Melamunkan Kematian

“Aki, jangan mati ya,” ujar Himeno kepada Aki. “Saat aku mati, aku ingin kamu menangis untukku.”

Di adegan lain dalam anime Chainsaw Man, Himeno juga berkata: Pasti menyenangkan ketika memiliki seseorang yang cukup peduli dan rela menangis untukmu.




Saya lantas teringat dengan diri sendiri yang pernah berpikiran untuk mati duluan karena saya tak mau jika mesti menyaksikan orang-orang yang saya kenal, terlebih yang saya sayangi, pergi mendahului. Namun, kenyataan selalu berkata lain. Saya masih hidup sampai hari ini, dan saya justru terlalu banyak melihat/mendengar kematian.

Saat pertama kali melihat nenek sakratulmaut, saking sedihnya air mata ini tak mau menetes sekalipun batin telah menjerit tak keruan. Setahun setelah lulus SMK, saya mendapat kabar dari grup kelas di BlackBerry Messenger kalau ada teman sekelas kecelakaan dan kala dibawa ke rumah sakit nyawanya sudah tak tertolong lagi. Ada teman satu organisasi di Karang Taruna juga berpulang padahal usianya belum menyentuh 20 tahun (kematian sungguh tak mengenal usia). Apalagi kematian-kematian yang terjadi saat Covid, yang membuat saya tak ingin menghitung sudah berapa banyak keluarga/kerabat/teman/kenalan yang gugur pada masa pandemi.

Terakhir, yang tentunya tak pernah bisa saya lupakan: Sewaktu saya sedang siap-siap berangkat bekerja, Ayah menelepon dari rumah sakit dan bilang bahwa Aulia (adik bungsu saya) terlahir ke dunia sudah dalam kondisi tak bernyawa alias meninggal dalam kandungan. Seketika itu pula, saya bengong. Tak percaya dengan apa yang baru saya dengar. Saya pun masih ingat betul saat-saat muram itu. Saat saya menyaksikan kepergiannya yang bisu. Tanpa senyuman, tanpa tangisan.

Sebagai orang yang pernah punya gagasan buat mati muda, saya entah mengapa bersyukur masih hidup hingga hari ini. Barangkali ujaran Bolaño berikut yang telah menyelamatkan saya: “Kami tak pernah berhenti membaca, meskipun setiap buku akan berakhir, sama seperti kami tidak pernah berhenti hidup, meskipun kematian itu pasti.”

Lalu, seandainya saya nanti mati, apakah kamu akan seperti Aki yang menangisi kematian Himeno?


Apa pun yang terjadi nanti, simpan saja jawabanmu. Saya hanya ingin menaruh potongan puisi atau racauan berikut:


Suatu sore aku berkata kepada diri sendiri: Mengapa dadumu tidak dikocok lagi? Apakah kau kesal dengan probabilitas angka 6 yang tak kunjung keluar? Apakah itu menandakan kau tak ada lagi harapan untuk tetap hidup?

Ketika aku melamunkan kematian, aku sekilas melihat sesosok makhluk gaib yang tersenyum kepadaku. Apakah kematian akan membuatku menggigil kedinginan? Aku tiba-tiba diperlihatkan sensasi penderitaan abadi dari tubuh yang perlahan akan hancur. Betapa aku meratapi rasa perihnya duka dan luka. Kondisiku semakin turun, turun, dan turun ke dalam kegelapan rasa sakit yang tak pernah usai.


“Maka,” katamu kepada diri sendiri di depan cermin, “berhentilah melamunkan kematian dan mulai menikmati hidup, seakan-akan kau dan Waktu menjadi purba.”

1 Comments

  1. Eh aku pernah sih bayangin kematian. Ttg rasanya yg kalo dlm Islam deskripsinya serem banget di saat nyawa lepas dari tubuh. Benar atau ga, mana bisa tahu. Yang ditanya juga ga ada . Trus mikir, saat mertua meninggal, apa mereka merasa sakit? Papa meninggal pas udah koma. Mama juga gitu. Saat koma, apa otak dan tubuh bisa merasakan sakit?

    Terkadang aku pikir, serem juga kalo meragukan apa yg udah diajarin dlm agama, ntr bener2 ngerasain lagi 🤣.

    Setelah mikirin rasanya kayak apa, baru kepikiran di kuburnya ntr gimana :(. Ini yg aku rasanya belum siap.huufttt..

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.