Puisi Epitaf dan Berhenti Produktif

1

Di sini berbaring
sang pendekar frasa.
Tempat peristirahatan abadi
dari tanah kembali ke tanah,
meski di masa hidupnya
ia gagal menjalankan amanah.

Untuk bisa berpuisi seperti
Chairil, Widji, atau Rendra,
dan hanya mampu menjadi
seorang penyair gadungan
yang menjeritkan kesedihan
demi bisa menolong diri sendiri.



2

Di sini terkubur,
hati-hati yang remuk
yang gagal meraih mimpi
yang ditipu kutipan bijak
tentang kesuksesan
merupakan harga mati.

Ia telah gagal memenuhi syarat
untuk hidup bermasyarakat
dan memilih berhasil
sebagai penyendiri
yang tewas keracunan puisi.


3

Suatu kehormatan
seandainya aku bisa memilih
kata-kata di batu nisanku
selain nama, tanggal lahir & mati.

Akan kuberi wasiat
kepada mereka yang hidup
dengan epitaf tanpa khasiat:

—Jika hidup adalah
serangkaian pertanyaan,
apakah kematian
bisa menjawabnya?

—Setelah mati,
aku bisa hidup bebas
sebagai puisi.



—Meminjam sajak Szymborska:
“Jangan menangis
dan membangunkan iblis
yang sedang tidur
dalam istirahatnya.”

*

Puisi barusan ditulis sekaligus dipublikasikan pertama kali sekitar Maret 2022 di KaryaKarsa. Berhubung lebih dari satu semester tak ada yang membeli atau nyawer puisi tersebut (selain orang yang mendukung paketan dan bisa mengakses konten terkunci), tentu lebih baik saya taruh di sini saja agar ada yang membacanya. Ya, hitung-hitung buat menambah pos daripada blog ini terus-menerus kosong. Apalagi sewaktu saya membaca ulang sembari menafsirkan puisinya, bagi saya itu terasa sangat cocok buat mengubur karier saya dalam menulis puisi—yang sebetulnya sudah saya pahami bahwa diri ini cenderung tak berbakat dan hanya memaksakan diri.

Seumpama ke depannya saya masih ngotot menulis puisi, terlebih lagi mengomersialkannya, barangkali memang cuma itu metode yang bisa menyelamatkan saya dari berbagai krisis. Saya memang tak pernah tahu bagaimana hari-hari ke depan yang masih menjadi misteri, tapi untuk sementara ini atau katakanlah hingga November berakhir, saya telah merasa sedikit lebih baik menjalani keseharian tanpa perlu menulis (terutama cari uang lewat jalur nestapa ini). Ternyata memang lebih menggembirakan sebatas jadi pembaca buku/komik, begitu pun jadi penikmat film/anime, dan enggak usah menuntut diri buat rajin dan konsisten mengisi blog seperti dulu (yang jika dipikir-pikir kerap merusak jam tidur karena ketika fokus menulis maupun menyunting justru saya melek dari malam hingga pagi). Mending biasa saja, lebih banyak istirahat, dan berhenti produktif.

Jadi, apa itu produktif? Produktif, lama-lama bakal terdengar seperti dongeng sebelum tidur, dan saya jelas lebih sreg menerima kantuk ini dengan memejamkan mata ketimbang melanjutkan draf tulisan yang lazimnya cuma nonsens. Sekali lagi untuk penutup, saya meminjam  ulang sajak Szymborska: “Jangan menangis dan membangunkan iblis yang sedang tidur dalam istirahatnya.”

Hasta luego, amigos.

6 Comments

  1. Saya juga suka berpuisi--lebih tepatnya memaksakan membuat puisi. Puisi biasanya menjadi media pelampiasan untuk meluapkan emosi. Ya walaupun isinya gak sebagus buatan penyair kondang, seenggaknya puisi-puisi itu menghibur diri sendiri hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, lama-lama bikin puisi memang cuma buat menghibur atau menyenangkan atau bahkan menyelamatkan diri sendiri.

      Delete
  2. Replies
    1. Halo, Reka, saya alhamdulillah baik dan masih sanggup bertahan sampai hari ini. Kamu sendiri gimana?

      Delete
    2. Baik juga Yog alhamdulillah. Saya kira Yoga gak bakalan nulis lagi di blog, wkwkwk.

      Delete
    3. Kalau nulis mah pasti masih. Saya enggak bisa berhenti begitu aja, tapi ya bakalan jarang banget ketimbang sebelumnya yang sanggup sebulan empat tulisan. Sekarang dua tulisan aja udah syukur. Minimal usahain sebulan satu biar ada arsipnya.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.