan rokok sebelum menulis. Salah seorang kawan saya, Diana, juga memiliki kebiasaan serupa. Dia gemar menghirup aroma kertas dari buku-bukunya yang ada di rak. “Buat penyemangat gitu, biar tulisanku bisa sebagus buku yang lagi kucium,” katanya. 



Hingga akhirnya saya sadar akan ritual-ritual sejenis itu. Belakangan ini saya mulai jarang banget menulis. Ide dan poin-poin sudah coba saya catat, tapi tak ada satu pun yang berhasil tertuang menjadi tulisan utuh. Penyebabnya mungkin karena saya meninggalkan sebagian ritual bulanan berikut ini. 


1. Menonton salah satu (atau malah semuanya kalau sedang luang) Trilogi Batman; Batman Begins, The Dark Knight, The Dark Knight Rises, garapan Christopher Nolan 

Saya rela dianggap penggemar garis keras—atau orang fanatik tolol—karena selalu menyebut film ini ketika ditanya, “Apa film pahlawan super favoritmu?” Mau bagaimana lagi, trilogi ini memang tidak pernah membosankan saat saya tonton ulang saban sebulan sekali.

Walaupun ada yang pernah mengulas trilogi ini biasa aja karena adegan berantemnya payah dan cuma sedikit, nilai bagusnya tetap tidak akan luntur. Saya bahkan berani menimpali pendapatnya itu, bahwa selera dia yang justru culun sebab melihat film kok hanya dari sisi bertarungnya. Coba tengok sisi psikologis tokohnya. Nolan jelas berhasil bikin saya menyelami psikologis karakter-karakternya. 

Sehebat-hebatnya pahlawan super, mereka tentu punya kelemahan sebagaimana manusia yang tidak sempurna. Nah, kerentanan Bruce Wayne dalam film ini sungguh bikin karakternya semakin nyata. Dia memiliki masa lalu kelam atau trauma masa kecil. Dia juga punya ketakutan, yakni kelelawar, yang akhirnya dijadikan simbol—untuk membagi rasa takutnya itu kepada para musuhnya. Dari film ini saya belajar bagaimana penulis berusaha masuk dan menggali kejiwaan setiap tokohnya. 


2. Membaca esai Etgar Keret, Hanya Pendosa yang Lain 

Apakah para bloger pernah menganggap dirinya keren karena mereka itu menulis? Pada 2015-2016 saya sempat merasa bangga akan hal itu. Tapi sehabis membaca esai Keret, Hanya Pendosa yang Lain, saya langsung membuang kebanggaan tersebut. Kalimat yang berbunyi: “Penulis bukan orang yang lebih baik daripada pembacanya” sangatlah menampar diri saya. 

Beberapa penulis mungkin gemar meremehkan pembacanya. Misalnya, merasa lebih hebat dan pintar. Padahal, Borges pernah bilang bahwa membaca merupakan kegiatan yang lebih intelek daripada menulis. Berarti apa yang Keret sampaikan kalau penulis bahkan lebih buruk daripada pembacanya memang ada benarnya. Penulis bukanlah seorang nabi. Apa yang mereka sampaikan bisa saja salah. Termasuk tulisan yang sedang kamu baca saat ini.

Alhasil, saya jadi sangat berterima kasih kepada Keret karena tulisannya itu mengajarkan saya supaya rendah hati atau tidak sombong. Tulisan masih jelek begitu kok bisa-bisanya bersikap angkuh. Lagian, apa bedanya penulis dengan profesi lain? Yang saya tahu, sih, setiap pekerjaan sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.


3. Joging sepuluh putaran atau lebih



Dalam setahun terakhir ini, saya telah membiasakan diri untuk joging di lapangan dekat rumah minimal seminggu sekali. Saya tak pernah menghitung dan menargetkan berapa putaran setiap kali berlari. Sekiranya sudah capek, saya akan berhenti. Yang penting saya dapat berolahraga dan tubuh bisa bergerak lebih banyak dari biasanya. Namun terkadang saya juga pengin mengukur kemampuan itu, dan tiap kali berlari saya biasanya selalu mencapai 7-9 putaran. Akhirnya saya jadi penasaran, mampukah saya mencapai sepuluh putaran? 

Hasilnya: sanggup, tetapi saya nyaris semaput atau udahannya kaki saya pegal bukan main. Sehingga setelahnya saya enggak mau terlalu memaksakan diri lagi. Hal-hal yang berlebihan sungguh tidak baik, bukan? 

Pemikiran itu entah kenapa mendadak berubah pada awal Agustus menjelang Asian Games 2018. Saya berjumpa dengan beberapa calon atlet yang usianya kisaran 10-17 tahun di Lapangan Romsol. Dari hasil curi dengar, setiap kali latihan mereka harus berlari 20 putaran. Seketika itu saya termotivasi buat joging bareng mereka. Meskipun saya mengerti bahwa tidak akan mampu menyeimbangi ketahanan tubuh mereka, tapi tanpa sadar saya ternyata berhasil menempuh 13 putaran. Sejak itulah saya selalu pengin menantang diri untuk joging sepuluh putaran atau lebih, setidaknya sekali dalam sebulan. Tantangan seperti itu bisa berlaku juga buat menulis. Contohnya, menghasilkan teks lebih banyak dari kemampuan biasanya.

Saat otak atau pikiran sedang buntu, tubuh tidak boleh tinggal diam. Ia butuh pergerakan. Sayangnya, sudah lama saya tidak bergerak alias joging. Jangankan untuk berlari sepuluh putaran, sekali pun saya belum melakukannya pada bulan ini semenjak kuku jempol kaki sebelah kiri saya copot setengah akibat suatu tragedi jahanam pada akhir Maret. Saya rada takut buat berlari karena kuku jempol itu masih terasa ngilu ketika saya pakaikan sepatu. Gimana kalau buat joging? Mau tak mau, saya pun meninggalkan rutinitas yang satu ini.

Katanya kalau kurang olahraga itu bikin peredaran darah tidak lancar. Berhubung sudah lama enggak joging, mungkin beginilah jadinya. Pikiran saya tidak sejernih biasanya sebab aliran darah ke otak sedikit terganggu. Sewaktu saya berlari, jantung akan berdetak lebih cepat dari biasanya. Kala itulah saya selalu merasa ide cerita di dalam kepala banyak bermunculan. Bukan malah mampet seperti sekarang. 


4. Mendengarkan album Mono, For My Parents

Saya pernah mengatakan musik instrumental ialah teman yang asyik saat menulis. Lagu-lagu Mono dalam album ini tidak sebatas menemani saya dalam hal itu saja. Terkadang saya gunakan untuk pengantar tidur. Pada lain waktu saya gunakan buat merenung. Belakangan ini saya mulai memikirkan kenapa albumnya bertajuk seperti itu. Apakah lagu-lagunya itu memang mereka persembahkan buat orang tua? 

Saya jadi kepikiran tentang hal-hal apa saja yang telah saya berikan kepada orang tua, terutama ibu. Saya pikir sejauh ini masih suka merepotkan beliau. Saya kira juga belum ada satu pun hal yang bisa membuat mereka bangga. Saya adalah seorang pecundang yang gagal bikin orang tuanya bahagia. 

Album ini lumayan mewakilkan segala kekhawatiran saya terhadap keluarga. Ada lagu yang secara tidak langsung sebagai permintaan maaf kepada mereka karena sampai hari ini belum dapat mewujudkan mimpi-mimpi. Tolong Ibu dan Ayah percaya, serta bantu doakan saya agar tidak tersesat dalam menempuh jalan yang saya pilih sendiri ini. Ada lagu yang bikin saya bernostalgia akan kenangan masa kecil sewaktu kami sekeluarga piknik ke Kebun Binatang Ragunan dan Taman Mini Indonesia Indah, atau zaman kami masih sering mudik dengan formasi lengkap. Saya sadar kebersamaan itu akan sulit terulang kembali. Ada pula lagu yang mengantarkan saya ke tempat menenangkan. Keluarga adalah rumah yang menjadi tempat saya pulang ketika letih. Bukan malah membuat saya ingin kabur karena berbagai kejadian berengsek pada waktu silam. Semoga hal-hal busuk itu tidak terulang lagi. Dan seterusnya, dan sebagainya. 

Setiap kali mendengarkan album ini, pasti ada efek sedih yang mendalam buat saya. Tak ingin terus-terusan menjadi manusia melankolis, saya lalu berusaha mengurangi porsinya. Hingga lama-lama saya lupa dan akhirnya tidak memutarnya lagi. Ujung-ujungnya justru bikin emosi saya tertahan. Energi negatif yang sepatutnya dikeluarkan, kini malah terpendam. Saya pun kesulitan buat menumpahkan perasaan ketika menulis.


Seandainya keinginan saya buat menulis kali ini tercapai, maka tandanya saya telah mencoba untuk melakukan ritual bulanan itu lagi pada hari ini. Apa kamu percaya sama ritual saya barusan? Mengingat saya belakangan ini sangat tertarik dengan fiksi, boleh jadi itu semua kebohongan. Itu cuma akal-akalan saya yang sedang malas ngeblog dan pengin leyeh-leyeh sebagai seorang pembaca.

26 Comments

  1. Trilogi Batman itu trilogi terbaik sepanjang gue nonton film trilogi sih.

    "Hal-hal yang berlebihan sungguh tidak baik" di tulisan lo ini kayaknya gak berlaku pada semua hal ya. Kayak lari, ternyata bisa aja kan asal ada kemauan. Jadi ingat dulu ada reality show yang enggak reality reality amat, namanya Target dan Strategi. Di Indosiar. wkwk.

    Soal menulis, kita agak berseberangan nih. Gue malah sedang berusaha menulis lebih pendek dari biasanya, tapi padat dan lebih berisi. Biasanya kalau terlalu panjang lebih banyak basa basinya soalnya. Kalau elo bisa nulis panjang dan padat berisi, lebih oke lagi sih. Sama apa lagi ya tadi, lupa gue haha. Oh, soal ritual lo yang kebanyakan itu, gue merasa malah itu adalah zona nyaman lo. Dan kalau memang iya, kayaknya lo harus coba keluar dari situ sekali-kali. Pasti seru!

    Anjing panjang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, buat beberapa hal terkadang berlebihan itu ada perlunya supaya diri ini jadi lebih baik. Masa iya gitu-gitu mulu. Itu acara apaan? Udah lupa gue sama acara TV. Wqwq.

      Itu maksud gue teks yang dihasilkan enggak melulu panjang tulisan, Man. Misal sebulan bisa bikin 8 artikel, sesekali harus menantang diri biar menulis lebih banyak.

      Sip! Nanti mau cari ritual baru, siapa tau malah dapet hal menarik. Ya, meskipun nantinya bakal jadi zona nyaman lagi, dan perlu keluar lagi cari yang lain. Gitu terus sampai berkembang. Haha.

      Delete
  2. Setelah membaca ini sejujurnya saya bingung mau menanggapi apa. Mungkin juga karena diri sedang tidak konsentrasi dan berbagai hal lainnya. Jadi, di postingan ini ijinkan saya hanya menyimak saja ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enggak semua tulisan harus ditanggapi, kan? Jadi, ya monggo saja.

      Delete
  3. Jadi kegampar ama komennya Firman. Tapi ya itu juga udh kamu ungkapin di akhir kalimat, Yog. Kebiasaan yg disebut ritual itu mungkin merupakan excuse buat diri sendiri. Tapi gimana ya... terlepas itu hanya pembelaan/alasan kenapa gak produktif, kenyataannya, emang banyak org yg memerlukan ritual tersebut. Ada yg ngaku perlu patah hati, di kafe sendirian, mendaki, dlsb. Tiap org punya cara sendiri intinya. Perkara itu akan dianggap ketergantungan yg bikin manja, ya, disikapi bagaimana baiknya menurut diri sendiri pula.

    Kalo saya sendiri gak pernah ngeh ttg ritual2 begitu. Namun, kalo ngeliat kebiasaan diri di tahun2 lalu. Sepertinya saya harus rajin2 dengerin kembali playlist lagu dangdut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, balik ke diri sendiri gimana cara asyiknya. Omong-omong soal ketertgantungan, yang paling bikin males tuh malah tulisan saya pernah ketergantungan sama konjungsi kayak "namun", "tapi", "karena", "sebab". Pernah ditegur si cees soal ini. Entah ini masih sering keulang atau lumayan ada perbaikan. Hahaha.

      Anjir, saya udah lama banget enggak denger dangdut tuh. Terakhir kali denger aja tuh zaman Kimcil Kepolen sama Jaran Goyang pas lagi tenar-tenarnya.

      Delete
  4. Trilogi Batman, kayaknya aku baru nonton satu doang itu. Besok nyoba download ah.

    Kalau di Marvel, Batman ini kaya Iron Man nggak sih, karakternya? Kaya, seneng main perempuan, tapi pinternya bukan main. Saya tim Iron Man *enggak nyambung, anjai.

    Kalau saya bangganya bukan karena bisa nulis atau jadi penulis. Tapi lebih bangga pas nama sendiri bisa dikasih embel-embel dot.com di internet. Berasa keren banget itu dulu pas awal-awal punya domain sendiri. Tapi makin kesini juga biasa aja.

    Dari awal tahun kemaren punya resolusi buat jogging lagi, tapi sampai sekarang resolusi ku yang itu enggak pernah terealisasi. Sungguh payah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cobain, Wis. Awas ketagihan. Haha. Iya, lumayan mirip. Playboy, pinter, tajir.

      Ah, itu saya juga sempet bangga. Pernah norak juga. XD Lama-lama pasti bakalan biasa aja. Itu padahal bekas kampusnya ada tempat enak buat lari, kan? Wqwq.

      Delete
  5. Saya nggak punya ritual apapun mas, cuma kalo lagi nulis artikel buat update blog harus ditemani minuman yg mengandung kafein biar bisa lebih konsentrasi terkadang juga sambil ndengerin lagu2

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti seperti yang saya sebutkan di tulisan, Mas Aris termasuk orang yang butuh kopi dulu biar lancar nulis.

      Delete
  6. Alasan logis mengapa penulis tidak lebih baik dari pembaca: banyak penulis yang tidak membaca.

    Di situlah bedanya. Seorang pembaca yang rakus (dan baik) punya wawasan yang luas dan cenderung lebih fleksibel dalam memandang suatu hal. Pendeknya bisa lebih toleran.

    Banyak pembaca yang enggak suka menulis dan ini enggak jadi masalah. Yang jadi masalah malah ketika suka menulis tapi enggak suka membaca.

    Omong-omong, komentar Firman soal "makin pendek makin padat" ada benarnya. Setuju. Dan ini juga tantangan untuk para penulis: berani menghapus banyak paragraf demi hasil yang lebih maksimal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Konteksnya di tulisan ini bukan itu aja, Gip. Apa yang Keret maksud juga sepertinya lebih luas. Tapi ya, interpretasi orang kan bebas. Hahaha.

      Bikin orang mau baca tanpa paksaan enggak segampang itu juga, sih. Misalnya, para penulis yang lu sebut itu mungkin belum bisa membedakan "di". Secara enggak langsung mereka males baca kamus dan pengantar EBI gitu, kan?

      Ini habis baca komentar lu kayaknya gue betulan mau leyeh-leyeh baca aja. Asyikan baca. Nulis mah capek, mending kalo bagus~ Urusan nulis mending serahkan ke yang jago-jago. Wqwq.

      Gue juga sepakat, tapi ada kalanya aturan semacam itu perlu ditabrak. Meskipun ini tergantung ke penulisnya lagi. Dia bisa atau enggak bikin pembacanya tahan. Karena mau ngalor-ngidul pun bisa nikmat di tangan orang-orang yang ahli mendongeng.

      Delete
    2. Sebenarnya bukan ke sana arahnya, meskipun itu menjadi salah satu faktor.

      Tadinya, arah komentar saya begini:

      Kalau enggak suka baca, gimana bisa bikin tulisan bagus?

      Itu dalam banyak hal, bukan cuma cara menulis. Bisa cara mengemas, cara menyusun, sampai cara memilih diksi.

      Ada, kan, penulis yang dari sisi penulisan rapi, tapi cara menyampaikan ancur. Dan tipe penulis ini kayaknya enggak banyak baca. Karena untuk bisa bercerita, kita perlu sering baca/dengar cerita.

      Kayak gitu kira-kira.

      Sama, Yog. Saya juga lagi di tahap lebih senang baca daripada nulis. Kalau saya karena bensinnya keresahan, dan, kayaknya akhir-akhir ini mulai jarang resah. Terlalu bodo amat pada banyak hal 😂😂😂

      Delete
  7. duh kan jadi ikutan menengok diri sendiri apa ritual yang biasa kulakukan, wkwkwk
    dulu jadwal joggingku rutin dan terealisasi, tapi makin kesini makin milih buat gegoleran. untuk nulis masih tergantung mood, paling enak kalau lagi galau. wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu kamu kayak yang dikomentarin sama si Haw, La. Butuh patah hati. Haha. Lancar nulisnya ketika galau.

      Delete
  8. Wah, kalo masalah ritual sblum nulis.. gak ngeh juga sih gue. Blm nemu. Makan/ngemil? itusih emg gue doyan. Dgr lagu kdang bisa bkin smagat nulis.. atau malah bisa salfok, nntn yutub, liat pidioklip, dll akhirya gak jadi nulis :( wkwk. blm mnemukan ritual yg tepat biar smangat nulis. Lebih tergantung sm mood yg ada, atau apa yg terjadi di lingkungan skitar gue, apa yg gue suka, krna emg tema yg gue tulis sehari2 sih, gakk yg berat2. itupun kdang msh susah jg nyusun kalimatnya klo lg males :') biar lebih epektif lg biasanya gue bikin paksaan "deadline" sendiri.

    kayak yg dibilang bang firman td, pgnnya nulis pendek tp padet gtu. Kbiasaan gue kalo nulis bnyak kata2 tidak penting dan bertele2.

    itu kuku jempol kaki knp copot? gue jg kuku jmpol kaki kiri udh separo otek2 gtu. awalnya gegara jalan jauh tp pake sepatu cewek (wedges) dan ngehimpit jempol trs2an. Tinggal mnunggu wktu aja ini smpe ini kuku copot sndirinya. Udh jele gaje gtu. Pgn gue copotin tp takut. serem njjir wkwkw spertinya saya memang tidak cocok pake sepatu cewek, mendingan sneakers/sendal jepit aja skalian lah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena tenggatnya dibuat sendiri, biasanya bakalan dilanggar sendiri kan, ya?

      Intinya, pendek emang bagus selama itu enggak miskin informasi. Panjang juga keren-keren aja kalau enggak ada kalimat yang mubazir. Tiap penulis biasanya punya takaran tersendiri. Lebih enak lagi ada editornya biar kita enggak subyektif sewaktu menilai. Wahaha.

      Kecelakaan kecil, Lu. Mirip temen gue tuh berarti kasusnya. Dia karena pakai sepatu futsal kesempitan. Nah, mending sneaker aja daripada nyiksa kaki sendiri.

      Delete
  9. Saya termasuk yang butuh kasih sayang ritual yang selalu saya lakukan wkkwkwkw

    ReplyDelete
  10. fix, ritual kamu mirip banget kayak aku. nonton, baca, jogging, dengerin lagu, nulis. introvert ya? hehe. kalau aku selain dengerin lagu, belakangan lagi seneng nyusun playlist spotify untuk berbagai mood situasi dan kondisi. asik banget loh nyusun playlist.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kelihatan banget introvertnya, kah? Haha. Waktu itu saya juga pernah nyusun di SoundCloud. Daftar putar buat baca buku, nulis, lari, pengantar tidur, teman perjalanan. Tapi kayaknya beberapa udah dihapus.

      Delete
  11. Horeee .. akhirnya ritual menulis bulanan mas Yogq terselesaikan juga di bulan ini ya 😁.

    Kalau aku ya, mas ... ritualnya mungkin agak berbeda.

    Gini nih:
    Kalo aku lagi suntuk pikiran, langdung saja ngeloyor ke salah satu kolam mata air yang jerniiiih banget ..., yang juga digunain buat penduduk sana untuk mandi.
    Langsung deh nyebur berendam lamaan disana.

    Mentas-mentas, plong pikiran ... dan semangat nulis lagi 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya enggak mungkin menemukan kolam kayak gitu di Jakarta, Mas. Intinya melihat sesuatu yang bikin tenang, ya? Hahaha.

      Delete
  12. kalo diinget2, aku sepertjnya ga pernah ngelakuin ritual tertentu sih sebelum nulis.Semuanya berjalan sesuai mood :D. kalo memang mood sdg ga bgs, aku ga bakal paksa nulis. krn tau hasilnya pasti makin ancur.

    Kalo ttg jogging, aku malah jadi inget, thn ini blm ornh ngelakuin jogging samasekali. padahl thn kmrn aku lumayan rutin, bahkan seminggu sekali sengaja jalan kaki dari salemba ke rawasari, hanya supaya badan ttp bergerak. Kayaknya hrs aku mulai segera :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, hasilnya bakal jelek atau enggak semengalir biasanya.

      Jadwal saya joging juga kacau banget dibanding beberapa bulan sebelumnya. Mana ini udah mau puasa. Jelas bakal libur sebulan. Hahaha.

      Delete
  13. Hmm.. aku jadi pengen lari 10 putaran juga nih..
    10x putaran dapur rumah hahahhahahhaha
    -_- hadeh becanda aja

    No, seriously... pengen coba ah. 10x putaran komplek rumah
    tapi mungkin bertahap kali yaah .. ngga mau klo langsung 10
    bisa mooodyyarrr...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap, sedikit demi sedikit lebih baik. Selain patokannya putaran, pakai hitungan lagu juga bisa. Misalnya, bikin daftar putar belasan lagu. Baru berhenti ketika lagunya habis.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.