Dari Pameran Buku ke Taman Sentral

Robby Haryanto membagikan sebuah tautan yang mewartakan tentang diskonan buku di Gramedia Matraman, Jakarta Timur, ke grup WhatsApp WIRDY. Sebagai orang yang hobi membaca buku, saya tentu saja langsung tergiur. Sialnya, awal tahun ini keuangan saya sedang kurang baik sebab satu bulan silam baru saja membeli charger laptop agar Asri kembali menyala. Ditambah lagi, upah kerja lepas minggu lalu masih saja belum turun. Akhirnya, saya cuma bisa menjawab: miskin :(.




Beberapa hari setelah itu, syukurnya honor dijanjikan akan turun. Saya pun menanyakan kepada Robby, itu diskonannya sampai kapan dan apakah masih tertarik untuk datang? Dia merespons saya dengan antusias. Ayo-ayo aja, mumpung lagi libur kuliah dan malas di rumah. Mantap. Kami pun sepakat bertemu di sana pada hari yang ditentukan.

Pada hari yang telah kami sepakati dan saya sudah dalam perjalanan sembari mencari pom bensin, tiba-tiba terdengar bunyi ringtone aurora dari kantong celana kiri saya. Sebuah notifikasi personal chat WhatsApp. Karena pom bensin sudah cukup dekat, saya pun mengabaikannya untuk sementara. Tak lama, suara yang sama terdengar kembali. 

Begitu tiba di pom bensin, saya tidak langsung mengantre dan memilih untuk mengecek ponsel dahulu. Terdapat pesan dari Robby yang menanyakan saya sudah berangkat apa belum. Pesan berikutnya, dia bilang kalau lupa turun di Matraman. Saya refleks membalasnya dengan emoji tertawa yang keluar air mata. Lalu saya mulai bertanya, sekarang di mana dan enaknya bagaimana?

Dia menjawab kalau sedang di Halte Tosari dan menyuruh saya untuk ketemuan di Bunderan HI (Hotel Indonesia) saja. Saya pun mengingatkannya bahwa di wilayah itu motor tidak dapat melintas. Kami mau tak mau harus kembali ke rencana awal: bertemu di Matraman.

*

“Harganya masih termasuk mahal, Rob. Terakhir lu ke sini, emang kayak gini?” tanya saya kepada Robby.

“Iya, buku-bukunya juga nggak jauh beda sama yang bazar kemarinan.”

Pertama kali mendatangi diskonan di Matraman, seingat saya banyak buku-buku yang diobral dengan harga 5.000-10.000. Sedangkan saat ini, bukunya kebanyakan seharga 20 ribu atau lebih. Akhirnya, saya dan Robby belum mengambil satu pun buku. Kami berdua rasanya agak malas jika harganya segitu. Mending buat makan, pikir saya. Mungkin di dalam pikiran Robby, lebih baik buat mengisi saldo kartu TransJakarta. Secara dia kan rajin banget naik TransJakarta. Kalau dia rajin naik Gojek, mungkin untuk mengisi saldo Gopay. Kalau dia rajin naik buraq, ya mungkin buat beli makanan buraq (emang pakan buraq apaan?).

Lelah karena tidak mendapatkan buku yang paling murah, saya lantas memainkan ponsel dan membuka Twitter. Rupanya, terdapat mention dari Haw (bloger Pontianak) yang memberi tahu saya kalau dirinya sedang berada di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dalam seminggu ini, dia memang sedang berkunjung ke rumah kerabatnya di Bogor. Saya pun bersahut-sahutan di dunia maya untuk menyuruhnya menyusul. Namun, dia sedang ada urusan dan akan berkabar lagi jika keperluannya sudah usai. Asyik, nggak nyangka nanti bisa sekalian kopdar sama bloger lainnya.

Saya kembali melihat-lihat buku seraya menanti kabar dari Haw. Tidak ingin pulang dengan tangan hampa, maka saya pun mencomot dua buah novel yang harganya Rp15.000. Lumayanlah, setidaknya nilai satu buku itu belum mencapai angka kepala dua. Kalau Robby, sih, masih berusaha mencari buku yang harganya sepuluh ribu.

Meskipun sudah malas dengan buku-buku diskon yang dijual, anehnya mata saya masih terus mencari-cari harta karun tersembunyi. Siapa tahu, saya bisa mendapatkan buku bagus di antara tumpukan buku seperti 2 tahun silam—saat saya menemukan buku kumcer Murjangkung, A.S. Laksana.

Akhirnya, Robby mengambil satu buah buku (saya lupa apa judulnya) seharga Rp10.000. Sebuah pencarian yang tidak sia-sia. Saya juga menemukan sebuah buku yang sebelumnya pernah saya incar sewaktu datang ke BBW (Big Bad Wolf) pada April 2017. Namun karena waktu itu saya tidak ingin terlalu boros, saya menunda untuk membelinya. Sedihnya, sekarang harganya sudah tidak sama lagi. Waktu itu seingat saya cuma Rp18.000, saat ini malah jadi Rp25.000. Bedebah! Jika tahu akan begini, ketika itu mah mending saya beli dan tidak perlu banyak berpikir.

Alih-alih langsung mencomot buku itu, saya kembali ragu-ragu untuk membelinya. Saya masih gondok akan kenaikan harganya. Bagaimana mungkin hanya dalam jangka setahun bisa mendadak bikin harga buku melonjak naik tujuh ribu? Sebagai alumni mahasiswa ekonomi, saya tentu sangat perhitungan akan harga yang tidak wajar begini.

Apalagi itu uangnya kan dapat saya gunakan buat beli mi instan di Warmindo. Ya, beberapa orang pasti akan mementingkan beli makanan daripada beli buku. Wahai Pemerintah, tolong turunkan atau hapus pajak buku biar harganya jadi murah! Bagaimana mau mencerdaskan kehidupan bangsa kalau begini caranya? Tapi protes seperti itu rasanya tak berguna. Saya pun segera mengambil buku tersebut dan membawanya ke kasir tanpa berpikir macam-macam lagi. Belum tentu bukunya kelak tersedia kembali dan harga bisa saja semakin tinggi.

Sehabis membayar, saya dan Robby iseng melihat-lihat buku-buku lagi. Bedanya, ini bukan buku yang diskon, melainkan buku yang terdapat di toko bukunya. Kami awalnya mampir ke rak novel romansa, lalu membicarakan bagaimana tema percintaan selalu laku di pasaran. Berhubung kami berdua adalah tipe bloger yang dominan menuliskan cerita sehari-hari di blog, timbul suatu pertanyaan: “Kenapa buku kumpulan cerita keseharian semakin langka, ya?”

Pertanyaan tersebut kami lontarkan tanpa jawaban. Di dalam hati masing-masing, mungkin kami menjawabnya. Di dalam hati ini, saya merasa kalau buku kayak gitu sudah bukan masanya lagi. Lagian, saya perlu bercermin. Memangnya saya siapa? Untuk apa orang-orang membaca kisah hidup saya? Saya begitu sadar kalau curhatan itu tidak semuanya berguna. Nggak semua orang pengin tahu kehidupan personal orang lain. 

Biarpun kami berdua sejujurnya masih ada keinginan untuk menerbitkan buku, tapi apakah kami perlu mengikuti selera pasar untuk sebuah  buku debut? Terlebih lagi novel yang asalnya dari Wattpad dan telah dibaca jutaan kali. Memandangi buku yang sudah dicetak ulang lebih dari lima kali itu benar-benar menggoda. Mungkin tidak menjadi diri sendiri itu nggak apa-apa kali, ya? Nanti kalau udah punya pasar, baru deh keluarkan idealisnya.

Ah, sayangnya itu cuma pikiran sekadar lewat. Hal macam begitu hanya menunjukkan bagaimana kami berdua iri melihat penulis yang umurnya lebih muda, tetapi sudah menerbitkan buku. Robby, sih, usianya tidak terpaut jauh. Saya nih yang seperti dipecundangi. Saya pun berusaha membuang pikiran-pikiran buruk tentang menjadi penulis itu jauh-jauh. Kalau suatu hari saya memang pengin nerbitin buku, saya tentu akan tetap menerbitkannya dengan menjadi diri sendiri. Dengan gaya saya sendiri.

Saya lalu iseng membaca beberapa buku kumpulan puisi yang sampulnya sudah terbuka. Hitung-hitung buat belajar menulis sajak. Saya kembali mengecek ponsel, Haw belum juga memberikan kabar lebih lanjut sejak tadi. Saya pun berinisiatif menanyakan kabarnya lagi untuk jadi menyusul atau nggak. Dua menit berselang, Haw memberi tahu kalau dirinya sedang berada di Wisma 77, Slipi, Jakarta Barat. Suasana lalu lintasnya macet banget gila, aku pusing lihatnya nih, keluhnya.

Membaca pesan itu, saya langsung kaget karena tempatnya sungguh dekat dengan rumah saya. Saya terus terang saja sudah tidak peduli lagi akan macet, sebab begitulah keadaan Jakarta. Jadi nggak perlu terkejut. Saya kini bertanya kepada Robby baiknya gimana, mau samperin ke sana atau pulang aja? Mumpung sedang liburan, Robby bersedia main-main dulu dan tidak langsung pulang.

Sekelarnya urusan di toko buku dan salat Magrib, saya dan Robby segera menuju Slipi. Pertualangan pun segera dimulai.

**

Kala saya dan Robby sudah memasuki daerah Tanah Abang—yang jaraknya sudah dekat dengan Slipi—lalu lintas mendadak padat merayap. Tentang macet yang Haw bilang tadi, ternyata betul-betul di luar dugaan saya. Ini mah bukan macet yang biasa saya rasakan. Ini jauh lebih gila lagi. Saya entah mengapa langsung berkhayal ingin menabung banyak uang untuk membeli helikopter. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Jakarta pada tahun 2020 kalau tetap memilih bepergian naik motor. Walaupun saya juga belum tahu nanti mau parkir helikopternya di mana. Ya, namanya juga mengkhayal.

Tangan saya sudah keterlaluan pegalnya karena sedikit-sedikit mengerem. Lalu kerongkongan terasa sangat kering. Bau asap kendaraan membuat kepala saya pening, padahal saya sudah menggunakan masker. Wajah-wajah gusar para pengendara motor lainnya juga tidak sedap dipandang. Kombinasi semacam itu sungguh membuat saya jengkel dan ingin mengeluarkan jurus edo tensei. Saya mau membangkitkan Hokage Keempat biar bisa langsung sampai tujuan dengan jurus teleportasinya. Syukur saja khayalan tolol itu tidak perlu lagi, sebab 10 menit kemudian saya sudah sampai di Wisma 77, Slipi. Saya segera menepi dan mengontak Haw.

Tidak ada balasan apa pun dalam 5 menit, saya akhirnya mengajak Robby untuk mampir ke angkringan pinggir jalan seraya menunggu kabar dari Haw. Kami memesan dua gelas es teh. Minuman yang begitu menyegarkan tenggorokan.

Saya dan Robby mengira kalau Haw mungkin sudah pulang karena tidak kunjung membalas pesannya. Mungkin pertemuan kami memang belum direstui oleh Tuhan. Besok-besok lagi bisa deh ketemuannya. Akhirnya, sekalian saja saya duduk lebih lama dan tangan mulai mencomot tempe goreng dan sate usus. Lumayanlah untuk mengganjal perut. Melihat saya makan, Robby jadi ikutan mengambil tahu goreng. Kami pun makan dengan iringan bunyi mesin dan klakson kendaraan.

Saat sedang asyiknya menyantap makanan, ponsel saya berbunyi. Haw mengabarkan kalau dirinya diajak oleh temannya ke Central Park Mall. Sebelum beranjak, saya bertanya dahulu di sana masih lama atau cuma sebentar? Saya tidak mau sesampainya di sana, dia kelak sudah pulang dan tidak jadi bertemu. Syukurnya Haw menjawab, “Ayoklah ketemu. Kasih tau aja kalo udah sampe.” Maka, saya dan Robby langsung bergegas ke Central Park Mall. Dan, tidak lupa untuk membayar atas makanan dan minuman yang kami santap tadi.

***




“Ketemu di taman yang Pohon Natal, ya,” tulis saya kepada Haw begitu tiba di Central Park Mall.

Sambil berjalan menuju tempat itu, Robby berujar kalau dirinya baru pertama kali masuk mal ini. Dia terlihat begitu takjub memperhatikan lampu warna-warni di taman. Saya pun entah kenapa jadi menceritakan pengalaman pertama kalinya main ke mal ini. Mengingat diri saya dulu sangat norak karena setiap melihat spot bagus langsung berfoto.



Kala kami sudah sampai di area Pohon Natal, saya langsung mengeluarkan ponsel dari kantong celana dan berniat memberi tahu Haw. Baru saja ingin mengirim pesan, ternyata Bolt saya mati. Saya tidak ada koneksi internet selain dari mi-fi itu. Ketika mengecek isi tas, saya hanya membawa power bank-nya saja dan kabelnya ketinggalan di rumah. Bermaksud meminjam kabel sama Robby, tapi dia juga tak membawanya. Mana ponsel Robby dalam keadaan mati. Saya ingin SMS, tetapi tidak tahu nomor Haw yang baru. Nomor yang lama sudah tidak dapat dihubungi. Saya dan Haw sejak tadi padahal bertukar pesan lewat DM Twitter, bodohnya saya lupa menanyakan nomornya.

Saya lalu coba menyalakan Bolt itu. Berhasil menyala, tapi baterainya kedap-kedip. Dengan cepat jari saya langsung mengetik dan bilang kepada Haw kalau Bolt saya mati dan cepetan ke sini, karena takut ribet nantinya saling cari-carian. Sewaktu saya ingin mengabarkan untuk SMS-an dan memberikan nomor ponsel kepadanya, Bolt sudah mati kembali. Saya dan Robby pun panik. Masa iya nggak jadi ketemu lagi? Rasanya pertemuan ini ada-ada saja kendalanya. Berengsek betul.

Saya memperhatikan sekeliling untuk menemukan cowok berkacamata yang mungkin juga sedang mencari-cari kami. Namun, wujud Haw tidak juga tampak. Saya awalnya sudah sempat berpikir untuk meminjam kabel kepada orang lain di taman ini. Bagusnya Robby segera bilang, “Gue coba nyalain HP deh. Masih sisa 5%, sih, kayaknya tadi.”

Yeh, ini anak bukan dari tadi. Saya pikir emang mati total. Ketika ponsel Robby menyala, baterainya sudah dalam keadaan 3%. Saya kembali deg-degan. 

“Duh, keburu nggak nih, ya?” tanya Robby.

“Pokoknya buruan ketik nomor gue terus kirim ke Haw, Rob.”

“Waduh, dua persen.”

Berak macan. Saya betul-betul jadi geregetan.

Alhamdulillah pesan telah terkirim dan semenit setelahnya Haw mengirimkan SMS ke nomor saya. Dia menuliskan kalau baru mau jalan ke taman, soalnya tadi mampir ke toilet dulu. Kutu kupret! Nggak tahu apa saya dan Robby nungguin dengan cemas.

Dari kejauhan tampak Haw berjalan bersama seorang perempuan berjilbab dan menghampiri tempat kami duduk. Saya dan Robby sepertinya sama-sama terkejut melihat temannya Haw itu. Kami berdua tentu saja dari awal mengira Haw main ke mal ini sama kerabatnya atau bersama teman sedang ada urusan pekerjaan, pokoknya sama laki-laki deh. Rupanya, dia ketemuan sama seorang bloger. Perempuan pula.

“Hayo, pada kenal nggak?” tanya Haw.

Robby langsung menggelengkan kepala. Saya mengernyitkan dahi sambil berusaha mengingat-ingat siapa bloger ini, sebab memang belum pernah bertemu sebelumnya. Tapi, saya yakin pernah blogwalking ke blognya. Kala di ingatan muncul sebuah nama, dengan refleks saya mengatakan, “Dwi?”

Perempuan tersebut mengangguk dan tersenyum. Lalu Haw dan Dwi pun ikut duduk di sebelah kami. Kami berempat duduk-duduk sambil membicarakan dunia blog yang semakin sunyi. Beberapa teman yang dulu rusuh di kolom komentar, kini sudah banyak yang vakum. Arman Zega dan Renggo salah duanya. Haw bilang, Arman mungkin sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya menjadi penulis konten, sehingga nggak sempat lagi untuk menulis di blog. Sedangkan Renggo katanya tidak memperpanjang masa aktif domainnya. Kini, Renggonesia dan Renggostarr sudah tinggal kenangan.

Haw bercerita dirinya semakin jarang mendapatkan uang dari blog. Dia mengatakan kalau sekarang banyak bloger yang murahan. Masa cuma dibayar 50-75 ribu untuk content placement, tapi langsung banyak yang mau. Berbeda sekali dengan kami yang seminimalnya harus 200 ribu. Kami memang sok jual mahal.

“Dwi blognya masih bersih tuh. Keren deh, nggak mau ada iklan,” ujar Haw.

Betulkah Dwi belum pernah sekali pun menerima tawaran kerja sama, baik itu content placement ataupun job review? Saya tidak tahu kebenarannya karena jarang main ke blognya. Jadi, saya manggut-manggut saja. Yang jelas, saya salut jika hal itu benar.

Beralih dari dunia maya, kini kami membicarakan dunia nyata. Haw bertanya kepada saya dan Robby tentang kesibukan kami di kehidupan nyata. Bagaimana kuliah Robby dan apa kerjaan saya sekarang? Seusai Robby menjawab tentang perkuliahannya yang baru selesai UAS, lalu saya merespons sekenanya tentang pekerjaan lepas dan belum juga mendapatkan kerja tetap. Haw bertanya kembali tentang pekerjaan saya dulu di sebuah media yang telah saya tinggalkan. Saya lagi-lagi menjawab sekadarnya. Barulah gantian Haw menceritakan dirinya yang sekarang bekerja jadi seorang reporter.

“Reporter? Wah, keren!” kata saya memuji.

“Reporter di Twitter tapi, Yog.”

“Hah? Maksud lu gimana?” tanya saya.

“Kalo lihat twit konflik politik, aku report. Ada yang menyulut kebencian, aku report.”

Saya, Robby, dan Dwi pun tertawa. Bangkai, Haw masih sempat saja berkelakar.

“Ya, itu report-er, kan?”

Bodo amat!

Obrolan kian bertambah seru dan random membicarakan berbagai topik (yang rasanya tidak perlu saya tampilkan di blog ini). Sayangnya, hari sudah semakin malam. Melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.10, Haw takut tidak mendapatkan kereta dan nggak bisa pulang. Saya menawarkan kalau nanti kemalaman, bisa menginap di rumah saya. Haw menolak ajakan itu dengan halus karena besok pagi juga masih ada urusan. Akhirnya, Dwi memberi tahu kalau kereta terakhir itu masih pukul 23.00. Bincang-bincang pun dilanjutkan kembali.

Sebelum pulang, seingat saya Haw curhat kalau merindukan tulisan-tulisan bloger yang personal. Ditambah niche bloger sekarang kebanyakan kalau nggak perjalanan, kuliner, ya palingan tutorial. Terus cewek-ceweknya jadi fashion/beauty blogger.

Haw tiba-tiba menanyakan kepada saya, kenapa udah jarang bikin tulisan curhatan lagi? Saya awalnya bilang kalau lagi belajar menulis fiksi dan sedang getol-getolnya ngirim ke media. Ya, walaupun ditolak terus. Dia mengeluhkan hal yang sama bahwa sering sekali ditolak.

“Kayaknya kalau medianya udah besar itu emang susah, Yog. Mending aku kirimnya ke koran-koran lokal deh. Lebih memungkinkan.”

Pembahasan kembali beralih mengenai tulisan curhat yang sudah jarang itu. Robby menyatakan dirinya yang pengin vakum ngeblog, sedangkan saya saat ini nggak pengin kehidupan pribadi saya yang kurang penting itu dibaca oleh banyak orang. Terlebih kalau menyangkut masalah percintaan. Lucu sekali mengingat bagaimana dulu pernah pacaran sama bloger kemudian dipamerkan dalam bentuk cerita di blog. Setelah putus, di kolom komentar isinya ledekan-ledekan dari bloger lain. Intinya, saya bilang ke Haw kalau kurang sreg lagi buat curhat.

“Tempat curhatnya udah di Tumblr sih, ya,” ujar Haw.

“Loh, kok tau?” kata saya sangat terkejut.

“Kan kamu dulu sewaktu memfiksikan pakai Tumblr. Pernah kamu share link-nya. Terus sekarang ke mana Tumblr-mu? Pas aku cari, hilang masa.”

Saya pun tertawa dan menjelaskan kalau tulisan-tulisan di Tumblr itu banyak sampahnya, buat apa segala dibaca? Tumblr itu sedang saya sembunyikan sementara sambil memilah tulisan-tulisan yang sekiranya bisa didaur ulang.

“Menurutku, tulisan-tulisanmu itu tetep layak ditampilin di blog, Yog,” kata Haw. “Cuma itu versi kelamnya kamu, ya. Makanya nggak pengin dibaca orang. Padahal, kisahmu nggak jauh beda sama kehidupanku.”

Suasana pun mendadak melankolis. Saya tidak begitu ingat apa saja obrolan selanjutnya. Tak lama, kami memutuskan untuk pulang. Kami pun berpisah di taman itu. Haw dan Dwi menuju arah jembatan penyeberangan untuk naik TransJakarta atau metromini atau taksi online, entahlah, sedangkan saya dan Robby menuju parkiran. Sehabis mengantarkan Robby sampai ke Halte Grogol, saya pengin buru-buru rebahan di kasur. Macet-macetan sehabis magrib tadi sungguh bikin punggung saya pegal-pegal.

Sesampainya di rumah, anehnya saya tidak langsung rebahan. Saya justru menuliskan catatan-catatan tentang pertemuan tersebut. Entah bagaimana, pertemuan barusan menyadarkan saya akan tulisan curhat. Kalau melihat tulisan-tulisan di blog ini, rasanya saya udah lama sekali nggak menuliskan cerita kopdar. Saya pun merenungi kembali kalimat yang sempat saya pikirkan di toko buku.

Untuk apa orang-orang membaca kisah hidup saya? Saya begitu sadar kalau curhatan itu tidak semuanya berguna. Nggak semua orang pengin tahu kehidupan personal orang lain.
Namun kalau saya pikir-pikir lagi, tak ada salahnya kembali curhat di blog ini. Mungkin saja masih ada bloger yang kangen baca tulisan-tulisan personal. Sebagaimana yang Haw bilang kepada saya kalau pengin baca tulisan curhatan lagi. Beberapa temen bloger pun mengaku memang lebih suka tulisan curhatan, sebab hubungan penulis dengan pembacanya terasa dekat. Dan yang lebih penting bagi saya adalah, saya suatu hari nanti bisa membaca curhatan itu untuk mengenang. Pas dibaca-baca ulang bisa memberikan saya berbagai macam perasaan yang bikin campur aduk.

Jadi, inilah tulisan curhat saya. Saya tujukan untuk kamu yang rindu baca keseharian saya yang panjang-panjang dan nggak jelas begini. Mungkin tulisan ini bisa juga didedikasikan kepada Haw yang sudah datang ke Jakarta jauh-jauh dari Pontianak, tapi saya tidak menyambutnya dengan baik.

--

PS: Saya baru sadar kalau kami berempat lupa berfoto karena keasyikan ngobrol di dunia nyata. Mungkin niat kami bertemu memang untuk silaturahmi, bukan untuk pamer. Biarlah kenangan itu tersimpan di memori otak kami. Bukan di galeri ponsel ataupun Instagram.

Bagi yang nggak suka tulisan panjang, saya sarankan besok-besok tidak perlu lagi membaca tulisan di blog ini. Lebih baik tonton saja Youtube-nya Bang Rando biar hidupnya termotivasi.

43 Comments

  1. waduh murah sekali bukunya pengen kesana beli deeh,,salam kenal gan

    ReplyDelete
  2. Saya juga suka mikir kalo ke toko/event buku, "ini bukunya mahal amat yak". Tapi sadar eh, nilai sebuah buku gak semerta kertasnya apa, sampulnya gimana, tapi proses kreatifnya. Bahkan kegiatan analisis, pengembangan ide atau penelitian di dalamnya. Itu sih menurut saya nilai jual buku.

    Jadi kalau dibilang, "ini harga buku mahal, gimana mencerdaskan kehidupan bangsa," hehehe kurang setuju. Kecuali kalau buku pelajaran. Ah ya gitu deh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau soal itu, saya paham sekali. Kreativitas memang perlu dihargai mahal. Tapi kamu tau nggak, harga buku-buku yang dijual di toko buku itu terlalu mahal kalau dibandingkan dengan toko buku online atau indie?

      Buku pelajaran harganya mahal-mahal juga, kan? Yang saya maksud semua buku. Ehe. Lagian, kita bisa cerdas dari novel juga, kok. Belajar sejarah dari sastra itu bisa jadi alternatif. Dibanding baca buku pelajaran yang bahasanya kaku. :)

      Delete
  3. harusnya peringatan yang di terakhir itu, lu taro di bagian awal, Yog. wkwkwk

    tapi gue baru tau sih, emangnya jarang ya yang nulis curhatan? kok gue ngerasanya banyak-banyak aja deh. apa jangan" blog yg gue kunjungin itu'' terus yak. dan ternyata jadi penulis buat media gitu, agak'' susah juga yak. jadi penasaran pengen nyoba gue.
    loh, mimpi jadi penulisnya mah lanjut aja bosque, kenapa pake dihilangin segala.
    coba suruh si Haw, main ke blog gue, Yog. isinya curhatan doang. wkwkwk
    smoga tahun ini, buku'' yang berisikan curhatan harian gitu mulai dinikmati kembali. amiiinnn Yaa Rabb

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maunya, sih, gitu, Zi. Tapi konon ada orang yang langsung baca ke kalimat terakhir biar bisa langsung komentar. Jadi, biarlah kalimat sarkas itu ada di akhir. Wqwq.

      Saya juga kurang tahu, Zi. Blogwalking saya pun masih segitu aja. Mungkin yang Haw maksud itu bloger pada umumnya. Kalau melihat orang terdekat, emang pada berubah, sih. Saya sendiri udah jarang curhat dan lagi belajar fiksi, Icha menulis film, terus ada yang pindah haluan jadi bloger tutorial, ada yang jadi bloger perjalanan, dan seterusnya.

      Kalaupun nggak ada buku seperti itu lagi, tidak apa-apa, Zi. Jarang juga soalnya nonfiksi yang asyik. :)

      Delete
    2. Terima kasih udah nyebut aku, Yogs. Huehehe.

      Delete
  4. Sebenernya gue seneng tapi miris juga sih kalo liat bazar buku. Yang bikinnya bisa setahun tapi harganya cuma ceban gitu. Hehehe. \:p/

    Wah ini Haw yang fisika itu? Seru juga ya. Hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi untuk buku-buku yang retur (kebanyakan terbitnya udah sekitar 5 tahun lalu), itu emang dijual senilai dengan ongkos cetaknya, kan? Jadi, ceban termasuk harga yang wajar, sih. Hm.

      Iya, Haw V-sika~

      Delete
  5. Ahahahaa. Renggonesia dan Renggostar ada di tulisan ini, bikin aku ngakak. Tapi itu serius Renggo nggak mau perpanjang domain? Berarti dia nggak bakal nulis di blog lagi dong? :(

    Berat juga ya buat ketemu Haw. Terus si Dwi itu, kayaknya dia sering aku liat komentarnya di tulisan Haw deh. Btw apakah pas ketemu itu, kamu bilang kalau Haw gemukan, Yogs? Yang aku liat di foto WA-nya dia, Haw gemukan sih.

    Nah soal tulisan curhat, iya sih pada jarang gitu. Aku juga sekarang bacanya review film. Jadi mungkin itu kayaknya yang mempengaruhi aku buat nulis soal film. Bacaan kita mempengaruhi tulisan kita kan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya Renggo tetep ngeblog, blogspotnya masih bisa diakses, kan?

      Iya, Dwi sering muncul di kolom komentar Haw. Pembaca setianya mungkin. :D Saya nggak bisa bedain tubuh Haw pas 2016 sama yang kemarin ketemu. Lupa gemukan atau nggak. Ingetnya, sih, rambutnya lebih klimis. Ahaha.

      Hooh, Cha. Bacaanku juga fiksi terus, makanya males curhat. :(

      Delete
  6. Apalah daya babang yoga kalo ane beli buku terkadang memang suka di event besar macam islamic book fair, tapi terkadang kalo udah ga sabaran ya beli di toko buku .. Ahahaha

    Kalo soal curhatan ya fine2 aja sih ya, kan blog personal kita ini, siapa tau aja curhatannya meng-inspirasi orang lain supaya lebih baik .. *mantab djiwaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mantaplah, Bung Rizal! Saya malah udah jarang banget beli di toko buku. Ehehe.

      Selagi saya bisa mengingatkan diri sendiri lewat tulisan ketika membaca ulang, itu sudah cukup. Ya, syukur-syukur orang lain dapet manfaat seperti katamu. :)

      Delete
  7. bang haw idolaque :(((( pengen ketemu juga sama blogger-blogger lain wkwkwk. ya semoga kapan-kapan bisa ketemu.

    btw aku mau curhat wkwkwk. sekarang juga aku mulai nulis curhatan lagi di blogku. mikirnya sih nggak ada yang komen atau baca nggak papa. soalnya aku nulis itu pertama untuk diri sendiri niatnya. jadi buat dibaca ulang gitu. dan aku sering ngakak sendiri sambil mbatin, "apa iya dulu gini ya?". kalo ada yang komen ya itu nambah bikin seneng banget.

    ya semoga aja tetep banyak blogger personal sih. soalnya aku biasanya nyari hiburan juga lewat mereka. baca-baca postingannya dan liat pengalaman apa sih yang dia lalui.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Semoga bisa segera ketemu temen-temen bloger ya, Co. :D Yap, diri sendiri utamakan dulu. Ada pembaca dan mereka berkomentar anggap saja bonus. Hahaha.

      Yoi, bloger personal nggak ada matinya meskipun udah jarang~

      Delete
  8. berak macan itu klo buku 20 ribu dimasukin rak yang 10 ribu

    blog dengan curhatan tetap idola. aku suka apalagi yang volume curhatannya 1/3 x Ï€ x r² x t (apaseh)
    cuma klo curhat aku lebih ngenes di twitter aja secara hidupku ya begitulah
    meski begitu, baca blog curhatan itu sukanya sering beban hidup ini sedikit berkurang apalagi klo yang curhatnya lebih ngenes daripada gue (jahat banget)

    eh btw 2012 aku kok agak semriwing kalo denger tahun itu wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu orang ngambil, tapi nggak jadi beli dan males balikin paling, Mas. :)) Bisa jadi hiburan tersendiri, ya? Wqwq.

      Delete
  9. Saya nggak begitu minat sih kalau dateng ke bazar buku model diskon-diskon begitu. Masalahnya kalau di Gramedia Solo, buku yang dijual biasanya buku-buku yang....yah begitulah. Kurang menarik hati. Misal ada pun, itu kudu ngubek-ngubek rak / meja display bener-bener sampai ke bawah jauh sana.

    Itu kok si Pullman kayaknya terkenal banget ya di Jakarta. Jadi penasaran XD

    Masalah kopdar, saya mah baru dua kali. Itupun karena ada event di Solo yang mengundang para blogger. Setelah itu, belum pernah lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayaknya nggak jauh beda sama di sini, Mas Wis. Buku yang diskonan itu udah mau diretur seringnya. Makanya kalau nemu harta karun seneng betul. :)

      Entahlah saya juga bingung, tapi kebanyakan emang pada foto dengan latar belakang itu. :D

      Saya nggak pernah ngitungin. Termasuk sering berarti kalau anak Jakarta mah.

      Delete
  10. Kok saya setuju dengan alasan buku mahal mending beli makan ya, hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu karena saya kurus, Mas. Pengin gemuk, jadi mentingin makan. Wqwq.

      Delete
  11. Sayapun pengen banget nulis curhatan di blog
    apa lagi blog saya juga memang personal
    tapi ya seprti yang mas yoga bilang
    apa begitu penting hidup saya ntuk di baca banyak orang
    tapi setelah baca ini, saya ingin mulai lagi menulis curhatan..meski sedikit d samarkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baiknya mah perlu difilter kembali, Di. Mana yang sekiranya tetap asyik dibaca oleh orang lain. Tapi saya sering cuek dulu. :(

      Delete
    2. Cuek, yang penting reseh dalam kepala bisa tercurahkan kata demi kata ya, Mas :D
      Plong deh. Ada yang baca ya seneng nggak ada ya nggak apa-apa..he

      Delete
  12. Pengen sih, tapi kejauhan jadi agak males
    Walhasil kemaren jadinya cuman main ke bazar gramed margonda depok
    Lumayan lah, dapet komik cantik 5000 tiga plus satu buku ceban hahahahaha

    Whew blogger blogger Central Park

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buku yang ditawarkan nggak jauh beda palingan, Ul. :D Apaan bloger Central Park, itu karena kebetulan nyamperin Haw aja. Wqwqwq.

      Delete
  13. Kalau ada diskon gini memang suka mepeng ya, Mas..he
    Tapi biasanya harga yang segitu-gitu aja bukunya gitu-gitu aja ya, Mas..he
    Kalau cuci gudang gramednya suka edan-edan sih menurtku, waktu kapan ya lupa, harganya serba 5k, dan itu buku apa aja, yang jelas yang ada di rak gitu..

    Kalau kesitu, aku bisa sekalian silaturahmi ya, Mas..he

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, penginan anaknya. Haha. Waktu itu pas banyak harga yang 5-10k, saya malah menyia-nyiakannya. Sekarang udah pada naik. :(

      Delete
  14. wah.. nampaknya perdana nih saya ke blog ini..
    mas salam kenal ya..
    sukses terus... blogx kece mas.. simple.. nice..

    ReplyDelete
  15. 20 rb harga begitu sudah tergolong murah meriah yog di tempat gw, 5-10 rb kagak ada, itu mah dapat sampul doank. enak yah harga begitu ngak jebolin kantong...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Enak asal bukunya seperti yang diinginkan. Ini, kan, saya mesti memilah mana yang terbaik atau cocok. Ehe~

      Delete
  16. bang haaaw long time no see, terakhir ketemu di kopdar tmii itu. soal buku, lagi kurang minat sama buku :( buku yang ane beli beberapa tahun lalu aja belon tamat2

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu Februari 2016, ya. Haha. Sibuk betul sepertinya, Lam. Sampai-sampai buku beberapa tahun lalu belum tamat.

      Delete
  17. Wqwqwq. O iya, kamu ikut ke-mention waktu itu. Ya sudah, kapan-kapan saja. Siapa tau Haw datang lagi. :)

    Yang Harbolnas Gramed? Syukur waktu itu saya miskin, jadi nggak tergoda untuk beli. Banyak yang ngeluh di Twitter saya lihat. :D Yahilah, segala trauma. Beli yang cepet dikirim atau yang pasti-pasti sajalah. :p

    ReplyDelete
  18. Buku-buku harga segitu gw udah borong kali Yog. Lah diskon 50% aja langsung kalap. Hahah

    Gw juga kangen sih cerita-cerita di blog. Sekarang masih tetap cerita tapi dipilah aja mana yang kira-kira oke kalo dibaca temen. Iya, dulu temen2 banyak yg gak tau blog gw, sekarang udah pada tahu. Gak bisa curhat brutal lagi deh. Tapi gw nulis di Tumblr, yah sekedar keluarin unek-unek yang ada di kepala. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemarinan buku-bukunya kurang oke, Rick. Atau beberapa udah pernah saya baca. Jadi kurang minat buat beli. Hm, saya malah nggak sempat beli yang Harbolnas itu. Lagi kere. :')

      Kalau blog banyak yang baca, malah semakin menyensor diri, yak. Bahaha. Tumblr selalu enak untuk menulis apa adanya tanpa peduli ada yang baca. :)

      Delete
  19. Ini anak gemes amat sama Robby. Heran~ Hahaha. Robby lagi vakum dari dunia perblogeran, May. Bertemu di dunia maya aja sulit, apalagi di dunia nyata. :p

    ReplyDelete
  20. Wah, cerita pas ngumpulnya diabadikan di sini, makasih Yog.
    Kirain Haw udah ngasih tau namaku, loh.
    Lain kali kalo Haw dateng lagi bikinin welcome party, kasian dateng dari jauh xD

    Ngomongin diskon buku, buku yang beli pas harbolnas belom nyampe juga, padahal beli cuma satu, hahaha. Kalo pameran buku yang diskon gitu jarang ada buku-buku dari marjin kiri, sih, jadi udah gak terlalu tertarik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum, bahkan Haw nggak bilang itu lagi main sama temennya. Cuma ngomong kalau ada urusan. Hahaha. Bingung juga kalau di hari kerja, sih. :D

      Pada telat gitu sampainya buku-buku Harbolnas? Parah juga. Sepertinya kalau buku kayak gitu sulit ditemukan di bazar, Wi. Saya juga mulai kurang tertarik. Lebih enak ke Blok M Square lantai bawah itu yang jual buku bekas sering menemukan buku-buku yang tak terduga. :(

      Delete
  21. Iri saya sama dikau. Masih bisa berburu buku.. hikkss.. itu dulu kerjaan saya keluar masuj pasar Senen dan mencari buku loakan.

    Sekarang mah, karena udah ada buntut dan banyak yang diurus, lebih sulit lagi untuk bisa seperti itu. Apalagi dengan mata yang sudah minus , plus, dan sekaligus, berat rasanya untuk baca buku.

    Jadi, jangan sia siakan masa muda.. hahahaha masih bisa menikmati berburu buku. Ntar kalau sudah seperti saya, malah nggak bisa.. repot bin sedih.. 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buku-buku di Pasar Senen emang masih ada, ya? Saya waktu ke sana, kayaknya nggak nemu deh. Atau saya yang kagak tahu tempatnya? Haha.

      Iya, emang lagi demen-demennya baca buku. Apalagi proses mencari buku bagus yang murah atau ada diskonnya itu. Ehehe.

      Delete
  22. justru dari tulisan2 curhat macam begini saya jadi punya banyak temen bloger.

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.