Kenapa Baru Sekarang?

Sepulangnya dari klinik gigi, saya langsung memikirkan beberapa hal hingga sulit tidur. Pertama, upah kerja lepas saya minggu ini langsung habis setengahnya untuk membayar dokter gigi tersebut. Kedua, saya masih harus balik lagi ke sana sekitar 4-5 kali setiap seminggu sekali alias butuh duit banyak. Ketiga, dokter giginya lumayan cantik dan berkacamata pula. Oh, yang terakhir ini jelaslah penting, sehingga saya nggak gondok-gondok amat akan berkurangnya uang dari dompet. 

Enam jam sebelum saya pulang dari klinik gigi, sekitar pukul tiga sore, saya merasakan nyeri yang begitu hebat akibat gigi berlubang. Saya lalu mengobatinya dengan bawang putih. Caranya dengan menghaluskan bawang putih yang ditumbuk dan ditambah sedikit garam, dan setelahnya saya tempelkan pada gigi yang sakit atau berlubang. Saking lelahnya menahan penderitaan, tiba-tiba saya ketiduran sampai pukul lima sore.

Ketika saya terbangun dari tidur, rasa sakitnya mendadak lenyap. Saya yang merasa takut kalau gigi tersebut besok mungkin akan kambuh, sebab ada kerjaan yang mulainya dari pukul enam pagi hingga malam hari, otomatis langung ingin pergi ke dokter gigi saat itu juga. Paling nggak saya ingin konsultasi atau tanya-tanya dahulu, bagaimana baiknya untuk kondisi gigi saya sekarang ini.



Sehabis Magrib saya berniat berangkat, tapi ternyata cuacanya sedang hujan. Mau tak mau saya pun mesti menundanya hingga nanti reda. Karena hujan tak benar-benar berhenti, nekatlah saya berangkat ke klinik gigi dekat rumah gerimis-gerimisan pada pukul tujuh. Saya sudah mencari informasi di internet kalau kliniknya tutup pukul 20.30. Alangkah baiknya saya datang lebih cepat untuk mengantisipasi siapa tahu di sana antreannya sudah panjang.

Sesampainya di sana, terdapat tiga orang yang duduk di ruang tunggu. Saya menebak mereka ialah satu keluarga yang terdiri dari kedua orang tua dan satu anak perempuan kisaran SMA. Mungkin anak itu nggak berani datang sendiri, pikir saya. Resepsionis lantas menanyakan kepada saya, apakah sebelumnya sudah pernah datang. Saya menjawab ini pertama kalinya, lalu ia menyuruh saya mengisi data diri di sebuah buku.

Saya diberikan suatu pilihan, mau ditangani oleh dokter Wulan atau dokter Rani. Awalnya, saya memilih dokter Wulan karena namanya sama dengan personel WIRDY. Saya berpikir siapa tau nanti bisa memperoleh potongan harga ketika membahas soal nama yang sama itu. Oke, ini bodoh sekali dan nggak mungkin. Tapi, setidaknya dengan nama yang sama itu saya bisa mencoba bersikap lebih santai. Anggap saja memang teman saya yang sedang memeriksanya. Sayangnya, resepsionis itu langsung bilang kalau dokter Wulan sedang makan dan di daftarnya masih ada satu pasien. Jadilah saya menjawab, “Ya udah, dokter yang satunya aja biar cepet.”
 
Selagi duduk menunggu giliran karena dokter Rani masih menangani satu pasien, entah mengapa saya kepikiran juga untuk membersihkan karang gigi (scalling). Mumpung lagi di klinik gigi, biar sekalian gitulah. Sebelumnya, saya telah bertanya kepada salah seorang teman yang pernah ke situ. Berapa biayanya dan seperti apa rasa atau prosesnya. Mengingat permasalahan gigi yang bolong ini, saya pun menghubungi teman lainnya untuk bertanya-tanya apakah ada yang pernah menambal gigi. Saya mencoba untuk mengontak mereka mungkin supaya nggak stres. Kelamaan menunggu yang bercampur dengan rasa takut memang suka bikin saya panik dadakan. Mengobrol sering menyelamatkan saya, sebab dapat mengalihkan rasa khawatir yang berlebihan itu.

Lagi asyik-asyiknya mengobrol di WhatsApp, kemudian nama saya dipanggil. Saya pun segera masuk ke ruangan dokter Rani. Dia pun bertanya apa keluhan saya, dan saya tentu refleks bercerita begini: Saya pernah kecelakaan motor dan rahang sebelah kiri saya terkena aspal. Ada salah satu gigi yang sedikit patah. Satu gigi geraham, kan, memiliki mahkota—yang terdiri dari empat bagian. Nah, gigi geraham saya salah satu bagiannya patah dan tersisa tiga. Saya benar-benar nggak sadar kalau patahan tersebut tiba-tiba sudah menjadi lubang dan kini jadinya tersisa dua.

Awalnya gigi itu hanya nyeri dan sakit sedikit kala baru-baru patah dan berlubang. Saya juga nggak kepikiran untuk datang ke dokter gigi. Saya hanya menuruti perkataan Ibu untuk kumur air garam. Gigi itu pun langsung sembuh dan sesudahnya nggak pernah kambuh lagi. Hingga tiga hari lalu, saya mulai merasakan nyeri hebat di gigi itu. Sakitnya bahkan sampai ke kuping. Begitu mengaca, rupanya gigi saya lubangnya sudah semakin besar. Mungkin karena puasa dan Lebaran kemarin saya khilaf kebanyakan mengonsumsi makanan dan minuman manis. Hanya dalam waktu sebulan, lubang itu besarnya sudah parah. Terus saya bingung, kenapa gigi sebelahnya jadi timbul putih-putih, padahal sebelumnya nggak ada? Apakah itu efek gigi yang bolong dan merusak gigi di sebelahnya? 

“Emang kecelakaannya kapan?” tanya Dokter Rani. 

“Udah lama sih, hampir setahun kayaknya,” jawab saya. 

“Kenapa baru datang sekarang?” 

Saya terdiam. Nggak tau harus jawab apa. Nggak mungkin saya menjawab jujur, waktu itu lagi bokek atau sayang duitnya (mending juga buat belanja buku pas ada bazar).

“Ya udah, mending saya langsung periksa aja biar lebih jelas.” 

Selagi dokter Rani mulai memeriksa gigi saya, dia berkata kalau datang ke dokter gigi jangan tunggu sampai sakit. Sekiranya pas mengaca ada gigi yang kelihatan bolong, segera periksa aja. Lebih bagusnya lagi, datang enam bulan sekali. Baik untuk mengecek kondisi gigi ataupun membersihkan karang.

Saya hanya bergeming sebab memang nggak bisa ngomong. Tapi di dalam hati saya bertanya kepada diri sendiri, kenapa saat baru patah saya nggak mau datang? Kenapa baru sekarang? Pertanyaan itu saya ulang terus-menerus, meski saya tahu nggak akan ada artinya lagi. Ya, klise sekali, penyesalan selalu terjadi belakangan. Sekarang gigi geraham yang sedang diperiksa sudah tinggal setengah. Dugaan saya, paling nanti dokternya bilang kalau gigi itu mesti dicabut.

“Yang kamu maksud, gigi muncul putih-putih yang sebelah mana, sih?” tanya Dokter Rani. “Kalau yang belakangnya, itu emang udah muncul lubang kecil.”

Saya lalu memberitahunya “yang ini nih” menggunakan jari telunjuk kiri. 

“Oh, itu mah karang.” 

Dokter Rani kemudian tertawa, sedangkan saya merasa bodoh. Dia lalu bertanya sekaligus menebak kalau saya jarang mengunyah dengan gigi yang kiri karena risih ada yang bolong. Saya mengangguk. Dia pun menjelaskan kalau gigi yang nggak dipakai untuk mengunyah, justru malah cepat timbul karang. Mengunyah harus gantian kiri dan kanan. Jangan cuma sebelah aja.

“Terus gimana dong, Dok? Ini jadinya bisa cabut gigi dan bersihin karang?” 

Katanya, gigi yang lubangnya sudah besar itu masih bisa ditambal. Prioritasnya mending tambal yang bolong ini dulu. Bersihin karang bisa menyusul. Lagian, kalau mau cabut nggak bisa langsung sekarang. Kudu tunggu dua atau tiga hari lagi.

“Beneran masih bisa ditambal?” tanya saya ragu. 

Dokter Rani menjawab bisa, tapi untuk saat ini tambal sementara karena mesti perawatan saluran akar. Tambal permanennya nanti ketika sudah berkunjung 4-5 kali, tepatnya kala kondisi gigi sudah betul-betul layak untuk ditambal. 

Saya lalu nekat bertanya, memang kenapa kalau dicabut? Dia bilang, sayang sama keadaan giginya yang masih bisa diperbaiki. Apalagi gigi itu nggak akan tumbuh lagi. Udah bukan gigi susu. Selama masih bisa tambal, kenapa harus cabut? Selama gigi masih memungkinkan untuk ditambal, maka biasanya akan dilakukan perawatan akar gigi. Gigi saya katanya masih bisa banget untuk dilakukan perawatan. Ya, walaupun lubangnya besar dan harus beberapa kali datang setiap seminggu sekali. Akhirnya, saya bertanya lagi berapa biaya per kunjungan. Saya berterus terang saja soal urusan uang itu. Dia pun menyebutkan harga 200-300 ribu.

“Jadinya mau gimana?” tanya dokter Rani. 

“Gimana baiknya aja deh, Dok.” 

Dokter Rani tentu memilih menambal sementara gigi saya. Memangnya apa yang bisa saya protes dari pilihannya itu? Nggak ada. Saya hanya bisa bilang oke. Saya saat ini sudah betul-betul pasrah akan ketololan diri sendiri.

Saya ini termasuk orang yang jarang sakit gigi, kecuali saat munculnya geraham bungsu yang pertumbuhannya agak miring waktu itu. Lalu sekalinya sakit, ya, saya selalu pakai cara tradisional: kumur air garam. Tapi harus saya akui, saya memang goblok karena entah mengapa sering merasa takut atau malu setiap kali berniat datang ke dokter gigi. Sekalipun saya rajin menyikat gigi, tapi saya juga terlalu banyak mengonsumsi yang manis-manis (yang mana tidak baik untuk kesehatan gigi). Jadi kala sudah telanjur berlubang begini, saya patuh saja dengan penanganan dokternya.

Saya melihat dia memasukkan jarum panjang dan entah alat apa lagi untuk mengebor dan membersihkan gigi saya yang bolong. Kalau nggak salah, dia sempat bilang itu untuk mematikan syarafnya dulu. Kemudian gigi yang berlubang itu sepertinya diberikan obat atau entah ada bahan-bahan lainnya. Sepuluh menit kemudian, urusan menambal sementara ini sudah kelar. Saya disuruh kumur. Pahit betul. Lidah pun refleks mengecek gigi yang baru saja ditambal itu. Rasanya pun semakin pahit. 

Sebelum saya pulang dan membayar tarifnya, dokter Rani sempat berkata, “Dalam seminggu ini kamu bisa pikirin lagi baiknya gimana. Mau terus datang 4-5 kali untuk perawatan saluran akar supaya nanti bisa ditambal, atau mau langsung cabut.” 

Ini jelas sungguh menjengkelkan. Kalau tahu akan begini jadinya, mending saya datang dari dulu aja. Ketika lubangnya belum terlalu besar. Paling 1-2 kali kunjungan sudah bisa langsung tambal. Lebih bagus lagi, sehabis kecelakaan waktu itu saya nggak cuma urut badan, tapi saya juga periksa gigi. Bedebah. Kenapa baru sekarang, sih? Namun, keluhan-keluhan seperti itu nggak bisa saya ungkapkan kepada dokternya. Saya lagi-lagi cuma bisa menjawab singkat, “Oke, Dok.” 

Totalnya saya kudu membayar hampir Rp.250.000 untuk biaya administrasi, obat penghilang rasa nyeri (jika suatu waktu sakit lagi), dan tambalan sementara.

Begitu sampai di rumah, saya langsung cerita saat proses pemeriksaan di klinik gigi itu, berapa biaya yang saya keluarkan, dan bertanya kepada Ibu baiknya gigi saya ini ditambal atau dicabut. Ibu saya pun tertawa mendengar harganya yang menurut beliau terlalu mahal. Ketika saya kembali meminta saran, beliau hanya menjawab, “Terserah. Duit-duit kamu ini, kan.”

Saya betul-betul galau akan hal ini.

Jika saya memilih menambal gigi berlubang itu, saya takut suatu hari tambalannya akan lepas. Saya sempat baca-baca di internet, sekuat-kuatnya tambalan itu palingan sekitar belasan tahun. Itu pun mesti merawatnya dengan benar. Jangan dipakai buat mengunyah yang keras-keras. Selain itu, entah mengapa ada rasa kurang rela menghabiskan uang untuk masalah gigi seperti ini. Saya pasti menghabiskan duit satu juta lebih untuk 4-5 kali kunjungan itu. Ya, Allah. Sejuta itu banyak! Tentu saya bisa menggunakannya untuk hal lain. Buat makan bisa beli berapa bungkus nasi padang coba? Kalau ke toko buku dapat berapa buah novel? Bisa meet and greet sama Bowo Alpenliebe (anak TikTok) berapa kali tuh?

Seandainya saya cabut, persoalan gigi ini jelas langsung hilang beserta giginya. Enaknya, saya nggak perlu takut tambalan akan lepas. Gigi juga nggak akan kambuh-kambuh lagi. Tapi saya pasti merasa sedih, sebab sudah kehilangan beberapa gigi padahal usia baru 23 tahun. Sejauh ini, ada dua gigi yang lenyap: 1) geraham kiri atas sudah keropos dan nggak tertolong lagi; 2) geraham kanan bawah sudah dicabut sekitar lima tahun lalu (saya lupa karena apa). Apa daftarnya harus saya tambah lagi? 

Menurutmu, gimana baiknya? Tambal atau cabut? 

Namun setelah  membaca ulang dan mengedit tulisan ini, saya langsung pikir-pikir lagi kalau mau mencabut gigi itu. Saya nggak mau cepat-cepat ompong. Lebih baik giginya saya tambal aja. Seenggaknya, saya jadi ada motivasi untuk mencari uang lebih banyak lagi. Lagi pula saya pun jadi bisa bertemu dokter Rani yang uwuwuw (ini apa coba?). Selain itu, ternyata saya juga masih punya pilihan lain: pindah dari klinik gigi ke Puskesmas atau Balkesmas yang kemungkinan biayanya lebih murah. Apa pun pilihan saya kelak, semoga rezekinya selalu ada. Aamiin.

--

Gambar saya comot dari Pixabay.

24 Comments

  1. Daftar jadi PNS aja bang, nanti kan dapat BPJS. Nah siapa tahu urusan ini masih bisa di cover oleh BPJS itu.

    Apakah ini bisa menjadi salah satu pilihan terbaik.........................?

    Btw senang baca tulisan ini, ada materi kesehatannya. Sangat memotivasi untuk orang lain supaya lebih cermat mengenai kesehatan gigi. Terimakasih!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cari uang sejuta kayaknya lebih mudah daripada daftar PNS. CPNS dulu lagian euy. Wqwq. Tapi mungkin suatu hari bisa saya coba saranmu~ Palingan gigi itu udah sembuh. :)

      Saya hanya berbagi cerita, terus kebetulan aja kali ini tentang gigi. Ehe. Sama-sama, ya~

      Delete
  2. Wah, masalah gigi ya. Terakhir ke dokter gigi itu awal tahun 2017 deh. Bersihin karang gigi, disuruh cabut. Tapi belum kesana lagi. Gigi gak sakit sih, cuma bolong aja. Hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mendinglah, saya sebelum datang yang ini pas tahun 2013. Kalau bolongnya udah terlalu parah, biasanya nggak akan sakit-sakit lagi. Seperti gigi geraham kiri atas saya yang keroak. Alias syarafnya udah kena, lalu giginya mati.

      Delete
  3. berbicara masalah gigi, kayaknya kita satu kereta..
    saya bukan sekadar berlubang, tetapi juga tumbuhnya miring, otomatis nubruk gigi sebelahnya.. tersangkutnya sisa sisa makanan, walhasil bolong..

    mau nggak mau harus cabut..
    perkaranya, kata kawan yang juga dokter gigi, harus dilakukan 'operasi'..

    BPJS nya sih ada dan mengkover.. problemnya, disini kalo mau dipake bjpsnya, ngantriiiiii 2 bulaaaaaaan.. :D

    untungnya, nggak sakit, ya sambil ambil nomor antrian, sambil dijaga2 supaya jangan sakit..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Operasi gigi itu gimana, sih? Kok serem ketika ngebayanginnya.

      Lama amat pula itu antrenya. Gigi keburu sembuh dengan sendirinya atau yang bolong jadi keropok~ :(

      Delete
  4. langsung inget graham kiri yg udah bolong, dan sama sekali belum pernah periksa ke dokter gigi :’)

    gara2 bowo emang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Udah nggak sakit lagi emang yang bolong, Yan? Lah, Bowo salah apa?

      Delete
  5. apa kabar gigi guaaaa

    sepanjang baca tulisan ini gigi gue nggak enak rasanya anju

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pas nulis ini sambil nginget-nginget kejadiannya juga ngilu. Jangan dibaca lagi kalau begitu, Man. Wqwq.

      Delete
  6. Satu juta bisa meet and greet Bowo Selebtiktok sampe 125 kali lhoo. Wow. Menyenangkan sekali, bukan?

    Btw, sekali lagi saya monmaap yak. Waktu itu saya lagi makan, cape bgt sih soalnya. Banyak pasien. Jadi gabisa periksa gigi kamu. Maaf ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wulan ini niat sekali sampai menghitungnya~

      Halah, alasan! Bilang saja kau tak ingin bertemu denganku, kan? Aku tau betul niat busukmu.

      Delete
  7. Lah kasus gigi lo sama kayak punya gue nih, Yog. Lubang kecil yang dibiarin lama-lama jadi gede. Kayak lagi membesarkan anak :')

    Kalo menurut gue, sih, giginya ditambal aja. Bener kata dokter Rani, di pemeriksaan ke 4-5 baru bisa bener-bener ditambal. Gigi pas ditambal sementara rasanya gak enakeun. Kayak mati rasa gitu gusinya. Haha.

    Eh, lo ga disuntik di gusinya juga, ya? Apa mungkin nanti ya di pemeriksaan selanjutnya? Soalnya gue juga gitu. Lupa, pas yang pemeriksaan awal buat matiin syaraf atau di pemeriksaan setelahya. Cuma nih ya, gue kasih tau ke elo.

    Itu.

    Sakit.

    BANGET.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya belum pernah membesarkan anak, Dev. Kecuali pas main Harvest Moon.

      Gitu deh. Terus lidah jadi gatel buat dikit-dikit ngecek tambalannya. Haha. Nggak tau, kemarin nggak disuntik. Tapi sakit banget campur ngilu gitu, sih, sewaktu dimatiin syarafnya yang macam dibor.

      Delete
  8. Ujungnya udah nentuin sendiri. Muahaha. Padahal kalo dari keluhannya ya mending cabut aja. Kan yang lo takutin sebenernya duitnya, bukan giginya. \:p/

    Tapi lumayan sih itu kalo 4 kali bisa hampir sejuta. Sama kayak gue waktu itu pernah periksa kuping. Cuman disuntik aja pake air terus disenyumin mbaknya, eh bayarnya 750 rebu. *lalu nangis di pundak Sarah Azhari

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tadinya paragraf yang itu nggak ada. Berakhir di pertanyaan. Cuma, aneh pas baca ulang. Saat ngedit tau-tau saya ketik. Hehe. Tapi tetep minta pendapat pembaca yang mungkin ada pengalaman. :)

      Bukan takut tepatnya, sih. Cuma kurang rela aja gitu uangnya habis buat periksa gigi. Muahaha. Saya juga belum mau ompong~

      Kayaknya dokter yang spesialis emang lebih mahal biaya periksanya. Ya, contohnya mata, gigi, THT tuh. :')

      Delete
  9. Makanya mas, besok-besok setiap 6 bulan sekali ke dokter gigi. Bersihin karang, diperiksa, sapa tau kalo bolong bisa langsung ditambal. Kaya saya. Dulu pernah berlubang tapi kecil banget jadi gak kerasa. Saya langsung minta ditambal, jadi gigi saya bagus deh sampe sekarang. Yang penting rajin gosok gigi setiap pagi sama sebelum tidur.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mas Riza mau nanggung biayanya? Nyuruh mah gampang. Wqwq. :)

      Kalau soal gosok gigi setiap habis sarapan dan sebelum tidur pada malam hari mah sudah dilaksanakan~

      Delete
  10. Ini mirip banget sama ceritaku beberapa bulan yang lalu. Aku sih nambal, meski enak sih, masih dibiayain mama. Jadi ngga perlu mikir biaya.

    Eh, bdw, Bowo siapa? Tik Tok apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mumpung masih ada yang biayain, puas-puasin nambalnya, Hul. Haha.

      Jangan pura-pura nggak tau kau, ya! Saya aja berusaha mencari tahu ketika kemarin sempat ramai.

      Delete
  11. Terakhir ke puskesmas buat cek gigi itu pas TK. Pas semua giginya udah bukan gigi susu lagi belum pernah cek ke dokter gigi atau ke puskesmas. Sebenernya pengen cek juga sih, bersihin karang gigi juga. Tapi ya gitu, mesti mikir-mikir biayanya. Padahal mestinya sering-sering ngecek ya, biar bisa mencegah.

    Semoga dapet pilihan yang terbaik buat kesehatan gigimu bang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih mending saya rupanya. Sekitar 5 tahun lalu. XD Biaya buat ke dokter gigi ini emang jadi masalah, ya? Hahaha. Rasanya sayang gitu, kan? Mending buat yang lain. Wqwq.

      Aamiin~

      Delete
  12. Wooow kalo soal gigi-gigian mah gigi hadid kalah udah. Saking gigiku sering bermasalah, jadi punya langganan dokter gigi di salah satu rumah sakit. Dia udah nanganin aku dari sd sampe sekarang kuliah.

    Kebetulan pas SMA, aku juga pernah merasakan sakit kayak gini mz yog, waktu itu sampe sakit kepala, keringetan, mual, terus nangis deh karena sakit banget dan akhirnya ketiduran juga. Tapi anehnya, dalam beberapa minggu dibiarin gitu si gigi yang bolong ini jadi ga pernah sakit lagi. Ternyata pas di cek ke dokter, gigiku udah abis banget gara-gara bolong yang dibiarkan dan sarafnya udah mati jadi ga akan ngerasain sakit. Akhirnya, karena kerangka (?) giginya masih ada, jadi sama dokter di tambal aja ga di cabut.

    Prosesnya juga cuma tiga mingguan kurang gitu. Pas pertemuan pertama kan langsung dibersihin, diurusin sarafnya biar bisa ngerasain sakit lagi, terus di tambal sementara biar ga ada kotoran masuk. Nah dari tambalan sementara ini selang seminggu, dibuka lagi buat di cek dalem giginya. Darisitu ada pembersihan kedua terus nanti di tambal sementara lagi dan terakhir baru deh tambal permanen.

    Tapi entah kalo sampe 4-5x gitu aku ndak tau gimana prosesnya soalnya kok ya banyak banget. Malah aku juga nggak dikasih obat pereda nyeri:( tapi mungkin tiap dokter beda-beda khaaand.

    Selamat dan semangat mencari dokter yang cocok mz yog! Cocok di hati dan di kantong ya huehuehue.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seriusan dari SD? Ya ampun, kamu ini emang doyan ya, Dris? :p Btw, panggilannya Dris bukan? Sok akrab banget. Haha.

      Saya ada satu yang kayak gitu. Geraham kiri atas. Tapi saya diemin aja. Ini geraham kiri bawah yang sisa setengah sedang saya perjuangkan untuk tambal, nggak mau bernasib sama kayak yang atas. :(

      Kamu berarti cuma tiga kali datang? Saya juga bingung kenapa dibilanginnya sampai sebanyak itu. Mungkin lubang gigi saya lebih parah dari punyamu kali, ya? Gigi, kan, ada tiga lapisan tuh; email, dentin, dan pulpa. Gigi yang udah tinggal setengah ini kayaknya udah kena pulpanya (bagian yang terdapat syaraf).

      Iya, setiap dokter tentu beda-beda. Terus obat penghilang nyerinya kagak kepakai dong. Mubazir banget. Wqwq.

      Sekarang sedang mencari-cari informasi di internet, mana dokter gigi yang dekat rumah sekaligus pas di hati dan kantong. Sudah dapat satu tempat, tapi nunggu hari Senin rasanya lama betul. Makasih udah mau berbagi ceritanya di kolom komentar, ya~ :)

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.