Pada suatu malam jahanam di sebuah kedai kopi daerah Jakarta Selatan, Agus—salah seorang teman saya—mendadak jengkel ketika ponselnya kehabisan baterai. Apalagi meja yang kami tempati nggak tersedia stopkontak. Ditambah kami berdua juga lupa membawa charger maupun power bank. Alhasil, keadaan itu membuat wajah Agus semakin tidak sedap dipandang. Lalu saya pun berniat untuk meminjamkan ponsel saya kepadanya. Tapi rupanya mulut Agus jauh lebih lincah dan seakan-akan dapat mendengar suara hati saya, sebab dia tau-tau bilang, “Yog, pinjem hape lu bentar buat buka Instagram.”
sumber: https://pixabay.com/id/sosial-jaringan-sosial-ikon-1834010/ |
Saya pun memberikannya begitu saja tanpa takut dia akan berbuat macam-macam. Tak lama setelah itu, dia tiba-tiba refleks berkata, “Anjing!” yang dilanjutkan dengan tawa. Sehabis mendengar umpatan dan tawanya itu, saya jadi deg-degan dan berpikir yang bukan-bukan.
Apa gue ketahuan DM-DM-an sama pacarnya?
Tapi seinget saya Agus nggak punya pacar.
Hm, apa dia baca chat mesum gue sama cewek-cewek, ya?
Bagusnya saya juga langsung sadar diri. Kebetulan waktu itu saya masih memiliki pacar. Boro-boro bisa ngobrol mesum sama perempuan lain. Ngobrol biasa juga agak segan, sih, karena saya menghargai perasaan si pacar (halah, taek). Toh, saya nggak sebejat itu. Artinya: saya sudah mengkhayal terlalu jauh. Jadilah saya langsung bertanya, “Lu kenapa, Gus? Kesurupan?”
“Hape lu kok nggak ada InstaStory-nya?”
Bedebah. Dia tadi tertawa ternyata menghina ponsel saya. Tapi mau gimana lagi? Kenyataannya memang begitu. Saya pun menjawab begitulah keadaan ponsel saya yang sudah ketinggalan zaman tersebut. Omong-omong, ponsel saya ialah iPhone 4. Hanya bisa untuk mengunggah foto dan video saja di Instagram. Belum terdapat fitur InstaStory, live, Boomerang, mutilple photos/videos, dan seterusnya (apakah ada lagi fitur lainnya?).
Kemudian dia bertanya lagi, kenapa saya nggak ganti gadget baru yang lebih canggih? Saya lalu gantian bertanya untuk apa segala ganti? Selama ponsel yang saya pakai ini masih berfungsi dengan baik. Kalau ganti HP cuma biar ada InstaStory-nya, sih, saya merasa nggak butuh.
“Beneran lu selama ini nggak pernah InstaStory?” tanya Agus.
“Ya, selama ini lu pernah lihat gue update, nggak?”
Dia lalu menggelengkan kepalanya dan mengembalikan ponsel saya. Agus juga heran sama saya yang bisa-bisanya betah menggunakan ponsel butut (ponsel yang nggak bisa InstaStory). Saya sendiri juga bingung kenapa dia begitu memprioritaskan fitur yang awalnya milik SnapChat itu. Sampai-sampai orang terlalu gaul pun menyebut InstaStory menjadi SnapGram.
Sejauh ini, saya menggunakan Instagram cukup untuk melihat dan menyimpan foto-foto. Saya jarang menonton maupun mengunggah video. Lebih-lebih fitur InstaStory yang memang nggak saya butuhkan. Jadi, saya oke-oke aja dengan keadaan ponsel tersebut.
Namun, entah mengapa masih ada saja beberapa teman yang nge-tag saya di InstaStory. Bagi yang belum mengetahui atau lupa dengan keadaan ponsel saya, sepertinya masih bisa saya maklumi. Tapi bagi yang sudah tahu dan jelas-jelas mengingatnya bagaimana? Kadang-kadang saya jadi kesel sendiri. Maksud mereka tuh apa, sih? Mau menghina saya? Menyuruh saya ganti ponsel?
Lama-lama saya jadi curiga kalo salah satu di antara mereka itu ada yang bekerja di divisi pemasaran perusahaan gadget. Ya, lagian buat apa gitu? Udah tau saya nggak ada InstaStory, tapi masih aja nge-tag melulu. Anehnya, seiring bergesernya hari saya mendadak jadi penasaran juga sama story-story itu. Saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebetulnya ingin mereka sampaikan dalam video 15 detik tersebut? Padahal setelah 24 jam video itu juga akan hilang, kan? Apa karena nggak permanennya itu, ya? Ah, entahlah.
Lalu pikiran saya malah terbawa jauh dari persoalan itu. Saya justru jadi keingetan sama video Instagram pada masa awal-awal yang durasinya hanya 15 detik. Kala itu ada banyak akun yang begitu kreatif membuat video-video keren dengan durasi yang cukup singkat. Kalau nggak salah itu merupakan tahun IndoVidGram yang sedang jaya-jayanya. Saya sendiri pun pernah membuat video lucu-lucuan dan timelapse agar di-repost oleh mereka. Sayangnya, nggak ada satu pun video saya yang tembus. Sebagian video itu juga telah saya hapusin sih, sebab mendadak jijik sewaktu menonton ulang.
Kembali ke persoalan InstaStory, saya jadi ingat suatu hari pacar saya—yang kini telah jadi mantan—merekam makanan yang kami berdua pesan, lalu dia dengan diam-diam juga merekam saya yang sedang menyantap makanan itu. Saya lalu menoleh dan bertanya, “Kamu ngapain InstaStory segala dah? Mau pamer lagi pacaran?”
“Dih, kamu kenapa, sih?”
“Ya, aku nanya buat apaan segala direkam?”
Dia pun diam saja. Saya lalu melanjutkan berbicara dan menjelaskan kalau kebahagiaan saat ini nggak perlu dibagikan kepada orang lain. Simpan saja untuk berdua. Emang masih butuh pengakuan orang lain lagi? Apa, sih, untungnya mengumbar kemesraan? Dan kalimat-kalimat lainnya yang rasanya nggak perlu saya tuliskan di sini.
“Aku ngerekamnya juga nggak setiap kita jalan kali.”
“Tetep aja kamu norak! Mau pamer, kan?”
“Terserah!”
Kami kemudian bertengkar. Suasana menjadi beku. Rasa makanan yang aslinya lezat itu mendadak hambar. Saat mengetikkan kalimat barusan saya nyesek juga, sih. Lalu saya berpikir mengapa bisa-bisanya sejahat itu.
Dan pada hari lainnya, salah seorang teman bloger ada yang menandai saya. Ketika itu kami memang habis kopdar sama temen-temen bloger regional Jabodetabek. Sayangnya, setiap kali ada InstaStory yang masuk ke DM, tulisannya selalu begini:
Astagfirullah. Apa yang mau saya perbarui lagi kalau iOS udah mentok? Ponselnya mesti saya jailbreak gitu? Saya malas utak-atik dan takut meledak. Akhirnya, saya bersikap masa bodoh deh soal cerita itu. Tapi tetap saja masih ada sedikit rasa penasaran dan tanda tanya di hati. Apa yang dia perlihatkan dalam cerita tersebut?
Karena saya nggak pengin susah tidur cuma gara-gara InstaStory sialan itu, jadilah saya meminjam ponsel ibu saya. Kebetulan ponsel beliau memang terdapat Instagram (yang ada fitur InstaStory). Ngomong-ngomong, ini kenapa ibu saya terkesan lebih gaul dan keren daripada saya, ya? Tapi tenang saja, ibu saya nggak segaul itu. Adik sayalah yang mengunduh Instagram di gadget tersebut. Kalaupun suatu hari beliau mempunyai akun Instagram dan mengikuti akun saya, saya pasti akan langsung blokir! Durhaka-durhaka dah.
Kemudian, saya tersenyum seusai melihat InstaStory temen bloger itu. Kalau nggak salah, dia nge-post foto dengan tambahan teks yang menunjukkan perasaan bahagianya sehabis kumpul-kumpul sama temen bloger. Saya tentu merasa bahagia karena bisa membuat orang lain bahagia. Secara nggak langsung, saya termasuk salah seorang yang membuatnya bahagia pada hari itu, kan? Oke, ini mah saya yang kepedean. Lalu bagaimana kalau dia juga tetap bahagia tanpa adanya saya? Nah, loh~ Anjis, ini kok mendadak sedih, ya. Halah.
Sejujurnya, saya berpikir kalau InstaStory itu nggak penting sama sekali. Lalu setelah menuliskan cerita tentang InstaStory ini, perlahan-lahan pikiran itu semakin bergeser. Ternyata bagi sebagian orang InstaStory bisa menjadi penting untuk menunjukkan perasaannya pada saat itu juga. Setiap orang memiliki hak untuk berekspresi. Sehingga saya nggak perlu menghakiminya yang macam-macam. Setiap orang pun berbeda dalam mengutarakan perasaannya. Mungkin saya memang nggak membutuhkan InstaStory, sebab saya lebih nyaman mengungkapkan perasaan dengan menulis.
Curhat di Twitter merupakan cara termudah bagi saya untuk mengungkapkan perasaan pada saat itu juga. Ya, meskipun pada akhirnya twit-twit itu lebih sering nggak saya tampilkan dan berakhir di draf. Seenggaknya, saya jadi mendapatkan pemahaman baru akan hal ini. Ke depannya, saya akan mencoba untuk menghargai InstaStory.
Jika nanti ada teman, pacar, atau siapa pun itu yang menandai saya dalam InstaStory-nya, saya nggak perlu kesal-kesal lagi dan akan bersikap lebih peduli. Saya pun berusaha untuk menontonnya. Mungkin saya juga akan memahami apa yang dia rasakan dalam ceritanya tersebut. Dan berhubung sekarang laptop atau PC sudah bisa menampilkan InstaStory, saya jadi nggak perlu repot-repot meminjam ponsel ibu saya.
Akhir kata, saya hanya ingin meminta maaf kepada siapa pun yang pernah saya sakiti dalam urusan InstaStory ini. Terkadang yang norak bagi kita, mungkin bisa menjadi sebuah arti, makna, atau hal yang berharga bagi orang lainnya. Begitu pun sebaliknya. Semoga saya nggak lalai lagi dalam melihat dengan sudut pandang yang lain.
36 Comments
Gue pake instastory kadang buat promote artikel baru gue yog, cuma gak ada tombol swipenya sih yang bisa langsung menuju ke artikel gue, yaudah gapapa, yang penting bisa publikasi karya dan diliat sama temen-temen gue, siapa tahu ada yang tertarik dan bisa memetik manfaat dari tulisan blog yang gue share di instastory.
ReplyDeleteKalo elo pake iphone 4, gue pake asus zenfone 4, sama-sama pake gadget lama, mentok2 cuma bisa update ke kitkat dan semua apps udah pada migrasi ke os yang lebih tinggi, apa tuh namanya, oreo ya, dan gue termasuk orang yang setuju sih sama argumentasi elo yang bilang selagi hp.y masih bisa digunain dengan baik, kenapa juga harus ganti hp.
Goood post anyway yog
Widih, bisa buat promosi tulisan ternyata, ya. Nah itu, sayangnya nggak bisa langsung mengarahkan ke blognya. Kalau nggak salah mesti minimal berapa followers baru bisa deh. :)
DeleteEhehe, selama masih bisa untuk komunikasi, yang mana emang fungsi utama sebuah ponsel, saya mah oke-oke aja pakainya. Syukur ini ponsel saya masih mendukung WhatsApp. :D
Thanks, Gung.
Gue tertegun di bagian lo bilang nggak usah minta pengakuan orang-orang kalau udah bahagia. Meskipun mungkin (mantan) cewek lo nggak maksud ke sana. Mungkin cuma pengin update aja biar kayak orang-orang. Karena hey, ini udah semacam lifestyle! Hahaha
ReplyDeleteTapi gue lebih tertegun lagi ketika lo nulis kalimat terakhir. Pada akhirnya, yap, kita cuma perlu saling menghargai. :))
GANTI HAPE YOG! PAKE ESIA HIDAYAH! HUAHAHAHAHAHA. Oke maad. :(
Beneran udah jadi gaya hidup, ya? Hm, saya masih belum butuh tapian. Atau itu bukan gaya hidup saya. Hehe.
DeleteIya, saya ingin lebih menghargai perbedaan. Toh, saya nggak di-tag setiap saat juga. Pas momen tertentu aja. :)
Yang bener aja pakai Esia, udah nggak bisa euy~ BlackBerry aja sepertinya udah langka.
Haha, sosial media sekarang menjadi barang yang di butuhkan dan bahkan bisa membuat pengunanya kebingungan bila tidak memainkan sosial medianya, terutama Instagram.
ReplyDeleteAku juga tidak begitu mengerti memainkan Insta Story, apalagi yang, vitur livenya. Dan agak kesel ketika muncul tulisan di beranda HP, pemberitahuan siA lagi siaran langsung, silahkan melihatnya, sebelum siarannya berakhir,siapa yang mau nonton, sekali terpencet, muncul muka orang lagi ngaca di depan HPnya sambil ngelive.
Kalau ak iya masih suka dengan Instagram yang lama, yang hanya bisa share photo dan Video aja.
Tapi yah kembali lagi, tergantung pengunanya, jika pengunanya merasa memainkannya bisa membuat dia bahagia, iya sah-sah aja, asalkan tidak digunakan untuk menyindir dan menjelekan orang lain.
Owh iya, coba deh sekali2 lihat Insta storynya Awkwarin itu udah seperti jalur kereta api, haha.
Emang setiap ada yang live masuk ke notifikasi, Sep? Ya ampun, penting sekali. Wqwq. Ada temennya nih yang penyuka Instagram rasa original~
DeleteOh, saya tau. Itu sempet viral di Twitter. Punya Dian Sastro juga. Udah jadi titik-titik gitu, kan. Hahaha.
Kenapa Instagram Stories? Because it is the new hype, Yog. Semua orang menggunakannya (ya, mungkin kecuali elu). Dari data pemasaran, pengguna harian Instagram Stories lebih dua kali lebih besar dari pengguna harian Instagram feeds. Lu bisa liat (kalau nanti gadget lu udah ada fitur stories-nya) ada yang posting foto di feeds sebulan sekali, tapi update di Stories lebih dari lima kali sehari.
ReplyDeleteTingkat kefektifan iklan via Stories di Instagram juga jauh lebih besar dari platform mana pun (mungkin karena semua orang menggunakannya) jadi nggak salah kalau pacar lu sampai ikut-ikutan. Tapi, nggak semua tren harus lu ikutin juga kok. Gue juga jarang update Stories. Tapi seenggaknya taulah apa yang baru di sana.
Salam,
Anwar di Pacitan.
Nggak saya doang sih, Man. Pasti ada orang lain lagi yang nggak pakai. Ahaha. Pantesan saya jarang ngelihat temen-temen posting foto biasa. Ternyata mereka udah update-nya di InstaStory toh, yang mana saya nggak bisa lihat. Wqwq.
DeleteNah, itu. Saya baru sadar kalau itu udah bisa buat iklan dan lebih efektif. Waktu itu pernah ditawarin kerja sama wajib post minimal sekali InstaStory. Tapi saya tolak karena ponsel saya nggak bisa. Ya, meski ada alasan lain juga, sih. Hahaha.
Yap, nggak semua tren perlu diikutin. :)
Kalau FB kebetulan saya udah jarang banget buka. Zaman SMK tuh sering banget di-tag begitu. Haha. Apalagi, kan, nanti komentar-komentarnya masuk notifikasi terus. Dulu ngerasa keganggu. Sekarang rindu pas lihat foto dan baca komentarnya. :)
ReplyDeleteIya, membuat orang lain senang nggak ada salahnya. :D
Benar juga, instastory mungkin jalan bahagia bagi beberapa orang atau bahkan pelampiasan emosi mereka. Kalo saya masih santai dan tenang walaupun nggak mainan instagtam, entah bakal tahan sampai kapannya.
ReplyDeleteYa, kita nggak bisa maksain standar diri sendiri kepada orang lain, kan. Saya pun saat ini masih tenang untuk nggak menggunakan InstaStory. Tapi kalau ada yang nge-tag saya, nggak ada salahnya melihat atau menonton cerita itu seperti yang sudah saya tuliskan. Hehe.
DeleteMenyentuh sekali y InstaStorynya
ReplyDeleteIni kayak story beneran mas
Tokoh utamanya yoga trus si Insta itu Siapa, mas?
Insta itu temennya Insto mungkin, Bang.
DeleteIyasih saya juga sebenarnya insta story tidak terlalu butuh.. tapi karena ikut organisasi terus didalam organisasi itu ngadain paid promote jadi harus ikutan juga, walaupun handphone sudah support insta story di instagram... Tapi yah mau gimana lagi daripada harus kena denda setiap kali tidak upload...
ReplyDeletetapi melakukan insta story juga menyenangkan sedikit sih, entah itu perasaan senang saat membagikan sesuatu kepada orang lain atau hal lainnya.. Yah walaupun bagi orang itu tidak penting tapi bagi diri sendiri kan serasa senang dan bahagia gitu. tapi itu tergantung individunya masing masing juga sih :D, itu aja sih dari saya
Wajib untuk saling promosi gitu? Segala ada denda pula. Hmm. Yap, seperti yang sudah saya tuliskan. Setiap orang punya hak berekspresi. Kalau sekiranya nggak suka dan mengganggu, kan, bisa di-mute atau unfol. :)
Deleteini story tentang insta story yang gak rugi dibaca.
ReplyDeletesetuju sih kalau ada sesuatu yang berharga dari instastory, tapi masih lebih setuju kalau instastory banyak yang upload buat pamer hehehe
Hahahaha. Karena saya hampir nggak pernah nontonin InstaStory, jadi kurang tahu soal banyak pamernya. Tapi saya emang sempet nebak kayak gitu, sih. Ya, mungkin pamer udah jadi gaya hidup~
Deletesemoga perihal "udah jadi mantan" ini bukan gara-gara instastory.
ReplyDeleteKarena memang nggak ada hubungannya. Bagian tentang pacar (yang udah jadi mantan) itu sudah cukup lama. :)
DeleteKalo lo ngga maen InstaStory tapi punya Instagram, gue malah ngga maen Instagram sama sekali, hehe. Gue udah kayak anomali memalukan di zaman medsos gini :p
ReplyDeleteAwalnya sih kesel kalo disindir ngga pernah update kegiatan, ngga melek medsos, dll... tapi lama-lama santai aja. Jujur, temen gue ga banyak, jadi tekanan untuk ikut arus pergaulan dengan segala hingar bingar Instagram ngga terlalu besar.
Gue setuju sama lo, Yog: "kebahagiaan saat ini nggak perlu dibagikan kepada orang lain". Bagi gue, cukup disimpen di media penyimpanan kita sendiri untuk dilihat kapan pun kita butuh melihatnya, ga perlu orang laen tahu. Gue pun membatasi melihat postingan orang lain karena ngga mau sembarangan membiarkan hal-hal itu mempengaruhi pola pikir gue (budaya konsumtif, iri hati, kepo, gosip, dll). Cukup melihat apa yang bisa membuat gue produktif, itu aja. Kalopun pengen tahu kabar orang lain, gue mendingan ngobrol tatap muka sama dia, lebih private dan berkualitas.
"Terkadang yang norak bagi kita, mungkin bisa menjadi sebuah arti, makna, atau hal yang berharga bagi orang lainnya" --> nah, ini juga yang akhirnya gue simpulin, kalimat lo ngena banget. Gue bisa aja berpandangan buruk tentang medsos, tapi bagi orang lain, itu hal berharga buat mereka, bahkan melengkapi momen itu sendiri. Bisa jadi itu media menyenangkan bagi mereka untuk berekspresi (setuju sama pandangan lo di atas), sama seperti peran sebuah blog bagi gue. Kalo mereka nyaman begitu, gue lebih nyaman menulis dan nuangin pikiran. Dua pandangan berbeda, itu aja, hehe.
Artikel yang bagus, Yog :)
Nggak memalukan juga kok, Bay. Kan tergantung kebutuhan orangnya. Banyak udahan beberapa temen saya yang hapus aplikasi itu. Ada juga yang sama sekali nggak main kayak lu. Saya masih tetap menggunakan Instagram karena lumayam buat menyimpan hasil motret iseng-iseng. Ya, semacam buat pelarian kalau lagi jenuh nulis gitulah. Bisa juga untuk latihan menulis saat bikin caption. :D
DeleteHahaha. Segitunya amat sampai disindir. Padahal kan hak lu, ya. :') Iya, maksud saya di bagian ngomong ke mantan juga itu, sih. Nggak semua hal dalam hidup mesti dibagikan ke orang lain. Tapi mungkin cara penyampaian saya yang kurang baik dan akhirnya bertengkar.
Makanya saya coba lihat dari sisi orang yang pakai InstaStory. Meskipun saya awalnya risih, tapi lama-lama mencoba untuk lebih menghargai. :) Yap, sama nih kita. Sejauh ini emang blog tetap media yang paling asyik buat saya. Makasih, Bay~
Awal-awal pas update fitur Instastory di instagram, saya nggak mudeng fungsinya buat apa. Terus mikir, kayaknya nggak manfaat juga. Maksudnya buat apa coba. Tapi makin kesini, liat beberapa temen yang mulai aktif pakai fitur ini, saya jadi pensaran--dan akhirnya kepakai juga si Instastory di akun saya. Tapi memang sih, kadang males kalau udah liat instastory dari temen yang sehari itu sampai berpuluh-puluh biji. Kadang cuma lihat satu, terus lainnya tak skip. Boros kuota, coy XD
ReplyDeleteOiya, dan parahnya fitur-fitur story macam ini sekarang juga sudah ditiru sama whatsapp dan facebook. Makin banyak aja ini media buat 'pamer' di dunia maya.
Sekarang jadinya kepakai buat apa, Mas Wis? Kayak InstaStory Dian Sastro yang sempet viral itu, kah? Wahahaha. Betul, nonton story kan emang makan banyak kuota. XD
DeleteIya nih, sekarang mulai merambah ke media sosial lain~ Saya pernah tuh sekali coba pakai di WhatsApp. Terus, ya udah gitu aja. Ngerasa nggak penting ternyata. Mungkin anaknya emang nggak bisa mengekspresikan diri dengan fitur semacam itu. Wqwq.
Yaaaa....BUAT PAMER JUGA SIH *halah* hahaha--sama buat promote tulisan di blog, misal ada blogpost buat lomba. Biar ada traffic pengunjung yang lumayan. Lagi, biar si fitur instastory juga ada faedahnya dikit, sekali-kali dipakailah.
DeleteStory nya Dian Sastro yang mana? Malah saya nggak paham.
Yang sudah sampai jadi titik-titik kecil gitu, Wis. Saking banyaknya update. Kan kalau sedikit biasanya cuma garis-garis.
DeleteBtw mas, sekarang aku malah nganggep adikmu lebih gaul dan kekinian wkwkwk.
ReplyDeleteBtw, aku juga punya cerita masalah InstaStory sih. Menarik juga kalo ditulis.
Sebenernya nggak papa sih, asal tau situasi dan kondisi aja. Ehehe.
Kalau anak zaman sekarang mah nggak apa-apa, Co. Dia udah lulus SMA juga, kok. Kalau ibu saya yang kelewat gaul, baru saya khawatir. Haha.
DeleteTulislah~ Yap, asal bisa menyesuaikannya dan jangan berlebihan. Ehe.
artikelnya bagus mas, tapi ngomong-ngomong kasihan ya tuh si Agus, haha
ReplyDeleteKasihan kenapa, Bang?
DeleteGua kurang suka juga sama insya story, tapi kadang-kadang gua share juga, cuman untuk sesuatu yang penting aja, pentingnya disini bukan bumerang yah, yang ngedip mata doang atau seni zoom pakai musik, astaga... apalah itu ckck
ReplyDeleteApaan seni zoom pakai musik? Saya nggak ngerti. Wqwq.
DeletePersis apa yg saya pikirkan dulu, tapi setelah dipikir pikir kita gak boleh se-narrowminded itu. Krn mungkin sebagian orang buat instastory terkesan alay, norak, tapi jangan lupa juga kalo banyak yg tebar manfaat misalnya info orang hilang dll.
ReplyDeleteOh iya, saya baca postinganny karena habis twit bang yoga. Hehe😁🙌🙌
Iya, di akhir tulisan saya juga sudah menuliskan soal melihat dari sudut pandang lain. :) Berbagi informasi seperti itu di InstaStory ampuh, ya. Termasuk mengajak membeli suatu dagangan yang penjualnya sudah tua juga pernah saya lihat.
DeleteWah, lumayan juga promosi tulisan di Twitter ada yang tergoda buat klik. Haha.
Hahaha ketus banget pas pacarmu (eh mantan) ngerekam, padahal dia udah bilang gak selalu ngelakuin itu. Aku kadang ngerekam2 dan motret belum tentu di share juga Yog, mungkin dia juga gitu (sotoy lah Fasy).
ReplyDeleteBtw lihat story di laptop aja, udah bisa kok :D
Saya emang kurang suka ketika lagi makan, terus sama dia dipamerin ke InstaStory. Tapi omongan saya mungkin yang terlalu ketus. Salah cara menyampaikannya. :( Iya, dia nggak setiap saat, tapi ya gitu deh ehehe.
DeleteItu kan saya emang udah nulis bisa di dua paragraf terakhir, Sya. :p
Hahaha .. aku dong ngga ngerti sebenernya fungsi instastory itu apa.
ReplyDeleteMungkin buat nunjukin eksistensinya kalo seseorang lagi di suatu tempat atau punya sesuatu yang baru, ya ?.
Secara tayangan instastory kan kayak sekelebatan lewat, mirip sekilas info.
Tapi namanya juga orang pasti berbeda persepsi dan kesukaan,ya.
Ada yang beranggapan instastory cuma buat kesenangan tersendiri, seru-seruan dilihat teman-temannya ...
Dan pasti ada juga yang kontra, dinilainya cuma buat sarana ajang pamer diri.
Semuanya sah-sah saja menurutku.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.