Surat yang Menjauhkanmu dari Hasrat Ingin Mampus

Baby, I should not have believed it
But oh no I sink and dream it
It's so foolish and it's a joy
I would never be restored

Yeah, I put my trust on me
Not on you, not even this world

—Goodnight Electric, Rocket Ship Goes By

 

Halo, K,

Aku tak tahu dari mana kau berasal, dari mana pula kau bisa menemukan tulisanku. Ketika kita mulai mengenal satu sama lain, sesuatu berbisik kepadaku dengan lembut: Bagaimana dan mengapa kau bisa mengirimkanku sekotak kebaikan? Jika kau masih ingat, aku pernah bercerita kepadamu tentang keraguan serta kecemasanku terkait kemampuanku dalam menulis. Namun, dalam sekejap kau bisa mengembalikan kepercayaan diriku lagi.

Apakah kau ingat tentang puisiku yang berjudul Medusa? Hm, kau boleh menganggapnya kalau aku menuliskannya untukmu. Aku tak tahu mengapa menulis sajak cinta bodoh semacam itu. Mungkin karena kupikir, aku mulai menyukai segala kalimat yang kautulis untukku sekalipun aku tak tahu bagaimana wujudmu selain dari berbagai mitos yang kudengar. Bisa mengenalmu saat kondisiku sedang butuh pertolongan rasanya bagai memperoleh hadiah spesial. Tapi sebelum bergerak lebih lanjut, aku tentu harus sadar diri, bahwa kita tidak akan pernah bisa bersama. Sebagaimana sosok Medusa, kau itu merupakan Dewi yang tidak bisa kujangkau.

Jujur saja, aku menyesal karena tak bisa berbohong. Setiap kali aku membaca atau mendengar ceritamu, perasaanku tiba-tiba menjadi semakin dalam. Namun, aku jelas sudah tahu kalau aku tidak pernah bisa memaksamu untuk terus bercerita, dan kini pun terbukti bahwa percakapan kita telah selesai.

Hari ini, aku sangat merindukanmu. Terus terang saja, aku bingung bagaimana harus bersikap. Apakah aku harus memberitahumu? Tapi aku pun tak tahu tentang dirimu lebih jauh. Mungkin juga kau sudah punya kekasih, kan? Jadi, yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menerbitkan surat bodoh semacam ini. Walau tampak tolol, setidaknya surat ini bisa menjauhkanku dari hasrat ingin mampus.





*

Sepertinya akhir-akhir ini aku mulai tertarik menuliskan surat. Ya, kayak surat cinta fiksi tolol barusan. Lumayan asyik, sih, karena bisa sekalian untuk latihan merangkai kata sewaktu pikiranku sedang buntu. Aku bisa mengandaikan diriku ini benar-benar menulis surat dengan sepenuh hati. Seakan-akan suratnya betul-betul dikirimkan ke seseorang agar efek sedih, bahagia, cemas, deg-degan, dan sebagainya itu bisa terasa ketika dibaca oleh orang lain.

Aku sebetulnya agak heran kenapa mendadak menyukainya. Mungkinkah karena pengaruh membaca ulang surat Roberto Bolaño untuk orang tuanya? Atau mungkin ini kuanggap sebagai cara paling mudah untuk menghasilkan banyak teks? Bisa jadi aku sedang kelewat iseng sekaligus menghibur diri sendiri, sebab akhir-akhir ini terkadang merasa kesepian lantaran telah jarang berkomunikasi dengan orang lain. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali membahas berbagai topik bersama seseorang, lalu balas-balasan nyaris tidak berhenti, seakan-akan meniadakan konsep Waktu.

Apakah ini tandanya aku perlu mencari gebetan? Hm, sepertinya enggak, dan aku yakin bahwa diriku lebih butuh uang banyak ketimbang kekasih. Aku sesungguhnya juga tidak terlalu memikirkan gebetan atau pacar atau sejenisnya. Meskipun itu bukanlah gagasan buruk, tapi ini bisa langsung disimpulkan kalau aku hanya ingin memiliki teman maupun lawan bicara. Apalagi mengingat menjalin hubungan itu enggak semudah memaki saat kita lagi merasa jengkel, aku pikir daripada mesti repot-repot mencari seorang kekasih, aku cukup menulis kisah fiksi dan bisa langsung mewujudkannya.
 
Nirvana di dalam lagu Lithium menulis begini: I'm so happy, 'cause today I've found my friends. They're in my head. Maka, aku cuma perlu menuliskan suara-suara yang ada di dalam kepalaku, kan? Semacam sedang berbicara dengan orang lain, tetapi bukan, sebab mereka adalah karakter fiktif yang kuciptakan sendiri. Kala itulah mendadak muncul ide untuk bikin cerita fiksi yang disampaikan lewat berbalas surat.

Aku lantas teringat dengan Toru Watanabe, tokoh dalam novel Norwegian Wood karangan Haruki Murakami, yang gemar menulis surat kepada Naoko, pacar sahabatnya yang pada kemudian hari ia cintai. Aku teringat pula dengan suratku sendiri di tulisan Melankolia. Aku menuliskannya pada 2015, beberapa tahun silam kala depresi, supaya kelak berguna untuk diriku sendiri pada masa depan. Jadi, jika aku membaca ulang tulisan sendu itu, pasti kini akan tertawa dan merasa geli. Ternyata aku pernah sekelam itu, ya? Tapi biar bagaimanapun, aku akan tetap berterima kasih kepada diri sendiri karena telah kuat melawan masa suram. Aku berhasil bangkit hingga menjadi sosok yang sekarang, sehingga kelak sewaktu kembali mengalaminya, aku yakin bakal terus sanggup bertahan.

Aku baru sadar bahwa menulis surat rupanya tidak melulu harus beralamat ke orang lain. Aku tujukan buat diri sendiri pun tak ada salahnya. Sebagaimana membaca ulang tulisan lama yang setelahnya akan bikin kita berpikir: Apa betul ini aku yang menuliskannya? Entah merasa terheran-heran sebab tulisan itu terlalu jelek susunan kalimatnya, kelewat cengeng isi suratnya, ataupun ditulis pada masa kasmaran yang tampak norak, bahkan menjijikkan.

Selain itu, biarpun agak merepotkan, ide menuliskan surat ini juga bisa diterapkan bersama orang lain. Ajak salah satu kawan berpura-pura menjadi orang asing, lalu buatlah suatu kondisi mengapa kalian bisa berkenalan, hingga jadi seorang sahabat pena yang gemar bertukar kabar dan keterusan balas-balasan teks. Bisa juga mengumpamakan diri kalian itu dulunya kawan masa kecil, kemudian ketika SMP salah satunya mesti pindah rumah karena ayahnya ditugaskan ke luar kota dari kantor tempatnya bekerja. Kalian pun putus silaturahmi. Sampai akhirnya sepuluh tahun sejak hari itu ada yang tidak sengaja menemukan akun media sosialnya, lantas memutuskan menyapa sekaligus bertanya via pesan, Benarkah kau teman masa kecilku dulu? Gagasan seperti itu cukup mengasyikkan, bukan? Apa pun itu, jangan ragu buat menulis surat yang dapat menjauhkanmu dari hasrat ingin mampus, seperti yang aku lakukan saat ini.

0 Comments