Menerjemahkan Cerita Ringkas Lydia Davis

Saya kerap merasa kalau selama ini baru sedikit sekali membaca karya asing. Mengingat bacaan yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia ini masih sangat terbatas—begitu pula dengan keuangan saya, saya jadi ingin mencari alternatif dengan membaca e-book alias buku-el. Lalu, buku-buku luar negeri yang saya baca selama ini kebanyakan penulisnya adalah seorang laki-laki. Sepertinya saya jarang sekali membaca tulisan perempuan. Yang pernah saya baca dan menempel di kepala palingan hanya J. K. Rowling, Agatha Christie, dan Harper Lee. Untuk menyebutkan lima orang saja, saya masih belum mampu. Culun banget referensinya. Sekitar setahun silam, akhirnya saya berkenalan dengan tulisan Lydia Davis.

Menengok profil singkatnya di Wikipedia, Lydia Davis (lahir 15 Juli 1947) adalah seorang penulis Amerika yang terkenal karena karya-karya sastranya yang sangat singkat, biasanya disebut flash fiction atau fiksi kilat.

sumber: http://criticalflame.org

Berhubung belakangan ini saya juga sedang belajar bahasa Inggris, kayaknya membaca cerita-cerita ringkas Tante Lydia (sok akrab tai) bisa menjadi latihan awal untuk membaca karya asing, sambil sesekali menerjemahkannya. Saya baru sempat menggarap lima cerita yang benar-benar pendek. Itu pun yang sekiranya saya mengerti kisahnya. Ternyata susah juga, ya.

Mengalihbahasakan tidak sekadar memindahkan tulisan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Saya mesti bisa menceritakan ulang sesuai gagasan asli penulisnya. Dalam hal ini tentu saja akan ada bagian yang hilang, misalnya, permainan kata. Coba lihatlah kata cry, dry, dan try (begitu juga dengan kata kerja yang masih berlangsung alias mendapatkan tambahan -ing), saya tidak bisa mengubahnya ke bahasa Indonesia dengan bunyi yang sama semacam itu. Apalagi kalau kemampuan sang penerjemah (baik menulis maupun menguasai bahasa asing) masih payah. Tapi biar bagaimanapun, inilah terjemahan suka-suka hasil keisengan saya. Semoga enggak buruk-buruk amat.


Apa yang Dia Ketahui

Orang-orang tidak tahu apa yang dia ketahui, bahwa dirinya bukan benar-benar seorang wanita melainkan seorang pria. Sering kali menjadi pria gemuk, tetapi lebih sering, mungkin, seorang pria tua. Fakta bahwa dia adalah seorang lelaki tua membuatnya kesusahan untuk menjadi seorang wanita muda. Sulit baginya untuk berbicara dengan seorang pemuda, misalnya, meskipun pemuda itu jelas tertarik kepadanya. Dia harus bertanya kepada dirinya sendiri, Mengapa pemuda ini menggoda lelaki tua ini?


Di Rumah yang Terkepung

Di sebuah rumah yang terkepung, tinggal seorang pria dan seorang wanita. Dari tempat mereka meringkuk di dapur, pria dan wanita itu mendengar ledakan kecil. “Angin,” kata wanita itu. “Pemburu,” kata pria itu. “Hujan,” kata wanita itu. “Tentara,” kata pria itu. Wanita itu ingin pulang, tetapi dia sudah di rumah, di tengah-tengah negara di sebuah rumah yang terkepung.


Sebuah Kisah yang Diceritakan oleh Temanku

Salah seorang temanku menceritakan kepadaku sebuah kisah sedih tentang tetangganya. Dia telah memulai surat-menyurat dengan orang asing melalui layanan kencan online. Temannya tinggal ratusan mil jauhnya di North Carolina. Kedua lelaki itu saling bertukar pesan, lalu foto, dan segera mengobrol panjang-lebar. Awalnya secara tertulis dan kemudian melalui telepon. Mereka menemukan bahwa mereka memiliki banyak minat yang sama, yang serasi secara emosional dan intelektual, merasa nyaman satu sama lain dan secara fisik tertarik satu sama lain, sejauh yang mereka ketahui di internet.

Minat profesional mereka juga dekat, tetangga temanku bekerja sebagai akuntan, sedangkan teman barunya—yang berada di selatan itu—seorang asisten profesor ekonomi di sebuah perguruan tinggi kecil. Setelah beberapa bulan, hubungan mereka tampak baik dan benar-benar saling jatuh cinta, dan tetangga temanku itu yakin kalau “inilah orangnya”, sebagaimana yang dia katakan. Ketika waktu liburan mulai tiba, dia mengatur jadwal untuk terbang ke selatan selama beberapa hari dan bertemu pacar internetnya.

Pada hari perjalanan, dia menelepon pacarnya dua atau tiga kali untuk berbicara. Kemudian dia terkejut karena tidak menerima jawaban. Di bandara dia juga tidak bertemu dengan pacarnya itu. Setelah menunggu di sana dan menelepon beberapa kali lagi, tetangga temanku meninggalkan bandara dan pergi ke alamat yang pernah diberikan pacarnya. Tidak ada yang menjawab saat dia mengetuk dan menelepon. Setiap kemungkinan terlintas dalam benaknya.

Di sini, beberapa bagian dari ceritanya hilang, tetapi temanku mengatakan kepadaku bahwa apa yang dipelajari tetangganya adalah, pada hari itu, bahkan ketika dia sedang dalam perjalanan ke selatan, pacar internetnya telah meninggal karena serangan jantung sewaktu berbicara dengan dokternya di telepon. Tetangga temanku, setelah mengetahui hal ini baik dari tetangga pria itu ataupun dari polisi, langsung pergi ke kamar mayat setempat. Dia diizinkan melihat pacar internetnya; dan begitulah di sini, berhadap-hadapan dengan seorang lelaki yang sudah mati, bahwa dia pertama kali memandang seseorang yang, dia telah yakini, akan menjadi teman seumur hidupnya.


Ibu

Gadis itu menulis sebuah cerita. “Tapi alangkah lebih baiknya jika kamu menulis sebuah novel,” kata ibunya. Gadis itu membangun rumah boneka. “Tapi betapa jauh lebih baik kalau itu adalah rumah sungguhan,” kata ibunya. Gadis itu membuat bantal kecil untuk ayahnya. “Tapi bukankah selimut akan lebih praktis,” kata ibunya. Gadis itu menggali lubang kecil di taman. “Tapi alangkah lebih bagusnya jika kamu menggali lubang besar,” kata ibunya. Gadis itu menggali lubang besar dan pergi tidur di dalamnya. “Tapi alangkah lebih baiknya kalau kamu tidur selamanya,” kata ibunya.


Wanita Ketiga Belas

Di sebuah kota yang dihuni oleh dua belas wanita, sebenarnya ada yang ketiga belas. Tidak ada yang mengakui dia tinggal di sana, tak ada surat yang datang untuknya, tidak ada yang berbicara tentangnya, tak ada yang bertanya kepadanya, tidak ada yang menjual roti kepadanya, tidak ada yang membeli sesuatu darinya, tidak ada yang mengembalikan pandangannya, tidak ada yang mengetuk pintu rumahnya; hujan tidak turun kepadanya, matahari tidak pernah menyinari dirinya, siang tidak pernah menyadarinya, malam tidak pernah jatuh untuknya; baginya, minggu-minggu tidak berlalu, tahun-tahun tidak berputar; rumahnya tidak bernomor, kebunnya tidak terawat, jalannya tidak ada yang menginjak, tempat tidurnya tidak ditiduri, makanannya tidak dimakan, pakaiannya tidak dipakai; namun terlepas dari semua ini dia terus tinggal di kota itu tanpa membenci apa yang telah terjadi kepadanya.

--

Sepayah-payahnya saya dalam bahasa Inggris, syukurlah belum pernah menggunakan no father ataupun no what what.

33 Comments

  1. Tulisannya bener bener pendek ya tante ini. Gw pernah baca satu novel asing yg sudah dialih bahasakan, judulnya vertical run. Tapi lupa penulisnya siapa. Keren sih. Literasi gw sama penulis asing juga gak abis dlm itungan lima jari. Hahahahaa payah bener dah. Dan belakangan ini gw nulis kek cuma biar blog gw gak jamuran. Sekali lagi payah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya saya udah baca lebih dari lima perempuan penulis luar. Tiga yang saya sebutkan itu contoh aja, karena namanya cukup menempel. Masalah saya tuh, saya entah kenapa sulit mengingat nama-nama gitu. Mungkin anaknya emang lebih mudah mengingat tampang. Ehe. Tapi ya tetep aja termasuk cemen dalam referensi.

      Soal nulis di blog biar apa, itu balik ke orangnya lagi sih, Mas.

      Delete
  2. Paling suka yang Ibu, bisa multitafsir sih itu ya..

    Bisa, karna orang ga pernah puas.

    Atau, seorang ibu yang selalu berharap yang lebih baik buat anaknya.

    Atau, keinginan tidak akan pernah puas sampai ajal menjemput #tsah

    (( kabur ke kota tak bertanah ))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Segala disebutkan gini. Haha. Tapi emang ada keasyikkan tersendiri saat membaca cerita ringkas yang ambigu.

      Delete
  3. Dari lima, cuma dua yang saya agak paham: yang ketiga dan keempat. Faktor dialihbahasakan? Mungkin. Saya coba cari dulu yang pertama sampai yang ketiga versi aslinya. Kalau tetap bingung, berarti kemampuan mengalihbahasakanmu sudah oke, Yog. Hahaha.

    Omong-omong, saya juga baru dengar nama Tante ini (sok akrab bangsat!)

    ReplyDelete
    Replies
    1. *oh salah, maksudnya yang saya agak paham itu yang keempat dan kelima. Hehe.

      Delete
    2. Kagak ada oke-okenya, sih. Ini baru belajar. Masih kaku amat. Itu aja "but" masih gue artikan menjadi "tapi" atau "tetapi". Semestinya bisa "melainkan", "namun", dsb.

      Delete
    3. Tapi sejauh ini udah oke, kok. Ketika saya bandingkan dengan yang asli, perbedaannya enggak jauh-jauh amat: artinya lo berhasil untuk tetap membuat versi bahasa tetap seperti aslinya.

      Banyak penerjemah yang suka menyisipkan idealisme mereka ke cerita-cerita yang mereka terjemahkan, seperti, ingin mengubah "riddle"-nya menjadi gaya mereka. Seharusnya jangan, sih, dan lo berhasil untuk menjaga gaya Tante Lydia. Itu modal. :p

      Delete
  4. Ah, baiklah. Ternyata cerita pertama saya terkecoh di kalimat pertama: "what she knew" menjadi "apa yang dia tahu", di versi asli dijelasin bahwa dia adalah perempuan. Kalau versi alih bahasa karena awalnya "dia" dan seterusnya ada "bukan benar-benar wanita" dan "fakta seorang lelaki" terkecoh saya. Agak susah untuk tahu dia ini jenis kelamin aslinya apa. Namun, baiklah, sudah paham saya:

    Tentang seorang gadis yang belum mengerti dirinya sendiri, makanya ia masih semacam mencari untuk mengenal siapa dirinya.

    Cerita kedua, "angin" itu wujud dari "peluru"? Dan "hujan" itu "darah"? Entahlah. Yang saya tangkap, mereka mati dibunuh di rumah—kalau memang di cerita itu memakai perumpamaan.

    Cerita ketiga, hmm, arti cinta sejati? Masa depan tidak bisa dikendalikan? Apa? Sial, nyerah! 😂😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di judul emang pakai "she". Berhubung ini tulisan terjadwal yang gue kerjain lebih dari seminggu yang lalu. Gue sendiri udah rada lupa ceritanya. Yang gue baca waktu itu kayaknya dia itu sebetulnya pria, cuma mungkin dandanannya kayak perempuan. Orang-orang pun tahunya dia cewek, padahal aslinya cowok. Tapi ya udahlah. Tafsir orang beda-beda juga mungkin.

      Gue enggak berpikir sejauh itu soal metafora pas mengalihbahasakan. Yang gue tangkep, di sekitar rumah mereka kayak semacam jadi tempat perang. Makanya ada dialog soal itu bunyi-bunyi apaan.

      Gue pikir gampang buat latihan karena pendek kalimatnya, ternyata cerita ringkas justru lebih sulit dipahami. Wqwq.

      Delete
    2. O iya, lupa bahas cerita ketiga. Itu sebetulnya cuma cerita sedih banget menurut gue. Itu kan pasangan sesama jenis. Mereka kenalan lewat dunia maya. Cinta-cinta di era digital kayak sekarang ginilah. Ketika udah sreg dan nyambung selama komunikasi via teks, merasa dia juga bakal jadi jodohnya, dan akhirnya pengin ketemuan, ternyata pacarnya keburu mati. Mungkin lebih sedihnya lagi buat gue karena hubungan mereka dari awal pun udah kagak normal. :(

      Delete
    3. Tapi mengingat tulisan Lydia itu jenisnya flash fiction, ya, memang seharusnya seperti itu, sih 😂

      Cerita ketiga, waduh, lumayan, ya 😂 setuju sama pendapatmu di balasan komen Wisnu di bawah. Membaca karya luar semacam ada jarak, tetapi itulah yang terkadang menjadi bagian menariknya.

      Lanjut, Yog!

      Delete
  5. Kalau saya pribadi lebih suka buku dari penulis "lokal" *istilahnya apaan ya? Haha. Ya, karena kalau dari penulis luar kemudian dialihbahasakan, jadinya kaya gini. Kadang saya sulit buat memahami isinya. Dulu pernah beli satu buku dari penulis luar, baru baca 1 muka aja, udah nyerah xD

    Itu di buku aslinya juga cuma singkat-singkat gitu, Yog?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sejujurnya, saya juga lebih suka karya sini karena lebih gampang merasa relevan. Kalau karya asing biasanya ada jarak gitu ke pembacanya. Namun, saya emang lagi butuh referensi lain. Pengin tahu juga gimana cara mereka bikin cerita.

      Tergantung penerjemahnya kali, ya? Ini saya baru belajar, sih. Mungkin jadinya kaku banget. Ehe.

      Iya, tulisan dia kebanyakan emang singkat semuanya, Wis.

      Delete
  6. jangan panggil dia tante mas, karena akan memancing nama nama tante yg lain seperti tante vina, tante sarah dan tante tante lainnya,, cukup panggil nenek saja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau panggil nenek, saya malah inget nenek yang udah meninggal, Mas.

      Delete
  7. Ringkas banget! Terus biasanya kalimat terakhir bisa menyimpulkan segalanya. Dan itu memang benar adanya..

    Terus kesimpulan dari 2 cerita diatas. Kenapa 2 lelaki itu tertarik menjadi perempuan??
    Hmm.. Eehh looh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tulisan-tulisan saya di akhir cerita jarang menyimpulkan kayaknya dah.

      Entah, Rum. Saya pilih menerjemahkan yang itu karena rasanya sedih. Haha.

      Delete
  8. sekarang gue lagi menghitung berapa penulis luar yang pernah gue baca bukunya, baik perempuan ataupun laki-laki. fak. dikit banget.

    itu yang cerita ibu, kok ngeselin juga ya ibunya. enggak ada keterangan apakah itu ibu kandung, ibu tiri, atau ibu-ibu tetangga sebelah rumahnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di situlah letak serunya cerita ringkas. Membuat pembaca bertanya-tanya dan menyimpulkan sendiri.

      Delete
  9. Ini nemu tulisn-tulisannya dari mana yog? Mungkin bisa dikasih link biar bisa langsung di-klik buat baca/beli. Huehehe.
    Gue suka sih sama yang Ibu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari internet semua, Di. Lupa udahan sumbernya. Coba aja langsung ketik nama penulisnya di Google.

      Delete
  10. Wah kebetulan banget, dulu saya suka coba tulisan jenis flash fiction ini (ga sesingkat Lydia Davis sih), meskipun saya tau jenisnya pun dari salah satu pembaca. ehe.

    Rata-rata dari komentar pada notice cerita Ibu ya, saya juga suka sih cerita itu. Keren. Btw, iya dong kasih referensi/link sumber cerita-ceritanya, supaya kita-kita yang tertarik bisa langsung ikut baca juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau cerita-cerita ini, sumpah saya udah lupa dari mana. Coba cari-cari di Readbookonline.net

      Delete
  11. Benar-benar produktif nih akbar, masih terus menulis, blog gue aja udah lama banget gak diisi :D

    ReplyDelete
  12. Jadi pengen baca versi aslinya nih

    Paling suka sama rumah yang terkepung dan wanita ketigabelas

    ReplyDelete
  13. waaaahhh sebelum jatuh cinta ama s mara gd, aku justru lbh kenal ama pengarang2 asing , walopun buku nya yg kubaca versi terjemahan Yog :D. cm memang kbnyakan novel, krn jujur aja utk flash fiction gini aku ga terlalu seneng. kalo dibaca utk iseng gpp, tp utk bener2 dibaca pas weekend, ato pas sdg junggu, aku lbh milih novel panjang yg seru hahahaha. malah prinsipku kalo beli beberapa buku dan budget ga cukup, pilihannya, ambil yg paling tebal biar bacanya lbh lama hahahaha :p. makanya aku baru tau si Lydia Davis ini :).lebih familier dgn Margaret Mitchell, enid blyton, sandra brown, marry higgins clark , danielle steele, sophie kinsella, meg cabot :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga sebetulnya lebih suka cerita yang normal, enggak seringkas ini. Baca yang singkat-singkat gini buat variasi dan sekalian belajar supaya bisa lebih efektif menyusun kalimat. Saya kan sering bertele-tele tuh. Pengin gitulah sesekali menggugat diri sendiri. Kalau bisa disampaikan secara ringkas, buat apa panjang-panjang? Haha.

      Itu siapa aja, Mbak? Enggak kenal saya, cuma tahu nama Sandra Brown. :(

      Delete
  14. levelku masih enyd blyton dengan pasukan mau tau dan sapta siaganya
    tapi klo novel2 harelqueen juga lumayan asyik sih
    belum pernah baca fiksi tante ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya enggak paham level-level gitu, Mas. Pas baca, ya baca aja selama suka cerita dan gaya menulisnya.

      Delete
  15. Tahu, kok, di Indonesia ada. Di beberapa negara juga ada, May. Kayak Jepang dan Amerika Latin yang pernah saya baca. Sebetulnya ini bukan suka banget sama cerita ringkasnya, sih. Ini lebih ke pengin belajar menerjemahkan yang kalimatnya pendek alias buat permulaan. Wqwq.

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.