Sewaktu mengetahui tantangan membaca buku dari Jane dan Lia pada bulan Juni berkover cokelat, saya spontan teringat dengan buku sendiri yang warna sampulnya juga cokelat, yakni Aku & Belasan Tokoh Menghancurkan Kesusasteraan. Namun, jelas enggak mungkin saya membahas karya sendiri. Selain karena akan terlihat mengenaskan, saya juga sebenarnya malu buat membaca ulang apa yang pernah saya tulis. Jika tujuannya mengedit dan mengumpulkan tulisan, saya jelas tak akan keberatan. Sayangnya, fase itu tentu telah berlalu lantaran karyanya sudah saya terbitkan secara digital dan dibagikan gratis pada April lalu.
Meski begitu, saya ingin tetap membahasnya karena ternyata ada dua orang kawan bloger yang telah berbaik hati memberikan ulasan atas buku tersebut. Yah, berarti saya tak perlu menyetorkan tulisan ini ke G. Form yang mereka sediakan, dan nanti cari buku lain saja buat diresensi kalau tetap mau meramaikannya.
Pertama-tama, sebelum menampilkan ulasan dua orang itu, saya ingin mengkritik diri sendiri terkait apa yang telah saya ciptakan. Seperti yang tertulis di halaman prakata, saya menggarap proyek itu murni karena iseng. Bisa pula dikatakan sebagai suatu pelarian dari karya lain yang tengah saya garap: 1) novela bergenre romansa, 2) novela yang membahas permainan virtual, 3) kumcer tentang cinta, 4) kumcer tentang pandemi. Saya memang kebanyakan proyek dan entah kenapa merasa terbebani saat ingin mengomersialkannya, makanya enggak rampung-rampung juga sampai hari ini. Yang selesai duluan justru proyek iseng-iseng itu. Tai banget kan.
Seminggu selepas menerbitkannya secara digital, saya merasa bahwa Aku & Belasan Tokoh Menghancurkan Kesusastraan dikerjakan secara terburu-buru dan kurang maksimal. Penyebabnya: saya menetapkan tenggat agar sebelum Lebaran minimal bisa menyelesaikan satu buku, sehingga saya bagaikan murid yang sedang mengikuti ujian dan kehabisan waktu, lantas mengisi soal-soal sisanya dengan jawaban asal.
Bukti paling jelas kenapa karya itu tampak dikerjakan dengan tergesa-gesa ialah ada satu kata pada judul cerpen pertama yang mestinya huruf besar, eh malah saya tulis huruf kecil. Kesalahan semacam itu kan seharusnya bisa lebih diminimalisir saat mengoreksi naskah sebelum terbit. Kalau saya terkenang impian lima tahunan silam untuk menjadi seorang editor, tentu saja ada rasa malu di dalam diri. Lalu, di luar soal itu, terkait kontennya juga medioker banget. Aturan saya bisa lebih mengasyikkan lagi dalam menyajikan tulisan. Seperti yang tertera di judulnya kalau saya melibatkan belasan tokoh (selain di cerpen terakhir yang memodifikasi kisah anime Kimetsu no Yaiba), saya awalnya ingin membahas sekitar 15-19 tokoh. Tapi yang akhirnya muncul 11 doang: Ayaka Miyoshi, Berlin, Elisa Lorenza, Hayoon Dalha, Mary Elizabeth Winstead, Minami, Nozomi, Osamu Dazai, Roberto Bolaño, Sylvia Plath, dan Tsubasa Honda.
Nama-nama seperti Subagio Sastrowardoyo, Cesar Aira, Squidward, Medusa, Gintoki (protagonis anime Gintama), Lisa Blackpink, Kanna Hashimoto, Minami Hamabe pun terpaksa saya hapus dari daftar. Alasan pertama: sekiranya saya keseringan menulis puisi atau cerita untuk gadis-gadis kawaii, pasti bakal muncul protes dalam diri kalau nantinya saya akan menyesal sebab terlihat sebagai lelaki nelangsa. Alasan berikutnya: saya merasa sudah kehabisan energi dan tak tahu kudu menuliskan daftar sisanya dalam format apa. Alhasil, buku itu terbit ala kadarnya.
Oke, cukup buat basa-basi penuh lanturan barusan. Sekarang lebih baik langsung menampilkan (menyalinnya dengan sedikit modifikasi) ulasan dua orang itu:
Ulasan dari Gigip
Pertama, judulnya terdengar ngeri-ngeri sedap. Saya pikir isinya bakal babifu-fafifu kayak Bolaño, ternyata lebih mirip Aira. Enggak apa-apa, sastra mah bebas! Dari 9 tulisan, saya paling suka 2 tulisan terakhir. Bagus. Paling enggak pengalaman membaca saya jadi asyik karena ditutup tulisan-tulisan yang saya suka. “Kebohongan Bisa Berbentuk Apa Saja” dan “Aku Jatuh Cinta kepada Sesosok Iblis” menurut saya paling gokil dan menghibur.
“Osamu Dazai Berteriak Banzai” cukup bikin kaget karena jadi anomali. Saya pikir Yoga mau terus-terusan murung, ternyata ada satu tulisan (dua, sih, tapi yang satunya lagi ya-gitu-deh) yang setelah baca bikin kita ingin demo di depan Gedung Istana sambil bakar ban Vespa. Mantap. Tapi “Osamu Dazai Berteriak Banzai” ini agak riskan karena orang-orang yang dibahas masih hidup. Saya bilang riskan pasti subjektif karena saya tahu orang-orangnya. Kalau kamu enggak tahu, atau sebetulnya tahu tapi enggak bisa menebak, ya syukur. Begitu lebih baik.
Yang juga saya suka, Yoga terlihat mencoba berbagai macam cara buat menghibur pembacanya. Sebagian berhasil, sebagian nyungsep, tapi toh menulis enggak pernah gampang dan seenggaknya Yoga berusaha.
Meskipun kayaknya kompas sastra Yoga cuma Amerika Latin dan Jepang kontemporer, tentu ada jejak penulis-penulis lain di luar dua wilayah tadi (ada Aan Mansyur, Dea Anugrah, Eka Kurniawan, dan mungkin A. S. Laksana—siapa tahu?), tapi itu cuma urusan teknik dan enggak penting-penting amatlah. Kompas ini maksud saya adalah bagaimana Yoga mengemas tulisan-tulisannya secara keseluruhan. Bukan berarti buruk. Ini murni keluhan pembaca. Saya cuma membayangkan kalau misalnya “Eskapisme Itu Berwujud Tsubasa Honda” didesain ala Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, mungkin saya bakal lebih terhibur. Bayangkan: “Eskapisme Itu Berwujud Dayang Sumbi”. Terdengar keren, bukan?
Saya mengeluh begitu karena ada ekspektasi di laman prakata terkait alasan Yoga memilih judul bukunya. Kalau Yoga memang mau “menghancurkan kesusastraan” yang menurutnya mesti berat dan berbobot, kenapa enggak sekalian main metafiksi super-ngawur kayak, katakanlah, Etgar Keret?
Ulasan dari Mayang
Membaca buku Yoga yang berjudul Aku & Belasan Tokoh Menghancurkan Kesusastraan—yang bakal aku singkat menjadi ABTMK setelah ini—membawa angin segar yang penuh nostalgia di zaman bloger personal masih jaya-jayanya. Segala opini, ide, saduran, gubahan, dan celetukan yang muncul saat kita menonton film, mendengarkan lagu, atau membaca komik dan buku, ditulis secara spontan. Itulah inti buku ini. Mudahnya, Yoga menulis hal-hal yang ada di kepalanya pada buku ini setelah mengonsumsi konten tertentu. Makanya dia memberikan semacam disclaimer bahwa apa yang dia tulis bisa saja disebut FF, AU, maupun keduanya. Menghibur? Tentu saja. Bacanya gratis pula.
Aku mengetahui sepak terjang kepenulisan Yoga sejak blognya masih berisi tutorial berpose saat difoto yang itu-itu saja. Tulisan pada dua tahun pertama kebanyakan personal literatur. Masih pakai “lu-gue” ala bloger gaul Jabodetabek. Setelahnya, Yoga pindah haluan jadi bloger yang bercitra lain. Tulisannya banyak yang berbentuk kontemplasi dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Dan melalui buku barunya, aku semakin yakin kalau doi lebih mahir menulis nonfiksi. Secara garis besar, buku ABTMK ditulis dengan prinsip kerja seperti ini: penulis mengalami sesuatu dan mengembangkannya melalui percakapan dua arah dengan tokoh lain. Penulis bermain plot, bukan karakter tokoh. Cara bercerita yang menurutku lumayan bikin bosan. Aku enggak ingat gimana cara tokoh Agus berdebat dengan dirinya sendiri tentang hubungannya dengan Rani di cerpen “Kebohongan Bisa Berbentuk Apa Saja”. Karakternya enggak menempel di kepalaku. Kayak sambil lalu aja. Tapi aku hafal urutan kesialan Hendri di cerpen “Enggak Pengin yang Lain?”. Dan itu terjadi juga pada tulisan “Eskapisme Itu Berwujud Tsubasa Honda”. Aku bisa membayangkan si narator ngobrol sama sosok Tsubasa Honda. Tapi karakter si narator ini enggak kelihatan gamblang. Poin plus dari tulisan-tulisan yang karakter tokohnya enggak kelihatan jelas adalah pembaca bisa merabanya melalui dialog. Ada semacam penilaian pembaca yang secara subjektif enggak akan bisa disalahkan tentang bagaimana tokoh tersebut menghidupkan cerita. Menurutku, karakter tokoh narator ini plin-plan dan bimbang. Tapi itu pun masih bias. Poin minusnya, pembaca akan lupa ceritanya dalam hitungan menit setelah cerpen selesai dibaca. Istilah bahasa Inggris-nya: not engaging. Ceritanya enggak nyangkut di pembaca.
Lain lagi untuk tulisan yang berjudul “Tokoh Kesukaan Sepanjang 2021”, “Mary Elizabeth Winstead”, dan “Jeritan Minami Mengisi Kekosongan Hatiku”. Penulis menyampaikan pandangan pribadi mengenai tokoh-tokoh yang memengaruhi hidupnya; yang dia kagum maupun yang pernah dia suka. Tulisan nonfiksi yang berorientasi pada ruang pribadi penulis. Di beberapa paragraf sering berbelit-belit dan enggak to the point. Aku kayak lagi baca surat penggemar untuk idolanya; bukan baca esai. Selanjutnya, penulis juga menyisipkan satu judul tulisan berisi tiga puisi. Aku suka puisi untuk Ayaka Miyoshi. Dua yang lain enggak. Bukan karena dua yang lain mempunyai permainan rima yang buruk, tapi aku enggak mendapatkan efek magis setelah membacanya alias lempeng. Sedangkan puisi untuk Ayaka Miyoshi punya efek yang mirip seperti saat aku membaca cerpen “Aku Jatuh Cinta kepada Sesosok Iblis”. Lumayan bikin larut dalam bayang-bayang Ayaka Miyoshi yang memesona dan lamunan tokoh Zenitsu yang ngarep memacari adik temannya. Terakhir, “Osamu Dazai Berteriak Banzai” adalah tulisan yang aku anggap nonfiksi karena lebih mirip jurnal harian.
Favoritku dari semua tulisan di buku ini adalah judul yang terakhir. Karakter medioker Zenitsu punya penokohan yang kuat dan langsung menempel di otak bahwa dia jomlo mengenaskan. Ambisinya memacari perempuan kentara dengan cara penulis menggambarkan Zenitsu sebagai pemuda medioker yang haus sentuhan. Sebenarnya aku enggak nyaman dengan bagaimana buku ini ditulis menggunakan objek perempuan yang cukup banyak. Tapi mengingat bahwa tujuan utama penulis adalah untuk mengabadikan buah pikirannya, aku berusaha berpikir positif dengan menganggap bahwa itu berarti penulis menghargai sosok perempuan—terutama yang fisiknya cantik. Atau sesederhana si penulis sedang dalam fase kesepian karena enggak punya gebetan (kok jadi nge-roasting secara personal, ya? Maafkan). Tulisan yang lain menurutku terlalu praktikal. Penulis banyak berkiblat pada buku-buku yang dibacanya dan mengambil teknik bercerita atau menulis dari sana, sehingga terkadang jadi terlalu formulaik. Namun, tetap saja aku katakan bahwa buku ini cukup menghibur.
Tanggapan saya buat keduanya
Pertama, terima kasih banyak atas ulasannya, khususnya bilang kalau karya itu menghibur. Sebelum membahasnya lebih jauh, saya cuma ingin mengaku kalau sering mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri semacam ini: Apa, sih, hal yang paling asyik dari menghasilkan karya? Apakah karena bisa dapat uang dari kegiatan yang kita sukai? Mendapatkan pujian atau kritik? Bisa disebut penulis/seniman dan dipandang keren?
Saya tahu ketiganya sama-sama asyik, serta saya juga tak ingin munafik bahwa memperoleh uang dari karya pasti bikin girang—dan ini jelas menjadi prioritas bagi manusia yang isi dompet sekaligus rekeningnya sering pas-pasan kayak saya. Sayangnya, belakangan ini saya kian sadar kalau kebahagiaan saat dapat duit dari berkarya itu terasa semu. Saya rupanya lebih gembira ketika ada orang yang repot-repot mau membaca karya saya hingga tuntas, kemudian mengulasnya secara jujur—terlepas kami saling kenal baik atau enggak. Saya sengaja bilang begitu karena biasanya ada beberapa orang yang merasa tidak enak hati kala berbicara buruk tentang karya temannya. Sudah berapa kali saya menemukan orang yang mendewa-dewakan karya temannya, padahal mutunya busuk banget. Pokoknya, dia hanya bilang hal-hal bagusnya aja.
Yah, mungkin saja beberapa orang yang saya temui itu juga mengkritik kejam karya kawannya secara personal. Saya tentu tak pernah tahu lantaran tidak melihat hal tersebut. Saya sendiri juga tak tahu batasan dalam mengkritik di ruang publik seperti apa. Namun, yang ingin saya garis bawahi: Kenapa kita masih sungkan mengkritik karya teman walaupun telah menyampaikannya secara personal? Apakah kita takut kalau hubungan pertemanan itu bakalan retak? Apa pun itu, saya hanya ingin berterima kasih sekali lagi. Saya merasa beruntung sekaligus bersyukur, sebab mereka berdua tetap mau menyampaikan hal-hal yang menurut mereka buruk terhadap karya saya.
Saya menemukan kesamaan dari kedua ulasan itu: mereka paling suka dengan cerpen terakhir bertajuk “Aku Jatuh Cinta kepada Sesosok Iblis”, sebuah upaya iseng saya dalam memodifikasi kisah Kimetsu no Yaiba. Lalu, respons dua orang yang saling mengenal itu ternyata bisa berbeda juga dalam memandang cerita “Kebohongan Bisa Berbentuk Apa Saja”. Yang satu bilang bagus sekalipun tidak menjelaskan bagian mananya yang membuat dia menyukainya, sedangkan yang lain mengupas dengan cukup detail kalau kisah itu karakternya enggak menempel bagi pembaca.
Terkait benang merah atau inti tulisan di buku itu, saya sendiri sangat bingung buat menjawabnya selain cuma mengumpulkan tulisan yang melibatkan tokoh kesukaan, yang kebetulan berceceran di blog dan media sosial saya. Jika memang dianggap angin segar lantaran mengingatkan dengan zaman bloger personal lagi jaya-jayanya: Syukurlah. Sebagaimana judulnya yang saya pilih dengan sok iye banget mau menghancurkan kesusastraan, terus terang saya tadinya memang pengin menghancurkannya. Tentu bukan dengan bikin tulisan jelek seperti kalimat Bolaño yang saya jadikan epigraf. Melainkan saya melihat sastra tuh terlalu kaku atau tegang aja di mata orang-orang, termasuk diri sendiri. Cerpen mesti begini, puisi mesti begitu, terus menulis esai dan ulasan juga kudu mengikuti standarnya. Siapa coba yang berhak menentukan?
Saya sadar bahwa ada ilmu sastra, sehingga teori-teorinya bisa kita pelajari atau jadikan acuan dalam berkarya. Namun, yang dibutuhkan penulis bukannya juga sikap memberontak? Masa iya patuh melulu sama aturannya? Ya, padahal saya sendiri termasuk mematuhi EBI. Paling enggak, saya kadang-kadang tetap melanggarnya, dan saya berusaha menulis sesuai kaidah bahasa karena berpikir jika menulis seperti itu bisa membuatnya terlihat rapi. Tentu opini sotoy ini bisa disanggah.
Tentang menghancurkan kesusastraan ini, saya sadar diri upayanya masih termasuk gagal, bahkan bisa dibilang gagal total. Saya pun coba menyimpulkan ulasan mereka berdua terkait tulisan saya ini masih kurang nendang. Mayoritas isi buku Aku & Belasan Tokoh Menghancurkan Kesusastraan memang ringan seperti yang saya bayangkan sedari awal, tetapi temanya masih seputar romansa. Cerita-ceritanya sungguh kurang beragam. Aturan beberapa cerpen itu masuknya ke buku kumcer yang khusus bahas romansa aja, ya? Goblok banget deh si Yoga. Tapi mau bagaimana lagi? Kedelai sudah jadi kecap dan berwarna gelap. Saya cuma bisa belajar dari kegagalan untuk karya berikutnya.
Seandainya ada orang yang bilang bahwa saya lebih mahir dalam menulis nonfiksi ketimbang fiksi, mungkin itu ada benarnya lantaran sejak 2012 hingga 2017 saya terbiasa menuliskan curhatan atau cerita keseharian. Namun, sampai hari ini saya sendiri masih belum tahu di manakah sisi yang lebih kuat. Apalagi fiksi yang saya tulis mayoritas 40-50% diambil dari kenyataan, baik dari pengalaman diri sendiri ataupun orang yang saya kenal. Di buku ini pun seperti yang beberapa kawan saya ketahui, ada sosok teman yang jelas-jelas mereka kenal dengan baik.
Saya baru sadar kalau kebiasaan buruk saya dalam menulis sejak 2018 masih melekat sampai sekarang, yaitu mencampuradukkan kenyataan dengan fiksi biar pembaca pada ragu-ragu dengan kisah itu, sebagaimana saya jengkel setiap membaca karya Jorge Luis Borges. Celakanya, niat awal supaya pembaca bertanya-tanya dan meragukan kisah itu rupanya kerap gagal karena kemampuan saya mengolah cerita sangat jauh dibandingkan Borges. Tapi paling enggak, semoga mereka bisa terbiasa dan lebih fokus ke ceritanya tanpa perlu memusingkan mana yang nyata, mana yang fiksi.
Saya ingin berusaha agar tidak banyak melakukan pembelaan atas kritik mereka. Malahan ada poin-poin mereka yang saya setujui. Misalnya, saya memang sadar masih termasuk payah dalam penokohan. Hm, harus saya akui, kebanyakan tulisan saya cuma menghidupkan tokoh buat tektokan si protagonis atau sebaliknya. Yang sebetulnya bisa dibilang kayak pendapat Mayang sewaktu lagi me-roasting si penulis alias saya sendiri: saya menulis cerita-cerita itu hanya berusaha menghilangkan kesepian dengan ngobrol imajinatif bersama tokoh khayalan—yang dalam hal ini memakai para idola, terutama perempuan kawaii.
Terkait menjadikan perempuan sebagai objek yang membuat Mayang (pembaca yang kebetulan bergender perempuan) ini enggak nyaman, saya cuma bisa meminta maaf, dan sebisa mungkin akan berusaha memperbaikinya agar di kemudian hari dapat menuliskan kisah yang nyaman dibaca bagi semua kalangan, terutama sosok perempuan. Saya sendiri mungkin enggak bakal sadar kalau memuji paras lawan jenis secara berlebihan itu tergolong objektifikasi. Jika dianggap begitu, ya tentu sah-sah aja, terlepas gimana niat saya sebagai penulis yang murni cuma mau memuji mereka—yang pastinya dominan ke arah fisik. Tolong maafkan pengetahuan saya terkait hal ini yang terbilang masih tolol banget.
Saya enggak tahu ini salah apa benar, sebab saya sendiri pun kayaknya sempat mengakui di tulisan Minami kalau pada akhirnya kita pengin mencari tahu fisik seseorang ketika suka akan sesuatu hal. Dalam kasus ini, awalnya saya sudah naksir berat sama karyanya atau kualitas vokal Minami, terus buat apa saya segala repot-repot googling dan pengin lihat parasnya? Apakah itu alamiah? Lalu, ada satu hal yang ingin saya garis bawahi lagi, apakah di zaman sekarang memuji rupa seseorang itu jatuhnya melecehkan? Terkadang saya menemukan beberapa kasus, ada orang yang sampai diserang/dihujat habis-habisan cuma karena memuji idolanya, atau bahkan sebatas mengekspos kecantikan tokoh anime. Jika hujatan itu tercipta karena si orang ini merujuk ke pedofilia, saya pun tak akan ragu mengutuk hal jahanam itu. Tapi yang saya masalahkan ini lebih ke komentar spontan dalam memuji fisik sih, yang lebih sering ke wajah, bukan anggota tubuh lain, dan tanpa pikiran aneh-aneh.
Barangkali saya hanya tak ingin bersikap munafik dalam melihat seseorang dari wujudnya. Saya merasa bukan orang yang fanatik ketika jadi fangirl/fanboy, tapi terkadang takut juga ketika lagi mengekspresikan kekaguman nantinya tiba-tiba diserang oleh netizen. Nah, setelah mendapat kritik itu, saya betul-betul baru sadar kalau tulisan di karya ini, baik yang bentuknya esai meracau, cerita, ataupun puisi, ternyata memang terlalu banyak menjadikan perempuan sebagai objek. Di mata mayoritas lelaki, mungkin itu hal yang wajar banget dalam mengagumi sosok perempuan atas keindahan tubuhnya, yang dalam kasus saya tampak tergila-gila dengan paras kawaii. Sementara di mata perempuan, ini bisa tergolong pelecehan dan objektifikasi.
Jadi, meskipun niat awalnya berusaha menghargai kecantikan, saya perlahan-lahan merenung dan mulai merasa berdosa, sebab cara saya menghargai seorang perempuan di karya itu biar bagaimanapun juga baru sebatas paras. Cuma tulisan Mary Elizabeth Winstead yang sedikit menyenggol cara dia berakting, serta Minami karena suara vokalnya. Maka, makasih banget sudah menegur saya, May.
Bicara soal kesadaran lagi, sebelum melepas buku digital itu, sejujurnya ada pertimbangan bagaimana saya membaca ulang cerita “Enggak Pengin yang Lain”, yang saya tulis 2019. Dua atau tiga tahun telah berlalu sejak ceritanya ditulis dan berhasil menggeser cara pandang saya. Walau Mayang mengatakan cerita kesialan Hendri menempel—yang kemungkinan mengarah ke hal baik atau pujian, sebenarnya saya sempat mau membuangnya gara-gara itu jelas mengarah ke pelecehan. Untuk yang satu ini, saya paham banget kalau hal itu merujuk ke objektifikasi. Lantas, kenapa saya tetap mempertahankannya? Saya cuma ingin merasa santai karena bukan bagian dari tokoh itu dan enggak mencerminkan diri saya.
Kala pertama kali menuliskannya, saya hanya bermaksud merekam ingatan saya tentang bagaimana cowok-cowok di Youtube maupun di Twitter bereaksi atas video Elisa saat berjoget. Tokoh Hendri sendiri, di luar dari fantasi nakalnya, menganggap jogetnya Elisa yang asyik buat meringankan beban hidup yang kelewat sering dirundung kesialan. Waktu dia lagi mengecek Instagram si selebritas, dia sendiri juga enggak sreg dengan cara perempuan yang berusaha memikat lelaki dengan tubuh montok atau pamer aurat. Nah, makanya saya sadar dalam menuliskan narasinya bahwa dia cuma mengagumi sosok Elisa di video itu, tepatnya sewaktu dia pakai seragam kantoran, sama kayak diri Hendri yang seorang karyawan, lalu joget adalah satu dari sekian banyak cara buat meringankan beban hidup. Sesimpel itu.
Kalau dipikir-pikir, susah juga ya ternyata seandainya mau menuliskan tokoh-tokoh yang semuanya politically correct ataupun terbebas dari dosa. Saya mungkin berani bersikap begini karena pernah diingatkan oleh Hawadis, bahwa sah atau boleh-boleh aja menuliskan tokoh yang mesum, penjahat, atau apa pun perangai buruk, dan saya enggak usah takut sekiranya nanti ada orang lain yang berpikir itu tokohnya mencerminkan saya sendiri. Karena niat awalnya cuma mau menunjukkan kejadian yang sungguh terjadi di realitas, yang secara tak langsung tetap ada unsur kritik secara tersirat, yang mungkin tak terlihat oleh pembaca.
Selebihnya, terkait teknik atau apa pun yang mereka anggap formulaik dan cukup bikin bosan pembaca, penokohan masih payah, lalu siapa kompas saya dalam menulis yang mungkin terlihat jelas referensinya atau tergolong mencuri ide/gaya/teknik, itu bakal saya perbaiki di kemudian hari. Semoga kritik dan saran dari mereka betul-betul bisa meningkatkan kualitas saya dalam menulis.
Berhubung Gigip merujuk beberapa nama penulis yang dia asumsikan sebagai kompas saya, ini sekalian saya kasih bonus referensi nama penulis yang sampai hari ini masih saya kagumi, yang entah gaya menulisnya berhasil saya contek atau malah gagal:
Lokal
A. S. Laksana, Abdullah Harahap, Budi Darma, Subagio Sastrowardoyo, Chairil Anwar, Afrizal Malna, Intan Paramaditha, Ugoran Prasad, Eka Kurniawan, Linda Christanty, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Sabda Armandio, Dea Anugrah, Yusi Avianto, Iksaka Banu, Mikael Johani, Puthut EA, Aan Mansyur, Andina Dwifatma, Avianti Armand, Joko Pinurbo, Raka Ibrahim.
Jepang
Akutagawa, Osamu Dazai, Edogawa Ranpo, Kawabata, Natsume Soseki, Duo Murakami (Haruki dan Ryu), Gaku Yakumaru, Hiromu Arakawa, Kentaro Miura, Eiichiro Oda, Hideo Yamamoto, Hideaki Sorachi, Tomihiko Morimi, Tatsuki Fujimoto, Rumiko Takahashi, Chica Umino, Mieko Kawakami, Miyuki Miyabe, Shion Miura.
Amerika Latin
Borges, Bolaño, Cortazar, Juan Rulfo, Enrique Vila-Matas, Neruda, Zambra, Carlos Maria Dominguez, Adolfo Bioy Casares.
Lainnya
Camus, Dostoyevsky, Etgar Keret, Neil Gaiman, Arthur Schopenhauer, Han Kang, Mo Yan, Saramago, J. D. Salinger, Raymond Carver, Raymond Queneau, Hemingway, Kurt Vonnegut, Nick Hornby, Stephen King, David Foster Wallace, Lydia Davis, Sylvia Plath, Mary Shelley, Nadia Bulkin, Wislawa Szymborska, Charles Bukowski, George Orwell, Umberto Eco, Orhan Pamuk, Hassan Blasim, Jaroslav Hasek.
--
Omong-omong, seumpama kamu mau ikutan JanexLiaRC dan bingung mau baca sekaligus mengulas buku apa yang berwarna cokelat, boleh banget lho menjajal karya saya yang bisa diperoleh secara gratis ini. Walau saya masih kurang yakin, sih, kalau karya digital tanpa ISBN ini terhitung sebagai buku juga di mata para pembaca. Setidaknya, jika kamu sebatas kepengin baca dan memberi ulasan sesukanya tanpa perlu ikutan tantangan mereka pun tak masalah. Andaikan mau dihina pun saya perbolehkan, kok. Saya hanya ingin tahu apa saja respons pembaca atas tulisan saya yang diterbitkan seenak jidat itu, sebab saya bakal senang sekali ketika ada orang-orang yang sudi mengulasnya seperti Gigip dan Mayang.
Akhir kata, gracias muchos amigos.
--
PS: Itu bukan pamer referensi, hanya berusaha menjawab siapa sajakah penulis yang tulisannya berkesan dan telah memengaruhi kepenulisan saya hingga detik ini, serta sekalian memberikan rekomendasi kepada pembaca
2 Comments
Hindsight is the best teacher cees.
ReplyDeleteTo the point aja.
Udah saatnya yoga naik level. Sya lupa kapan terakhir baca cerpen yoga. Sbelum pandemi mngkin? Barusan sya keliling arsip blog, nyari2 fiksi plg baru. Karena berbagai alasan, perasaan sy abis baca yg dulu ama skrang ga bnyak berubah. Sya pikir pasti ada yg ga beres.
Ini cuma hipotesis, tp sebagai pembaca sy nganggep ada 2 faktor yg bikin penulis susah berkembang. Referensi bacaan yg ga nambah, itu satu. Kedua, dia ga mau repot maen jauh2, sadar ato ngga.
Sya inget dulu di WA, sy prnah bilang tulisan yoga kurang "page turning" (Mayang rupanya setuju dgn bilang "not engaging"). Pnyebabnya bisa macem2: prosa yg ga enak, karakter yg kurang dalem, atau pemilihan tema & plot yg boring.
Keluhan utama sy ada di yg terakhir. Tema. Terlalu garing.
Klo boleh saran, coba yoga mulai ngangkat tema2 yg "serius". Ngga harus yg berat2, tp minimal keluar dulu dari jalur "slice of life", cerita2 yg cuma berkutat di kepala MC, yg biasanya minim plot & konflik.
Dari sinilah ide dan premis2 segar (apalagi unik) harus dicari. Tema pembunuhan? Kasus penculikan anak lurah? Cerpen ttg raden majapahit yg hidup jd tukang mulung setelah time-leaping?
Saya percaya, dengan sering ngembangin ide jd cerita utuh, ini bisa ngasah skill nulis, sekaligus ikut ngebantu nemuin "voice" si penulis.
Saya ga tau yoga sepakat ato ngga, tp menurut sya yoga msih blum pnya voice sendiri. Baca fiksi yoga rasanya masih kayak baca post keseharian. Sekali lg ini bisa dari faktor prosa atau plot yg terlalu biasa.
Ini yang tadi sya maksud perlunya ngangkat tema serius, dan nyoba untuk maen jauh2. Naek level.
Apa ini berarti plot slice of life ga bisa dianggap "serius"? Tentu saja bisa. Literatur jepang bnyk yg gitu (dan of course ada anime). Cerita tanpa bumbu apa2. Ga ada horor. Nihil fantasi. Bahkan ga jarang tanpa konflik dan plotlines. Full ngelantur doang. Tp yg jd pembeda adalah, mereka ditulis dgn prosa yg kuat dan voice yg udah solid.
Jd balik ke poin saya, carilah dulu voice kamu cees. Cari ide segar sebanyak2nya. Beraniin maen jauh. Klopun nantinya gagal (yg mana pasti bakal sering), seenggaknya kami para pembaca disuguhin cerita yg unik dan beda dari yg lain. Ngga melulu ttg penulis yg ngelamun sambil flashback mantan pacar di kamarnya.
Perkara kualitas prosa saya yakin bakal ningkat dgn sendirinya.
Terakhir, saya masih akan sabar nunggu, momen di mana saya akan berhenti ngelakuin aktivitas begitu denger yoga ngeluarin karya baru.
Dan sy percaya kelak momen itu akan dateng.
Nuhun pisan udah komentar panjang sekaligus mengkritik, Ce'es.
DeleteIya, saya sadar banget cuma berkutat di kisah-kisah keseharian, yang bisa dibilang cari aman. Makanya stuck di situ-situ aja.
Ini saya memang udah saatnya refleksi diri dalam memandang tulisan sendiri, supaya bisa terlepas dari segala yang pernah saya tulis sebelumnya. PR saya sekarang: berhenti dari kisah yang mengangkat tema keseharian dan kepenulisan.
Semoga berkat komentarmu dan tentunya mereka berdua, setelahnya saya betul-betul bisa keluar dari jalan buntu kepenulisan yang tak ada perubahan ini.
Sekali lagi nuhun. Saya sangat sepakat agar bisa mengeksekusi tema baru.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.