Trio Begundal Berupaya Membakar Habis Kebingungan Film Burning

Jika kamu tidak suka dengan bocoran cerita, saya sarankan langsung keluar saja dari tulisan ini. Pintunya berada di pojok kanan atas yang berwarna merah dan terdapat tanda X. Kalau kadung penasaran, kamu bisa menonton filmnya terlebih dahulu, baru balik lagi ke sini.

— 

sumber: https://www.vogue.com/article/burning-movie-review-lee-chang-dong

Hairunnisa—yang akrab disapa Icha—tampak terkejut ketika mendapati saya menonton film Burning (2018) garapan Lee Chang-dong. Dia pun bertanya lagi untuk memastikan, apakah saya betul menonton filmnya. Mungkin karena dia tahunya saya lebih gembira berhadapan dengan teks daripada visual. Begitu mendengar jawaban “iya”, dia lantas meminta saya menjelaskan tentang film itu. 

Asli, saya minder jika berbicara soal film di hadapan pengulas film kesayangan—orang tua, pacarnya, dan WIRDY (sengaja saya senggol biar grup ini tidak hilang dari peredaran). Sejujurnya, saya sendiri masih bingung untuk menjelaskan film tersebut. Kepercayaan diri saya bahkan termasuk rendah dalam mengulas suatu film. Lalu dengan seenak jidat, saya pun melempar tanggung jawab itu kepada Hawadis, salah seorang teman yang juga menonton filmnya. Sehari sebelumnya, kami sempat mengobrol singkat tentang film Burning


Alih-alih sepi, semakin malam Kota Kicau justru bertambah ramai. Jejak-jejak pestanya pun masih terlihat hingga pagi. Seharusnya saya sadar akan hal itu, sehingga saya tidak perlu memperlihatkan diri atau meninggalkan tanda saat berkunjung ke sana. 

Banyak orang memilih berwisata ke kota ini. Selain karena hanya mengeluarkan sangat sedikit biaya atau anggap saja gratis, buat sebagian orang Kota Kicau bisa menjadi tempat pelarian ampuh dari dunia nyata yang amburadul. Di sana kita dapat menghibur diri dengan menyaksikan hal-hal lucu, berteriak sekencang-kencangnya agar beban hidup sedikit berkurang, mencari teman maupun pasangan hidup, dan seterusnya, dan sebagainya.

Namun, akhir-akhir ini saya lebih senang menjadi pemerhati kota tersebut. Mungkin karena sudah terlalu banyak orang palsu mengisahkan sesuatu hal yang tidak kalah palsunya demi mendapatkan perhatian pengunjung lain. Lebih-lebih yang menceritakan pengalaman bercinta demi mendapat cap keren atau gaul atau nakal atau apalah. Dan yang paling bikin muak: penuh spanduk kampanye politik. Sekilas kota itu tak ada bedanya dengan dunia nyata tempat saya tinggal.

Enaknya, sih, di Kota Kicau saya bisa menjadi tak terlihat. Saya tinggal mengaktifkan mode hilang dan cuma menyimak keadaannya. Tapi pada suatu malam saya mulai bosan memakai fitur itu melulu, lalu berkicau mengenai film Burning. Kala itulah Hawadis mendengar suara saya. Dia pun menyapa saya yang baru pulang dari Bioskop Imitasi. Haw pun bilang begini: “Otak saya bekerja rada keras pas nonton film itu, Yog.” 

“Ini saya kelar nonton juga masih bingung, Haw. Saya langsung cari artikel terkait, coba baca cerpennya. Baru deh rada paham, oh, ternyata gitu. Omong-omong, kamu ikut terbawa kesepian dan kemarahannya, kah?” 

“Kesepiannya, sih, enggak, Yog. Saya cuma ikutan kesel dan suuzan.” 

Mungkin efeknya berbeda pada setiap orang. Yang jelas, pengaruh film itu masih sangat melekat di dalam diri saya. Saya merasa tidak bisa melanjutkan obrolan bersama Haw. Saya hanya ingin buru-buru pulang dan menikmati kesepian itu. Saya pun pamit kepadanya. 


Melempar tanggung jawab tentu tindakan seorang pengecut. Saya tak ingin menjadi seperti itu. Saya pun berubah pikiran dan berniat menjelaskan film itu kepada Icha. Meskipun saya tidak terlalu paham tentang filmnya, setidaknya saya akan berusaha semampunya.

Mengingat suara saya bisa didengar oleh siapa saja—terutama yang sudah saling kenalan—di Kota Kicau, saya mengajak Icha ke Taman Wacana Asyik agar lebih privat. Di Taman Wacana Asyik (orang-orang terkadang menyingkatnya menjadi Taman WA) cocok untuk mengobrol berdua. Bisa juga lebih, tapi khusus untuk orang-orang yang diundang. Walaupun setiap orang bisa mengunjungi taman ini, kami tidak usah merasa cemas akan kehadiran orang lain. Mereka tidak akan bisa melihat maupun mendengar obrolan kami, begitu pun sebaliknya, kecuali informasi itu direkam dan dibocorkan ke publik.

“Kamu nangkep film itu gimana emang, Cha?” tanya saya, begitu melemparkan bokong ke salah satu bangku panjang di taman itu. 

Icha bergeming. Diamnya seakan-akan memberi tahu saya: Kalo aku ngerti, buat apa aku segala nanya kamu?

Saya pun menghela napas, mengembuskannya, dan mencerocos begini: 

Menurut saya, film itu terserah penonton mau menafsirkannya kayak gimana, Cha. Kalau akrab sama cerita-cerita Haruki Murakami, sih, enggak perlu kaget lagi. Mungkin karena kamu belum baca, makanya bingung banget. Berhubung saya lumayan gandrung sama tulisannya dan juga udah baca cerpen Barn Burning, saya bisa kasih tau kebiasaannya Haruki. Dia ini selalu membiarkan pembacanya jadi semacam detektif gitu. Sengaja menimbulkan beberapa pertanyaan. Suruh tebak-tebak sendiri. 

Terus enggak akan merasa asing sama perempuan yang tiba-tiba lenyap. Nah, di film ternyata bagian itu masuk juga. Bedanya, di cerpen tuh enggak ada petunjuk sama sekali untuk mengarahkan pembaca siapa pelakunya. Kalo di film kan ada. Misteri soal hilangnya Hae-mi (Jeon Jong-Seo) ini, tanda-tandanya tersebar di sepanjang film itu. Saya sendiri jelas bakal menuduh Ben (Steven Yeun). 

Alasan kenapa sang protagonis, Jong-su (Yoo Ah-in), membunuh di akhir cerita, bisa jadi itu puncak kemarahannya sama hidup. Cewek yang dia cintai awalnya direbut secara enggak langsung dan akhirnya menghilang. Bapaknya masuk penjara. Ibunya (yang pergi sejak dia masih kecil) tiba-tiba datang lagi buat curhat mengenai utang alias minta dibayarin. Apalagi terakhir kali maen ke rumah Ben ada kumpul-kumpul. Ada cewek yang bercerita tentang pengalaman liburannya. Jong-su langsung inget sama cewek yang dia sayang itu. Jong-su dari awal juga udah cemburu (baik perihal romansa maupun ekonomi) sama si Ben. Bayangin aja pas baru balik dari bandara, mobilnya kontras banget. Satunya mobil pikap, lainnya Porsche. Kastanya jauhlah antara si miskin dan si kaya. 

Udah gitu si Ben ini kok bisa-bisanya masa bodoh sama cewek yang lenyap itu, terus malah dateng cewek baru. Seakan-akan gampang banget buat gonta-ganti cewek. Lalu di kamar mandinya ada kotak rahasia gitu, kan? Di lacinya juga ada koleksi barang-barang cewek. Sewaktu Jong-su ngecek kedua kalinya, ternyata ada jam tangan yang waktu itu dia menang lotre—yang akhirnya dikasih ke Hae-mi. Bisa jadi Jong-su berpikiran si Ben punya kelainan yang lebih parah dari yang pernah dia ceritakan. Ben melenyapkan para perempuan yang baginya sudah membosankan. Orang tajir melintir mah bebas. 

Kelainan Ben, kan, suka membakar gudang plastik. Hobi ganjil itu dibenarkan dengan dalih: gudang plastik itu emang menunggu untuk dibakar. Saya pikir gudang plastik itu semacam metafora buat cewek-cewek yang udah enggak berguna lagi baginya. Inget sewaktu Ben bilang, “Kau tidak melihatnya karena terlalu dekat”?

Apa coba maksud perkataan Ben? Apa betul Ben membakar gudang plastik itu? Jong-su mungkin akhirnya engah sama hal itu. Yang Ben maksud siapa tau si Hae-mi. Masalahnya, waktunya juga pas banget sama lenyapnya cewek itu. Seakan-akan justru si cewek yang terbakar dan telah menjadi abu. Asli, ini saya liar banget mikirnya. 

Bom emosi yang ditahan-tahan Jong-su itu pun meledak. Mungkin ada juga sifat bawaan dari bapaknya. Jadi, perbuatan Jong-su ini cuma semacam balas dendam karena Ben udah membakar cewek yang Jong-Su sayang, membakar emosi juga karena mengolok-olok kemiskinannya secara tak langsung. 

“Udah, Yog?” tanya Icha. “Sumpah, itu tadi kamu lagi ngejelasin apa bacain draf tulisan blogmu?” 

Saya tertawa. “Kamu sendiri udah jelas belum, Cha? Kalau mau lebih jelas lagi, bisa saya panggil Haw ke sini.” 


sumber: http://media.alvanista.com


Dua meter di sebelah kanan dari tempat saya dan Icha duduk, terbuka sebuah portal berbentuk lingkaran sebagaimana di permainan Mortal Kombat Shaolin Monks. Muncul seorang laki-laki berambut ikal yang memakai kacamata berbingkai kotak.

“Rapi amat, Haw. Ini kita kan mau ngobrol doang,” ujar saya. 

Saya berkomentar seperti itu karena Haw mengenakan sweter hitam, celana denim biru, dan sepatu merah. Penampilannya bagaikan orang yang ingin berkencan.

“Kamu lagian manggilnya dadakan,” kata Haw. “Ini saya kebetulan mau pergi juga sama temen.” 

“Temen apa temen?” kata Icha. 

Haw langsung balik badan, lalu berusaha kembali ke portal itu. Portalnya segera saya tutup. Pintu itu baru bisa terbuka kembali setelah setengah jam. Haw mengumpat. Saya dan Icha pun tertawa. 

“Kalo temenmu cewek, palingan dia dandannya lama, Haw. Tenang aja,” kata saya. 

Haw kembali misuh-misuh. Setelah puas, barulah dia bertanya kepada saya, “Ini mau lanjut bahas film Burning yang waktu itu ketunda, Yog?”

Saya menjawab dengan manggut-manggut. Haw meminta pendapat saya terlebih dahulu. Saya pun mengulang penjelasan yang telah saya sampaikan kepada Icha. Kali ini tentu dengan lebih singkat. 


“Kurang lebih sama, Yog. Saya pernah bahas juga sama temen, eh dia menyimpulkan berbeda. Jadi ini emang tergantung penontonnya,” kata Haw. “Kayak saya yang pernah baca di fisika tentang teori Kucing Schrodinger. Itu teori tentang keadaan yang enggak jelas sampai semuanya berakhir. Jadi kucingnya dikasih gelombang radioaktif dalam kotak tertutup. Enggak jelas apakah mati dan hidup. Jadi hitungannya tuh mati dan hidup. Bukan mati atau hidup.

sumber: https://chillingcompetition.com/

“Eh di filmnya ada kucing yang disimbolkan begitu juga. Enggak jelas. Dibilang ada, tapi kagak kelihatan. Dibilang enggak ada, tapi kok makanannya habis. Kalo soal siapa pembunuhnya, sepanjang film saya udah suuzan sama Ben dan temen-temennya. Jadi pas di akhir, kenapa Ben ditusuk dan dibakar, aku memilih untuk percaya kalo Ben emang yang membunuh cewek itu. Memilih ya ini. Kalo orang lain menganggap enggak karena kagak ada bukti, ya enggak apa-apa.” 

“Saya sempet cari tahu juga soal kucing yang mengarahkan ke dunia kuantum itu,” kata saya. “Tapi saya masih banyak bingungnya, Haw. Ini film kayaknya perlu referensi yang luas, ya. Kalo belum baca cerpen Haruki, terus baca atau nonton The Great Gatsby-nya Fitzgerald, mungkin saya bakal tambah bingung. Kenapa protagonisnya mau jadi penulis? Lebih sialan lagi, apa motif pembuat film masukin bukunya si Faulkner. Emang protagonis di buku yang dibacanya itu kenapa? Secara enggak langsung, kita harus ada referensi ke situ, kan?”

“Bener, Yog,” ujar Haw. “Kayaknya saya perlu baca dulu referensi-referensi itu, tapi saya malas.” Haw tertawa. “Nonton harusnya buat cari hiburan, eh malah jadi mikir keras gini. Anehnya, nagih.”

Saya sepakat dengan Haw. “Tapi jadi ada keasyikan tersendiri, kan? Saya jadi inget film-film garapan Nolan yang sering bikin perdebatan.”

Kami berdua spontan tertawa lagi. Begitu tawanya reda, Haw langsung bertutur panjang: 

Yang paling lucu dari film Burning ini, sih, soal Ben suka membakar rumah plastik. Ingat, kan, si perempuannya sejak awal ngaku kalo dia operasi plastik? Berarti perempuannya itu seolah-olah rumah plastik. Jadi, si perempuan itu maksudnya yang mau dibakar. Terus, ada yang bikin penasaran lagi. Kan emaknya yang datang buat cerita pernah bilang, kalo dia sewaktu masih muda menjual organ tubuh biar punya banyak uang.

Kalo kamu pernah baca manga Promised Neverland, barang-barang peninggalannya itu bakal kelihatan mirip, sih, sama di film Burning. Di manga itu, anak-anaknya mati buat dikirim dan dimakan sama iblis. Barangnya disimpan. Ya, makanya saya kepikiran dan suuzan terhadap Ben kalo dialah sang pembunuh dan penjual organ. Ben ini orang kaya, tapi kerjaannya enggak jelas. Di film kagak ada penjelasannya dia kerja apa, kan? Terus dia suka gonti-ganti pasangan yang masih muda. Apakah kebiasannya itu enggak mengarah kalo para perempuannya ini dijual organnya sehabis dibunuh? Temen-temen ngumpulnya itu komplotan si Ben. 


“Aduh, kalian ini pada ngomongin apa, sih? Aku bingung mau responsnya. Aku nyimak obrolan kalian aja, ya,” kata Icha. “Aku betul-betul udah lupa jalan ceritanya. Nanti mau nonton ulang dulu biar paham.” 

Saya menoleh ke kiri. Ada seorang perempuan berjilbab merah jambu yang memakai kacamata dengan bingkai bulat. Yang tak lain dan tidak bukan adalah Icha. Gila, saya sampai lupa sama kehadiran si Icha. Saya dan Haw kemudian segera meminta maaf. Icha bilang santai aja dan silakan dilanjut.

“Soal cewek ngilang ini, Haw,” kata saya. “Kalo mau suuzan sama Ben dan kawan-kawannya, tapi kok si ceweknya dari awal juga bilang, ‘Enak ya, kalau tiba-tiba bisa lenyap.’ Ketika dia nari telanjang juga sempet ngomong gitu lagi, kan?”

“Mungkin pas Ben bilang ‘aku sangat suka perempuan sepertinya’, ini maksudnya karena perempuannya sendiri itu emang mau menghilang aja. Jadi Ben enggak perlu merasa bersalah atau apalah, Yog.”

“Betul juga sih, Haw,” kata saya. “Terus itu si Ben dandanin cewek maksudnya apa, ya? Saya jadi inget kebiasaan orang Kristen setiap kali ada orang meninggal. Kalau di Islam kan jelas telanjang dan cuma dibalut kain kafan. Orang Kristen biasanya pakai pakaian terbaiknya atau rapi gitu. Pokoknya dandan. Saya kepikiran ke arah situ. Ceweknya yang baru bakal mati juga tuh. Tinggal permasalahannya, itu cewek yang baru enggak tahu bakal jadi korban, udah siap menerima kematian, atau kebiasaan Ben ‘si psikopat’ selalu merias wajah korbannya sebelum membunuh?” 

“Wah, iya. Kan didandanin ya kalo mati. Tapi kalo lihat kotak penyimpanan barang yang habis dipake korban-korbannya, sampai-sampai Ben yang laki-laki kok malah punya kotak make up, kayaknya emang kebiasaannya dah.”

“Intinya, kita berdua sepakat Ben yang melenyapkan Hae-mi nih, Haw?” kata saya. 

Tak terasa waktu sudah berlalu sekitar tiga puluh menit dan portal kembali terbuka. Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Haw langsung cabut dengan berlari sekencang-kencangnya ke arah portal. Mungkin takut teman kencannya menunggu lama. 

“Haw tai,” ujar saya. 

Icha langsung tertawa terbahak-bahak. 

Saya bertanya kepada Icha, apakah ada yang mau ditanyakan lagi sebelum saya ikutan pergi? 

“Menurutmu, cewek ini ada rasa enggak, sih, sama Ben?” 

Aduh, saya bingung. Ceweknya aneh. Cuma pas dia menari telanjang dada itu seakan-akan mengarahkan ke penonton kalo dia juga udah pernah nganu sama Ben, kan? Tapi banyak orang yang bilang, udah pernah bercinta belum tentu ada rasa. Bisa jadi cewek itu biasa aja. Mungkin juga ada rasa suka. Suka sama kekayaannya Ben, seandainya dia lemah sama harta. 

“Hahaha. Lemah sama harta. Hm, jadi menurut kamu makna filmnya itu apa, Yog?” 

Jujur aja, Cha, saya kagak kepikiran makna film itu. Kelar nonton saya cuma paham, jangan pernah membandingkan hidup yang menyedihkan dan memble itu ke siapa pun. Lebih-lebih ke orang kaya. 

“Lumayan dalem juga maknanya, Yog. Kalau aku pasti ke cinta-cintaannya kalo ditanya soal makna.” 

Kalo percintaannya, ini jelas sulit. Di situ cintanya terasa abstrak. O iya, mungkin makna filmnya bisa juga tentang pencarian. Mencari ceweknya yang hilang itu ke mana. Mencari tahu kebenaran. Penonton pun mencari jawaban dari teka-teki di film itu. 

“Iya, sih. Mau dibilang cinta segitiga juga kayaknya enggak cocok, ya. Nah, iya tuh. Filmnya penuh teka-teki banget. Pake banyak metafora.” 

Icha pun berterima kasih kepada saya atas ngobrol-ngobrol asyiknya, lalu berjalan menuju portal. 

Bukannya ikut melangkahkan kaki ke portal dan kembali ke dunia nyata, saya malah pindah ke Kota Kicau. Saya mendadak memikirkan misteri hilangnya perempuan itu lagi. Jika betul Ben yang melenyapkan Hae-mi, kenapa Ben mau-maunya datang dan percaya begitu saja ketika Jong-su bilang sudah menemukan teman perempuannya itu dan mengajaknya bertemu? Apa karena Ben tidak menduga, bahwa Jong-su bisa seganas itu? 

Kepala saya penuh. Sudah cukuplah pertanyaan-pertanyaan soal film Burning. Saya butuh pulang dan tidur. Sialnya, di tengah perjalanan saya tidak sengaja mendengar perkataan seseorang, “Hae-mi adalah metafora untuk ibu Jong-su, sedangkan Ben metafora untuk ayahnya.” Bangsat, interpretasi baru muncul lagi, padahal teks ini sudah 2.500 kata. Saya harus memilih berhenti. Mungkin sepuluh ribu kata juga tidak akan cukup untuk membakar semua kebingungan ini.

8 Comments

  1. Anjeeeer. Ini tulisannya juga main metafora, sama kayak film yang dibahas. Suka banget sama soal Kota Kicau dan Taman Wacana Asyik wkakaka.

    Itu si Haw gila deh yang soal kucing. Memang dasar blogger berilmu, pas ngebahas film pun keingatan sama teori Fisika huhuhu. Btw sebenarnya aku kaget kamu nonton Burning tuh karena seneng sih ada teman dekat yang nonton jadi aku bisa nanya-nanya geblek. Aku pengen banget nanya-nanya geblek soal film ini tapi orangnya pada nggak terlalu kenal jadinya segan dan malu dikatain "Ih masa gitu doang nggak paham!" Jadi ya gitu deh, Yogs. Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi metaforanya sangat mudah ketebak alias emang sengaja dipelesetin doang.

      Ohaha. Kirain mah kenapa. Aturan tanya aja. Modal nekat. Mengingat pepatah "Malu bertanya, sesat di jalan." Wqwq. Toh, filmnya ini cukup bikin bingung, Cha. Itu juga saya perlu baca beberapa artikel biar rada paham. Minder juga pas disuruh jelasin seperti yang sudah tertulis. XD

      Delete
  2. Gue mikir lama banget di Taman Wacana Asyik anjir.

    "... Tapi banyak orang yang bilang, udah pernah bercinta belum tentu ada rasa." Kayaknya ini akan beda dari sisi lelaki dengan dari sisi perempuan sih Yog.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Laaaah. XD

      Gue juga kagak tahu pastinya sih, Man. Belum ada pengalaman. :3 Bisa-bisanya nulis begitu, padahal cuma modal memperhatikan perkataan sebagian orang di utas-utas itu.

      Delete
  3. jujurnyaaa aku sama kayak icha. binguuuung yog hahahaha. aku perlu nontkn filmnya ga yaaa, supaya bisa ada gambaran apa yg kalian diskusiin hahaha :D. penasaran juga sih..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang udah nonton aja masih bingung nih. Pace-nya lambat tapi, Mbak. Kalo enggak biasa nonton film begitu bisa-bisa ngantuk.

      Delete
  4. Halo kak Akbar. Baru pertama main kesini. Saya dapet rekomendasi dari Rahulsyarif soal film Burning yang sempat bikin saya bingung, sampe nontonnya pun terjeda. Alhasil setelah saya baca tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan saya soal Burning ada yang terjawab, terutama soal kucing yang sangat magis itu. End up, saya sependapat sih soal ending Jongsu memutuskan untuk membunuh Ben karena puncak amarahnya yang sudah tidak terbendung lagi, dan berakhir spt itu.

    Nah saya juga pernah baca referensi lain yang mengatakan kalau semua peristiwa yang Jongsu lakukan adalah cerita fiksi yang sedang ia garap dalam film itu. Wahahaha. Kalo dibahas lagi mungkin saya agak terlambat, tapi anyway seru banget baca tulisan kak Akbar!

    Thank you for sharing..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apakah tahu tulisan ini dari Rahul juga? Saya cukup kaget saat tulisan lawas ini masih ada yang baca.

      Sama-sama, Mbak. Saya senang sekali jika obrolan yang diberi bumbu fiksi ini bisa sedikit memudahkan pembaca yang juga bingung saat menonton film Burning.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.