#JanexLiaRC: Sudut Pandang Pemuda Y terhadap Buku Mata yang Enak Dipandang

Setelah setahun penuh terlalu sering melahap literatur asing—khususnya penulis Jepang dan Amerika Latin, Pemuda Y jadi ingin kembali menjajal karya penulis Indonesia demi mengobati rasa rindunya terhadap cita rasa lokal. Mengingat seluruh buku lokal di raknya sudah rampung dibaca dan sementara ini dia sedang berhemat supaya tak membeli buku baru, maka pilihannya jelas meminjam di iPusnas. Sayangnya, beberapa daftar buku yang ingin dia baca sebagian besarnya mesti mengantre, sehingga pilihannya benar-benar terbatas, dan terlebih lagi yang tersisa itu cuma buku terjemahan—dengan kata lain: bukan karya lokal. Dia tak punya pilihan selain mencari karya penulis Indonesia yang stoknya masih tersedia.
 
Pemuda Y melihat daftar riwayat bacaannya dalam rentang 2017-2020 dengan maksud mencari referensi, dan kini dia pun terfokus pada nama Ahmad Tohari. Dia terkenang bahwa sempat membaca ulasan beberapa teman dan kenalannya yang memuji buku Mata yang Enak Dipandang sebagai karya jempolan. Dia lantas mengetikkan judul buku itu di kolom pencarian dan kebetulan tersisa dua salinan. Ketika Pemuda Y tahu kalau buku kumcer bersimbol mata itu kovernya berwarna kuning—sesuai dengan tantangan membaca dari kawan blogernya: Jane dan Lia, dia langsung memutuskan untuk membaca buku tersebut tanpa berpikir lebih lanjut.
 
 

 
Hanya butuh waktu dua kali duduk (seumpama tidak beranjak ke toilet demi buang air kecil, mungkin cuma sekali duduk) dan tak sampai enam jam untuk menamatkan bukunya. Alih-alih sepakat dengan teman maupun kenalannya yang memuji bukunya bagus, Pemuda Y justru menganggap buku itu biasa saja. Meski begitu, dia agak ragu dengan penilaiannya sendiri. Dia bahkan sempat mengecek Goodreads untuk memperhatikan ulasan orang lain, dan hasilnya: banyak yang memuji karya itu. Kala dia merasa sedikit cemas sebagai seorang minoritas, Pemuda Y sampai-sampai berpikir begini: Apakah aku terlalu banyak membaca cerpen penulis luar dan jadi menganggap remeh cerpen penulis lokal? Atau sesimpel cerpen Ahmad Tohari memang kurang cocok untukku?
 
Demi menguatkan opininya itu, Pemuda Y bermaksud membuat analisis karya dengan poin-poin sebagai berikut:
 
1. Dari lima belas cerpen yang terhimpun di buku Mata yang Enak Dipandang, aku hanya menyukai sepertiganya, yakni cerpen berjudul Daruan; Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan; Dawir, Turah, dan Totol; Pemandangan Perut; serta Bulan Kuning Sudah Tenggelam. Sepuluh lainnya termasuk biasa saja dan jika tak salah ingat malah ada 1-2 cerpen yang menurutku jelek.
 
2. Cerpen yang menjadi judul bukunya, yang biasanya dijagokan oleh penulisnya sendiri dan karena itulah dijadikan sebagai judul, bagiku biasa banget. Kenapa bukan Bulan Kuning Sudah Tenggelam saja yang dipilih buat judulnya? Toh, cerpen itulah yang halamannya paling panjang dan menurutku konfliknya teramat rumit.
 
3. Tapi saat mengingat cerpen Bulan Kuning Sudah Tenggelam kisahnya dituturkan oleh tokoh perempuan, sedangkan Ahmad Tohari adalah seorang laki-laki, aku tentu mesti berpikir ulang lagi. Sekalipun aku sendiri sudah menganggapnya oke lantaran belum tentu bisa menjiwai tokoh perempuan seperti yang dilakukan oleh Tohari, entah kenapa tetap ada kekurangan dalam gaya penceritaannya. Rasa-rasanya kudu perempuan juga yang menuliskan cerita semacam itu. Meski demikian, secara keseluruhan aku sungguh menikmati ceritanya.
 
4. Alasanku menyukai cerpen Daruan cukup sederhana. Aku memang punya perasaan sentimentil terhadap tokoh-tokoh yang berprofesi sebagai penulis. Jadi, ketika Daruan memutuskan memborong bukunya sendiri di pedagang asongan karena tak ada satu pun yang berminat membeli karyanya, terlebih lagi si penjual juga tak tahu kalau calon pembelinya merupakan seorang penulis dengan bertanya: “Sebagai pengarang baru, Daruan memang hebat ya, Pak?”, lalu si Daruan juga pura-pura goblok sekaligus enggak kenal dengan si penulis, aku spontan mengakak. Membaca cerpen ini rasanya bagai sedang becermin, sebab karyaku juga tak laku. Kesimpulanku: jadi penulis yang tak dikenal memang bedebah!
 
5. Aku menyukai satire di cerpen Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan. Aku jelas merasa relevan karena pernah beberapa kali kesulitan menyeberang jalan. Terus terang saja, masih banyak pengemudi mobil yang sombongnya nauzubillah dan enggan berhenti sejenak, padahal si pejalan kaki sudah berdiri di zebra cross. Mereka para pengemudi mobil tetap pada ngebut entah mengejar apa, dan seakan-akan kalau berhenti sekitar 30 detik demi memberi kesempatan kepada penyeberang jalan sama seperti kehilangan uang 30 juta. Masa iya kita harus mati dulu seperti Karsim, lalu digotong pakai kurung batang dan barulah dikasih lewat oleh mobil-mobil itu?
 
6. Cara Tohari mengisahkan kehidupan seksual para gelandangan di cerpen Dawir, Turah, dan Totol rasanya rileks banget. Aku suka bagaimana Tohari menggambarkan tokoh anak bocah yang bisa-bisanya sudah melihat adegan seks karena terbiasa memergoki ibunya main sama orang lain ketika si bocah terbangun dari tidurnya. Lagian, siapa coba yang enggak kebangun ketika tidur di suatu bangunan kosong tanpa atap yang hanya beralaskan kardus dan tiba-tiba mendengar bunyi desahan atau lenguhan?
 
7. Pemandangan Perut merupakan cerpen surealis yang kuanggap juara. Tokoh berpenampilan aneh yang memiliki kepala seperti buah salak dan bernama Sardupi ini memiliki mata ajaib. Dia semacam bisa menonton layar tancap di perut orang-orang. Misalnya, di perut salah seorang lelaki tajir berisi sebuah pulau yang seluruh hutannya tandas dimakan ulat. Ada juga yang di perutnya terdapat ribuan orang yang kehausan. Ribuan orang itu sedang menggali sumur hingga menembus kerak bumi tapi tak kunjung memperoleh air. Tohari menulis cerpen ini pada 1994, sehingga aku langsung merepresentasikan hal itu sebagai sindirian bagi para pemimpin korup, terutama presiden yang menjabat selama 32 tahun, yang berdiri makmur di atas penderitaan rakyat. Aku salut dengan cerpen ini yang rasanya tak lekang oleh waktu, sebab cerita itu juga bisa merujuk kasus pembakaran hutan dan lumpur Lapindo yang terjadi bertahun-tahun kemudian, bahkan dampaknya masih ada sampai sekarang. 
 
8. Aku tahu ini bukan hal yang penting, tapi aku iseng menghitung frasa “enak dipandang” yang rupanya muncul sebanyak enam kali di sepanjang buku.
 
9. Dari tadi aku lebih fokus dengan bagian-bagian yang kusukai, berarti sekarang gantian membahas hal-hal yang kuanggap minus dengan bertanya begini: Benarkah ciri khas Ahmad Tohari yang selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau golongan kelas bawah ini betulan memperkaya batin pembaca? Bukankah ini juga bisa dikatakan sebagai jalan mudah seorang penulis demi meraih simpati dan empati dari pembaca—yang sebagian besar pasti memihak rakyat kecil? Terkadang mengangkat tema yang sama berulang-ulang kali itu bisa jadi pedang bermata dua, dan bisa saja dia akan dianggap oleh kritikus sebagai penulis yang tak mampu menggarap tema lain.
 
10. Aku sering heran dengan beberapa penulis Indonesia yang gemar sekali menempatkan tanda baca koma setelah kata pertama (biasanya berupa konjungsi) di sebuah kalimat. Kau pasti paham maksudku, kan? Jika belum mengerti, maksudku tuh kalimatnya jadi terasa patah-patah begini: “Dan, ...”; “Atau, ...”; “Juga, ....” Di salah satu cerpen Tohari pun ada kalimat semacam itu: “Atau, apakah menjelang matahari terbit masih terdengar kokok ayam hutan dari padang perdu di tepi kampung. Juga, apakah masih ada kelap-kelip ribuan kunang-kunang....” Sekalipun aku tahu penulis boleh mendobrak aturan sejenis itu, seenggaknya jangan terlalu seringlah. Masa di kalimat sebelumnya habis memakainya, terus di kalimat berikutnya langsung ada lagi? Ini seolah-olah mereka kayak enggak bisa menyusun kalimat. Keburukan yang aku maksud itu bagusnya hanya ada di satu cerpen, Paman Doblo Merobek Layang-Layang, yang sejak awal memang kuanggap jelek. Andaikan jalan ceritanya menarik, mungkin aku masih bisa memaklumi kesalahan tersebut.
 
11. Salam dari Penyangga Langit bagiku aneh—dalam artian negatif. Aku paham, sih, maksud Tohari yang berusaha menanamkan gagasan bahwa tahlilan atau kirim doa telah menjadi budaya dan bukan suatu hal yang buruk. Tohari juga menghadirkan semacam cerita surealis dengan menggambarkan sosok-sosok malaikat penyangga langit lewat mimpi seorang tokoh yang ketiduran dalam acara kenduri atau tahlilan. Dia berusaha mendeskripsikan pertemuan itu yang terbebas dari ruang dan waktu, yang entah kenapa mengingatkanku pada adegan protagonis di film Interstellar—kala tokohnya tiba-tiba memasuki dimensi kelima sehabis terhisap oleh Lubang Hitam. Masalahnya, apa yang melatarbelakangi tokoh di cerpen ini sampai bisa berjumpa sekaligus diberi salam oleh malaikat? Sejauh yang aku tahu, meski perjumpaan mereka hanya lewat mimpi singkat, biasanya yang mendapatkan kesempatan spesial itu pastilah tokoh yang ilmu tasawufnya sudah tingkat tinggi. Sementara tokoh di cerita ini hanya dosen muda dan seingatku tak dijelaskan sedalam apa ilmu agamanya. Dialog antara malaikat dan si tokoh juga terasa konyol buatku. Namun, bisa jadi opiniku ini yang tolol karena aku sendirilah yang ilmu agamanya keterlaluan cetek.
 
12. Penyelesaian konflik di cerpen Rusmi Ingin Pulang menurutku terlalu dangkal. Bukannya aku membenci akhir cerita yang menawarkan kegembiraan alias happy ending, hanya saja kok tiba-tiba nasibnya terlalu mulus dan kurang masuk akal. Coba ilustrasikan begini: kamu seorang perempuan yang baru pulang kampung dengan mengenakan pakaian bagus dan perhiasan mewah, kemudian langsung digosipkan oleh banyak warga kalau saat di kota atau perantauan dirimu bekerja sebagai lonte atau apalah pekerjaan buruk lainnya. Kamu pun berusaha mengisahkan kebenaran cerita kepada kedua orang tuamu bahwa pekerjaanmu halal, dan ibumu lantas mengungkapkan fakta tersebut kepada masyarakat. Sebagian warga mencoba percaya, sebagian lainnya tetap mencibir. Nah, tiba-tiba di sini datang juru selamat, yaitu seorang duda kaya yang berniat menikahimu, yang dengan hebatnya sanggup menghentikan bacotan warga. Di kenyataan, hal semacam itu tentu bisa terjadi—walau probabilitasnya teramat kecil. Jika parasmu keterlaluan cantik atau tubuhmu montok, mungkin persentasenya bakalan meningkat. Tetapi kalau di fiksi? Ini mah sama aja kayak kamu punya utang 500 juta, terus tiba-tiba ada orang tajir baik hati yang rela melunasi seluruh utangmu—dengan kata lain: Tohari pakai cara deus ex machina. Alangkah baiknya tokoh si duda itu disinggung terlebih dahulu, bukan ujug-ujug datang sebagai pahlawan.
 
13. Aku memperhatikan beberapa pengulas di Goodreads menjagokan cerpen Penipu Keempat karena kisah akhirnya yang mengentak, yaitu tokohnya bermaksud menipu Tuhan dengan berbuat baik kepada tiga orang penipu agar nanti dia mendapatkan berkah. Aku awalnya juga sempat terpukau, tapi pada pembacaan kedua aku mulai mencermati ulang jalan ceritanya. Bukankah Tuhan Mahatahu? Beliau kan dapat membaca isi hati seorang manusia, dan kenapa tokohnya repot-repot jadi penipu keempat? Upaya si penipu keempat ini mencari penipu ketiga untuk menipunya balik dengan berganti pakaian dan berpura-pura jadi orang lain cuma buat ditipu lagi juga kurang kerjaan banget. Aku sampai-sampai berpikir: Memangnya ada, ya, orang semacam itu di dunia nyata? Jika latarnya pada zaman modern begini dan dia melakukan hal itu untuk konten prank di Youtube atau TikTok mungkin masih masuk akal buatku.
 
14. Sebagaimana aku tak ingin sepakat dengan resensi orang-orang yang memberikan lima bintang atas karya ini, kamu tentu juga boleh mendebat pendapatku yang kelewat sotoy, lebih-lebih saat kamu menyadari bahwa kemampuan menulis cerpenku tak lebih baik dari setiap penulis yang pernah kukritik.
 
15. Aku mulanya berniat menulis ulasan buku dengan format cerpen, dan sialnya aku malah kehabisan ide untuk mengakhiri cerita.  Hanya kalimat inilah yang bisa kutampilkan sebagai penutup: Pemuda Y gagal mengobati rasa kangennya terhadap karya penulis lokal dan dia semakin lama justru merasa lebih dekat dengan pengarang Jepang ataupun Amerika Latin.

4 Comments

  1. 1-1 nya buku Ahmad Tohari yang udah aku baca cuma ronggeng dukuh Paruk 😄, itu juga udah lama. Jujur banyak lupa. Krn pas baca, aku belum ada kebiasaan menulis ulasannya 😂. Kebiasaan, suka lupa Ama buku yg dibaca, sebagus apapun. Memang harus ditulis biar ga lupa 😅.

    Ini kumcer yaaa ternyata. Ntahlaah Yog, dari dulu aku memang ga terlalu suka kumcer. Aku lebih suka yang full cerita dalam 1 buku. Makanya buku2 fav ku tebel2, karena buatku alurnya pasti detail. Langsung ngerasa ga puas aja, kalo baca suatu buku yang penyelesaiannya kayak terlalu cepet, dan halamannya memang tipis. Buatku di bawah 400 halaman itu tipis 🤣. Walaupun ada siih buku yg di bawah itu, tapi tetep dengan alur memikat sampai akhir 😁.

    Kalo masalah penulis lokal atau luar, aku sendiri ga banyak menyukai penulis lokal. Yg bener2 favorit cuma S Mara GD. Itupun hanya utk serial misterinya, kalo romancenya aku kurang suka. Sementara penulis yang aku anggab nomor 1, tetep aja penulis luar 😄. Walau masih bingung antara Margaret Mitchel atau Sidney Sheldon 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau bagus banget, walau enggak sempat bikin ulasan, biasanya masih ada hal-hal yang pasti saya ingat dari karya itu, sih. Haha.

      Sebetulnya saya sadar, sih, kalau cerpen sudah pasti penyelesaiannya cepat atau ada bagian kosong yang memang tak terjelaskan lantaran terbatasi oleh jumlah kata (apalagi kalau cuma bekas arsip cerpen yang pernah terbit di suatu koran tanpa ada pengeditan lagi). Namun, berbeda dengan Mbak Fanny yang memang lebih menggemari novel, ketertarikan saya dari dulu selalu ke cerpen. Haha.

      Terus terang, saya entah kenapa sering enggak puas aja dengan cerpen lokal gara-gara tradisi cerpen koran. Anehnya, beberapa cerpen luar yang ringkas (khususnya Lydia Davis dan Keret), yang jumlah katanya bahkan lebih sedikit dari jumlah kata di koran, benar-benar memikat saya.

      Saya kira penulis luar pilihannya memang lebih beragam, Mbak. Jadi wajar kalau lebih suka penulis luar.

      Delete
  2. Kak Yoga gaya mengulas di postingan ini bagusss! Dibuat point-point seperti ini ternyata enak juga ya dibacanya hahaha. Ngomong-ngomong, sama seperti yang aku alami saat membaca buku lalu aku merasa bukunya biasa aja, tapi rating di Goodreads tinggi 😂. Bingung awalnya, ini apa aku yang salah, atau aku yang nggak ngerti karena otakku terlalu dangkal. Sampai ubek-ubek review Goodreads buat cari yang sepahaman gitu 😂. Sampai sekarang masih suka seperti itu padahal pengalaman membaca tiap orang kan berbeda-beda ya, jadi harusnya wajar aja kalau ada yang suka banget dan ada yang biasa aja 😂 tapi entah kenapa rasanya salah kalau merasa biasa aja untuk buku yang dianggap mayoritas itu bagus 😂

    Aku belum pernah baca buku Ahmad Tohari yang ini, baru pernah yang Ronggeng Dukuh Paruk saja. Aku patut acungi jempol karena Kak Yoga berani banget dalam mengulas!! Aku iri karena aku nggak bisa seberani ini 😂. Lucunya, meskipun aku belum pernah baca bukunya, tapi aku bisa ngebayangin jalan ceritanya seperti apa dari kritik yang Kakak tuliskan seolah aku udah pernah baca full 🤣. Alasan yang sama juga aku rasakan setiap habis membaca kumcer, terkadang karena keterbatasan halaman, rasanya cerita jadi kurang greget dan terlalu cepat diakhiri, ini juga alasan kenapa aku jarang baca kumcer 😂. Salah satu kumcer yang aku bisa bilang cukup greget adalah kumcer Sihir Perempuan. Kumcernya genre horor dan di beberapa cerita, sensasi thrillingnya dapat hahaha.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, makasih buat pujiannya, Li. Lagi coba-coba berbagai gaya mengulas. XD Ternyata memang lebih efektif dibikin poin-poin ketika mau diulas lebih mendalam.

      Entah nih kenapa saya juga begitu, padahal udah paham kalau penilaian setiap baca buku seringnya subjektif. Toh, menilainya dalam urusan individu, bukan sebagai juri lomba. Tapi tetep aja ketika berbeda sendiri, suka banget cari teman yang sepemikiran. XD

      Saya kalau mau jajal seorang penulis, biasanya dimulai dari kumcer, sih. Makanya nanti aja novelnya ketika cerpennya udah terasa cocok. Saya memang lagi belajar mengulas berani dan terang-terangan tanpa memadang siapa penulisnya (walau tetap ada pertimbangkan ketika kenal sama orangnya langsung). Haha.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.