Melankolia

Saya baru saja membuka laptop, lalu berniat merapikan folder tulisan dari tahun 2015 sampai 2018—sekarang. Saya kemudian memisahkan tulisan yang sudah pernah tayang di blog, dengan tulisan yang belum selesai, dan tulisan yang hanya untuk dipendam sendiri. Setelah itu, saya iseng membuka filenya (selain yang telah saya publikasi di akbaryoga), lalu membacanya satu per satu. Entah kenapa saya mulai berharap, barangkali ada beberapa tulisan yang masih layak untuk saya edit atau terbitkan di blog.

Demi menghemat waktu, saya tentu memulainya dari yang terbaru. Barulah kemudian beralih ke yang paling lama. Tulisan pada tahun 2018 kebanyakan berupa cerpen dan puisi. Beberapa cerpen itu baru tertulis 3-6 paragraf. Yang saya tebak hasilnya belum mencapai 50%. Saya lalu memilih untuk segera menutupnya. Nanti saja mengeditnya kalau memang sedang bergairah bikin cerpen, pikir saya.

Tahun 2018 ini, rasanya saya mulai jarang atau memang mengurangi tulisan berbentuk curhat. Tapi, saya ingin isi blog ini seimbang antara curhatan dan fiksi. Jadilah saya mencari tulisan yang berbentuk curhat, sebab blog ini bisa berkembang sampai sekarang dengan bermodalkan hal itu. Lalu saya pindah ke folder tulisan tahun 2017. Ternyata, pada tahun itu juga tidak banyak yang bisa saya edit. Saya juga merasa kurang sreg untuk melanjutkannya. Oleh karena itu, saya pindah lagi ke folder tahun 2016. Hasilnya, saya malah kebingungan dengan tulisan tersebut dan membatin, masa iya gue pernah nulis ginian? Norak amat.

Yang saya baca ialah tulisan tentang cinta. Mungkin kala itu saya sedang masa pendekatan dengan seorang perempuan dan terasa lagi manis-manisnya. Saya pun memaklumi. Tapi lagi-lagi saya memilih menutup tulisan itu. Biarlah saya pendam saja. Mungkin keadaan saya sekarang belum cocok untuk mengedit tulisan romansa. 

Setelah mulai merasa lelah, sebab belum juga ketemu tulisan yang layak saya sunting, saya akhirnya menemukan tulisan berikut ini. Saya sebetulnya malu untuk menampilkannya. Namun, saya pikir tidak ada salahnya, toh itu juga sudah berlalu. Setelah saya pikir-pikir kembali, saya justru sangat ingin berterima kasih akan tulisan yang satu ini.

https://pixabay.com/id/pria-kesepian-taman-malam-gelap-1394395/

*

“Nikmatilah saja kegundahan ini. Segala denyutnya yang merobek sepi. Kelesuan ini jangan lekas pergi. Aku menyelami sampai lelah hati.”

Potongan lirik lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Melankolia ini kudengarkan pukul satu dini hari. Cholil, sang vokalis, menciptakan lagu itu saat dia kehilangan ayahnya. Aku mengerti sekali akan makna dalam lagu ini. Gimana rasanya terpuruk, murung, sedih, kecewa, dan beberapa hal buruk lainnya. Alasan aku mendengarkannya pada dini hari karena pada waktu itulah aku benar-benar merasakannya. Merasa melankolia. Iya, bisa dibilang aku saat ini sedang depresi.

Banyak sekali masalah yang menerpa hidupku. Namun, malam ini aku berusaha meyakinkan diriku agar tetap kuat. Saat dada rasanya sesak sekali, aku tiba-tiba mengenang masa lalu. Aku masih ingat betul saat umurku sudah 17. Itulah pas pertama kali aku diselingkuhi seorang kekasih. Rupanya, aku pernah menangis karena cinta. Entah itu tangisanku tulus karena kehilangannya, atau memang karena aku saja yang lemah. Aku tidak tahu.

Lalu setelah peristiwa itu, aku tak pernah menangis lagi. Aku merasa seolah-olah air mataku telah habis. Hingga pada akhirnya, gerimis kembali hadir di sudut mataku. Ketika usiaku 18 tahun. Aku kehilangan adikku yang masih bayi, Aulia Barbara. Meskipun belum pernah ada kenangan apa-apa, tetapi batinku rasanya terguncang. Aku kehilangan saudara kandungku untuk yang pertama kalinya. 

Setelah itu, aku kembali menjadi pribadi yang lebih kuat. Aku tak mau lagi menangis. Terutama ketika dikecewakan cinta oleh pacarku. Aku telah menginjak usia 19 tahun, dan rasanya sudah malas menangis kalau tidak benar-benar sakit. Tapi lagi-lagi aku gagal dalam percintaanku. Meskipun sakit hatiku ketika itu jauh lebih parah dibanding saat berumur 17, tetapi aku telah menyadari satu hal: penderitaan semakin menguatkanku.

Sampai akhirnya, suatu hari aku menangis sekencang-kencangnya ketika menghadapi suatu masalah. Aku meraung-raung, tidak percaya akan sebuah realita yang pahit. Getir sekali masalah keluarga ini. Sampai-sampai aku tak bisa menceritakannya secara detail kepada siapa pun. Aku hanya bisa bilang, “Ini masalah terberatku seumur-umur selama 19 tahun.”

Aku perlahan bangkit. Meskipun butuh waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya. Tapi seperti yang orang-orang bilang, selalu ada pelangi setelah hujan. Aku percaya itu. Ya, seperti yang Tuhan tuliskan dalam surat Al-Insyirah: Setelah kesulitan selalu ada kemudahan. Aku masih memercayainya sampai sekarang.

Namun malam ini, malam di mana aku menuliskan segala masalah yang kuhadapi setelah umurku lebih dari 17 tahun (ketika aku merasa usia itu telah menginjak masa dewasa). Aku malah menangis lagi. Aku menangis oleh masalah terberat itu. Padahal usiaku saat ini sudah menginjak kepala dua. Tetapi aku masih saja menangis. Aku tetap tak bisa berpura-pura kuat untuk menyembunyikan kesedihan saat sendirian begini. 

Mungkin mayoritas teman-temanku selalu bilang kalau Yoga itu manusia yang menyenangkan, periang, hidupnya santai, dan pokoknya sering tersenyum. Padahal, tidak seperti itu kenyataannya. Iya, karena aku hanyalah anak yang mencoba tertawa di depan dan selalu menangis di belakang layar. Aku selalu berusaha membuat orang lain tersenyum atau tertawa ketika bersama denganku, membaca ceritaku, atau hal lain. Aku tau sekali rasanya menderita, makanya aku tak ingin orang lain juga merasakan kepedihan itu.

Aku justru ingin sekali menghibur orang lain dengan segala kekonyolan hidup atau cerita sial diriku di blog. Makanya aku sempat belajar menulis komedi. Meskipun membuat orang lain tertawa itu tak mudah, tapi aku ingin berusaha untuk itu.

Namun, maaf sekali kalau tulisanku kali ini terlihat sedang merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Aku tak kuat lagi memendamnya sendirian. Baguslah, aku memiliki Tumblr. Jadi, aku masih punya wadah untuk menumpahkan kesedihanku. Tidak seperti blog utama yang terlalu banyak sensornya. Di sana aku hanya menceritakan hal-hal yang menurutku wajar untuk dibagikan. 

Maafkan aku pembaca. Aku sekarang sedang melankolia. Maafkan aku, Nisa, merepotkanmu pada dini hari hanya untuk menampung curhatanku. Aku nggak tahu harus cerita kepada siapa lagi. Kebetulan juga kamu masih melek atau terbangun, entahlah. Intinya, maaf sudah memberikan beban cerita yang sangat berat. Semoga kamu tidak merasa terbebani. Aku sangat berterima kasih kepadamu karena sudah mau mendengarkanku malam ini.

Maafkan aku Yoga di masa mendatang. Barangkali engkau pada tiga atau berapa tahun kemudian membaca cerita nggak penting ini. Yoga pada saat ini sedang lemah-lemahnya menghadapi dunia. Yoga di masa ini benar-benar mengalami masa kelam. Bahkan, sempat-sempatnya berpikir untuk tidur selamanya saja. Bangun dari tidur ketika sedang bermimpi indah itu menjengkelkan. Aku capek dihantam kenyataan yang penuh penderitaan. Aku ingin mati saja dalam keadaan tidur, sebab terlalu takut untuk bunuh diri. Tolong maklumi dia ya, Yog. Jangan benci dia. Engkau yang kelak sedang membaca tulisan ini, kupikir bisa menjadi seperti itu karena Yoga yang sekarang. Bersyukurlah karena badai itu telah berhasil kaulewati. Berterima kasihlah pada dirimu di masa lalu.

Jika suatu hari datang lagi persoalan yang lebih dahsyat, aku harap engkau juga bisa bertahan seperti aku sekarang. Jika merasa sudah tidak kuat lagi dengan masalah yang kauhadapi, menangislah. Tumpahkan air matamu sepuas-puasnya. Kau nggak perlu malu untuk menangis. Kau bisa melakukannya sebelum tidur di kamar yang lampunya kaupadamkan, sehingga tidak akan ada yang melihat ataupun mendengarmu, kecuali Tuhan. Meskipun suatu hari nanti kau berpikir kalau nangis itu cemen, aku cuma mau berpesan: menangis selalu bisa membuatmu lebih lega. Jadi, nggak perlu ditahan-tahan.

Dan untuk menutup tulisan kali ini, aku ingin sekali menangis sampai tertidur. Semoga saja di kemudian hari aku selalu diberikan kekuatan dalam menghadapi cobaan. Izinkan aku sementara waktu untuk murung dan merasa hampa. Biarkan waktu yang menjawabnya, kapan penderitaan ini akan usai. Aku akan terus percaya. Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka*, bisa menyembuhkan luka, dan pintu kebahagiaan kembali terbuka.

Biarkanlah keadaan yang tengah kurasakan ini seperti yang kutulis di kalimat pembuka, “Kelesuan ini jangan lekas pergi. Aku menyelami sampai lelah hati.” 

Jakarta, 28 Desember 2015. Diketik sekitar pukul 01.30 dengan pipi berlinang air mata. 

*

Saya sudah membacanya berulang-ulang, mungkin sebanyak 5-6 kali. Apa betul hal tersebut pernah terjadi dalam hidup saya? Masa, sih, saya pernah semenyedihkan itu? Saya mau tak mau harus mengingat-ingat lagi ke masa silam. Saya pun mulai membuka satu per satu pintu kenangan. Ternyata, saya memang pernah dalam fase depresi itu. Mungkin itu awal mula gejalanya, sebelum tiba di puncaknya yang terjadi pada Mei-Juli 2016.

Baru sebentar mengalami kilas balik, kepala saya pun mendadak pening. Seolah hal buruk yang telah saya masukkan ke dalam peti dan telah terkubur sangat dalam itu, saya paksa gali dan bongkar kembali. Rongga dada mendadak penuh sesak. Saya pun menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata, kemudian mengembuskannya perlahan-lahan. Sesudah merasa agak baikan, akhirnya saya mencoba tersenyum.

Sungguh, saya sangat berterima kasih karena dulu pernah kepikiran untuk menyembuhkan rasa sakit di hati dengan menuliskan curhatan penuh kesedihan itu. Hingga saat ini, saya berkali-kali dapat menyelamatkan diri dari segala hal buruk juga dengan menulis. Konon, menulis memang bisa menjernihkan pikiran. Selain itu, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada salah seorang teman yang menjadi pendengar dan membantu saya melewati masa suram itu. Terima kasih pula buat Efek Rumah Kaca. Lagu Melankolia telah membawa saya ke sebuah rasa sedih yang mendalam, sehingga saya bisa tertidur pulas dan tidak lagi memikirkan masalah yang bikin susah tidur. Terkadang, saya pikir kesedihan dan kesepian sesekali perlu untuk dinikmati. Dan biar bagaimanapun, lagu itu secara nggak langsung sudah menyelamatkan saya pada malam bajingan sekitar dua tahunan yang lalu.

-- 

*)Potongan lirik lagu Desember - Efek Rumah Kaca.

16 Comments

  1. menangislah jika harus menangis
    gatau sih efek detailnya apa ato ada hormon apa
    tapi habis menangis rasanya lega
    cowok? lah kenapa emang
    tapi ya jangan di depan pasar aja hehehe

    gak papa gak papa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu, kan, saya nulisnya menangis di kamar ketika sendirian. Kebangetan amat nangis di pasar. Kalau mau caper, sekalian aja di depan gedung DPR. :(

      Delete
  2. Gue sendiri sebagai pembaca yang cuma baca itu tulisan 2 tahun lalu disaat kejadian suram begitu bener-bener jadi kebawa haluan, seakan kok.. ini yoga beneran lagi begitu? Lagi masa-masa depressed yang bener-bener begitu?

    Tapi dari tulisan tadi bikin gue jadi keinget kalau gue juga pernah ngalamin masa-masa terpuruk yang bisanya cuma nangis merenung dan nikmatin itu semua sendirian. Cuma bisanya curhat sama nulis semua perihal tentang kesedihan kala itu di blog sambil mengetik sambil tersedu sedu tanpa suara. Ah hal itu.

    Tapi setelah menangis, atau setelah menangis sambil diceritakan dalam blog, semuanya jadi terasa puas, lega... Penerimaan. :)

    Tapi dari masa-masa depressed begitu bikin gue jadi paham kalau hal-hal berikutnya yang bikin hati kita sakit, itu semua cuma bisa diterima, supaya tentram rasanya hati. Ah.. penerimaan lagi :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, saya sendiri juga nggak percaya pernah ada dalam fase tersebut. Tapi berkat tulisan itu hati jadi plong, kan. Kadang-kadang, bahaya juga kalau perasaan yang tengah saya rasakan saat itu langsung dituangkan. Terutama di medsos. Respons netizen yang buruk bisa bikin kita tambah terpuruk. Syukur waktu itu saya memilih di media lain yang nggak ada orang lain baca. Haha.

      Mau nggak mau kita memang mesti menerima masalah dan takdir itu. Terus setelah merenung bisa cari solusi terbaiknya deh. Kalau terus-terusan menyangkal dan nggak terima, sembuhnya juga semakin lama. Dan, saya merasa termasuk kelamaan bangkit kala itu. :')

      Delete
  3. Setahun yg lalu, aku baru bangkit dr keterpurukan. Lah malah kok aku ikutan curhat inu mas, duh. Nggak sido ah, wkwkwk
    Btw liriknya bikin gagal fokus, suka lagu itu aku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah, kok nggak jadi sih, Mbak Ella? Padahal di sini curhat nggak bayar. Yowes, nanti kamu curhat di blog aja~

      Liriknya memang ngena. :)

      Delete
  4. Menelusuri sesuatu dari masa lalu, punya keseruannya sendiri.

    Bisa dapat kenangan, bisa dapat pelajaran.

    Makasih untuk selalu berbagi dengan para pembaca blog ini~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap, begitulah masa lalu. Kadang juga bisa memperoleh keduanya sekaligus. Sama-sama. :)

      Delete
  5. Semoga sosok Yoga yang sekarang bisa menjadi seorang yang kuat dan lebih tegar lagi ketika dihadapkan dengan masalah-masalah lain, yang mungkin level ujiannya bisa lebih berat daripada masalah yang pernah kamu alami sebelumnya. (Bukan. Saya sedang tidak mendoakan kamu biar dapet 'ujian'lagi, Yog ^^ Hehehe...)

    HANYA SEBUAH KOMENTAR YANG BERNADA SOK BIJAK

    Kalau udah hobi nulis dari sono-nya mah, bakalan bener-bener ditekuni ya? Draft di laptop aja bisa sampai banyak gitu dari entah kapan tahun. Kalau mau ngepost tulisan baru, tinggal buka-buka folder di laptop, edit, jadi, publish. Nggak kayak saya yang nulisnya cuma kadang-kadang. Itupun sering kehabisan bahan xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Makasih, Mas Wisnu~ Iya, saya paham kok maksudmu. :D

      Saya pernah menerapkan sehari nulis apa aja yang penting dapat tulisan. Bagus atau nggak, lalu penting atau nggaknya saya pikirkan belakangan. Mungkin karena itu jadi banyak. Tapi yang akhirnya layak untuk diedit tetep sedikit. Hehe.

      Atau mungkin juga dulu pernah diingetin sama seseorang. Ketika lagi semangat nulis, ya, tulis sebanyak-banyaknya. Jadi, ketika lagi males atau kehabisan bahan tulisan, bisa pakai draf di folder laptop. :D

      Delete
  6. iya nih bang yog, saya juga pernah merasakan hal itu. Bahkan di perkuliahan juga banyak orang yang menganggap saya hidupnya enak banget ya, cuma nulis doang bisa sesantai itu ada tugas pun santai gak pernah update tugasnya.. Yah kalo menurut saya sendiri sih setuju dengan apa yang bang yog utarakan di artikel ini.. tidak perlu lah diceritakan masa masa suram itu, toh orang lain juga biasanya gak peduli dengan apa yang kita ceritain, walaupun ada yang mendengarkan.. tapi kalo saya telusur orang cuma mau nyaman nya doang, gatau tuh padahal dibalik kesenangan itu ada rasa sakit yang dipendam hha, sukses bang yog.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kita nggak mungkin memperlihatkan semua hal ke publik, kan. Jarang sekali orang yang betul-betul peduli. Bahkan, temen sendiri pun kadang masih bersikap bodo amat ketika kita udah membuka diri untuk cerita. Haha.

      Sukses juga untukmu~ Aamiin. :)

      Delete
  7. Aura tulisan ini hitam bnget. Penuh dengan perasaan depresi. Smpe sya sndiri juga sesak bacanya. Walaupun gak tau masalah kmu sebesar apa Yog. Sya turut bersimpati.

    Pertama kali berkunjung ke blog ini, kebetulan langsung Nemu tulisan kmu yg fotonya ada di sebuah kuburan. Pas banget beberapa hari stelah adek kmu meninggal Yog. Sya gak tau itu rasanya kehilangan adik gimana. Yg jelas, dri tulisan kmu itu, sya bisa ngerasain gimana sedihnya.

    Sesekali, manusia mmng butuh ruang untuk mengeluarkan sisi melakonlis ya Yog. Smoga selalu kuat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Rey. :)

      Oh, yang waktu saya ziarah itu, ya? Terus ada puisinya? Itu pas ulang tahun adik saya yang kedua. Ya, kira-kira begitulah rasanya, Rey. Meski kamu belum pernah merasakan.

      Yap, perlu sekali. Tanpa ada sisi melankolis itu, apakah bahagia masih terasa istimewa? Semoga kamu juga kuat! :D

      Delete
  8. *peluk Yoga erat-erat*

    *ajakin yang lain buat ikut meluk*

    *pelukan berjamaah kayak Teletubbies*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi tolong bilangin yang lain jangan terlalu erat, nanti tubuh saya yang kurus ini semakin gepeng. Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.