#JanexLiaRC: Dua Kumcer Berkover Kuning

Berhubung tema bulan April dari tantangan membaca JanexLia ini kover berwarna kuning, saya pun tak perlu repot-repot meminjam buku di iPusnas maupun membeli buku baru karena kebetulan memiliki koleksi buku berkover kuning lebih dari lima, dan tentunya hal ini mempermudah persoalan. Dengan membuang keburukan warna kuning yang tampaknya identik dengan tai, jigong, ataupun air kencing yang kurang sehat, saya kini jelas memandang kuning sebagai sesuatu yang cerah dan menyenangkan. Oleh karena itulah, saya sengaja memilih dua kumcer berikut, yang bagi saya isinya banyak kesenangan dan kelucuan.

 
Dunia Kali, Puthut EA
 

 
Ringan dan menyenangkan. Dua kata itulah yang menggambarkan isi buku ini. Cerita-ceritanya amat ringkas. Terlebih lagi ada beberapa cerita yang panjangnya tak sampai satu halaman, dan tentu bisa dibaca kurang dari semenit. Cocoklah buat teman ngabubu-read pada bulan Ramadan. Sebagaimana judulnya, Dunia Kali bercerita tentang anaknya Puthut EA yang bernama Bisma Kalijaga. Saya kira buku ini ditulis hanya untuk merekam pertumbuhan sang anak. Dunia Kali secara tak langsung boleh dianggap sebagai buku parenting lantaran hubungan bapak-anak yang Puthut tuturkan menyuguhkan nasihat lewat cara yang paling halus. Puthut sebenarnya murni bercerita dan tak ada kecenderungan menggurui, tapi sayalah yang tanpa sadar mengambil kesimpulan sekalian mencomot petuah-petuah di dalamnya.
 
Saya berasumsi kalau Puthut tak ada motif maupun pikiran buat menulis dengan suatu teknik yang pernah dia pakai dalam cerpen-cerpennya, sebab di Dunia Kali dia cuma ingin bercerita sesederhana mungkin. Seperti di lembaran awal buku yang tertulis bahwa Dunia Kali didedikasikan untuk istrinya, saya pikir menarik juga menghadiahkan seorang istri sebuah buku yang kita tulis sendiri terkait rekam jejak anak sendiri yang ajaib dan konyol semasa dia bocah. Saya pun jadi membayangkan, apakah jika suatu hari saya menikah dan punya anak, saya akan bikin catatan atau cerita semacam buku ini?
 
Buku Dunia Kali saya baca secara digital. Saya mengunduhnya secara legal di blog Puthut EA—yang memang sengaja membagikannya gratis sebagai teman membaca pada masa pandemi.
 
 
Muslihat Musang Emas, Yusi Avianto Pareanom
 

 
Setahu saya, tak ada satu pun manusia yang suka dibohongi ataupun ditipu. Namun dalam konteks yang berbeda, seperti pada pertunjukan sulap, sebagian orang justru rela meluangkan waktu dan mengeluarkan uangnya untuk dikibuli. Saat menonton acara sulap, kita tentu sadar bahwa akan tertipu, bahkan justru mengharapkannya, sebab di lain sisi ada perasaan menyenangkan yang tak terjelaskan ketika sang penampil berhasil mengelabui kita lewat trik-triknya, sehingga kita jadi bertanya-tanya, “Kok bisa sih? Bagaimana caranya?” Nah, membaca buku kumpulan cerita Muslihat Musang Emas karangan Yusi Avianto ini bagaikan lagi menonton pertunjukan sulap. Saya berulang kali merasa jengkel sekaligus kagum saat mendapatkan kejutan di dalam ceritanya. Saya baru tahu kalau ditipu berkali-kali oleh cerita yang bagus ternyata bisa seasyik ini.
 
Buku yang berisi 21 cerpen ini memang tidak semuanya mengandung tipu muslihat alias plot twist. Meski begitu, kesenangan ketika membaca ceritanya tak perlu diragukan lagi. Yusi menghadirkan tokoh-tokoh yang bernasib sial, lantas menggiring pembaca untuk mentertawakan kemalangan mereka tanpa harus merasa bersalah. Selain tertawa-tawa, tentunya ada juga kisah yang secara tak langsung mengajak saya untuk berkontemplasi.
 
Teknik penceritaannya pun sangat mengasyikkan buat diikuti. Jika kebanyakan cerita dimulai urut dari awal hingga menuju akhir, pada beberapa cerpen Yusi Avianto memakai alur maju mundur demi menghindari klise. Pada cerpen Alfion, Yusi bahkan memulai kisahnya dari bagian akhir terlebih dahulu, yaitu saat tokohnya tewas terbunuh. Pembaca lantas dibuat bertanya-tanya, kenapa sang tokoh menjadi buronan polisi? Apa yang memutuskan Alfion hidup sebagai penjahat? Siapa yang memicu Alfion memilih jalan itu? Kisah pun bergerak mundur ke beberapa tahun silam demi menjawab pertanyaan-pertanyaan sejenis itu.
 
Saya senang dengan karakter-karakter di buku ini yang bersifat abu-abu (tidak hitam dan putih). Jadi, seandainya ada satu tokoh yang berbuat jahat, Yusi berusaha menyingkap masa lalunya atau mengisahkan suatu kejadian yang bikin si tokoh punya alasan kuat untuk menjadi seperti itu. Saya juga salut dengan penempatan cerpen di buku ini. Pembukaan buku dimulai dengan cerpen berjudul Muslihat Musang Emas dan Elena yang menghibur sekaligus bikin ngakak, kemudian ditutup dengan Pak Pendek Anggur Cap Orang Tua Terakhir di Dunia, yang bagi saya juga banyak bagian lucunya tapi sungguh sentimentil dan bikin mata saya berkaca-kaca.

8 Comments

  1. Maap saya ngakak banget dengan penjelasan Mas Yoga soal warna kuning. Orang-orang kebanyakan mikir kuning identik dengan matahari dan hal-hal cerah, kenapa jadi air kencing dan jigong? 🤣

    Buku kumcer yang pertama menarik sekali, tadinya saya salah kira buku ini menceritakan kisah nyata penulis saat beliau masih kecil, ternyata tentang sang anak beliau sendiri, hahaha. Semoga sang anak kelak bisa membaca dan menyukai buku yang ditulis sang ayah juga, hihi.

    Thank you, Mas Yoga atas review buku bacaan bulan ini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu pikiran saya soal warna kuning memang buruk banget, Ci Jane. Haha. Secara enggak langsung kayak benci gitu dengan kuning. Tapi sejak terpikat seorang perempuan yang pakai kemeja kuning, pemikiran saya bergeser dan mulai melihat kuning dari hal-hal bagusnya. Kayak lemon, bunga matahari, bunga alamanda, dst. XD

      Berhubung itu terbit beberapa tahun silam, kayaknya sekarang si anak udah baca bukunya deh.

      Sama-sama, ya.

      Delete
  2. Pengen coba baca buku yg kedua 😁. Seeprtinya lebih menarik, apalagi bukan ttg parenting 😂. Jujur aku ga tertarik Ama buku2 yg berbau parenting , mungkin Krn aku ga segitunya juga suka anak2.

    Kuning itu malah wrna favoritku setelah merah Yog 😁. Ntah kenapa Yaa kalo ngeliat warna kuning, langsung happy aja bawaan, berasa kayak cerah ceria hahahahhaa. Jigong kok bisa identik Ama kuning ya. Orang2 banyak yg bilang gigi kuning Krn jigong sih,, padahal kalo menurutku itu cendrung kecoklatan warnanya #malah dibahas 🤣

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi buku yang pertama bagian parenting-nya beda banget, kok. Haha. Cuma kalau memang rasa suka Mbak Fanny dengan anak-anak enggak segitunya, mungkin kurang cocok. Wong ini bahas anak bocahnya terus sepanjang buku.

      Iya, padahal kan warna alami gigi itu sendiri udah putih kekuningan. Yang giginya putih banget jelas pakai pemutih gitu kan. Ada-ada aja pemikiran saya dulu. Syukurlah sekarang makna kuning buat saya berubah baik. XD

      Delete
  3. Duhhhh, udah lama melirik kumcer ini semenjak habis membaca Raden Mandasia 😂. Habis baca tulisan Kak Yoga, malah tambah bikin pengin baca bukunyaa 😂. Soalnya aku cocok dan suka sama tulisan Yusi. Oke, bukunya siap masuk ke TBR wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya suka sama humornya, sih. Tokoh-tokohnya terasa ajaib. Semoga ulasan saya ini betulan membantu, dan nantinya benar-benar cocok waktu baca kumcernya, Li. :D

      Delete
  4. dannn aku tim yang selalu ketinggalan buat upload di janexlia.
    buku-buku dari Yusi belum pernah aku baca, mungkin dengan baca ini bisa jadi permulaan yang bagus juga, lagian bacaannya nggak terlalu serius, masih ada bagian lucu-lucunya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin bulan ini bisa coba ikutan, Mbak. :D

      Iya, Mas Yusi di setiap cerita berusaha memasukkan unsur humor, meski beberapa terasa ganjil.

      Delete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.